***
Malam berikutnya, mereka kembali ke dermaga. Kali ini, suasana jauh lebih mencekam. Hujan rintik-rintik masih turun di Ravenwood, menciptakan kabut tipis yang melingkupi pelabuhan. Di sepanjang dermaga, suara langkah kaki samar terdengar, bercampur dengan denting air yang memecah kesunyian malam. Leon dan Evelyn bergerak hati-hati, menyusuri bayangan gelap yang diberikan tumpukan peti kemas.
Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini. Gerakan mencurigakan di sekitar mereka terasa tidak wajar—terorganisir, seperti jebakan yang disengaja. Evelyn berhenti sejenak, merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
"Kau merasakannya?" bisiknya pada Leon.
Leon hanya mengangguk, matanya tajam menyapu area sekitarnya. "Mereka tahu kita kembali."
Ketegangan menggantung di udara. Pesan ancaman yang Leon terima tadi malam kembali terngiang di benaknya: "Kalian tidak akan bisa lari selamanya. Lihat apa yang akan terjadi jika kalian terus mencampuri urusan Damian."
“Ini pasti bagian dari rencana mereka,” gumam Leon sambil meraih pistolnya. Evelyn mengangguk setuju, tapi sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara keras memecah keheningan.
"Leon!" suara berat pria dengan aksen Rusia terdengar dari arah depan. "Kami sudah menunggumu."
Lampu sorot besar menyala, menyinari mereka berdua dan membuat Leon serta Evelyn tersentak. Dari balik peti kemas, beberapa pria bersenjata muncul, perlahan mengurung mereka.
"Tetap di belakangku," ujar Leon kepada Evelyn sambil bersiap menghadapi konfrontasi.
"Pilihan yang salah," sahut Evelyn, mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. "tidak mungkin saya akan diam saja."
Pertarungan pun pecah. Leon dengan cepat melepaskan tembakan ke arah pria-pria bersenjata itu, sementara Evelyn bergerak gesit, menyerang dari sisi yang lebih tersembunyi. Dermaga yang tadinya sunyi kini dipenuhi suara tembakan, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan pekikan kesakitan.
Di tengah kekacauan, seorang pria bertubuh besar muncul, mengenakan mantel kulit panjang. Matanya tajam mengawasi Leon, dan senyumnya menyeringai penuh kemenangan.
"Kau akhirnya muncul," ujar pria itu dalam bahasa Inggris dengan aksen Rusia yang tebal. "Damian akan senang mendengar bahwa kau menyerahkan dirimu sendiri."
Leon tidak menanggapi. Dengan gerakan cepat, ia menembak ke arah pria itu, tetapi pria tersebut hanya bergerak sedikit, seolah serangan itu tidak berarti apa-apa. Evelyn mencoba mendekat dari belakang, tetapi pria itu memutar tubuhnya dan dengan satu ayunan keras menghantamkan tongkat besinya ke arah Evelyn.
"Jangan sentuh dia!" teriak Leon, melompat ke arah pria itu.
Pertarungan sengit pun terjadi. Leon dan pria besar itu terlibat dalam duel fisik yang brutal. Meski Leon memiliki kecepatan dan kecerdasan, lawannya unggul dalam kekuatan mentah. Setiap pukulan yang dilepaskan pria itu terasa seperti palu yang menghantam tubuh Leon, tetapi ia tetap berdiri, pantang menyerah.
Sementara itu, Evelyn terus bertarung melawan anak buah pria itu, menggunakan kelicikannya untuk melumpuhkan mereka satu per satu. Meski lelah, ia tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Pertempuran berlanjut hingga akhirnya Leon menemukan celah. Dengan satu gerakan cepat, ia menjatuhkan pria besar itu dengan pukulan telak ke tenggorokannya, membuatnya terkapar dan kesulitan bernapas.
Leon segera menarik Evelyn yang sudah kelelahan, dan mereka berlari ke arah mobil mereka yang diparkir tidak jauh dari dermaga. Dengan napas terengah-engah, mereka melompat masuk ke dalam mobil. Leon segera menginjak pedal gas, meninggalkan area itu di tengah hujan yang semakin deras.
"Ini jebakan," kata Evelyn di sela-sela napasnya, matanya masih menatap ke arah dermaga yang semakin jauh.
Leon mengangguk, wajahnya penuh luka tapi tekadnya tidak goyah. "Tapi jebakan ini memberi tahu kita satu hal."
"Apa itu?" tanya Evelyn.
"Damian takut pada kita," jawab Leon dengan nada dingin. "Dan itu artinya kita melakukan sesuatu yang benar."
Di tengah perjalanan, keduanya menyadari bahwa langkah mereka menuju Damian semakin dekat dan semakin mematikan.
***
Cahaya pagi perlahan menyentuh permukaan laut, memecah kegelapan malam yang menyelimuti kapal penyelamat. Suara ombak yang tenang seakan menjadi pengingat bahwa, meskipun mereka selamat dari serangan sebelumnya, badai baru mungkin saja akan segera datang.Di ruang medis kapal, Hayes duduk di samping ranjang Evelyn. Matanya tetap tertuju pada layar monitor, seolah memastikan bahwa detak jantung Evelyn yang lemah masih bertahan. Wajah Evelyn tampak pucat, tetapi tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Leon, yang telah mendapatkan perawatan dasar, bersandar di tandu dengan tangan terbalut perban, matanya tetap memandangi Evelyn dengan penuh harapan.“Dia kuat,” kata Leon dengan suara serak, memecah keheningan.Hayes mengangguk pelan. “Dia selalu begitu. Tapi ini baru permulaan, Leon. Kita tidak bisa berhenti di sini.”Leon menarik napas dalam, mengabaikan rasa sakit yang menusuk di dadanya. “Apa yang kita miliki sekarang? Data itu... apakah cukup untuk mengalahkan Sokolov?”Hay
Hayes berdiri di tengah kekacauan, darah yang mengalir dari lukanya tak lagi terasa karena rasa sakit yang jauh lebih besar memenuhi hatinya. Ia menatap tubuh Claire Vega yang tergeletak tak bernyawa di sisi, wajahnya yang pernah dipenuhi dengan kebohongan kini tak bisa lagi memungkinkannya untuk menduga apa yang sebenarnya ada di balik tindakan pengkhianatannya. Kematian Claire terasa seperti sebuah pengingat betapa rapuhnya batas antara kebenaran dan kebohongan.Tim penyelamat berlarian mengelilinginya mencoba menenangkan kekacauan yang terjadi, tetapi dalam hatinya Hayes tahu tak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. Leon dan Evelyn telah hilang, tenggelam ke dalam kegelapan laut yang luas dan bahkan alam pun tidak memberikan kesempatan untuk mereka bertahan.Sementara itu, di kedalaman laut Leon merasakan tubuhnya melayang tanpa kendali. Kesadaran yang mulai memudar dan pikiran yang kabur, namun satu hal yang jelas terbayang dalam benaknya—Evelyn. Tubuhnya yang seharus
Puncak tebing itu terasa seperti ujung dunia. Angin laut yang keras memukul wajah Leon menggigit kulitnya yang sudah terluka, dan melontarkan suara riuh yang terasa jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Di punggungnya, Evelyn terkulai lemah, hanya bisa menggenggam bahunya dengan cemas. Rasa sakit dari tubuhnya yang terluka semakin menggerogoti kekuatannya, tetapi Leon tidak bisa berhenti. Tidak sampai Evelyn aman.Leon mengangkat senjatanya sambil menatap pasukan Sokolov yang semakin mendekat, setiap gerakan mereka seperti bayangan kematian yang menunggu untuk menghabisinya. Matanya berkilat dengan kebencian yang tak terhingga dan meskipun tubuhnya hampir hancur, ia tidak akan membiarkan mereka menang."Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan apa yang kau inginkan, Sokolov!" pikir Leon, giginya bergemeretak saat ia menghadap musuhnya yang sudah siap menyerang.Tembakan pertama dari pasukan Sokolov meledak, tetapi Leon sudah siap. Ia bergerak cepat, memutar tubuhnya yang sedang menggendo
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Evelyn. Tidak pernah, bahkan jika itu berarti aku harus merangkak menuju keselamatanmu."-Leon ArdianUdara di dalam gua semakin terasa berat dan lembap, seolah menekan mereka dengan ancaman yang tak terlihat. Evelyn berbaring lemah di sudut, tubuhnya menggigil meskipun keringat dingin membasahi wajahnya. Ia memandang langit-langit batu yang gelap, mencoba mengatur napas yang terputus-putus. Rasa sakit di perut dan kakinya seperti bara yang terus membakar, membuat setiap tarikan napas menjadi perjuangan."Aku menyusahkan mereka." Pikiran itu terus menghantui Evelyn, menggema di kepalanya seperti sebuah mantra yang menyiksa. Ia ingin berbicara, ingin meyakinkan Leon bahwa ia baik-baik saja, tetapi tubuhnya seolah tak lagi mendengarkan.Leon duduk bersandar di dinding gua, mengamati Evelyn dengan mata yang penuh rasa bersalah. Luka di pinggangnya berdenyut tajam, tetapi rasa sakit fisik itu nyaris tak berarti dibandingkan dengan beban yang menghimpit dada
Udara di dalam gua terasa berat, dingin, dan lembap. Bayangan dari cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah di mulut gua menciptakan pola-pola gelap di dinding batu. Suara langkah kaki musuh terdengar samar dari kejauhan, seperti lonceng kematian yang terus mendekat.Leon berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang seperti kawat yang ditarik terlalu kencang. Napasnya pendek-pendek, luka di pinggangnya semakin terasa menyakitkan, tetapi ia tidak peduli. Matanya menatap tajam ke arah hutan di luar, mencoba menangkap setiap gerakan yang mencurigakan.Di belakangnya, Evelyn terbaring di tanah dingin dengan napas berat. Tubuhnya menggigil, wajahnya pucat seperti kertas, dan kain yang membalut lukanya sudah mulai merah pekat oleh darah. Hayes berlutut di sisinya, tangan gemetar saat ia mencoba memperbaiki balutan pada luka di perut Evelyn.“Kita butuh sesuatu untuk menghentikan pendarahannya,” kata Hayes dengan nada putus asa. “Dia tidak akan bertahan lama seperti ini.”Leon tidak menjawab. R
***Hutan itu tak lagi terasa seperti tempat perlindungan. Bayangan pepohonan yang biasanya memberi ketenangan kini seperti jerat yang terus menghimpit, mengurung mereka dalam ketakutan yang tak terucapkan. Langkah kaki Leon, Evelyn, dan Hayes menyatu dengan gemerisik dedaunan, berpacu dengan suara langkah berat para pemburu di belakang mereka.“Cepat! Mereka sudah dekat!” bisik Leon sambil menoleh ke Evelyn dan Hayes. Ia menunjuk semak tebal di depan mereka. “Kita sembunyi di sana.”Mereka bertiga merunduk di balik semak-semak, menahan napas. Evelyn mencengkeram tasnya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya sudah terlalu lelah, dan rasa pening yang menyerang membuat pandangannya sedikit kabur.Hayes, yang bersembunyi di sebelah Evelyn, mencoba meredam napasnya yang memburu. Wajahnya basah oleh keringat, dan matanya melebar karena rasa takut yang tak terhindarkan.Leon, di sisi depan semak, menggenggam senjatanya dengan kekuatan yang hampir menyakitkan. Matanya tajam, m