"Arghhh!"
Dimas melempar barang-barang di ruangannya saat menerima kabar terbaru mengenai kondisi Reisa. Lelaki itu duduk di sofa sembari meremas rambut berulang kali. Ponselnya kembali berdering, setelah satu jam yang lalu tak hentinya menerima panggilan.
"Ya, Ma?"
"Kami mau ke rumah sakit. Kamu cepetan nyusul. Kita mau lihat Reisa," ucap seseorang di seberang sana.
"Tapi aku masih ada kerjaan, Ma."
"Dimas! Kamu ini gimana? Ini calon istri kamu kena musibah."
"Mama jalan aja dulu. Aku nyusul."
Dimas memutus panggilan lalu kembali ke meja kerja. Pikirannya kalut sehingga dia memutuskan untuk meninggalkan kantor dan menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan Dimas merenung sehingga tak fokus menyetir. Laki-laki itu tak mengira semua ini terjadi. Padahal, dia sudah menyewa seorang supir pribadi untuk mengantar sekaligus menjaga Reisa.
Menurut informasi yang Dimas terima, Reisa menyelinap di malam hari tanpa sepengetahuan papanya. Itulah yang paling dia sesali. Geramnya lagi, Andra benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan waktu itu, yaitu ingin menghalangi pernikahan mereka.
Dimas mengambil kunci mobil dan melajukannya ke arah rumah sakit. Dia langsung menuju ruangan tempat Reisa dirawat. Begitu tiba di depan kamar, tangan laki-laki itu gemetaran ketika hendak membuka pintu.
"Nak Dimas," ucap Sarah senang ketika melihat siapa yang datang.
Memang sejak awal Reisa dirawat, mereka sekeluarga mengharapkan agar Dimas datang membesuk untuk menguatkan. Namun, laki-laki itu baru muncul di hari ini, setelah dua hari keponakannya menginap.
"Tante," lirih Dimas.
"Reu masih tidur. Tadi habis minum obat. Nak Dimas mungkin mau lihat," harap Sarah.
Dimas berjalan mendekati ranjang pasien tempat Reisa berbaring. Kekasihnya itu terlihat begitu pucat dan lemah. Wajah cantiknya tampak layu dengan mata bengkak dan selang infus yang menancap di lengan kiri.
"Rei," bisiknya.
Dimas mengusap anak rambut yang terjuntai di kening Reisa. Dia begitu menyayangi wanita itu, tetapi hati kecilnya masih belum bisa menerima sepenuhnya.
"Tante mau keluar sebentar. Nak Dimas di sinu dulu. Temani Reisa."
Sarah melangkah meninggalkan kamar lalu mengintip sedikit untuk melihat reaksi Dimas. Dengan pelan dia menutup pintu, lalu berjalan menuju kantin.
Tadi keluarga Dimas datang membesuk Reisa. Mereka ikut terpukul melihat keadaan calon menantunya. Sarah menjelaskan secara rinci apa saja yang terjadi dan.
Keluarga mereka juga tak menyangka jika Andra tega berbuat seperti itu. Orang yang selama ini dipercaya justeru mengkhianati. Tak hanya Reisa yang menjadi korban. Kini Wisnu dipanggil oleh pihak kepolisian setelah melakukam pemukulan.
Keluarga Andra balik tak terima dan melaporkan Wisnu dengan pasal penganiayaan. Sarah hanya bisa berpasrah kepada Tuhan. Dia telah berjanji kepada kakaknya untuk menjaga Reisa.
Andra sendiri sedang terbaring di ruang perawatan rumah sakit lain karena mengalami luka parah di beberapa bagian tubuh.
Mereka menunggu hingga suasana kembali kondusif, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi proses hukum atas kasus Reisa.
***
"Mas."
Reisa membuka mata dan mendapati sang kekasih sedang duduk di sebelahnya.
Dimas mengulum senyum, lalu mengusap pipi Reisa yang basah oleh air mata. Sementara tangannya yang lain menautkan jemari mereka. Matanya berkaca-kaca, berusaha menahan tangis agar terlihat tegar. Padahal dalam hati hancur lebur.
"Mas datang."
"Iya, aku datang."
Reisa memeluk Dimas dengan erat lalu menumpahkan tangisnya. Suasana di ruangan itu begitu haru ketika dua insan itu bertemu.
Dimas merengkuh Reisa sembari mengecup dahinya dengan lembut. Dia membisikkan kata-kata untuk menguatkan.
"Aku kotor, Mas."
Dimas terdiam ketika mendengar itu. Dia tak tahu harus berucap apa. Dalam kondisi begini, tak hanya Reisa yang merasakan sakit tetapi juga dirinya.
Tadinya Dimas ingin datang dan melampiaskan amarah kepada Andra. Namun, keluarganya melarang agar masalah tak semakin panjang. Kini mereka hanya bisa berharap agar para penegak hukum bisa memberikan keadilan.
"Jangan bahas itu dulu. Yang penting kamu sehat," ucap Dimas bijak.
"Apa Mas masih mau ... nerima aku?"
Dimas tertegun, lalu membuang pandangan. Dia sendiri tak tahu harus bersikap apa. Ada banyak masalah di kantor, ditambah dengan kejadian ini membuatnya semakin pusing.
Dimas tak tahu pasti apakah pernikahan mereka akan tetap akan dilangsungkan atau ditunda.
"Mas, jawab," pinta Reisa dengan penuh harap.
"Aku gak bisa bicarakan ini sekarang."
Reisa tampak kecewa dengan jawaban Dimas dan kembali menagis sesegukan. Hingga dia kelelahan dan kembali terpejam.
***
Inah tertegun menatap Andra yang terbaring lemah di ruang perawatan. Sementara Tarno sejak tadi belum kembali ke rumah sakit karena pulang mengambil beberapa barang.
"Kenapa jadi begini Ya Allah," sesalnya.
Ada polisi yang datang mengunjungi Andra untuk memantau perkembangan kesehatannya. Kabarnya, kasus Reisa akan dilanjutkam setelah kesehatan Andra pulih.
Inah sebenarnya ingin menjenguk Reisa, tetapi kondisinya tidak memungkinkan. Dia diminta keluarga Andra untuk menjaga tuannya itu. Mereka akan datang sesekali menjenguk, lalu pulang karena kesibukan masing-masing. Sejak kedua orang tuanya meninggal, laki-laki itu memang kurang berkomunikasi dengan yang lain.
"Nah."
Bunyi ketukan di pintu membuat Inah tersadar dari lamunan. Tarno datang membawa beberapa bungkusan, lalu meletakkannya di nakas.
"Makan dulu, Nah. Gue bawain lu nasi goreng, nih," ucap Tarno saat mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong plastik.
"Gue kagak lapar, Nok. Lu aja yang makan."
"Nanti lu sakit. Siapa yang mau ngurusin? Pan berabe gue."
Inah berdiri dengan malas, lalu mengambil bungkusan itu dan meletakkannya di piring. Wanita itu memaksakan diri untuk makan walaupun semua terasa hambar. Dia terserang flu sehingga selera makannya hilang.
"Kata dokter, Den Andra udah boleh pulang besok."
"Syukur kalau gitu."
"Apanya yang syukur? Polisi udah pada nungguin," jawab Inah lesu.
"Kita berdoa aja, Nah. Moga dikasih yang terbaik aja dah. Gue juga pusing mikirinnya. Mana Pak Wisnu kena tahan juga gara-gara mukulin Den Andra."
Mereka berdua kembali terdiam dan melanjutkan makan. Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara rintihan dari ranjang.
"Rei ...."
Andra memegang kepalanya yang terasa berat. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Laki-laki mencoba duduk dan menggerakkan tangan.
"Jangan gerak dulu, Den."
Tarno meletakkan piring dan menghentikan makan, lalu membantu tuannya yang terlihat kesulitan.
"Reisa?"
Tarno menatap Inah dan bertanya dengan memberikan kode lewat mulut karena tak tahu harus berkata apa.
"Non Rei ... ada," jawab Inah singkat. Dia sendiri sama bingungnya.
"Reisa di mana? Aku ... mau ketemu."
"Nanti aja. Sekarang Den Andra kudu istirahat biar cepet sembuh," kata Tarno cepat.
"Aku--"
"Den Andra makan dulu. Ini tadi dianterin sama katering rumah sakit."
Tarno mengalihkan pembicaraan dan menyuruh Inah untuk membantu tuan mereka makan. Wanita paruh baya itu dengan sigap membuka plastik wrapping dan menyendok isinya.
Andra membuka mulut dan mulai mengunyah dengan pelan. Inah menitikkan air mata ketika menyuapi karena teringat akan masa kecil tuannya dulu.
Suasana kembali hening hingga Andra selesai makan. Sesekali Inah saling bertatapan dengan Tarno. Lalu mereka kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tarno kembali mengambil alih dan meminta tuannya berbaring, lalu menyuruhnya untuk kembali tidur. Mereka masih menunggu keluarga Andra datang agar bisa menjelaskan semua.
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i