Senyum Bianca mengembang saat dirinya duduk di balik kemudi. Hatinya benar-benar bahagia karena diberi izin pergi ke supermarket dengan Bi Rusmi. Biasanya Daniel selalu mengikuti kemanapun Bianca pergi. Sekarang tidak lagi semenjak menikah dengan Namira. "Non, tumben Pak Daniel gak ikut?" tanya Bi Rusmi heran. Setahunya, Daniel biasanya ikut kemanapun Bianca pergi. Tetapi, hari ini kenapa hanya ia dan Bianca? "Papah kan lagi jagain Namira, Bi. Oh iya, Bibi belum tau, ya? Kalau Mamihku sekarang lagi hamil." Bianca berkata sangat riang. Dia benar-benar bahagia. Ternyata dugaannya benar. Kalau Daniel punya istri baru dan punya anak, perhatiannya akan terbagi. Tidak untuk dirinya saja. "Beneran, Non?" Bi Rusmi terkejut, kedau matanya membeliak sempurna. Bibir tua itu menyunggingkan senyum. Bahagia karena dugaannya benar. "Benar dong, Bi. Tadi kami ke rumah sakit. Pas di USG katanya baru 3 Mingguan. Makanya Mamihku gak boleh capek, gak boleh banyak pikiran," ujar Bianca sumringa
Sudah sore, Bianca dan Bi Rusmi belum juga pulang. Namira dan suaminya kini tengah berada di ruang keluarga. Mereka nonton televisi sambil menunggu Bianca dan Bi Rusmi pulang. "Nomor hape Bianca gak aktif, Sayang. Mas khawatir dia kenapa-napa. Apalagi ini udah sore. Ck!" Daniel sangat resah menunggu anak kandungnya. Sedari tadi mondar-mandir menunggu Bianca pulang ke rumah. "Mas Ayang, duduk dulu. Nanti juga Bianca dan Bi Rusmi pulang. Mungkin mereka lagi kejebak macet, Mas." Namira berusaha membuat suaminya tenang, menunggu Bianca yang sampai saat ini sulit dihubungi. "Kalau macet, kenapa lama begini, Sayang? Mas benar-benar khawatir." Daniel menghempaskan b0kongnya ke sofa samping kanan Namira. Raut wajahnya sangat gelisah, berulang kali melihat pintu depan. Apa Bianca sudah pulang atau belum? "Kalau Mas khawatir, cari saja di Mall," kata Namira tanpa memandang wajah suaminya. Ia takut kalau akhirnya Daniel justru menyalahkannya karena melarang ikut belanja. Daniel m
Setelah membaca pesan dari Ferry, Bianca langsung menelepon. Ia tidak mau bertemu Ferry atau melihat lelaki itu datang ke rumahnya. "Hai, Bi. Gimana? Kamu mau ketemu di mana?" Suara Ferry langsung terdengar.Awalnya Bianca memang sempat suka pada Ferry tetapi setelah melihat sikap Ferry yang terkesan memaksa, dia jadi tidak suka. Mengatakan cinta begitu cepat padahal sebelumnya Ferry sangat menyukai Namira. Setelah tahu Namira sudah menikah, tiba-tiba saja Ferry bilang cinta padanya. Seperti Bianca tempat pelampiasan saja."Aku minta maaf. Aku gak mau ketemu sama kamu atau aku gak mau kamu datang ke rumahku," tandas Bianca tegas. Senyum Ferry yang sebelumnya mengembang, seketika sirna. Ia tidak menyangka Bianca menolak keinginannya padahal Ferry sangat yakin kalau Bianca juga suka padanya. "Kenapa, Sayang? Emang kamu gak kangen sama aku?" Muak! Bianca sangat muak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ferry. Lelaki mur4han. Mudah sekali mengungkapkan kata cinta pada wanita. "
Namira memeluk tubuh Daniel semakin erat. Ia benar-benar takut kehilangan sosok seperti Daniel. Baginya, lelaki itu adalah pelindungnya. Tempat ia berlindung di saat hatinya merasa takut dan bersedih. "Aku mau ngabisin susu dulu," kata Namira melepaskan pelukan. Menyeka air mata dengan kasar, lalu meneguk susu hingga habis. Gelas diletakkan kembali ke tempat semula. Kemudian, Namira memandang perutnya yang belum membuncit sambil mengelus lembut. "Kelak, dia akan menyayangi kita, Mas. Aku ingin, kita membesarkannya bersama-sama. Apa kamu gak mau?" Namira menoleh, menatap lekat Daniel yang memerhatikannya. Daniel tersenyum, menyentuh perut Namira. "Aku mau, Sayang." Daniel agak membungkuk, mencium perut Namira dengan lembut, penuh cinta. Namira mengusap rambut suaminya. "Nak, kamu harus sehat, jangan nakal. Jangan bikin Mamihmu kesakitan," bisik Daniel pada janin yang masih berada di dalam rahim Namira. "Sayang, malam ini kamu mau makan di luar gak? Atau masih capek?" tanya Daniel
Bianca yang tengah mengunyah mendongak, menatap tak suka pria gondrong yang berdiri di depannya. Bianca menghela napas berat, lalu melanjutkan makannya, tak peduli dengan kehadiran Ferry. Senyum Ferry sirna melihat Bianca tak peduli dengan kehadirannya. Bi Rusmi mengerutkan kening, menatap lekat lelaki yang beberapa hari lalu pernah datang ke rumah Daniel. "Ehm, Bi. kalau tau kamu mau ke sini, tadi aku jemput aja. Jadikan, kamu gak perlu makan bakso ditemenin pembantumu." Tanpa permisi, Ferry duduk di kursi yang ada di sampingnya. Bianca menyudahi makan baksonya, meski masih ada beberapa butir lagi. Ia menegak air mineral hingga setengah. "Suruh siapa kamu duduk di sini? Pergi sana!" Sangat ketus, Bianca berkata. Ferry yang sedari tadi memamerkan senyumnya, langsung meredup. Ia menghela napas, agar tidak terpancing emosi. "Aku mau temenin kamu, Bi. Masa gak boleh?""Emang gak boleh," balas Bianca cepat. Ferry tersinggung, mulutnya langsung terdiam beberapa menit. Ferry melihat
"Bi, pegangan yang kuat. Aku mau kabur!" titah Bianca pada asisten rumah tangganya yang duduk di jok sebelah. "I-iya, Non." Bianca menginjak rem, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kedua matanya sangat tajam, menatap lurus ke depan. Dua orang duduk di atas motor yang menghadang mobil Bianca terkejut melihat Bianca nekat ingin menabrak. Dua orang itu lari menghindar. Dengan kecepatan yang tinggi, Bianca menyerempet motor itu. Bianca menoleh ke belakang, melihat motor lainnya yang mengejar. "Non, mereka ngejar kita! Astaghfirullahalazim ... ya Allah lindungi kami ya Allah." Bi Rusmi memanjatkan doa. Ia berharap kalau motor-motor itu berhenti mengejar. Bianca menoleh ke belakang sekilas, lalu menancapkan gas lebih kencang lagi. Memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya, motor-motor yang mengejarnya sudah tidak terlihat. Bianca bernapas lega, terlepas dari kejaran orang yang tak dikenal. "Alhamdulillah mereka udah gak ngejar kita lagi, Non," ucap Bi Rusmi penuh rasa
"Boleh. Tanya apa, Mas Ayang?" jawab Namira mengeratkan genggaman tangannya. "Apa yang membuatmu mencintaiku? Mau jadi istriku?" Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Namira seketika sirna. Ia tak menyangka kalau Daniel mempertanyakan masalah itu. Tanpa ragu, Namira pun menjawab, "Karena kamu lelaki yang setia, lelaki yang baik, lelaki yang perhatian, lelaki yang penyabar dan lelaki yang ---" Namira menggantung kalimat, tapi bibirnya mengulum senyum. Ia merunduk, tersipu malu.Berbeda dengan Daniel, lelaki itu justru penasaran. Ingin mendengar kalimat berikutnya. "Yang apa?" Daniel penasaran. Bukannya menjawab, Namira justru menggigit bibir bagian bawah. Daniel semakin penasaran, menc1um lembut punggung tangan Namira dan kembali bertanya. "Jawab, Sayang. Yang apa?" Suara Daniel terdengar parau. Namira salah tingkah, ia mengalihkan pandangan ke arah lain, kemudian dengan suara yang pelan, Namira akhirnya menjawab, "Yang ... hm ... perkakas!" Namira menarik tangannya dari gen
Waktu aku dan papahmu keluar rumah, apa kamu ikut keluar juga?""Maksudmu ngikutin kalian? Enggaklah ...," jawab Bianca cuek, sesantai mungkin. "Bukan ngikutin tapi kamu keluar aja.""Aku baru bangun tidur, Na. Kamu ini malah nanya kayak gitu. Cerita dong, gimana dinner pertamamu? Menyenangkan gak?" Bianca sengaja mengalihkan pertanyaan. Dia tidak ingin berkata jujur atau membohongi Namira. "Menyenangkan banget. Pokoknya, so sweet. Romantis, sangat romantis.""Huh, genit!" Bianca mencubit pipi ibu sambungnya gemas. Namira cemberut, mengusap-usap bekas cubitan Bianca. "Beneran tau! Ngomong-ngomong, besok ada kelas gak? Aku kok males banget kuliah, ya? Maunya tuh di rumah terus sama papahmu. Hahaha ...." Namira tertawa lepas, malu sendiri dan tentunya sangat bahagia. Bianca menggelengkan kepala mendengar ucapan ibu sambungnya. "Males terooos ... kamu kan emang gak mau kuliah tadinya. Mau di rumah aja, bantuin Bi Rusmi.""Lah emang iya. Makanya aku males apalagi sekarang aku udah ni
"Dasar ceroboh nih anak! Makanya sebelum berangkat pastiin dulu, ada yang ketinggalan enggak?""Idih, malah dia yang marah. Lagian semalam Kakak enggak bilang suruh bawa itu. Kakak cuma suruh aku bawa seragam dan tas. Sepatu juga untung aku inget. Ya udah, kamu aja yang balik ke rumah. Ambil sana pakaian dalammu!" ucap Alea kesal pada kakaknya yang menyalahkan. Bukannya minta maaf, justru marah-marah tidak jelas. "Ck, adik nyebelin!" Axel menuju salah satu kamar yang ada di rumah Nida. Terpaksa, ia mengenakan pakaian dalam semalam. Tidak ganti. Paling juga, di jalan nanti kalau ada toko underware yang buka, ia akan beli. "Ada apa, Lea?" tanya Nida pada gadis yang duduk kembali di kursi semula. "Enggak ada apa-apa, Tante. Ah biasa, kak Axel kan emang rese! Enggak boleh banget aku menikmati sarapan di rumah Tante. Aku lanjut lagi sarapannya ya, Tan?" tanya Alea sembari menggigit roti tawar panggang yang diberi selai cokelat. "Habisin saja, Lea.""Siaaapp!"Di ruang makan, hanya ada
"Rina, tumben jam segini kamu udah di dapur?" sapa Tina pada anak semata wayangnya yang sedang memanggang roti tawar untuk Nida dan yang lainnya. "Kok tumben sih, Bu? Aku kan udah biasa bangun jam segini," timpal Rina cemberut. "Maksud Ibu, kamu ada di dapur tumben jam segini? Biasanya kan jam enam baru bantuin Ibu," jelas Tina sambil menyusun piring di atas meja makan. Rina tak menanggapi. Ia terdiam, fokus memanggang roti tawar yang sering dijadikan menu sarapan Nida. Tidak berselang lama, suara bel terdengar. Rina dan ibunya saling memandang satu sama lain. Mereka merasa aneh, ada orang yang datang bertamu di pagi buta. "Bu, Ibu saja yang bukain pintunya. Aku takut mas Rangga lagi yang datang," ucap Rina sebelum ibunya menyuruh. "Ya sudah, Ibu yang bukain pintu."Wanita yang tak lain istri sah Ferry itu berjalan cepat ke pintu depan. Suara bel kembali terdengar. Sebelum membuka pintu, Tina menghela napas panjang. Lalu ...."Assalamualikum, Ibu Tina."Tina bernapas lega karena
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar
Melihat Alea terpaku di tempat, Evan heran dan bertanya, "Kenapa kamu malah bengong, Lea?" Sikap Alea salah tingkah. Berdehem dan tersenyum kaku. Ia kembali duduk di tempat semula. Kepalanya melongok ke dalam. Memastikan tidak ada Bianca di sana. "Pa, hm ... maaf ya sebelumnya. Tapi, Papa jangan marah."Evan mengerutkan kening mendengar kalimat yang meluncur dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. "Memangnya ada apa, Lea?" telisik Evan dengan intonasi suara rendah. Evan yakin ada yang disembunyikan oleh Alea. "Sebenarnya malam ini kak Axel enggak ada di rumah, Pa." Sangat pelan, Alea berucap. Namun, Evan masih bisa mendengarnya. Kepala Evan mundur sedikit karena terkejut. "Di mana dia? Di cafe?" cecar Evan. Alea terdiam. Walau hatinya percaya Evan tidak akan memberitahu Bianca, akan tetapi Alea sedikit ragu memberitahu. Sungguh, ia khawatir Evan keceplosan. Evan sangat mencintai Bianca. Jika Bianca mendesak, pasti Evan akan menjawab tentang keberadaan Axel yang sebenarnya. A
Hari ini Bianca pulang agak malam. Jam tujuh malam baru tiba di rumah. Nida yang biasanya membantu, kini bekerja di lokasi proyek. Nida ada di kantor hanya pagi sampai jam sebelas siang saja. Setelahnya di lokasi proyek. "Kalau Nida stand by di kantor, aku enggak akan pulang malam begini. Ada-ada aja tuh orang. Segala pengen kerja di lokasi padahal kerjaan itu lebih pusing. Kenapa pula enggak diserahin ke mandor saja?" gerutu Bianca ketika melepas sepatu di dalam kamar. Beruntung, Evan suami yang penyabar dan setia. Ia membantu Bianca menyelesaikan pekerjaannya. "Nida kan udah ngasih tau alasannya, aku juga tadi ngebantuin kamu nyelesain kerjaan. Yang dilakukan Nida juga untuk kepentingan perusahaan, Sayang," sanggah Evan pada istrinya yang selalu saja terkesan menyalahkan Nida. "Kamu emang bantuin aku tapi enggak secepat pekerjaan Nida. Udahlah, aku capek! Aku mau mandi dulu, habis itu tidur! Pusing kalau bicara sama kamu," ucap Bianca kesal. Intonasi suaranya sarat akan emosi. Ev
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela