Home / Romansa / Benih Papa Sahabatku / Bab 232. Cantik Belum?

Share

Bab 232. Cantik Belum?

Author: Syatizha
last update Huling Na-update: 2025-02-26 20:31:39

Gilang masuk ke dalam cafe dengan gontai. Sedikit pun ia tak menduga jika Bianca merendahkan dirinya padahal mereka sudah saling mengenal satu sama lain.

"Lho, Bang. Kok cepat amat ke toko bukunya?" tanya Axel heran, melihat Gilang masuk ke cafe lagi. Gilang tersenyum miring.

"Enggak jadi. Alea udah pulang."

Axel mengerutkan kening, menatap Gilang lekat. Hatinya merasa ada yang aneh, seperti telah terjadi sesuatu.

"Itu kan buku penting banget buat dia ngerjain tugas."

"Enggak tau, Xel. Kamu sekarang istirahat gih! Biar Abang yang ngerjain." Gilang menggantikan posisi Axel sebagai barista. Beberapa pesanan kopi belum dikerjakan Axel. Ia menyelesaikan pesanan itu.

Axel masuk ke privat room, menghubungi Alea. Entah mengapa, Axel merasa ada yang tak beres, mengingat raut wajah Gilang berubah masam, tidak ceria seperti biasanya.

"Hallo, Kak?" Suara Alea terdengar.

"Kamu sama Bang Gilang enggak jadi ke toko buku?" selidik Axel pada kembarannya. Alea yang masih di perjalanan mendengus
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 406. Lama, Bang

    "Ini kopinya gadis cantik."Giliran Gilang yang memuji Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat tingkah gadis SMA itu. "Mamacih Abang ganteng."Gilang terkekeh menggelengkan kepala. Memerhatikan Alea yang menyeruput kopi dengan hati-hati. "Manis enggak kopinya?" "Banget. Mirip sama yang bikinnya. Ma-nis!""Hahahaha ... bisa aja kamu, Lea. Ngomong-ngomong, tumben amat enggak pulang ke rumah dulu. Nanti kalau mama kamu tau, bisa dimarahin kamu!" kata Gilang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu jauh bercanda dengan Alea. Baginya, Alea sudah dianggap selayak adik sendiri. Alea meletakkan secangkir kopi di hadapan, bibirnya mengerucut. "Sekarang aku lagi enggak betah tinggal di rumah, Bang. Enggak nyaman, enggak sebahagia dulu lagi."Keluhan Alea sama persis yang diceritakan Axel pada Gilang. Lelaki itu menghela napas berat, duduk di bangku minibar, dan menatap lekat gadis berseragam SMA . "Sabar ... mungkin ini jadi salah satu ujian buat kamu dan Axel.""Emang kak Axel

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 405. Bisa Jadi

    "Lea, aku mohon jangan marah. Kalau kamu enggak punya perasaan yang sama denganku, enggak apa-apa, Lea. Aku cuma ingin jujur aja. Apapun jawabanmu aku akan terima." Melihat reaksi Alea, Arfan secepatnya memberi penjelasan. Ia tak ingin gadis yang dicintainya itu menghindar ketika mendengar ungkapan hati. Namun, jika Arfan tidak mengungkapkan sekarang, dia tak bisa tenang. "Sorry, Fan. Aku enggak ada pikiran ke arah sana. Aku pengen fokus ke pendidikan dulu. Kalau kamu pengen sahabatan sama aku, ya enggak apa-apa. Tapi hanya sebatas itu. Enggak lebih." Setenang mungkin Alea memberi jawaban atas ungkapan hati Arfan. Lelaki itu menghela napas berat, Mengusap tengkuk, menganggukkan kepala. "Sorry," ucap Alea pelan. Arfan tersenyum, menganggukkan kepala. "Its, oke. Enggak apa-apa. Aku ngerti, Lea. Ya sudah aku cuma mau ngomong itu aja. Tapi, Lea .... ""Tapi apa?" "Kita masih bisa sahabatan 'kan?" Arfan meyakinkan. Meringis menunggu jawaban Alea. "Iya masih. Tapi hanya sekadar sahabat

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 404. Mengungkapkan

    Nida enggan menanggapi ucapan Bianca. Ia tak mau berdebat di depan orang banyak. Membiarkan Bianca dalam egonya. Haifa yang duduk di samping Nida, hanya menoleh sekilas. Kemudian, fokus kembali ke meeting selanjutnya. Haifa tahu perasaan Nida saat ini. Ia hanya berusaha menjaga harga diri dan wibawa Bianca di depan karyawan lain. Kasihan Nida, selalu saja mengalah pada wanita yang telah merawat dan membesarkan Axel dan Alea itu. Usai meeting, Nida sengaja tak langsung keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Bianca. Evan dan Haifa mengerti, kedua orang itu keluar membiarkan Nida dan Bianca berbicara. "Aku akan tetap membawa keluarga Pak Ferry," ucap Nida bersikeras mengajak keluarga itu ke Bandung. "Enggak bisa, Nida. Tadi udah aku putuskan. Kamu enggak boleh ----""Kaaak!" sela Nida kesal. Kalimat Bianca terpotong. Sorot mata Nida begitu menghujam Bianca. "Itu urusanku. Kakak jangan ikut campur! Yang penting, aku bisa kelola cabang perusahaan kita. Please lah, Kak. Jangan

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 403. Tidak diberi Izin

    "Bukan begitu, Mbak. Justru aku ngerasa gak enak hati kalau ikut pindah ke Bandung. Nanti malah ngerepotin Mbak," jelas Haifa tak ingin Nida salah paham. "Enggak ngerepotin, Haifa. Adanya kamu di sini, di dekat aku, sangat membantuku. Tapi aku juga belum ambil keputusan kapan pindahnya. Kamu kan tau, sekarang Mbak lagi proses sidang cerai. Mungkin kalau urusanku dengan mas Hanif udah selesai, barulah pindah ke Bandung. Menurutmu bagaimana?"Sengaja Nida meminta pendapat Haifa. Tujuannya agar Haifa merasa dibutuhkan. Nida yang duduk di balik kemudi menoleh sekilas. Melihat Haifa yang tampak berpikir. "Aku sih ikut apa kata Mbak saja. Tapi, baiknya memang setelah urusan perceraian Mbak dengan mas Hanif selesai, barulah kita pindah. Oh ya, Mbak. Nasib rumah tanggaku gimana? Aku juga ingin gugat cerai mas Rangga. Aku udah enggak mau berurusan dengan lelaki mokondo itu." Giliran Haifa yang meminta pendapat pada Nida. Haifa benar-benar ingin terlepas dari lelaki hidung belang macam Rangga

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 402. Rencana Pindah

    Pagi hari di paviliun.Tina mengendap-endap masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ia berniat mengembalikan handphone Rina di laci meja rias. Kebetulan saat itu, Rina masih di dalam toilet. Setelah memasukkan handphone Rina ke dalam laci meja rias, Tina bergegas keluar kamar. Ia tak ingin kepergok putrinya. "Udah disimpan, Sayang?" Ferry bertanya ketika Tina ke ruang makan. Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih pagi buta. Sebelumnya Tina sudah menyiapkan nsarapan untuk Nida, Haifa dan Rafasya. Setelah rapi, barulah menyiapkan sarapan untuk Rina dan Ferry. "Sudah, Mas," jawab Tina sambil menyendokkan nasi ke atas piring serta lauk pauk, lalu disodorkan ke depan sang suami. "Aku berharap, Rina enggak deket lagi dengan Axel. "Iya, Mas."Setelah itu, tak ada lagi yang bicara. Kedua orang tua Rina menyantap sarapan lebih dulu, tidak menunggu anaknya datang. Selang beberapa menit, suara Rina terdengar riang. "Ibu, Ayah, lihat ini!"Rina datang ke ruang makan,

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 401. Tidak Ditinggalkan

    "Oke, Kak. Makasih banyak, Kak. Sekarang aku jauh lebih tenang. Enggak kepikiran Axel terus," ucap Cassandra setelah mendengar nasihat dari kakak sambungnya. "Iya, sama-sama. Insya Allah Axel lelaki yang setia. Kalaupun dia dekat dengan Rina bukan berarti jatuh cinta lagi.""Iya, Kak. Kalau begitu, Kakak istirahat dulu. Di sana udah malam 'kan?" Sebetulnya Cassandra merasa tak enak hati malam-malam mengganggu Nida. Tetapi, sudah dua hari ia merasa resah tak berkesudahan. Ingin cerita pada Alea, ia tak enak hati. "Iya. Kamu juga jaga diri baik-baik.""Iya, Kak. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Sambungan telepon berakhir. Nida menghela napas berat. Beranjak dari balkon, masuk ke dalam kamar dan istirahat. **Jam sepuluh malam, keluarga Ferry baru pulang dari pasar malam. Mereka langsung masuk ke dalam paviliun. Tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah Rina. Selama di sana, Rina hanya berdiam diri dan menekuk wajahnya. Pikirannya benar-benar kacau. Entah mengapa, ada r

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status