"Aku gak mau mens, aku gak mau menstruasi, aku gak mau datang bulan, aku gak mau haid. Aku mau malam pertama sama Om. Aku pengen hamil benih, Om ... huhuhuhuhu ...." Namira menangis histeris menyadari darah yang keluar adalah darah menstruasi. Daniel mengenakan kaos oblong lagi, mengambil piyama dan mengenakannya. Padahal Daniel sudah mode on, tapi ....
"Jangan nangis, Na. Wajar kan kalau kamu mens. Emang udah waktunya bukan?" Daniel kembali duduk di sisi istrinya, berusaha menghibur Namira. Gadis itu menyeka air mata yang membasahi wajahnya dengan kasar. "Ta-tapi, harusnya jangan sekarang, Om. Ini kan malam pertama kitaaa ... huhuhuhu ...." Tangisan Namira kembali pecah. Daniel menghela napas berat, memeluk tubuh istrinya, menc1um puncak kepala Namira dengan lembut. "Enggak apa-apa. Gak bisa malam sekarang, masih ada malam besok-besok. Udah, ya ... jangan nangis." Daniel menangkupkan kedua pipi Namira, mencium lembut kening gadis itu. Tangisan Namira mulai reda meski masih terisak-isak. "Sekarang kamu pakai pembalut dulu. Takutnya nanti darahnya tambah banyak," ujar Daniel menatap lekat istrinya. "Aku gak punya pembalut." "Om mintain ke Bianca. Kamu tunggu di sini." Namira menganggukkan kepala. Membiarkan Daniel keluar kamar, meminta pembalut pada anak tunggalnya. Sebenarnya Daniel malu minta pembalut pada Bianca tapi mau bagaimana lagi? Namira pasti tidak mau jika dia sendiri yang minta. Pintu kamar Bianca terbuka setelah beberapa kali diketuk. "Papah? Ada apa?" tanya Bianca sambil menutup mulut dengan sebelah tangan karena menguap. Kedua matanya memerah menahan kantuk. "Maaf, Papah ganggu tidurmu, Nak." "Enggak apa-apa, Pah," kata Bianca bersandar di ambang pintu, kedua matanya terpejam. "Papah ... Papah ke sini mau, mau itu, Bi ... hmm ... mau minta pembalut." Kedua mata Bianca langsung terbuka lebar, berdiri tegak, menatap papanya tanpa berkedip. "Apa, Pah? Pembalut?" tanya Bianca terkejut setengah mati. Rasa kantuk yang sebelumnya menyerang, mendadak hilang. Daniel meringis, menganggukkan kepala. "Pem-pembalut buat siapa? Buat Bi Rusmi?" Bianca berharap, bukan sahabatnya yang menstruasi tapi asisten rumah tangganya. "Bukan, Bianca ... masa Bi Rusmi mens, Papah yang mintain pembalutnya. Kamu ini ada-ada aja." "Terus buat siapa dong?" "Buat Namira." "Hah?" Mulut Bianca menganga, kedua matanya melotot tak berkedip. "Namira menstruasi. Dia gak punya persediaan pembalut. Kamu punya 'kan?" Daniel berusaha setenang mungkin. Ia tahu kalau Bianca sangat mengharapkan Namira hamil dari benihnya tapi apa mau dikata, malam ini mereka tidak bisa usaha produksi padahal beberapa menit lalu, Daniel sudah bersiap meluncurkan rudalnya. "Pu-punya, Pah. Tunggu sebentar!" Bianca masuk ke kamar sambil menggerutu. "Duh, kenapa Namira malah mens sih? Gak bisa apa tuh mens-nya dipending dulu? Gagal punya adik cepet ini mah! Kalau gak bisa punya adik cepet, aku gak bisa cepet pindah kuliah keluar kota juga. Ah, Namira ada-ada aja." Setelah mengambil pembalut, Bianca kembali menemui papanya yang menunggu di depan pintu kamar. "Pah, ini pembalutnya," ucap Bianca, wajahnya terlihat masam. "Makasih, Nak. Sekarang kamu lanjut tidur. Besok kamu dan Namira harus kuliah." "Iya, Pah," timpal Bianca lemah. Ia kemudian menutup pintu kamar, berjalan ke ranjang dengan lesu. Sampai di dalam kamar, Namira masih saja menangis. Ia merasa gagal melakukan malam pertama dengan lelaki yang dicintainya. "Ini pembalutnya. Pake dulu, ya? Jangan nangis terus, nanti kepalamu pusing." "Sedih tau, Om! Coba kalau tadi Om gak ke kantor dulu! Kita pasti udah ... argh, kesel!" Namira beranjak, tanpa menunggu tanggapan Daniel. Lelaki yang usianya hampir setengah abad itu menarik napas panjang, menggelengkan kepala. Setelah memakai pemb4lut, Namira beranjak naik ke atas tempat tidur. Ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya, membelakangi Daniel. Hatinya masih saja menyalahkan Daniel yang lebih mementingkan pekerjaannya dari pada dirinya yang sekarang sudah sah menjadi istri. "Kamu marah, Na?" "Jangan panggil aku 'Na' lagi! Aku bukan anakmu!" tukas Namira kesal. Suaranya terdengar ketus. Lagi, Daniel hanya menghela napas berat. Ia menoleh, memandang punggung istrinya. "Terus Om panggil kamu apa? Om kan biasa panggil kamu, Na!" "Ya tapi, kedengarannya kayak 'Nak! Anak'" Lagi, suara Namira meninggi. Daniel garuk-garuk kepala. Bingung, mencari cara membujuk istri tercintanya. "Tapi, Om sayang sama kamu, Na. Eh, Namira," ungkap Daniel, masih takut menyentuh Namira. "Sayang doang, cinta enggak!" sanggah Namira menyeka air matanya lagi. "Siapa bilang Om gak cinta? Om cinta sama Namira?" Sepersekian detik, terjadi keheningan. Namira tak menyanggah atau mengucapkan kata-kata. Daniel memberanikan diri, memeluk tubuh Namira dari belakang. "Om minta maaf, tadi kesannya lebih mentingin kerjaan dari pada kamu. Tapi, di kantor tadi lagi ada masalah cukup besar. Maaf, ya, Namira?" Kali ini, Daniel menyebut nama Namira dengan lengkap, takut istrinya marah lagi. "Hm." Hanya itu tanggapan Namira. "Masih marah?" Hening, tidak ada jawaban. "Mau es krim gak? Di kulkas masih ada. Kalau mau, Om ambilin." Namira menggelengkan kepala. "Ya udah, kamu tidur, ya?" Daniel mengecup puncak kepala istrinya. Namira membalikkan badan, mereka kini berhadapan. Daniel membelai wajah Namira yang masih dibasahi air mata. "Sekarang tidur, besok kamu harus kuliah." "Aku gak mau kuliah ...," ucap Namira memeluk tubuh Daniel. "Harus kuliah. Kamu harus menyelesaikan pendidikanmu. Sekarang kamu tidur, oke?" "Enggak mau tidur." "Emang belum ngantuk?" Namira mendongak, memandang lelaki yang telah lama dikenalnya. "Belum. Aku gak bisa tidur kalau ... kalau Om belum c1um ini, ini, ini dan ini." Jari Namira menunjuk kening, pipi kiri, pipi kanan dan bibirnya. Daniel tersenyum, dengan senang hati menuruti keinginan sang istri. "Hwoaaaam." Namira menguap, menutup mulutnya dengan sebelah tangan "Sekarang aku udah ngantuk. Tapi, bobonya pengen dipeyuk teyuuuusss ...," ucap Namira memeluk tubuh Daniel yang masih kekar. Daniel terkekeh mendengar bahasa manja Namira. Ia menarik tubuh istrinya dalam pelukan. "Iya, Om peyuk. Nih, Om peyuk. Namira sekarang bobo." "Om?" "Iya?" "Bisa gak, panggil aku Ayang atau Bebeb gitu?" Permintaan Namira membuat Daniel risih. Ia tidak terbiasa mengatakan kata itu. Baginya terasa alay atau berlebihan. "Harus dua kata itu?" "Gak mau?" Bibir Namira cemberut lagi. Melepaskan pelukan suaminya. Mengubah posisi menjadi telentang sambil bersidekap. "Bukan enggak mau. Gimana kalau Om panggil Sayang aja? Namira Sayang, kita bobo sekarang. Sini, Om peluk lagi." Namira mengulum senyum, mendekatkan diri, dipeluk suaminya. "Namira Sayang, apa Om boleh tanya?" Tiba-tiba saja, Daniel teringat sesuatu. Meski ragu dan malu, sepertinya Daniel harus tahu. "Mau tanya apa?" Namira mendongak, memandang Daniel yang masih terlihat ketampanannya meski usianya sudah tak lagi muda. "Hm ... kalau ...." Daniel tampak ragu bertanya. "Kalau apa?" tanya Namira tak sabaran. Daniel merunduk, melihat wajah cantik istrinya yang masih segar dan sangat muda. "Kalau kamu mens, biasanya sampai berapa hari? Enggak sampai tujuh hari 'kan?" *** Maaf ya sebelumnya salah posting"Eh, ngapain kamu masih di sini? Pulang sana!" Axel tiba-tiba muncul. Mengusir adiknya yang tengah ngobrol asik dengan Gilang. "Apaan sih? main ngusir orang aja. Kakak juga enggak pulang. Kalau kamu pulang, aku pulang," tandas Alea bersidekap. Axel menggelengkan kepala sambil berujar, "Terserah!"Axel menghampiri Ferry yang tengah melayani salah satu pengunjung. Alea menelisik Axel yang berbincang serius dengan ayah kandung Rina. "Bang, Bang Gilang?""Hm?""Kak Axel jadian ya sama si Rina?" tanya Alea setengah berbisik. "Rina? Rina siapa?" telisik Gilang menatap lekat Alea yang tengah memerhatikan Axel dan Ferry. "Rina anaknya pak Ferry. Emang Abang enggak kenal?""Oohh ... kenal. Beberapa kali Rina datang ke sini. Kayaknya Axel enggak ada hubungan apa-apa sama Rina. Cuma temenan aja. Axel lebih sering cerita Cassandra dari pada Rina.""Ooohh ...." Terlihat Axel berjalan ke arah Alea. Gadis itu membalikkan badan, menghadap Gilang dan menyeruput kopi hingga tandas. Axel masuk ke
"Ini kopinya gadis cantik."Giliran Gilang yang memuji Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat tingkah gadis SMA itu. "Mamacih Abang ganteng."Gilang terkekeh menggelengkan kepala. Memerhatikan Alea yang menyeruput kopi dengan hati-hati. "Manis enggak kopinya?" "Banget. Mirip sama yang bikinnya. Ma-nis!""Hahahaha ... bisa aja kamu, Lea. Ngomong-ngomong, tumben amat enggak pulang ke rumah dulu. Nanti kalau mama kamu tau, bisa dimarahin kamu!" kata Gilang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu jauh bercanda dengan Alea. Baginya, Alea sudah dianggap selayak adik sendiri. Alea meletakkan secangkir kopi di hadapan, bibirnya mengerucut. "Sekarang aku lagi enggak betah tinggal di rumah, Bang. Enggak nyaman, enggak sebahagia dulu lagi."Keluhan Alea sama persis yang diceritakan Axel pada Gilang. Lelaki itu menghela napas berat, duduk di bangku minibar, dan menatap lekat gadis berseragam SMA . "Sabar ... mungkin ini jadi salah satu ujian buat kamu dan Axel.""Emang kak Axel
"Lea, aku mohon jangan marah. Kalau kamu enggak punya perasaan yang sama denganku, enggak apa-apa, Lea. Aku cuma ingin jujur aja. Apapun jawabanmu aku akan terima." Melihat reaksi Alea, Arfan secepatnya memberi penjelasan. Ia tak ingin gadis yang dicintainya itu menghindar ketika mendengar ungkapan hati. Namun, jika Arfan tidak mengungkapkan sekarang, dia tak bisa tenang. "Sorry, Fan. Aku enggak ada pikiran ke arah sana. Aku pengen fokus ke pendidikan dulu. Kalau kamu pengen sahabatan sama aku, ya enggak apa-apa. Tapi hanya sebatas itu. Enggak lebih." Setenang mungkin Alea memberi jawaban atas ungkapan hati Arfan. Lelaki itu menghela napas berat, Mengusap tengkuk, menganggukkan kepala. "Sorry," ucap Alea pelan. Arfan tersenyum, menganggukkan kepala. "Its, oke. Enggak apa-apa. Aku ngerti, Lea. Ya sudah aku cuma mau ngomong itu aja. Tapi, Lea .... ""Tapi apa?" "Kita masih bisa sahabatan 'kan?" Arfan meyakinkan. Meringis menunggu jawaban Alea. "Iya masih. Tapi hanya sekadar sahabat
Nida enggan menanggapi ucapan Bianca. Ia tak mau berdebat di depan orang banyak. Membiarkan Bianca dalam egonya. Haifa yang duduk di samping Nida, hanya menoleh sekilas. Kemudian, fokus kembali ke meeting selanjutnya. Haifa tahu perasaan Nida saat ini. Ia hanya berusaha menjaga harga diri dan wibawa Bianca di depan karyawan lain. Kasihan Nida, selalu saja mengalah pada wanita yang telah merawat dan membesarkan Axel dan Alea itu. Usai meeting, Nida sengaja tak langsung keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Bianca. Evan dan Haifa mengerti, kedua orang itu keluar membiarkan Nida dan Bianca berbicara. "Aku akan tetap membawa keluarga Pak Ferry," ucap Nida bersikeras mengajak keluarga itu ke Bandung. "Enggak bisa, Nida. Tadi udah aku putuskan. Kamu enggak boleh ----""Kaaak!" sela Nida kesal. Kalimat Bianca terpotong. Sorot mata Nida begitu menghujam Bianca. "Itu urusanku. Kakak jangan ikut campur! Yang penting, aku bisa kelola cabang perusahaan kita. Please lah, Kak. Jangan
"Bukan begitu, Mbak. Justru aku ngerasa gak enak hati kalau ikut pindah ke Bandung. Nanti malah ngerepotin Mbak," jelas Haifa tak ingin Nida salah paham. "Enggak ngerepotin, Haifa. Adanya kamu di sini, di dekat aku, sangat membantuku. Tapi aku juga belum ambil keputusan kapan pindahnya. Kamu kan tau, sekarang Mbak lagi proses sidang cerai. Mungkin kalau urusanku dengan mas Hanif udah selesai, barulah pindah ke Bandung. Menurutmu bagaimana?"Sengaja Nida meminta pendapat Haifa. Tujuannya agar Haifa merasa dibutuhkan. Nida yang duduk di balik kemudi menoleh sekilas. Melihat Haifa yang tampak berpikir. "Aku sih ikut apa kata Mbak saja. Tapi, baiknya memang setelah urusan perceraian Mbak dengan mas Hanif selesai, barulah kita pindah. Oh ya, Mbak. Nasib rumah tanggaku gimana? Aku juga ingin gugat cerai mas Rangga. Aku udah enggak mau berurusan dengan lelaki mokondo itu." Giliran Haifa yang meminta pendapat pada Nida. Haifa benar-benar ingin terlepas dari lelaki hidung belang macam Rangga
Pagi hari di paviliun.Tina mengendap-endap masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ia berniat mengembalikan handphone Rina di laci meja rias. Kebetulan saat itu, Rina masih di dalam toilet. Setelah memasukkan handphone Rina ke dalam laci meja rias, Tina bergegas keluar kamar. Ia tak ingin kepergok putrinya. "Udah disimpan, Sayang?" Ferry bertanya ketika Tina ke ruang makan. Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih pagi buta. Sebelumnya Tina sudah menyiapkan nsarapan untuk Nida, Haifa dan Rafasya. Setelah rapi, barulah menyiapkan sarapan untuk Rina dan Ferry. "Sudah, Mas," jawab Tina sambil menyendokkan nasi ke atas piring serta lauk pauk, lalu disodorkan ke depan sang suami. "Aku berharap, Rina enggak deket lagi dengan Axel. "Iya, Mas."Setelah itu, tak ada lagi yang bicara. Kedua orang tua Rina menyantap sarapan lebih dulu, tidak menunggu anaknya datang. Selang beberapa menit, suara Rina terdengar riang. "Ibu, Ayah, lihat ini!"Rina datang ke ruang makan,