Beranda / Romansa / Benih Papa Sahabatku / Bab 2. Bercak Darah

Share

Bab 2. Bercak Darah

Penulis: Syatizha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 08:47:37

Namira mengembuskan napas kecewa. Ia beranjak dari pangkuan suaminya. Menunggu Daniel selesai bicara di sambungan telepon.

"Telepon dari siapa, Om?" tanya Namira setelah suaminya selesai menerima panggilan telepon.

"Dari orang kantor. Aku harus ke kantor sekarang."

"Aku gimana?" cegah Namira, mencondongkan tubuh ke depan. 

"Om harus cepat-cepat kantor, nanti aja, ya?"

"C1um dulu!" Namira menarik lengan Daniel. Lelaki yang usianya hampir setengah baya itu, lagi-lagi menarik napas panjang. 

Daniel menghadap Namira yang tersenyum manis, lalu mendaratkan k3cupan pada kening.

"Pipi kanannya belum." Namira mencondongkan pipinya tepat di depan bibir sang suami sambil berjinjit. Daniel meng3cup pipi kanan istrinya.

"Yang kiri belum," kata Namira lagi. Daniel menggelengkan kepala, tapi tetap ia lakukan.

"Udah, ya? Om harus cepat-cepat ke kantor, ada masalah besar."

"Satu lagi. Yang ini belum!" Namira mengacuhkan ucapan Daniel. Ia menunjuk bib1r mungilnya.

"Kalau ini nanti, ya?"

"Gak mau! Maunya sekarang!"

Daniel merunduk, lalu meng3cup singkat. Namira tersenyum bahagia. 

"Bentaran amat, Om? Lamaan dikit ke!" Protes Namira cemberut.

"Nanti, ya? Sekarang Om buru-buru."

"Iya deh."

Namira dan Daniel keluar ruangan kerja. Mengantar sang suami sampai depan rumah. Lalu melambaikan tangan ketika kendaraan yang ditumpangi Daniel meninggalkan halaman rumah.

Namira masuk ke dalam rumah. Perasaannya agak kecewa dan kesal. Ia tak menyangka kalau Daniel lebih mementingkan pekerjaan dari pada dirinya. Padahal ini malam pertama mereka, tapi masih saja kerja.

"Mamih!" Panggilan Bianca membuat langkah kaki Namira terhenti.

"Jangan panggil aku Mamih kalau enggak di depan papamu, Bi. Geli tau gak!" cibir Namira. Bianca terkekeh, mendengar protes yang diucapkan ibu sambungnya.

"Ya maaf. Kamu kan emang Mamih-ku," ucap Bianca menjawil dagu Namira. Gadis berusia 19 tahun itu mengusap bekas jawilan anak sambungnya. 

"Tapi geli dengernya."

"Eh, Papah kemana? Tadi aku lihat dari balkon kamar, Papah pergi ya?" tanya Bianca memastikan. Bibir Namira langsung mengerucut kesal. 

"Iya. Dia pergi pas terima telepon dari seseorang."

"Hah? Seseorang? Jangan-jangan telepon dari janda expired?" Pekik Bianca, kedua matanya hampir saja melompat. Berbeda dengan Namira, gadis itu justru memicingkan kedua mata. Tidak mengerti istilah janda yang baru saja Bianca ucapkan.

"Janda expired? Maksudmu Janda kadaluarsa?" 

"Iya. Janda yang udah kadaluarsa, udah alot."

"Siapa?"

"Tante Mutiara." Sangat santai, Bianca menyebut nama tante-tante yang usianya 45 tahun, yang rajin ngejar papanya, yang tak pernah bosan menggoda Daniel Bragastara.

"Astaghfirullah, Bian ... kamu ini ada-ada aja. Masa ada janda kadaluarsa, janda expired, janda alot? Gak boleh gitu tau!"

"Yeh bodo amat. Emang nyatanya gitu sih. Kamu belum pernah ketemu dia, Na. Kalau kamu dia, kayak Ulet bulu. Kegatelan."

Namira terdiam, membayangkan Daniel yang kini pergi ke kantor, dan kemungkinan besar bertemu dengan janda alot, janda ulat bulu. 

"Na, apa iya, papahmu mau ketemu dia?"

"Ya gak tau. Mudah-mudahan sih enggak. Tapi tenang, Na ... papahku imannya kuat kok. Enggak bakalan tergiur apalagi sama dia. Ya udah deh aku mau tidur, ngantuk. Mamih mau kelonin aku enggak?" goda Bianca bertingkah seperti anak kecil.

"Idih, amit. Punya anak sambung manjanya nauzubillah. Tidur sana! Aku mau nunggu sang pangeran pulang dulu. Bye, anakku tersayang," ujar Namira melambaikan tangan pada Bianca yang tertawa lepas.

*** 

Sudah pukul sebelas malam, Daniel belum juga pulang. Namira yang menunggu kepulangan sang suami, berdiri, menyibak gorden. Melihat gerbang, tidak ada tanda-tanda kendaraan suaminya datang. Hanya terlihat dua security yang duduk di pos jaga. Namira menghela napas berat. Pesan dan teleponnya diabaikan Daniel. 

"Apakah dia sesibuk itu?" gumam Namira sambil melihat deretan pesannya yang masih saja ceklis dua tanpa warna. 

"Duh, perut malah sakit lagi padahal tadi udah makan. Apa jangan-jangan masuk angin, ya? ya elah, baru aja begadang jam segini, udah masuk angin?" gerutu Namira mengelus-elus perutnya. 

Namira kembali duduk di sofa ruang tamu, ia menselonjorkan kedua kaki. Membuka beberapa aplikasi sosial media. 

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan jam setengah satu malam. Namira mulai menguap. Ia mengucek kedua mata yang terasa perih dan gatal akibat melihat layar handphone terlalu lama. Namira duduk, merentangkan kedua tangan. Lalu, ia kembali berdiri, menyibak gorden. Masih belum ada tanda-tanda suaminya pulang.

"Ck, Om-om itu kemana sih? Masa kerja sampe tengah malam begini? Payah banget. Nganten baru bukannya mesra-mesraan, malah ditinggal kerja. Ck, payah ...."

Namira menghentak-hentakkan kedua kaki. Lalu, samar-samar ia mendengar suara derum mobil. Bibir Namira mengembangkan senyum. Raut wajahnya sumringah, menyambut kepulangan suami. 

Namira bergegas membuka kunci pintu, terlihatlah sosok yang dia tunggu beberapa jam lamanya. Namira langsung menghambur dalam pelukan Daniel hingga tubuh lelaki itu sedikit terhuyung. 

"Kamu belum tidur?" tanya Daniel. 

"Belum. Aku kan istri yang baik, yang cantik, yang menarik, yang soleha, yang setia menunggu kepulangan suami tercintanya," jawab Namira genit. Ia melepaskan pelukan, menggamit lengan Daniel.

Namira sudah sangat yakin hatinya telah jatuh cinta pada Daniel meskipun usia lelaki itu jauh lebih tua darinya. Namira tidak peduli. Baginya, cinta Namira pada Daniel selayak cinta seorang gadis pada seorang pemuda. 

"Tapi, gak perlu kayak gini, Na. Kalau kamu ngantuk, tidur saja. Nanti kalau kamu kena angin malam, kamu jatuh sakit, gimana?" timpal Daniel mencubit ujung hidung istrinya. 

"Kenapa yang dicubit hidung mulu sih, Om?" tanya Namira mengulum senyum malu. Ia masih mengeratkan tangannya pada lengan Daniel. 

"Om mau kunci pintu dulu."

Senyum Namira langsung mengerucut, mendengar Daniel yang tidak menimpali ucapannya. Daniel justru mengalihkan pembicaraan. 

Setelah pintu dikunci, Namira kembali menggamit lengan suaminya. 

"Om Ayang?" panggil Namira dengan senyum mengembang. 

"Iya?"

"Tadi kenapa, pesanku gak dibalas? Teleponku gak diangkat? Emang sibuk banget ya? sampe telepon dan pesan dari istri enggak diangkat? Iya?" cecar Namira dengan beberapa pertanyaan. 

"Hapeku ketinggalan. Tadi kan buru-buru pergi. Ketinggalan di ruang kerja."

"Oh pantesan ... duh, kirain aku, Om Ayang lupa."

Masuk ke dalam kamar, Daniel membuka sepatu dan membuka kancing kemeja yang dikenakan. Namun, gerakan tangan Daniel dicegah Namira. 

"Aku aja yang bukain ya, Om?" pinta Namira, menunjukkan senyum termanisnya. Daniel langsung salah tingkah, ia tak bisa berkutik. Membiarkan istrinya melakukan apapun yang diinginkan. 

Sampai akhirnya mereka berdua terlena. Keduanya sudah berada di atas peraduan. Tiba-tiba Daniel terkejut.

"Darah?" gumam Daniel, melihat darah di pakaian dalam Namira. Gadis itu terlonjak, langsung duduk.

"Hah? Darah apa?" pekik Namira, menatap heran pada benda yang dipegang Daniel. Ia mengambil benda itu, memerhatikan lekat. Darah apa itu?

Daniel berpikir sejenak lalu tercetus pertanyaan, "Kamu lagi menstruasi, Na?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Kasihan banget Namira dicuekin sm om Daniel.
goodnovel comment avatar
Harsa Amerta Nawasena
Hahahaha, gagal deh mlm pertama, padahal udh di ubun-ubun
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 407. Menutup Mata

    "Eh, ngapain kamu masih di sini? Pulang sana!" Axel tiba-tiba muncul. Mengusir adiknya yang tengah ngobrol asik dengan Gilang. "Apaan sih? main ngusir orang aja. Kakak juga enggak pulang. Kalau kamu pulang, aku pulang," tandas Alea bersidekap. Axel menggelengkan kepala sambil berujar, "Terserah!"Axel menghampiri Ferry yang tengah melayani salah satu pengunjung. Alea menelisik Axel yang berbincang serius dengan ayah kandung Rina. "Bang, Bang Gilang?""Hm?""Kak Axel jadian ya sama si Rina?" tanya Alea setengah berbisik. "Rina? Rina siapa?" telisik Gilang menatap lekat Alea yang tengah memerhatikan Axel dan Ferry. "Rina anaknya pak Ferry. Emang Abang enggak kenal?""Oohh ... kenal. Beberapa kali Rina datang ke sini. Kayaknya Axel enggak ada hubungan apa-apa sama Rina. Cuma temenan aja. Axel lebih sering cerita Cassandra dari pada Rina.""Ooohh ...." Terlihat Axel berjalan ke arah Alea. Gadis itu membalikkan badan, menghadap Gilang dan menyeruput kopi hingga tandas. Axel masuk ke

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 406. Lama, Bang

    "Ini kopinya gadis cantik."Giliran Gilang yang memuji Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat tingkah gadis SMA itu. "Mamacih Abang ganteng."Gilang terkekeh menggelengkan kepala. Memerhatikan Alea yang menyeruput kopi dengan hati-hati. "Manis enggak kopinya?" "Banget. Mirip sama yang bikinnya. Ma-nis!""Hahahaha ... bisa aja kamu, Lea. Ngomong-ngomong, tumben amat enggak pulang ke rumah dulu. Nanti kalau mama kamu tau, bisa dimarahin kamu!" kata Gilang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu jauh bercanda dengan Alea. Baginya, Alea sudah dianggap selayak adik sendiri. Alea meletakkan secangkir kopi di hadapan, bibirnya mengerucut. "Sekarang aku lagi enggak betah tinggal di rumah, Bang. Enggak nyaman, enggak sebahagia dulu lagi."Keluhan Alea sama persis yang diceritakan Axel pada Gilang. Lelaki itu menghela napas berat, duduk di bangku minibar, dan menatap lekat gadis berseragam SMA . "Sabar ... mungkin ini jadi salah satu ujian buat kamu dan Axel.""Emang kak Axel

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 405. Bisa Jadi

    "Lea, aku mohon jangan marah. Kalau kamu enggak punya perasaan yang sama denganku, enggak apa-apa, Lea. Aku cuma ingin jujur aja. Apapun jawabanmu aku akan terima." Melihat reaksi Alea, Arfan secepatnya memberi penjelasan. Ia tak ingin gadis yang dicintainya itu menghindar ketika mendengar ungkapan hati. Namun, jika Arfan tidak mengungkapkan sekarang, dia tak bisa tenang. "Sorry, Fan. Aku enggak ada pikiran ke arah sana. Aku pengen fokus ke pendidikan dulu. Kalau kamu pengen sahabatan sama aku, ya enggak apa-apa. Tapi hanya sebatas itu. Enggak lebih." Setenang mungkin Alea memberi jawaban atas ungkapan hati Arfan. Lelaki itu menghela napas berat, Mengusap tengkuk, menganggukkan kepala. "Sorry," ucap Alea pelan. Arfan tersenyum, menganggukkan kepala. "Its, oke. Enggak apa-apa. Aku ngerti, Lea. Ya sudah aku cuma mau ngomong itu aja. Tapi, Lea .... ""Tapi apa?" "Kita masih bisa sahabatan 'kan?" Arfan meyakinkan. Meringis menunggu jawaban Alea. "Iya masih. Tapi hanya sekadar sahabat

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 404. Mengungkapkan

    Nida enggan menanggapi ucapan Bianca. Ia tak mau berdebat di depan orang banyak. Membiarkan Bianca dalam egonya. Haifa yang duduk di samping Nida, hanya menoleh sekilas. Kemudian, fokus kembali ke meeting selanjutnya. Haifa tahu perasaan Nida saat ini. Ia hanya berusaha menjaga harga diri dan wibawa Bianca di depan karyawan lain. Kasihan Nida, selalu saja mengalah pada wanita yang telah merawat dan membesarkan Axel dan Alea itu. Usai meeting, Nida sengaja tak langsung keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Bianca. Evan dan Haifa mengerti, kedua orang itu keluar membiarkan Nida dan Bianca berbicara. "Aku akan tetap membawa keluarga Pak Ferry," ucap Nida bersikeras mengajak keluarga itu ke Bandung. "Enggak bisa, Nida. Tadi udah aku putuskan. Kamu enggak boleh ----""Kaaak!" sela Nida kesal. Kalimat Bianca terpotong. Sorot mata Nida begitu menghujam Bianca. "Itu urusanku. Kakak jangan ikut campur! Yang penting, aku bisa kelola cabang perusahaan kita. Please lah, Kak. Jangan

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 403. Tidak diberi Izin

    "Bukan begitu, Mbak. Justru aku ngerasa gak enak hati kalau ikut pindah ke Bandung. Nanti malah ngerepotin Mbak," jelas Haifa tak ingin Nida salah paham. "Enggak ngerepotin, Haifa. Adanya kamu di sini, di dekat aku, sangat membantuku. Tapi aku juga belum ambil keputusan kapan pindahnya. Kamu kan tau, sekarang Mbak lagi proses sidang cerai. Mungkin kalau urusanku dengan mas Hanif udah selesai, barulah pindah ke Bandung. Menurutmu bagaimana?"Sengaja Nida meminta pendapat Haifa. Tujuannya agar Haifa merasa dibutuhkan. Nida yang duduk di balik kemudi menoleh sekilas. Melihat Haifa yang tampak berpikir. "Aku sih ikut apa kata Mbak saja. Tapi, baiknya memang setelah urusan perceraian Mbak dengan mas Hanif selesai, barulah kita pindah. Oh ya, Mbak. Nasib rumah tanggaku gimana? Aku juga ingin gugat cerai mas Rangga. Aku udah enggak mau berurusan dengan lelaki mokondo itu." Giliran Haifa yang meminta pendapat pada Nida. Haifa benar-benar ingin terlepas dari lelaki hidung belang macam Rangga

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 402. Rencana Pindah

    Pagi hari di paviliun.Tina mengendap-endap masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ia berniat mengembalikan handphone Rina di laci meja rias. Kebetulan saat itu, Rina masih di dalam toilet. Setelah memasukkan handphone Rina ke dalam laci meja rias, Tina bergegas keluar kamar. Ia tak ingin kepergok putrinya. "Udah disimpan, Sayang?" Ferry bertanya ketika Tina ke ruang makan. Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih pagi buta. Sebelumnya Tina sudah menyiapkan nsarapan untuk Nida, Haifa dan Rafasya. Setelah rapi, barulah menyiapkan sarapan untuk Rina dan Ferry. "Sudah, Mas," jawab Tina sambil menyendokkan nasi ke atas piring serta lauk pauk, lalu disodorkan ke depan sang suami. "Aku berharap, Rina enggak deket lagi dengan Axel. "Iya, Mas."Setelah itu, tak ada lagi yang bicara. Kedua orang tua Rina menyantap sarapan lebih dulu, tidak menunggu anaknya datang. Selang beberapa menit, suara Rina terdengar riang. "Ibu, Ayah, lihat ini!"Rina datang ke ruang makan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status