Pukul tujuh malam, Daniel dan rekan kerjanya selesai meeting. Namira yang sedari tadi berdiam diri di meja restoran yang tak jauh dari suaminya menghela napas lega. Pinggangnya terasa pegal, kelamaan duduk. Mau bagaimana lagi, dia tidak mau jauh-jauh dari sang suami apalagi ada wanita yang kegatelan pada Daniel, Mutiara Indah namanya. Wanita yang sudah tidak muda lagi tapi tak tahu diri. "Terima kasih atas kerja samanya lagi, Pak Daniel. Saya harap, proyek yang sekarang kita garap berjalan dengan lancar," ucap Wijayanto ketika berjabat tangan. "Aamiin. Semoga saja, Pak. Kalau begitu saya pamit. Yuda, Muti, saya pulang duluan.""Baik, Pak Daniel." Hanya Yuda yang menimpali ucapan Daniel. Mutiara tampak tidak suka melihat Daniel dan Namira pulang berbarengan. Namira menghampiri meja Wijayanto, ia pamit pulang dengan sopan. Tentu saja sikap Namira membuat hati Daniel bahagia. Memiliki istri yang tahu adab dan tata krama.Keduanya keluar restoran dengan senyum bahagia. Tangan Namira se
Sampai di halaman rumah, terlihat Evan dan Bianca yang tengah fokus pada layar laptop. Mereka pasti sedang menyelesaikan tugas dari dosen. "Assalamualaikum," ujar Namira riang, menyelipkan tangan pada lengan suaminya. Namira bahagia melihat kedekatan Evan dan Bianca. Dalam hati, Namira berharap Evan lah jodoh anak sambungnya. Paling tidak jika Evan sudah resmi menjadi suami Bianca, Daniel tidak akan terlalu posesif. "Waalaikumsalam," jawab Evan dan Bianca berbarengan. "Selamat malam, Pak Daniel," sapa Evan berdiri, setengah membungkuk."Malam." Pandangan Daniel pada Evan dan Bianca bergantian. Lalu suaranya yang berat, kembali berkata. "Sekarang lebih baik kamu pulang, Van. Enggak enak dilihat tetangga kalau udah malam begini kamu masih di sini. Berduaan sama Bian," ujar Daniel tegas, tanpa berbasa-basi lebih dulu. Namira dan Bianca terkejut mendengar perkataan Daniel. Evan salah tingkah dan mengulas senyum tipis. "Baik, Pak Daniel. Kalau begitu saya pamit pulang. Bianca, aku pula
Gelak tawa mereka terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Namira yang berdiri di atas kasur Bianca, akhirnya turun. Bianca menghampiri pintu, membuka."Mamih kamu ada di dalam, Bi?" tanya Daniel langsung sambil melongokkan kepala ke dalam kamar anak kandungnya. "Ada, Pah. Mamih, Papah nyariin nih!" teriak Bianca memanggil ibu sambungnya."Iya, Mas Ayang ... sebentar ... Oh ya, buku-buku novelku. Bian, makasih banyak udah beliin aku novel," ucap Namira sambil membawa empat novel tebal. Daniel mengambil alih buku-buku itu, tidak mengizinkan istrinya membawa novel tersebut. "Iya, sama-sama. Met malam Mamih, Papah ....""Malam juga, anakku sayang, anakku yang paling cantik," timpal Namira."Gombal," tukas Bianca menjulurkan lidah pada ibu sambungnya. Namira terkekeh, menggamit lengan suaminya mesra. Di dalam kamar, Daniel meletakkan buku-buku itu di atas meja depan televisi. Namira beranjak, mengganti gaun dengan piyama.Daniel memerhatikan istrinya yang tengah mengganti pakaian
"Iya, Pah. Mih, ke rumah sakit aja sih. Kemaren kan Mamih kecapekan, takutnya dedek bayi kenapa-napa," ujar Bianca sambil memijat tengkuk Namira. Mengolesi minyak angin ke perut Namira dan juga punggungnya. Namira menggelengkan kepala. Tubuhnya sangat lemas dan wajah sangat pucat. Kondisi Namira saat ini seperti awal mula ia mengetahui kehamilannya. "Aku enggak apa-apa, Bi. Nanti kalau udah minum obat juga, pasti enakan. Apalagi ditambah minum susu." Namira masih bersikukuh menolak ajakan Bianca dan suaminya ke rumah sakit. Namira enggan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lelah. "Ini, obatnya. Sekarang kamu sarapan dulu. Gak apa-apa sarapannya sedikit aja. Setelah itu, minum susu ibu hamil, baru minum obatnya." Daniel menghampiri, menuntun Namira keluar dari toilet, duduk dan menyuapi Namira bubur. Meski mual, akhirnya Namira mau menyantap bubur buatan Bibi. Ia harus sehat dan kuat. Tidak boleh lemah. "Sebentar, Mas. Aku mual lagi."Tergesa-gesa Namira masuk ke dalam toi
Tiba di rumah sakit, Namira langsung ditangani dokter Herna, dokter kandungan. Daniel dan Bianca sangat cemas melihat kondisi Namira. Papa dan anak itu duduk di bangku depan ruang ICU. Daniel tak mau diam. Ia mondar-mandir, sesekali pandangannya melirik jendela kaca ruangan tersebut. Kemudian, duduk. Menutup wajah dengan kedua tangan. Bianca yang melihat kecemasan dan kegelisahan Daniel, hatinya tak tega, merasa kasihan. Sejak tadi Bianca penasaran akan penyebab keluar darah dari s3langkangan Namira."Pah?" panggil Bianca pelan.Daniel menurunkan kedua telapak tangan dari wajahnya, ia menoleh. "Ada apa?""Kenapa tadi Mamih mengeluarkan darah?" tanya Bianca penasaran. Raut wajah Daniel menegang, merunduk sesaat lalu pandangannya lurus ke depan. Ada perasaan menyesal dalam hati. "Mamih kamu tadi ... tadi sempat jatuh kepeleset di toilet.""Apa?" Jawaban Daniel sontak membuat Bianca membeliakkan kedua mata, terkejut. "Kok bisa sih kepeleset di toilet? Memangnya Papah lagi kemana?" tunt
Daniel dan Bianca menganggukkan kepala. Membiarkan para perawat mendorong ranjang pasien Namira. Mereka berdua mengikuti.Setelah berada di ruang rawat inap. Daniel tak henti menggenggam telapak tangan Namira. Ia berulang kali meminta maaf atas kecerobohannya. "Udah dong, Mas Ayang ... dari tadi minta maaf mulu. Aku udah maafin," timpal Namira tersenyum manis. Satu sisi dia merasa bahagia karena Daniel begitu menyayangi. Daniel meng3cup kening istrinya cukup lama. Sangat bersyukur karena keadaan Namira sudah kembali membaik. "Terima kasih, Sayang. Aku sayang kamu. Sangat," lirih, Daniel mengungkapkan perasaan hatinya pada Namira. Sebelumnya Daniel sempat takut kehilangan Namira, mengingat kondisi istrinya yang lemah dan tak sadarkan diri. Bianca sangat bahagia dan terharu melihat cinta yang begitu besar dari tatapan papahnya pada Namira. "Mih, mulai sekarang kamu cuti ke kampus dulu. Tadi kata dokter, Mamih gak boleh kecapekan, gak boleh banyak pikiran. Iya kan, Pah?" Bianca men
"Baik, Non. Eh, maksud saya Bian," ralat Yuda meringis, mengusap tengkuk. Gita dan Evan mengulas senyum tipis, menggelengkan kepala. "Gak apa-apa, kan belum biasa. Om sama Tante mau lihat Mamih aku kan?""Iya, Nak," jawab Gita lembut. "Kalau gitu silakan masuk." Bianca membuka pintu lebar, mempersilakan Yuda dan istrinya masuk ke dalam ruangan. Dada Evan ditahan Bianca. "Ada apa?""Orang tuamu dulu. Kamu nanti aja. Kita duduk di situ." Cegah Bianca menunjuk tempat duduk dengan dagunya. Evan tak bisa menolak, ia mengikuti kemauan gadis yang telah membuatnya jatuh hati. Evan dan Bianca duduk bersebelahan di kursi depan ruangan Namira. "Pakaianmu keren amat sih?" celetuk Bianca memerhatikan penampilan Evan. Lelaki itu melihat dirinya sendiri. "Dari dulu emang keren," timpal Evan tersenyum manis, menaik turunkan kedua alisnya. "Kumat pedenya. Maksudku, ngapain ke rumah sakit sampe pkeren begini? Emang kamu mau pergi bareng aku? Kan cuma sama orang tuamu aja. Sok kekerenan," cibir B
Yuda terkejut mendengar rencana Daniel untuk memenjarakan Hesti. Selama ini Daniel selalu menutup-nutupi kejahatan mantan istrinya itu. Tetapi sekarang?"Dari dulu saya sudah menyarankan, Pak. Sebaiknya memang seperti itu. Semakin didiamkan, Ibu Hesti semakin banyak tingkah. Yang membuat saya enggak habis pikir, kenapa Ibu Hesti tega memanfaatkan nama anak kandungnya untuk pengajuan pinjaman pada Bank. Anehnya lagi, kok bisa tanpa kehadiran Non Bian, pinjaman itu di ACC?" Yuda membeberkan keanehannya terhadap Hesti. Wanita itu sangat licik dan jahat.Pertanyaan Yuda tidak mendapat jawaban Daniel. Suami Namira itu tidak mau menduga-duga."Masalah itu biarkan saja. Yang penting rekening yang atas nama Bianca sudah diblokir."Daniel tak mau ambil pusing. Pada akhirnya yang selama ini ditutup-ditutupin ketahuan juga. Daniel hanya berharap, semoga saja kelakuan jahat Hesti pada anaknya tidak diketahui Bianca."Baiklah, Pak Daniel. Lusa saya dan pak Irfan selaku lowyer perusahaan Pak Daniel
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela
Tiba di rumah setelah mengganti seragam sekolah, Alea keluar kamar, mengetuk pintu kamar kembarannya. "Ada apa?" tanya Axel dingin. "Kita berangkat ke rumah tante Nida sekarang aja, Kak. Kalau nanti malam, pasti dilarang sama mama. Gimana?" ujar Alea berbinar. Senyum tampak di raut wajah. "Tunggu sebentar. Aku mau ambil kunci mobil dan surat pengadilan.""Siap! Aku nunggu di depan ya, Kak?""Iya."Alea menuruni anak tangga. Hatinya sangat bahagia diajak Axel ke rumah Nida. Di sana dia bisa bercerita banyak hal. Nida adalah pendengar setia. Ia juga sering kali menenangkan hati Alea dan Axel ketika mereka dihadapkan masalah.Tak berselang lama, Axel keluar rumah mengenakan hoodie. Masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi. Alea duduk di samping Axel. Mereka memutuskan menginap di rumah Nida tanpa izin lebih dulu pada Bianca. Jika meminta izin, pastilah dilarang. "Kak, sambil nungguin tante Nida pulang dari kantor, kita jalan-jalan dulu, yuk! Aku pengen beli skin care di Mall. Mau
Usai mandi, Hanifa bergegas keluar rumah membeli pakaian untuk sang suami. Saat hendak menuju pintu depan, langkah kaki Hanifa terhenti mendengar panggilan dari kakak iparnya. "Kamu mau kemana?" tanya Friska memandang penampilan Hanifa dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat mas Tedi. Pakaiannya ketinggalan di rumah lama. Tadi kata mas Tedi, rumah itu udah enggak boleh dimasukin lagi," jawab Hanifa, menjelaskan tujuannya. "Oh ya udah. Jangan lama-lama!""Iya, Mbak."Hanifa pergi ke pasar naik ojek online, hemat biaya dan lebih cepat. Tidak berselang lama, Hanifa telah kembali ke rumah. Setengah berlari menuju kamarnya. Tedi pasti sedang menunggu. Membuka pintu kamar, terlihat Tedi sedang duduk di kursi yang menghadap ke jendela luar. "Mas, ini pakaiannya! Kamu cepat ganti pakaian, ya?" ucap Hanifa menyodorkan plastik hitam yang ada di tangan. Tedi tak langsung menerima, ia memerhatikan pakaian yang ada di dalam plastik. "Kamu beli pakai
Hanifa mengendus diri sendiri. Ternyata benar yang dikatakan Tedi. Tubuhnya sangat bau keringat. Hanifa meringis, menunjukkan raut wajah mengenaskan. "Maaf, Mas. Sebenarnya aku udah mandi tapi tadi aku disuruh nyapu, ngepel sama mbak Friska. Kamu bayangin saja, aku harus nyapu dan ngepel rumah sebesar itu. Makanya ... badanku bau keringat. Tapi, aku mau mandi lagi. Sekarang Mas masuk dulu, yuk! Mas belum makan kan?" jelas Hanifa tersenyum manis di depan sang suami. Tedi menganggukkan kepala. "Kamu buka gerbangnya. Aku mau masukin mobil.""Siap, Mas."Hanifa mendorong gerbang rumah Friska yang menjulang tinggi. Melihat penampilan sang istri, Tedi sangat merasa malu. Hanifa hari ini benar-benar seperti pembantu. Wajah kucel, pakaian kumal. Kendaraan yang ditumpangi Tedi sudah memasuki halaman luas rumah Friska. Lelaki itu turun, berjalan agak menjauh dari istrinya. "Siapa yang datang, Nifa?" tanya Friska saat terdengar suara langkah kaki. "Suami aku, Mbak. Mas Tedi udah datang," ja
Setelah mengambil pakaian di rumah ibu Ros, Rangga dipaksa segera pergi dari area itu oleh orang-orang utusan Bank. Mulai hari ini, tidak ada lagi yang boleh memasuki rumah tersebut. Rencananya Minggu yang akan datang, rumah Ibu Ros akan dilelang. "Argh, sialan! Pake disita segala lagi! Semua ini gara-gara mbak Hanifa dan mas Tedi. Dua manusia bodoh! Bisa-bisanya dia enggak setor ke Bank sampe enam bulan. Enggak ada otak! Padahal tiap bulan, aku tau banget mbak Nida selalu kirim uang buat nyetorin pinjamannya. Eh malah enggak disetorin. Kemanain duitnya?" gerutu Rangga di luar gerbang. Baru saja ia hendak pergi, mobil yang ditumpangi Tedi datang. "Rangga!" Panggilan Tedi membuat Rangga menghela napas berat. Rangga langsung menunjukan raut wajah merengut. Hatinya sangat marah pada kakak iparnya itu. Kalau sudah begini, mau tinggal di mana? Di rumah si Yati sangat sempit. Yati adalah selingkuhan Rangga yang paling disayang. Wanita penghibur di salah satu tempat karaoke. Wanita yang se
"Astghfirullah, Kak. Kok malah mikir gitu? Aku enggak ada niat sedikitpun balikan lagi ke mas Hanif lagipula dia udah mendaftarkan proses perceraian kami di pengadilan Agama. Tinggal menunggu jadwal sidangnya saja," elak Nida tegas. Bianca belum tahu cerita yang menimpa keluarga Hanif. Rumah yang ditempati ibu Ros dan kedua anak gadisnya telah disita oleh pihak Bank. Mendengar jawaban Nida, Bianca tersenyum miring. Meletakkan kedua lengan di atas meja. Menatap lekat Nida. "Baguslah kalau kamu enggak ada niat balikan lagi sama dia. Aku muak lihat Hanif dan keluarganya. Termasuk si Haifa itu. Mau ngapain dia kerja di sini?" Bianca masih tak terima akan kehadiran anak bungsu Ibu Ros di perusahaannya. "Tempat tinggalnya disita Bank gara-gara Hanifa enggak bayar pinjaman selama enam bulan." Akhirnya alasan Nida menerima Haifa bekerja jadi asistennya terungkap. Bianca terkejut. Kedua alis Bianca terangkat, matanya membeliak. "Owh, jadi sekarang mereka jatuh miskin?" Bianca bertanya ant
Tiba di kantor, Haifa tampak ragu turun dari mobil. Ia takut jika bertemu dengan Bianca dan Evan. Haifa tahu pemilik perusahaan ini adalah Bianca. Wanita yang kerap kali ketus pada keluarganya. Nida menoleh pada Haifa."Fa, kenapa bengong? Ayok turun!" tegur Nida pada wanita yang duduk di sampingnya. Haifa tergagap, menelan saliva. "Aku takut, Mbak. Takut Mbak Bianca marah lihat aku kerja," jawab Haifa apa adanya. Senyum Nida terlihat, mengusap bahu mantan adik iparnya. "Kamu tenang aja. Dia enggak akan marah. Orang kami emang lagi butuh karyawan baru soalnya aku merangkap kerjaan mama Shella. Udah kamu tenang aja. Ayok turun!" ajak Nida membuka setbealt. Mereka berjalan beriringan. Namun, Haifa berjalan agak belakang dari Nida. Dia malu jika mensejajarkan diri di samping Nida. Baru saja hendak masuk lift, mereka berpapasan dengan Bianca. Sontak, Bianca menelisik Haifa dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Dia Haifa, Kak. Mantan adik iparku," ujar Nida tanpa menunggu ditanya Bianc