"Yuda, lebih baik sekarang kita berangkat meeting. Sayang, kalau kamu mau ikut, boleh. Tapi, ingat, jangan ganggu meeting kami, ya?" ucap Daniel memandang istrinya ponuh kasih sayang. Senyum manis Namira merekah. Tak lupa ia memberikan k3cupan cukup lama di pipi kanan Daniel. Melihat tingkah Namira, Mutiara buang wajah dan menarik napas panjang. "Makasih Mas Ayang. Sebentar, aku ambil tas dulu!"Namira berjingkat masuk ke dalam kamar ruangan, mengambil tas, lalu keluar setengah berlari. Tak lupa, menggamit mesra lengan Daniel. Mereka berempat berangkat dalam satu mobil. Mutiara duduk di samping jok kemudi. Yuda yang menyetir. Sementara Daniel dan istrinya duduk di kursi jok penumpang. Namira selalu memandang mesra Daniel. Sesekali mereka saling melempar senyum, Namira terus saja menempel pada tubuh suaminya. Mutiara yang melihat kemesraan Daniel dan istrinya langsung timbul rasa iri dengki. Dia sudah tidak tahan, ingin sekali menghancurkan rumah tangga Daniel dan Namira. Sampai di
Pukul tujuh malam, Daniel dan rekan kerjanya selesai meeting. Namira yang sedari tadi berdiam diri di meja restoran yang tak jauh dari suaminya menghela napas lega. Pinggangnya terasa pegal, kelamaan duduk. Mau bagaimana lagi, dia tidak mau jauh-jauh dari sang suami apalagi ada wanita yang kegatelan pada Daniel, Mutiara Indah namanya. Wanita yang sudah tidak muda lagi tapi tak tahu diri. "Terima kasih atas kerja samanya lagi, Pak Daniel. Saya harap, proyek yang sekarang kita garap berjalan dengan lancar," ucap Wijayanto ketika berjabat tangan. "Aamiin. Semoga saja, Pak. Kalau begitu saya pamit. Yuda, Muti, saya pulang duluan.""Baik, Pak Daniel." Hanya Yuda yang menimpali ucapan Daniel. Mutiara tampak tidak suka melihat Daniel dan Namira pulang berbarengan. Namira menghampiri meja Wijayanto, ia pamit pulang dengan sopan. Tentu saja sikap Namira membuat hati Daniel bahagia. Memiliki istri yang tahu adab dan tata krama.Keduanya keluar restoran dengan senyum bahagia. Tangan Namira se
Sampai di halaman rumah, terlihat Evan dan Bianca yang tengah fokus pada layar laptop. Mereka pasti sedang menyelesaikan tugas dari dosen. "Assalamualaikum," ujar Namira riang, menyelipkan tangan pada lengan suaminya. Namira bahagia melihat kedekatan Evan dan Bianca. Dalam hati, Namira berharap Evan lah jodoh anak sambungnya. Paling tidak jika Evan sudah resmi menjadi suami Bianca, Daniel tidak akan terlalu posesif. "Waalaikumsalam," jawab Evan dan Bianca berbarengan. "Selamat malam, Pak Daniel," sapa Evan berdiri, setengah membungkuk."Malam." Pandangan Daniel pada Evan dan Bianca bergantian. Lalu suaranya yang berat, kembali berkata. "Sekarang lebih baik kamu pulang, Van. Enggak enak dilihat tetangga kalau udah malam begini kamu masih di sini. Berduaan sama Bian," ujar Daniel tegas, tanpa berbasa-basi lebih dulu. Namira dan Bianca terkejut mendengar perkataan Daniel. Evan salah tingkah dan mengulas senyum tipis. "Baik, Pak Daniel. Kalau begitu saya pamit pulang. Bianca, aku pula
Gelak tawa mereka terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Namira yang berdiri di atas kasur Bianca, akhirnya turun. Bianca menghampiri pintu, membuka."Mamih kamu ada di dalam, Bi?" tanya Daniel langsung sambil melongokkan kepala ke dalam kamar anak kandungnya. "Ada, Pah. Mamih, Papah nyariin nih!" teriak Bianca memanggil ibu sambungnya."Iya, Mas Ayang ... sebentar ... Oh ya, buku-buku novelku. Bian, makasih banyak udah beliin aku novel," ucap Namira sambil membawa empat novel tebal. Daniel mengambil alih buku-buku itu, tidak mengizinkan istrinya membawa novel tersebut. "Iya, sama-sama. Met malam Mamih, Papah ....""Malam juga, anakku sayang, anakku yang paling cantik," timpal Namira."Gombal," tukas Bianca menjulurkan lidah pada ibu sambungnya. Namira terkekeh, menggamit lengan suaminya mesra. Di dalam kamar, Daniel meletakkan buku-buku itu di atas meja depan televisi. Namira beranjak, mengganti gaun dengan piyama.Daniel memerhatikan istrinya yang tengah mengganti pakaian
"Iya, Pah. Mih, ke rumah sakit aja sih. Kemaren kan Mamih kecapekan, takutnya dedek bayi kenapa-napa," ujar Bianca sambil memijat tengkuk Namira. Mengolesi minyak angin ke perut Namira dan juga punggungnya. Namira menggelengkan kepala. Tubuhnya sangat lemas dan wajah sangat pucat. Kondisi Namira saat ini seperti awal mula ia mengetahui kehamilannya. "Aku enggak apa-apa, Bi. Nanti kalau udah minum obat juga, pasti enakan. Apalagi ditambah minum susu." Namira masih bersikukuh menolak ajakan Bianca dan suaminya ke rumah sakit. Namira enggan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lelah. "Ini, obatnya. Sekarang kamu sarapan dulu. Gak apa-apa sarapannya sedikit aja. Setelah itu, minum susu ibu hamil, baru minum obatnya." Daniel menghampiri, menuntun Namira keluar dari toilet, duduk dan menyuapi Namira bubur. Meski mual, akhirnya Namira mau menyantap bubur buatan Bibi. Ia harus sehat dan kuat. Tidak boleh lemah. "Sebentar, Mas. Aku mual lagi."Tergesa-gesa Namira masuk ke dalam toi
Tiba di rumah sakit, Namira langsung ditangani dokter Herna, dokter kandungan. Daniel dan Bianca sangat cemas melihat kondisi Namira. Papa dan anak itu duduk di bangku depan ruang ICU. Daniel tak mau diam. Ia mondar-mandir, sesekali pandangannya melirik jendela kaca ruangan tersebut. Kemudian, duduk. Menutup wajah dengan kedua tangan. Bianca yang melihat kecemasan dan kegelisahan Daniel, hatinya tak tega, merasa kasihan. Sejak tadi Bianca penasaran akan penyebab keluar darah dari s3langkangan Namira."Pah?" panggil Bianca pelan.Daniel menurunkan kedua telapak tangan dari wajahnya, ia menoleh. "Ada apa?""Kenapa tadi Mamih mengeluarkan darah?" tanya Bianca penasaran. Raut wajah Daniel menegang, merunduk sesaat lalu pandangannya lurus ke depan. Ada perasaan menyesal dalam hati. "Mamih kamu tadi ... tadi sempat jatuh kepeleset di toilet.""Apa?" Jawaban Daniel sontak membuat Bianca membeliakkan kedua mata, terkejut. "Kok bisa sih kepeleset di toilet? Memangnya Papah lagi kemana?" tunt
Daniel dan Bianca menganggukkan kepala. Membiarkan para perawat mendorong ranjang pasien Namira. Mereka berdua mengikuti.Setelah berada di ruang rawat inap. Daniel tak henti menggenggam telapak tangan Namira. Ia berulang kali meminta maaf atas kecerobohannya. "Udah dong, Mas Ayang ... dari tadi minta maaf mulu. Aku udah maafin," timpal Namira tersenyum manis. Satu sisi dia merasa bahagia karena Daniel begitu menyayangi. Daniel meng3cup kening istrinya cukup lama. Sangat bersyukur karena keadaan Namira sudah kembali membaik. "Terima kasih, Sayang. Aku sayang kamu. Sangat," lirih, Daniel mengungkapkan perasaan hatinya pada Namira. Sebelumnya Daniel sempat takut kehilangan Namira, mengingat kondisi istrinya yang lemah dan tak sadarkan diri. Bianca sangat bahagia dan terharu melihat cinta yang begitu besar dari tatapan papahnya pada Namira. "Mih, mulai sekarang kamu cuti ke kampus dulu. Tadi kata dokter, Mamih gak boleh kecapekan, gak boleh banyak pikiran. Iya kan, Pah?" Bianca men
"Baik, Non. Eh, maksud saya Bian," ralat Yuda meringis, mengusap tengkuk. Gita dan Evan mengulas senyum tipis, menggelengkan kepala. "Gak apa-apa, kan belum biasa. Om sama Tante mau lihat Mamih aku kan?""Iya, Nak," jawab Gita lembut. "Kalau gitu silakan masuk." Bianca membuka pintu lebar, mempersilakan Yuda dan istrinya masuk ke dalam ruangan. Dada Evan ditahan Bianca. "Ada apa?""Orang tuamu dulu. Kamu nanti aja. Kita duduk di situ." Cegah Bianca menunjuk tempat duduk dengan dagunya. Evan tak bisa menolak, ia mengikuti kemauan gadis yang telah membuatnya jatuh hati. Evan dan Bianca duduk bersebelahan di kursi depan ruangan Namira. "Pakaianmu keren amat sih?" celetuk Bianca memerhatikan penampilan Evan. Lelaki itu melihat dirinya sendiri. "Dari dulu emang keren," timpal Evan tersenyum manis, menaik turunkan kedua alisnya. "Kumat pedenya. Maksudku, ngapain ke rumah sakit sampe pkeren begini? Emang kamu mau pergi bareng aku? Kan cuma sama orang tuamu aja. Sok kekerenan," cibir B
"Lea, benar enggak? Itu nomor baru Cassandra?" tanya Axel tak sabar. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Sangat berharap kalau Cassandra-lah yang menghubungi Alea. Alea bimbang, menjawab pertanyaan kakaknya. 'Ya Allah, gimana ini? Apa aku harus jujur atau harus ....?'Satu pesan singkat masuk lagi. Alea terkejut, langsung membacanya. "Alea, kok enggak dibalas? Apa kamu marah padaku?" Alea dengan cekatan membalas pesan Cassandra. "Sebentar, aku lagi teleponan sama kak Axel."Pesan sudah terkirim. "Alea! Eh, kamu denger aku enggak? Alea!""Iya, iya, aku denger! Bawel banget!" sungut Alea kesal. Alea jadi menyesal memberitahu pesan singkat dari nomor baru. "Habisnya dari tadi dipanggil diem aja. Tadi nomor baru siapa?""Temenku. Udah ya, Kak. Aku ngantuk. Besok pagi-pagi kan aku harus jemput Kakak di rumah tante Nida. Aku cuma bawa baju seragam dan tas Kakak aja 'kan?" Alea sengaja mengalihkan pembicaraan lain. Dia tak mau keceplosan kalau yang menghubunginya adalah Cassandr
Perkataan Rina membuat ibunya terdiam membisu. Tak lagi berkata-kata. Yang dikatakan Rina ada benarnya. Masalah jodoh seseorang hanya Allah yang tahu. Jika demikian, bagaimana kalau Rina ternyata jodohnya Axel? Mereka sepersekian menit terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. "Bu, aku istirahat dulu. Ibu juga jangan tidur terlalu malam," ucap Rina beranjak pergi meninggalkan ibunya yang masih terpaku di ruang tamu. Di balik pintu kamar, air mata Rina tak mampu tertahankan. Ia menangis tersedu, tubuhnya luruh di atas lantai. Kedua lutut ditekuk, wajah ditenggelamkan antara kedua lututnya. Rina menangis, meratapi cinta pertamanya yang tak kunjung mendapat balasan dari lelaki yang dicintai. Mungkin itu yang terbaik ketimbang ketika mereka sudah saling mencintai justru harus terpisahkan. "Ya Allah, Engkau yang menitipkan perasaan ini padaku. Jika nantinya perasaan ini membuat jatuh ke lubang penyesalan, aku mohon hapuskan ya Allah. Hapuskan ... huhuhuhu ...." Sementar
Melihat Alea terpaku di tempat, Evan heran dan bertanya, "Kenapa kamu malah bengong, Lea?" Sikap Alea salah tingkah. Berdehem dan tersenyum kaku. Ia kembali duduk di tempat semula. Kepalanya melongok ke dalam. Memastikan tidak ada Bianca di sana. "Pa, hm ... maaf ya sebelumnya. Tapi, Papa jangan marah."Evan mengerutkan kening mendengar kalimat yang meluncur dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. "Memangnya ada apa, Lea?" telisik Evan dengan intonasi suara rendah. Evan yakin ada yang disembunyikan oleh Alea. "Sebenarnya malam ini kak Axel enggak ada di rumah, Pa." Sangat pelan, Alea berucap. Namun, Evan masih bisa mendengarnya. Kepala Evan mundur sedikit karena terkejut. "Di mana dia? Di cafe?" cecar Evan. Alea terdiam. Walau hatinya percaya Evan tidak akan memberitahu Bianca, akan tetapi Alea sedikit ragu memberitahu. Sungguh, ia khawatir Evan keceplosan. Evan sangat mencintai Bianca. Jika Bianca mendesak, pasti Evan akan menjawab tentang keberadaan Axel yang sebenarnya. A
Hari ini Bianca pulang agak malam. Jam tujuh malam baru tiba di rumah. Nida yang biasanya membantu, kini bekerja di lokasi proyek. Nida ada di kantor hanya pagi sampai jam sebelas siang saja. Setelahnya di lokasi proyek. "Kalau Nida stand by di kantor, aku enggak akan pulang malam begini. Ada-ada aja tuh orang. Segala pengen kerja di lokasi padahal kerjaan itu lebih pusing. Kenapa pula enggak diserahin ke mandor saja?" gerutu Bianca ketika melepas sepatu di dalam kamar. Beruntung, Evan suami yang penyabar dan setia. Ia membantu Bianca menyelesaikan pekerjaannya. "Nida kan udah ngasih tau alasannya, aku juga tadi ngebantuin kamu nyelesain kerjaan. Yang dilakukan Nida juga untuk kepentingan perusahaan, Sayang," sanggah Evan pada istrinya yang selalu saja terkesan menyalahkan Nida. "Kamu emang bantuin aku tapi enggak secepat pekerjaan Nida. Udahlah, aku capek! Aku mau mandi dulu, habis itu tidur! Pusing kalau bicara sama kamu," ucap Bianca kesal. Intonasi suaranya sarat akan emosi. Ev
"Kamu enggak takut dimarahin kak Bianca kalau nginap di sini?" tanya Nida ketika Axel mengutarakan maksudnya ingin menginap di rumahnya. Mereka malam ini duduk di samping rumah dekat kolam ikan. Beraneka jenis ikan koi terlihat cantik di dalam kolam. "Enggak takut sama sekali. Biarin ajalah. Sekarang aku dan Lea udah biasa dimarahin mama," jawab Axel santai. Pandangannya tertuju ke depan. Pikirannya entah ada di mana. Nida menoleh, memerhatikan keponakannya dari samping. Nida mengubah posisi duduk, lebih menghadap Axel. "Kamu kenapa, Xel? Lagi ada masalah?" telisik Nida penasaran. Axel menoleh sejenak, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Tampak berpikir, tidak langsung menjawab. Tiap hari Axel berusaha menutupi rasa rindu dan gelisah pada Cassandra, cinta pertamanya. Hampir satu Minggu mereka tak saling komunikasi. Bagi Axel, satu Minggu bagai sewindu. Sangat menyiksa. "Bukan masalah sama orang lain tapi masalah sama diri sendiri," ucap Axel. Setelahnya mengangkat secangkir
"Terima kasih, Xel. Tante mau ke kamar dulu." Semua orang tahu dari sorot mata Nida terdapat kesedihan. Axel menghela napas berat, pandangannya beralih pada Haifa yang tengah memeluk anak semata wayangnya. "Mbak Haifa?" Panggilan Axel membuat Haifa mendongak. "Iya, Axel." Haifa mengenal Axel hanya saja mereka tidak terlalu akrab. "Kenapa Mbak memilih tinggal di sini? Tante Nida dengan om Hanif udah cerai?" tanya Axel tanpa berbasa-basi. Ia tahu, mungkin Haifa agak tersinggung dengan pertanyaan. "Mbak Haifa maaf, sebaiknya Mbak istirahat dulu. Mbak Haifa pasti capek 'kan?"Terpaksa, Rina menyela obrolan antara Axel dan Haifa. Rina hanya tak mau Axel terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain. "Iya nih. Mbak capek banget. Mbak Tina, terima kasih banyak udah jagaian Rafa. Maaf ya, kalau Rafa nakal," ujar Haifa tak enak hati pada Tina yang seharian sudah menjaga anak semata wayangnya. "Alhamdulillah Rafa baik. Enggak nakal," timpal Tina tersenyum ramah. "Hm ... kal
"Siapa yang datang, Rin?"Pertanyaan Axel dari dalam rumah mengalihkan pandangan Rina. Ia menoleh ke belakang. "I-Ini ada orang yang namanya mas Rangga. Katanya pengen ketemu mbak Nida," jawab Rina agak kaku karena merasa risih dengan tatapan Rangga. Rina bernapas lega setelah Axel menghadapi lelaki yang baru dilihatnya. "Iya. Namaku Rangga. Mbak Nida udah pulang kan?""Belum. Tante Nida belum pulang."Rina bergegas masuk ke dalam. Membiarkan Axel yang menemui lelaki itu. Tiba di dapur, Rina langsung menghubungi Nida, membertahu tentang kedatangan Rangga. Hati Rina berfirasat jika lelaki itu bukan orang baik. "Kalau begitu, aku akan menunggunya.""Eh, Anda ini emangnya siapa?" tanya Axel datar. Rangga mendelik, mengulurkan sebelah tangan. "Aku Rangga, suaminya Haifa."Uluran tangan Rangga tidak disambut Axel. Kening Axel justru mengkerut. "Haifa? Haifa adik kandung om Hanif?" Dugaan Axel membuat Rangga tersenyum. "Betul sekali." Sangat antusias, Rangga menjawab dugaan bocah bela
Tiba di rumah setelah mengganti seragam sekolah, Alea keluar kamar, mengetuk pintu kamar kembarannya. "Ada apa?" tanya Axel dingin. "Kita berangkat ke rumah tante Nida sekarang aja, Kak. Kalau nanti malam, pasti dilarang sama mama. Gimana?" ujar Alea berbinar. Senyum tampak di raut wajah. "Tunggu sebentar. Aku mau ambil kunci mobil dan surat pengadilan.""Siap! Aku nunggu di depan ya, Kak?""Iya."Alea menuruni anak tangga. Hatinya sangat bahagia diajak Axel ke rumah Nida. Di sana dia bisa bercerita banyak hal. Nida adalah pendengar setia. Ia juga sering kali menenangkan hati Alea dan Axel ketika mereka dihadapkan masalah.Tak berselang lama, Axel keluar rumah mengenakan hoodie. Masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi. Alea duduk di samping Axel. Mereka memutuskan menginap di rumah Nida tanpa izin lebih dulu pada Bianca. Jika meminta izin, pastilah dilarang. "Kak, sambil nungguin tante Nida pulang dari kantor, kita jalan-jalan dulu, yuk! Aku pengen beli skin care di Mall. Mau
Usai mandi, Hanifa bergegas keluar rumah membeli pakaian untuk sang suami. Saat hendak menuju pintu depan, langkah kaki Hanifa terhenti mendengar panggilan dari kakak iparnya. "Kamu mau kemana?" tanya Friska memandang penampilan Hanifa dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat mas Tedi. Pakaiannya ketinggalan di rumah lama. Tadi kata mas Tedi, rumah itu udah enggak boleh dimasukin lagi," jawab Hanifa, menjelaskan tujuannya. "Oh ya udah. Jangan lama-lama!""Iya, Mbak."Hanifa pergi ke pasar naik ojek online, hemat biaya dan lebih cepat. Tidak berselang lama, Hanifa telah kembali ke rumah. Setengah berlari menuju kamarnya. Tedi pasti sedang menunggu. Membuka pintu kamar, terlihat Tedi sedang duduk di kursi yang menghadap ke jendela luar. "Mas, ini pakaiannya! Kamu cepat ganti pakaian, ya?" ucap Hanifa menyodorkan plastik hitam yang ada di tangan. Tedi tak langsung menerima, ia memerhatikan pakaian yang ada di dalam plastik. "Kamu beli pakai