Share

2. Malam Pertama Tanpa Gairah

‘Tidak! Hentikan! Cara ini salah!’

Teriakan Elena hanya bisa keluar di dalam hati. Sementara kenyataannya, Elena Cuma menggigit bibir dengan mata terpejam saat Reviano mulai membuka kancing piyama berbahan satin yang ia kenakan.

Apa yang terjadi sekarang, sungguh sulit dipercaya secara akal sehat.

Bagaimana mungkin ada seorang mertua yang berniat menggauli menantunya hanya karena alasan keturunan?

Benarkah sudah tak ada cara lain?

Dan Elena merasa heran dengan dirinya sendiri. Kenapa mulutnya seakan terkunci untuk bisa menolak tangan kekar yang kini sedang membuka pakaiannya?

“Apa kau masih perawan, Elena?” suara Reviano membuat Elena membuka matanya.

“Apa?” seakan tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut sang mertua.

“Maaf kalau aku bertanya begini. Tapi aku hanya ingin memastikan sesuatu. Tolong jawab, apakah kau masih perawan?”

Elena meneguk ludah. Antara malu dan ragu untuk menjawab pertanyaan yang sensitif seperti itu.

“Jawab saja pertanyaanku.” Reviano mendesak seakan tak ingin dibantah.

“Aku masih perawan. Karena memang sejak dulu aku bertekad akan memberikan kesucian hanya pada suamiku saja.” Elena terdengar jujur, membuat Reviano membuang nafas kasar.

Sesaat mereka sama-sama terdiam. Reviano menurunkan tangannya yang tadi sempat hendak menurunkan tali bra Elena.

“Sebenarnya, aku tidak minta persetujuanmu untuk melakukan ini. Karena bagiku, menyambung garis keturunan adalah yang terpenting saat ini. Hanya saja, karena aku mendengar kalau kau masih perawan, aku meminta izin untuk menyentuhmu malam ini dan malam-malam berikutnya. Sampai aku dapat memastikan kalau kau positif hamil.”

Reviano memang terdengar seolah sedang meminta izin secara sopan. Namun Elena merasa kalau dia sedang didikte dan diatur hidupnya oleh keluarga Lawrence.

Sampai positif hamil? Berarti dia akan terus-menerus digauli oleh mertuanya sendiri? Haruskah hidupnya menjalani hal absurd seperti ini?

“Kenapa harus aku, Dad?” serak suara Elena bertanya, nyaris tak tertangkap di telinga Reviano.

“Karena kau istri sah Leon. Aku tak bisa menghamili sembarang wanita. Tak mungkin tiba-tiba saja aku akan membawa bayi dari luar untuk masuk ke rumah ini. Tapi kalau kau yang melahirkan, semua orang juga tahu kalau anak yang kau kandung mengalir darah Lawrence.”

“Lalu, kenapa harus sampai aku positif hamil?” Elena memberanikan diri untuk bertanya.

“Karena usiamu yang sudah tak muda lagi. Kudengar kalau wanita sudah memasuki usia kepala tiga, rahimnya tak sesubur gadis remaja. Karena itu, mungkin tak cukup hanya melakukannya sekali.”

Elena menelan saliva yang terasa tajam menusuk tenggorokan.

“Berbaringlah,” titah Reviano dengan nada datar namun tegas.

Elena bergeming. Tubuhnya berat meski hanya untuk sekedar menggerakkan ujung jari.

Reviano membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Hanya tersisa celana boxer pendek yang membalut ketat area kejantanannya.

“Kau mau melakukannya dalam keadaan terang atau gelap?”

“Te-terserah.” Akhirnya hanya itu kata yang bisa keluar dari bibir Elena.

Reviano bergerak ke sudut ruangan, mematikan lampu.

Elena merasa ranjang yang ia duduki sedikit terbenam saat Reviano ikut naik ke atasnya.

Elena pasrah saja saat lelaki itu membaringkannya. Ia memejamkan mata saat Reviano menindihnya dari atas.

“Ah, sial!” Terdengar umpatan. Reviano yang tadi sudah berada di atas Elena menarik tubuhnya kembali.

“Dia tidak mau bereaksi.” Lelaki itu memainkan senjatanya dengan tangan.

Elena hanya diam. Berdoa semoga yang ia takutkan tak terjadi.

“Aku tak bisa main kalau tanpa pemanasan,” gumam Reviano. “Maafkan aku.” Reviano kembali mendekati Elena.

Anehnya, Elena tak merasakan apa-apa. Ia seakan terhipnotis, seolah tak menyangka ini semua terjadi.

Elena seperti sebuah boneka yang hanya bisa memandang langit-langit kamar. Sementara Reviano telah bergerilya bebas di setiap inchi tubuhnya.

Hanya air mata mengalir, yang menandakan kalau Elena masih bergulat dengan perasaannya. Ia ingin menolak, tapi tak bisa.

Ia sudah dibeli oleh keluarga Lawrence, dengan saham dan beberapa aset yang kini dinikmati ayah kandungnya.

“Tahan, jangan keluarkan suaramu. Aku akan pelan-pelan.” Reviano berbisik di telinga Elena.

Rasa sakit yang teramat sangat hanya bisa ia tahan dengan menggigit bibir dan memejamkan mata. Sungguh Elena merasa sangat tersiksa.

Ruangan yang nyaris gelap membuat Elena tak bisa melihat ekspresi wajah Reviano yang kini sedang menghentak pinggulnya tanpa henti. Hanya terdengar suara erangan halus dan geraman tertahan dari mulut Reviano.

Apakah mertuanya itu menikmati keperawanannya? Padahal ia setengah mati sedang menahan rasa sakit, baik di organ intim maupun di hatinya.

Harga diri Elena seakan sedang dicabik-cabik tanpa perasaan.

Elena kembali memejamkan mata sambil menarik nafas, saat Reviano telah mencapai puncaknya.

Terdengar lelaki itu membuang nafas lega. Ia tak langsung bangun, seakan membiarkan apa yang berada di dalam sana bertahan sedikit lebih lama.

Setelah beberapa saat, Reviano melepaskan diri. Menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Elena yang masih membeku tanpa ekspresi.

Pria itu memakai kembali pakaiannya di dalam gelap. Dan tanpa bicara sepatah kata pun ia pergi keluar kamar, meninggalkan Elena.

Setelah beberapa menit, Elena duduk sambil menahan rasa sakit di bawah sana. Kini, ia baru bisa menangis meratapi diri. Itu pun dengan membenamkan wajahnya di bantal.

Setelah puas mengeluarkan air mata, Elena bangkit dari tempat tidur untuk menutup pintu kamar. Sepertinya Reviano tadi tak menutupnya dengan rapat.

Saat hendak menarik gagang pintu, tanpa sengaja Elena melihat seseorang dalam kegelapan yang sedang menatap ke arah kamar, berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang.

Orang itu, apakah dia tadi melihat Reviano keluar dari dalam kamarnya? Kalau memang iya, kejadian ini akan menjadi sangat gawat!

“Hei, si-siapa di sana?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status