‘Tidak! Hentikan! Cara ini salah!’
Teriakan Elena hanya bisa keluar di dalam hati. Sementara kenyataannya, Elena Cuma menggigit bibir dengan mata terpejam saat Reviano mulai membuka kancing piyama berbahan satin yang ia kenakan.
Apa yang terjadi sekarang, sungguh sulit dipercaya secara akal sehat.
Bagaimana mungkin ada seorang mertua yang berniat menggauli menantunya hanya karena alasan keturunan?
Benarkah sudah tak ada cara lain?
Dan Elena merasa heran dengan dirinya sendiri. Kenapa mulutnya seakan terkunci untuk bisa menolak tangan kekar yang kini sedang membuka pakaiannya?
“Apa kau masih perawan, Elena?” suara Reviano membuat Elena membuka matanya.
“Apa?” seakan tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut sang mertua.
“Maaf kalau aku bertanya begini. Tapi aku hanya ingin memastikan sesuatu. Tolong jawab, apakah kau masih perawan?”
Elena meneguk ludah. Antara malu dan ragu untuk menjawab pertanyaan yang sensitif seperti itu.
“Jawab saja pertanyaanku.” Reviano mendesak seakan tak ingin dibantah.
“Aku masih perawan. Karena memang sejak dulu aku bertekad akan memberikan kesucian hanya pada suamiku saja.” Elena terdengar jujur, membuat Reviano membuang nafas kasar.
Sesaat mereka sama-sama terdiam. Reviano menurunkan tangannya yang tadi sempat hendak menurunkan tali bra Elena.
“Sebenarnya, aku tidak minta persetujuanmu untuk melakukan ini. Karena bagiku, menyambung garis keturunan adalah yang terpenting saat ini. Hanya saja, karena aku mendengar kalau kau masih perawan, aku meminta izin untuk menyentuhmu malam ini dan malam-malam berikutnya. Sampai aku dapat memastikan kalau kau positif hamil.”
Reviano memang terdengar seolah sedang meminta izin secara sopan. Namun Elena merasa kalau dia sedang didikte dan diatur hidupnya oleh keluarga Lawrence.
Sampai positif hamil? Berarti dia akan terus-menerus digauli oleh mertuanya sendiri? Haruskah hidupnya menjalani hal absurd seperti ini?
“Kenapa harus aku, Dad?” serak suara Elena bertanya, nyaris tak tertangkap di telinga Reviano.
“Karena kau istri sah Leon. Aku tak bisa menghamili sembarang wanita. Tak mungkin tiba-tiba saja aku akan membawa bayi dari luar untuk masuk ke rumah ini. Tapi kalau kau yang melahirkan, semua orang juga tahu kalau anak yang kau kandung mengalir darah Lawrence.”
“Lalu, kenapa harus sampai aku positif hamil?” Elena memberanikan diri untuk bertanya.
“Karena usiamu yang sudah tak muda lagi. Kudengar kalau wanita sudah memasuki usia kepala tiga, rahimnya tak sesubur gadis remaja. Karena itu, mungkin tak cukup hanya melakukannya sekali.”
Elena menelan saliva yang terasa tajam menusuk tenggorokan.
“Berbaringlah,” titah Reviano dengan nada datar namun tegas.
Elena bergeming. Tubuhnya berat meski hanya untuk sekedar menggerakkan ujung jari.
Reviano membuka seluruh pakaian yang ia kenakan. Hanya tersisa celana boxer pendek yang membalut ketat area kejantanannya.
“Kau mau melakukannya dalam keadaan terang atau gelap?”
“Te-terserah.” Akhirnya hanya itu kata yang bisa keluar dari bibir Elena.
Reviano bergerak ke sudut ruangan, mematikan lampu.
Elena merasa ranjang yang ia duduki sedikit terbenam saat Reviano ikut naik ke atasnya.
Elena pasrah saja saat lelaki itu membaringkannya. Ia memejamkan mata saat Reviano menindihnya dari atas.
“Ah, sial!” Terdengar umpatan. Reviano yang tadi sudah berada di atas Elena menarik tubuhnya kembali.
“Dia tidak mau bereaksi.” Lelaki itu memainkan senjatanya dengan tangan.
Elena hanya diam. Berdoa semoga yang ia takutkan tak terjadi.
“Aku tak bisa main kalau tanpa pemanasan,” gumam Reviano. “Maafkan aku.” Reviano kembali mendekati Elena.
Anehnya, Elena tak merasakan apa-apa. Ia seakan terhipnotis, seolah tak menyangka ini semua terjadi.
Elena seperti sebuah boneka yang hanya bisa memandang langit-langit kamar. Sementara Reviano telah bergerilya bebas di setiap inchi tubuhnya.
Hanya air mata mengalir, yang menandakan kalau Elena masih bergulat dengan perasaannya. Ia ingin menolak, tapi tak bisa.
Ia sudah dibeli oleh keluarga Lawrence, dengan saham dan beberapa aset yang kini dinikmati ayah kandungnya.
“Tahan, jangan keluarkan suaramu. Aku akan pelan-pelan.” Reviano berbisik di telinga Elena.
Rasa sakit yang teramat sangat hanya bisa ia tahan dengan menggigit bibir dan memejamkan mata. Sungguh Elena merasa sangat tersiksa.
Ruangan yang nyaris gelap membuat Elena tak bisa melihat ekspresi wajah Reviano yang kini sedang menghentak pinggulnya tanpa henti. Hanya terdengar suara erangan halus dan geraman tertahan dari mulut Reviano.
Apakah mertuanya itu menikmati keperawanannya? Padahal ia setengah mati sedang menahan rasa sakit, baik di organ intim maupun di hatinya.
Harga diri Elena seakan sedang dicabik-cabik tanpa perasaan.
Elena kembali memejamkan mata sambil menarik nafas, saat Reviano telah mencapai puncaknya.
Terdengar lelaki itu membuang nafas lega. Ia tak langsung bangun, seakan membiarkan apa yang berada di dalam sana bertahan sedikit lebih lama.
Setelah beberapa saat, Reviano melepaskan diri. Menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang Elena yang masih membeku tanpa ekspresi.
Pria itu memakai kembali pakaiannya di dalam gelap. Dan tanpa bicara sepatah kata pun ia pergi keluar kamar, meninggalkan Elena.
Setelah beberapa menit, Elena duduk sambil menahan rasa sakit di bawah sana. Kini, ia baru bisa menangis meratapi diri. Itu pun dengan membenamkan wajahnya di bantal.
Setelah puas mengeluarkan air mata, Elena bangkit dari tempat tidur untuk menutup pintu kamar. Sepertinya Reviano tadi tak menutupnya dengan rapat.
Saat hendak menarik gagang pintu, tanpa sengaja Elena melihat seseorang dalam kegelapan yang sedang menatap ke arah kamar, berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang.
Orang itu, apakah dia tadi melihat Reviano keluar dari dalam kamarnya? Kalau memang iya, kejadian ini akan menjadi sangat gawat!
“Hei, si-siapa di sana?!”
“Kau baru bangun atau hanya bermalas-malasan di kamar, Elena? Seharusnya sejak pagi sudah turun, ikut membantu menyiapkan sarapan di dapur.” Suara Caitlyn pagi ini terdengar sangat pedas. Tatapan matanya juga terlihat tak bersahabat saat melihat Elena datang dan ikut bergabung di ruang makan. Aneh, padahal sejak awal menikah dengan Leon, Caitlyn tak mengizinkan Elena untuk membantu di dapur. Elena diperlakukan seperti Ratu yang tak dibiarkan lelah. Tapi kenapa pagi ini ibu mertuanya itu marah-marah tanpa sebab? Apakah ini karena semalam ia mengata-ngatai Leon, sehingga Caitlyn tak terima? Atau karena kejadian di kamarnya, saat Reviano.... Ah, Elena tak sanggup kalau harus kembali mengingat kejadian semalam. Terlalu menyakitkan baginya. Ia bahkan hampir tak bisa tidur karena bermimpi buruk. Apalagi orang yang semalam ia lihat, Elena yakin itu adalah Caitlyn. Meski langsung melarikan diri begitu ia menegur, tapi sosoknya memang identik dengan ibu mertuanya itu. Tapi kalau memang
“Dia tampan Elena.” Nazarina memiringkan badan, berkata dengan setengah berbisik. “Diamlah! Aku bisa melihatnya dengan mataku sendiri.” Elena merasa sebal. “Dia juga masih muda. Kutebak umurnya baru 19 tahunan.” Nazarina semakin menjadi-jadi, seakan tak mengindahkan kekesalan sahabatnya. Elena memberikan tatapan garang. Nazarina langsung mengatupkan bibir, menyatukan jari telunjuk dan jempol, kemudian menggeser dari kiri ke kanan mulutnya, seolah sedang memasang resleting di sana. “Kenalkan, aku Billy. Billy Harper. Kita sudah bertemu tadi di dalam.” Pemuda itu memperkenalkan diri dengan ramah. “Maaf, aku tak tertarik untuk mengetahui namamu. Dan sebenarnya aku juga tidak berharap kita bertemu lagi.” Elena berkata dingin. Masih terbayang jelas liukan tubuh Billy yang tadi sempat membuatnya nyaris muntah. “Apakah dia memang selalu seperti ini?” Billy bertanya pada Nazarina. “Iya. Makanya kemarin dia sempat lama melajang.” Nazarina menjawab sambil meletakkan tangan di samping bibi
“Aku Cuma minta diberikan perlakuan selembut dan sehangat mungkin,” ucap Elena. Perlahan ia mendekati Reviano yang masih tegap berdiri. Elena sedikit berjinjit saat mendekatkan bibirnya di telinga Reviano untuk membisikkan sesuatu di sana. “Bukankah Mommy bilang kalau Dad sangat hebat di ranjang? Aku ingin merasakan semua kenikmatan yang pernah didapatkan Mommy, tanpa terkecuali. Dan itu harus setiap malam. Apakah kau bisa melakukan semuanya untukku, Revi?” ujar Elena dengan nada mendesah yang menggoda nafsu liar kelelakian Reviano. Tanpa diduga, Reviano menangkap rambut Elena dan melumat bibirnya dengan kasar. Sebentar saja pakaian keduanya telah lepas dan Elena didorong jatuh di atas kasur. Tanpa memberi kesempatan, Reviano mulai menggarap Elena dengan fantasinya yang liar dan tak terkendali. “Tunggu dulu, Dad. Biarkan aku bernafas sejenak.” Elena membuka mulutnya yang ditutupi tangan kekar Reviano. Sementara lelaki itu terus mengerjainya dari belakang. “Kenapa panggil Dad? Bu
“Lepaskan! Kalau Dad seperti ini, yang mati bukan Cuma aku, tapi juga anakmu.” Elena masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Reviano di lehernya. Sungguh, ia sudah hampir kehabisan nafas. Matanya bahkan sudah mulai berkunang-kunang. Reviano menyerah. Bagaimanapun, ia tak mau terjadi sesuatu dengan bakal bayinya yang kini telah bersemayam di rahim Elena. Ia melepaskan cekikan meski masih merasa sangat kesal. Elena terbatuk-batuk, beberapa kali berusaha menarik nafas panjang. Seolah untuk menggantikan udara yang tadi sempat terputus. “Berarti benar kan, kau memang sudah hamil?” Reviano kembali mengulangi pertanyaannya. “Iya, aku memang sudah hamil Dad. Maafkan aku karena telah menutupinya darimu. Tapi aku melakukannya bukan karena mau menggugurkan anakmu. Aku--- aku hanya ingin agar kita bisa tetap seperti ini.” “Apa maksudmu dengan ‘seperti ini?’ Jangan bilang kalau kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita!” Reviano m
“Apa yang mau kau katakan? Apa sudah ada kabar baik tentang calon penerus keturunan keluarga? Apa Elena sudah hamil?” Caitlyn mencecar dengan segala pertanyaan, yang bahkan Reviano pun belum sempat mengatakan apa-apa.Sedangkan Elena, hanya bisa menggigit bibir sambil meremas tangannya sendiri. Habislah sudah, Reviano pasti mengumumkan kehamilannya.Elena pasrah. Tak berharap lagi.“Diane...” Reviano justru memanggil housemaid leader yang telah bekerja padanya lebih dari sepuluh tahun itu dengan ekspresi wajah dingin, tanpa menoleh sama sekali.“Iya Tuan.” Diane yang berdiri tak jauh, datang mendekat dengan badan nyaris membungkuk sempurna. Wanita paruh baya itu berdiri di samping Reviano.“Kumpulkan semua bawahanmu di ruangan ini, sekarang!” Reviano memberi perintah.Diane mengangguk dan membungkuk sekali lagi. “Baik Tuan. Beri saya waktu lima menit,” ucapnya.Reviano tak me
Di saat Elena telah pasrah, sebuah harapan muncul tatkala melihat Leon terlihat di ujung koridor. Senyumnya terbit.Lari melesat tanpa suara, Elena mendekati Leon dan memegang tangan suaminya.Tentu saja Leon yang memang takut dengan Elena jadi memberontak. Namun justru menjadi hal yang bagus dan menguntungkan bagi Elena.Elena sengaja membawa Leon secara paksa melewati ruang kerja Reviano. Tepat di saat itu juga pintu terbuka dan muncul Caitlyn dengan seorang lelaki yang menyusul di belakangnya, Evan Lewis.Elena berpura-pura terkejut, sementara baik Caitlyn maupun Evan justru terlihat salah tingkah ketika melihat Elena. Mungkin mereka tak menyangka kalau Elena akan memergoki mereka berdua keluar bersamaan dari dalam sebuah ruangan.“Paman Evan, ternyata Anda datang ke sini hari ini. Aku tak melihatnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam ruang kerja Dad, bersama Mommy,” Elena menyapa dengan ramah, namun ada sindiran di dalam kalimatnya.
“Annabeth?” raut wajah Elena kecewa saat melihat yang datang adalah salah satu asisten pribadi yang kemarin telah ditunjuk khusus oleh Reviano.“Selamat malam, Nona. Maafkan aku karena telah mengganggu istirahatmu malam-malam begini.” Annabeth terlihat menunduk karena tak enak hati. Apalagi di depannya, Elena kini sedang memakai gaun tidur yang seksi dan menerawang. Meski sama-sama wanita, tetap saja Annabeth merasa malu.“Tidak apa-apa. Aku juga belum tidur.” Elena memaksakan diri untuk tersenyum. “Memangnya ada apa kau datang ke sini?”“Maaf Nona. Saya kemari hanya mau mengantarkan makanan yang dititipkan oleh Tuan Rev. Beliau baru pulang tadi dan menitipkan ini untuk Nona.” Annabeth menyerahkan bungkusan plastik yang sudah pasti berisi sandwich pesanan Elena.“Terima kasih, Annabeth. Kau boleh kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ujar Elena.Annabeth mengangguk takzim dan
“Masuklah.” Reviano meletakkan berkas yang sedang ia baca ke atas meja saat terdengar bunyi ketukan pintu.“Anda memanggilku, Tuan Rev?” Marion, sekretaris pribadi Reviano berjalan mendekat diiringi bunyi sepatu hak tingginya.“Ah, kemarilah Marion. Aku punya tugas untukmu.”Marion berhenti tepat di depan Reviano. “Tugas apa Tuan Rev? Apakah harus kukerjakan sekarang? Laporan proyek baru yang semalam kau berikan padaku belum selesai.”Marion sebenarnya menyisipkan keluhan dalam kalimatnya. Entah bosnya itu bisa paham atau tidak, kalau pekerjaan yang diberikan selalu bertambah setiap harinya.Bahkan di saat yang satu belum sempat dikerjakan, Reviano sudah memberikan tugas yang baru.Kalau saja bukan karena gaji yang besar dan Reviano adalah bos yang royal, mungkin Marion sudah lama mengajukan surat pengunduran diri. Karena tak mampu kepalanya berdenyut setiap hari.“Kesampingkan saj