“Kau baru bangun atau hanya bermalas-malasan di kamar, Elena? Seharusnya sejak pagi sudah turun, ikut membantu menyiapkan sarapan di dapur.”
Suara Caitlyn pagi ini terdengar sangat pedas. Tatapan matanya juga terlihat tak bersahabat saat melihat Elena datang dan ikut bergabung di ruang makan.
Aneh, padahal sejak awal menikah dengan Leon, Caitlyn tak mengizinkan Elena untuk membantu di dapur.
Elena diperlakukan seperti Ratu yang tak dibiarkan lelah. Tapi kenapa pagi ini ibu mertuanya itu marah-marah tanpa sebab?
Apakah ini karena semalam ia mengata-ngatai Leon, sehingga Caitlyn tak terima?
Atau karena kejadian di kamarnya, saat Reviano....
Ah, Elena tak sanggup kalau harus kembali mengingat kejadian semalam. Terlalu menyakitkan baginya. Ia bahkan hampir tak bisa tidur karena bermimpi buruk.
Apalagi orang yang semalam ia lihat, Elena yakin itu adalah Caitlyn. Meski langsung melarikan diri begitu ia menegur, tapi sosoknya memang identik dengan ibu mertuanya itu.
Tapi kalau memang benar Caitlyn, mengapa tak mengatakan apa pun? Apakah Caitlyn benar-benar tidak tahu kalau semalam Reviano....
Ah, mengapa lagi-lagi hal itu yang Elena pikirkan?
Diliriknya Reviano yang sedang mengolesi roti dengan selai blueberry kesukaannya. Lelaki itu tampak acuh dan dingin.
“Maaf Mommy, setelah sarapan aku akan bantu membersihkan sisa makanan kita dan mencucinya.” Elena tertunduk, belum berani ikut duduk.
“Ah, sudah. Sekarang duduklah.” Suara Caitlyn seakan mencair. Sejatinya, dia memang tak punya alasan untuk marah pada Elena.
Elena merasa semua makanan terasa hambar saat masuk ke mulutnya. Untuk hari-hari biasa saja dia selalu merasa canggung setiap kali berada di satu tempat bersama Reviano.
Apalagi sejak kejadian tadi malam.
Reviano memang sosok yang dingin dan jarang sekali bicara. Sejak diboyong tinggal di rumah mertuanya, bisa dihitung dengan jari berapa banyak interaksi antara dia dan sang mertua.
“Mommy, suapi aku.” Leon bermanja di samping Caitlyn.
Sejak kejadian malam itu, Leon seperti takut untuk dekat-dekat dengan Elena.
“Seharusnya kau minta disuapi dengan istrimu, Leon. Kau juga sebaiknya tak lagi tidur di kamar Mommy. Suami istri harus tidur seranjang. Tak baik kalau kau meninggalkan peran sebagai seorang suami. Apa kau tidak khawatir, nanti akan ada yang menggantikan peranmu? Di saat kau nyenyak di kamar kami, ada laki-laki lain yang masuk ke kamarmu dan tidur seranjang dengan Elena.”
“Bisakah kau hentikan omong kosong itu!”
Darah Elena seakan menyembur sampai ke kepala, saat suara Reviano terdengar menggelegar. Ini pasti karena kalimat Caitlyn yang seperti sedang menyindir.
Apakah Caitlyn tahu soal kejadian semalam? Atau dia pun memang menjadi bagian dari rencana gila Reviano? Mungkinkah ide itu juga terjadi atas persetujuan Caitlyn?
Elena sungguh tak bisa berpikir. Kepalanya terasa berdenyut tiba-tiba. Ia berusaha menghilangkan kegugupannya dengan meminum air di gelas beberapa kali.
Adapun Caitlyn, seketika langsung terdiam. Namun riak wajahnya terlihat begitu emosional.
Sekilas Elena melihat tangan wanita yang masih terlihat cantik itu gemetar, saat menyuapkan bubur ke mulut Leon.
PRANG....!!!
“Ah, maafkan aku....”
Elena gugup berjongkok, memunguti pecahan gelas yang baru saja ia jatuhkan. Sungguh membuat suasana menjadi semakin canggung.
Seorang housemaid wanita terlihat buru-buru membantunya.
“Biarkan saya yang membersihkannya, Nona. Silakan Anda melanjutkan sarapan.”
Elena menggeleng. Baginya, membuat kesibukan seperti ini lebih baik daripada harus duduk dengan canggung di atas kursi.
Elena yakin, ke depannya akan selalu ada ketidak-nyamanan di antara mereka. Terkecuali Leon tentunya.
“Kau kenapa, Elena? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Ada kejadian yang telah membuatmu terbayang-bayang?” Caitlyn memandang Elena dengan netra yang menyorot tajam.
Apa-apaan, pertanyaan itu? Kenapa Caitlyn seakan selalu melemparkan kata-kata yang memancing tentang kejadian laknat yang ia alami semalam?
“Tidak, Mommy. Maaf, aku hanya sedang banyak pikiran.” Elena menarik bibir, membentuk sebuah senyuman kaku.
“Siapa yang kau pikirkan?” tanya Caitlyn lagi.
“Aku--- merindukan Ibuku. Sudah lama aku tak pulang ke rumah. Aku merindukan masakannya.” Otak Elena begitu cepat berpikir, agar sebisa mungkin tak ada yang curiga padanya.
“Telepon dia. Minta untuk datang ke sini.” Caitlyn berkata tanpa melihat Elena sama sekali.
“Kalau aku yang pulang ke sana, apa boleh?” Elena bertanya takut-takut. Karena ia tak yakin akan diberi izin. Mengingat dulu Caitlyn pernah berkata agar ia tak boleh terlalu sering pulang ke rumah orang tua kandungnya.
Tapi untuk sekarang, memang lebih baik dia keluar dari rumah mertuanya sementara waktu. Selain karena menghindari dilecehkan lagi malam ini, dia juga ingin bercerita pada sang Ibu. Siapa tahu bisa mendapatkan solusi atas masalah pelik yang sedang dihadapinya.
“Kau baru beberapa minggu di sini...”
“Biarkan saja.” Suara berat Reviano memotong kalimat Caitlyn.
“Honey...”
“Tak masalah. Biarkan dia pulang selama beberapa hari. Mungkin dia perlu menyegarkan pikirannya.” Reviano memandang Elena, membuat gadis itu sedikit merinding.
Baru kali ini Reviano bicara sambil menatapnya. Secara normal, lelaki itu hanya menunduk dan mengeluarkan kata-kata seadanya.
“Kau pasti akan kembali ke rumah ini kan, Elena?” pertanyaan Reviano bagai sebuah kalimat intimidasi yang mengharuskan Elena untuk pulang ke tempat yang kini seperti neraka baginya.
“I-ya, tentu saja Dad. Tak mungkin aku berlama-lama meninggalkan suamiku.” Elena berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Baguslah. Kalau kau tidak kembali, kasihan Ayahmu, nantinya akan mengembalikan aset dan saham yang sudah terlanjur dipakainya.”
Elena meneguk ludah. Kata-kata Reviano jelas sekali bernada ancaman baginya.
***
“Pukul...! Pukul...!”
Suara sorak-sorai terdengar di sebuah ruangan setengah gelap dengan lampu berwarna-warni yang terus menyala berkedip-kedip.
“Ayo Elena, pukul bokongnya! Apa lagi yang kau tunggu!”
Elena berdecak sambil memandang kesal pada Nazarina Rosewood, sahabatnya sejak kecil.
Bagaimana tidak, wanita yang masih melajang itu telah menjebaknya. Padahal saat membawa ia pergi dari rumah sang ibu tadi, perempuan itu bilang hanya minta ditemani untuk menghadiri pesta salah satu kenalannya.
Namun ternyata, Nazarina membawanya ke dalam sebuah klub rahasia yang menjadi tempat para wanita lajang menghambur-hamburkan uang untuk para lelaki muda.
Kini Elena terpaksa duduk di sebuah kursi di tengah-tengah ruangan. Ia hanya bisa menatap geli pada seorang pemuda tampan bertubuh tegap atletis yang sedang meliuk-liuk di depannya.
Sejak tadi yang ia lihat hanya bokong yang ditutupi selembar celana dalam tipis, itu pun sudah diturunkan setengah.
Dan Elena dipaksa dengan sorakan ramai untuk memukul bokong pemuda itu!
Mau tak mau Elena melakukannya.
Dia pikir penderitaannya telah usai, namun ternyata belum. Pemuda di hadapannya kini berbalik dan menarik celana dalamnya ke depan, membuat sebuah celah yang nyaris memperlihatkan isinya.
Teriakan histeris para wanita kembali menggema keras. Elena memandang Nazarina dengan frustasi. Wanita itu tampak tergelak melihat wajah lucu Elena yang seakan minta diselamatkan dari sana.
“Berikan uangmu!” Nazarina berteriak.
“Apa?!”
“Berikan uang yang kau bawa dan masukkan ke dalam sana.”
“Hah! Gila!”
Elena bersungut-sungut. Pantas saja tadi Nazarina menyuruhnya untuk membawa uang yang banyak.
‘Tunggu saja saat kita pulang nanti!’ ucap Elena dalam hati.
Meski terpaksa, Elena merogoh handbag miliknya dan mengambil segepok uang di sana. Ia sudah tak menghitung dan tak peduli lagi berapa banyak yang akan melayang hanya karena sebuah tarian erotis menjijikkan yang menyakitkan mata.
Ia memberikannya, tapi pemuda itu terus memintanya untuk memasukkan sendiri ke dalam sana.
Elena menyerah. Dengan mata terpejam ia berusaha meletakkan uang pada tempat yang disediakan. Namun sedetik kemudian ia menjerit karena terkejut.
Tangannya ditangkap dan ditahan tangan pemuda itu, sampai menyentuh sesuatu yang terasa agak mengeras.
“Sial!” Elena mengumpat. Memandang lelaki muda di hadapannya yang kini mengedipkan mata.
Sejurus kemudian ia berdiri dan berlari menjauh. Syukurnya kali ini tak lagi ditahan seperti tadi.
“Kau benar-benar keterlaluan, Nazarin. Kau membohongiku. Kalau tahu kau akan membawaku ke tempat seperti ini, lebih baik aku tetap di rumah dan menyelesaikan masalah dengan Ibu.” Elena protes begitu mereka keluar dari klub, beberapa jam kemudian.
“Oh ayolah, Elena. Anggap ini hukuman karena telah mengkhianatiku.” Nazarina masih saja terus tergelak.
“Kapan aku mengkhianatimu?” mata Elena mendelik tajam.
“Sekarang.” Nazarina menjawab cepat. “Bukankah kau dulu berjanji akan terus melajang bersamaku? Nyatanya kau menikah dan meninggalkan aku menikmati kesendirian ini,” ucapnya kemudian.
Elena tertunduk karena merasa bersalah.
“Kalau tahu begini, sepertinya memang lebih baik kalau aku terus melajang bersamamu.” Elena seakan bicara sendiri.
“Memangnya ada apa? Kau punya masalah dengan keluarga suamimu?” Nazarina merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya.
“Tidak ada. Lupakan saja. Aku ke sini beberapa hari hanya untuk mendinginkan pikiran.”
Belum sempat Nazarina bertanya lagi, suara seseorang terdengar menyapa mereka.
“Halo, Ladies... Apakah aku boleh meminta waktu sebentar?”
Mata Elena membulat saat melihat sosok lelaki yang kini berada di hadapan mereka.
“Kau....”
“Dia tampan Elena.” Nazarina memiringkan badan, berkata dengan setengah berbisik. “Diamlah! Aku bisa melihatnya dengan mataku sendiri.” Elena merasa sebal. “Dia juga masih muda. Kutebak umurnya baru 19 tahunan.” Nazarina semakin menjadi-jadi, seakan tak mengindahkan kekesalan sahabatnya. Elena memberikan tatapan garang. Nazarina langsung mengatupkan bibir, menyatukan jari telunjuk dan jempol, kemudian menggeser dari kiri ke kanan mulutnya, seolah sedang memasang resleting di sana. “Kenalkan, aku Billy. Billy Harper. Kita sudah bertemu tadi di dalam.” Pemuda itu memperkenalkan diri dengan ramah. “Maaf, aku tak tertarik untuk mengetahui namamu. Dan sebenarnya aku juga tidak berharap kita bertemu lagi.” Elena berkata dingin. Masih terbayang jelas liukan tubuh Billy yang tadi sempat membuatnya nyaris muntah. “Apakah dia memang selalu seperti ini?” Billy bertanya pada Nazarina. “Iya. Makanya kemarin dia sempat lama melajang.” Nazarina menjawab sambil meletakkan tangan di samping bibi
“Aku Cuma minta diberikan perlakuan selembut dan sehangat mungkin,” ucap Elena. Perlahan ia mendekati Reviano yang masih tegap berdiri. Elena sedikit berjinjit saat mendekatkan bibirnya di telinga Reviano untuk membisikkan sesuatu di sana. “Bukankah Mommy bilang kalau Dad sangat hebat di ranjang? Aku ingin merasakan semua kenikmatan yang pernah didapatkan Mommy, tanpa terkecuali. Dan itu harus setiap malam. Apakah kau bisa melakukan semuanya untukku, Revi?” ujar Elena dengan nada mendesah yang menggoda nafsu liar kelelakian Reviano. Tanpa diduga, Reviano menangkap rambut Elena dan melumat bibirnya dengan kasar. Sebentar saja pakaian keduanya telah lepas dan Elena didorong jatuh di atas kasur. Tanpa memberi kesempatan, Reviano mulai menggarap Elena dengan fantasinya yang liar dan tak terkendali. “Tunggu dulu, Dad. Biarkan aku bernafas sejenak.” Elena membuka mulutnya yang ditutupi tangan kekar Reviano. Sementara lelaki itu terus mengerjainya dari belakang. “Kenapa panggil Dad? Bu
“Lepaskan! Kalau Dad seperti ini, yang mati bukan Cuma aku, tapi juga anakmu.” Elena masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Reviano di lehernya. Sungguh, ia sudah hampir kehabisan nafas. Matanya bahkan sudah mulai berkunang-kunang. Reviano menyerah. Bagaimanapun, ia tak mau terjadi sesuatu dengan bakal bayinya yang kini telah bersemayam di rahim Elena. Ia melepaskan cekikan meski masih merasa sangat kesal. Elena terbatuk-batuk, beberapa kali berusaha menarik nafas panjang. Seolah untuk menggantikan udara yang tadi sempat terputus. “Berarti benar kan, kau memang sudah hamil?” Reviano kembali mengulangi pertanyaannya. “Iya, aku memang sudah hamil Dad. Maafkan aku karena telah menutupinya darimu. Tapi aku melakukannya bukan karena mau menggugurkan anakmu. Aku--- aku hanya ingin agar kita bisa tetap seperti ini.” “Apa maksudmu dengan ‘seperti ini?’ Jangan bilang kalau kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita!” Reviano m
“Apa yang mau kau katakan? Apa sudah ada kabar baik tentang calon penerus keturunan keluarga? Apa Elena sudah hamil?” Caitlyn mencecar dengan segala pertanyaan, yang bahkan Reviano pun belum sempat mengatakan apa-apa.Sedangkan Elena, hanya bisa menggigit bibir sambil meremas tangannya sendiri. Habislah sudah, Reviano pasti mengumumkan kehamilannya.Elena pasrah. Tak berharap lagi.“Diane...” Reviano justru memanggil housemaid leader yang telah bekerja padanya lebih dari sepuluh tahun itu dengan ekspresi wajah dingin, tanpa menoleh sama sekali.“Iya Tuan.” Diane yang berdiri tak jauh, datang mendekat dengan badan nyaris membungkuk sempurna. Wanita paruh baya itu berdiri di samping Reviano.“Kumpulkan semua bawahanmu di ruangan ini, sekarang!” Reviano memberi perintah.Diane mengangguk dan membungkuk sekali lagi. “Baik Tuan. Beri saya waktu lima menit,” ucapnya.Reviano tak me
Di saat Elena telah pasrah, sebuah harapan muncul tatkala melihat Leon terlihat di ujung koridor. Senyumnya terbit.Lari melesat tanpa suara, Elena mendekati Leon dan memegang tangan suaminya.Tentu saja Leon yang memang takut dengan Elena jadi memberontak. Namun justru menjadi hal yang bagus dan menguntungkan bagi Elena.Elena sengaja membawa Leon secara paksa melewati ruang kerja Reviano. Tepat di saat itu juga pintu terbuka dan muncul Caitlyn dengan seorang lelaki yang menyusul di belakangnya, Evan Lewis.Elena berpura-pura terkejut, sementara baik Caitlyn maupun Evan justru terlihat salah tingkah ketika melihat Elena. Mungkin mereka tak menyangka kalau Elena akan memergoki mereka berdua keluar bersamaan dari dalam sebuah ruangan.“Paman Evan, ternyata Anda datang ke sini hari ini. Aku tak melihatnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam ruang kerja Dad, bersama Mommy,” Elena menyapa dengan ramah, namun ada sindiran di dalam kalimatnya.
“Annabeth?” raut wajah Elena kecewa saat melihat yang datang adalah salah satu asisten pribadi yang kemarin telah ditunjuk khusus oleh Reviano.“Selamat malam, Nona. Maafkan aku karena telah mengganggu istirahatmu malam-malam begini.” Annabeth terlihat menunduk karena tak enak hati. Apalagi di depannya, Elena kini sedang memakai gaun tidur yang seksi dan menerawang. Meski sama-sama wanita, tetap saja Annabeth merasa malu.“Tidak apa-apa. Aku juga belum tidur.” Elena memaksakan diri untuk tersenyum. “Memangnya ada apa kau datang ke sini?”“Maaf Nona. Saya kemari hanya mau mengantarkan makanan yang dititipkan oleh Tuan Rev. Beliau baru pulang tadi dan menitipkan ini untuk Nona.” Annabeth menyerahkan bungkusan plastik yang sudah pasti berisi sandwich pesanan Elena.“Terima kasih, Annabeth. Kau boleh kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ujar Elena.Annabeth mengangguk takzim dan
“Masuklah.” Reviano meletakkan berkas yang sedang ia baca ke atas meja saat terdengar bunyi ketukan pintu.“Anda memanggilku, Tuan Rev?” Marion, sekretaris pribadi Reviano berjalan mendekat diiringi bunyi sepatu hak tingginya.“Ah, kemarilah Marion. Aku punya tugas untukmu.”Marion berhenti tepat di depan Reviano. “Tugas apa Tuan Rev? Apakah harus kukerjakan sekarang? Laporan proyek baru yang semalam kau berikan padaku belum selesai.”Marion sebenarnya menyisipkan keluhan dalam kalimatnya. Entah bosnya itu bisa paham atau tidak, kalau pekerjaan yang diberikan selalu bertambah setiap harinya.Bahkan di saat yang satu belum sempat dikerjakan, Reviano sudah memberikan tugas yang baru.Kalau saja bukan karena gaji yang besar dan Reviano adalah bos yang royal, mungkin Marion sudah lama mengajukan surat pengunduran diri. Karena tak mampu kepalanya berdenyut setiap hari.“Kesampingkan saj
“Dilihat dari ukuran dan perkembangan organ dalam janin, kandungannya sudah masuk 7 pekan.” Dokter Estelle menunjukkan hasil USG empat dimensi pada Caitlyn yang duduk di samping Elena.Caitlyn melihat sekilas gambar yang ada di tangannya. Jujur saja ia tak mengerti. Terlihat pun tidak bentuk bayi di dalam sana. Ia menyerahkannya kembali pada sang Dokter.“Apakah tumbuh kembang bayinya bagus?” tanya Caitlyn.“Sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kelainan. Semoga tidak akan ada. Lakukan saja pemeriksa rutin setiap bulan untuk memantau perkembangan janin,” jawab Dokter Estelle sambil membetulkan letak kacamatanya yang sempat melorot ke bawah.“Apa Dokter yakin? Elena bilang dia masih menstruasi setiap bulan, tapi ternyata dia telah hamil 7 pekan. Aku takut ada kelainan, karena meski hamil, dia masih datang bulan.”Pucat pasi wajah Elena.Habislah, kalau sampai Dokter Estelle menjabarkan ilmunya dan mengatakan hal yang bertolak belakang dengan pengakuannya kemarin, maka Caitly