Share

3. Izin Pulang Dan Pergi Ke Klub Rahasia

“Kau baru bangun atau hanya bermalas-malasan di kamar, Elena? Seharusnya sejak pagi sudah turun, ikut membantu menyiapkan sarapan di dapur.”

Suara Caitlyn pagi ini terdengar sangat pedas. Tatapan matanya juga terlihat tak bersahabat saat melihat Elena datang dan ikut bergabung di ruang makan.

Aneh, padahal sejak awal menikah dengan Leon, Caitlyn tak mengizinkan Elena untuk membantu di dapur.

Elena diperlakukan seperti Ratu yang tak dibiarkan lelah. Tapi kenapa pagi ini ibu mertuanya itu marah-marah tanpa sebab?

Apakah ini karena semalam ia mengata-ngatai Leon, sehingga Caitlyn tak terima?

Atau karena kejadian di kamarnya, saat Reviano....

Ah, Elena tak sanggup kalau harus kembali mengingat kejadian semalam. Terlalu menyakitkan baginya. Ia bahkan hampir tak bisa tidur karena bermimpi buruk.

Apalagi orang yang semalam ia lihat, Elena yakin itu adalah Caitlyn. Meski langsung melarikan diri begitu ia menegur, tapi sosoknya memang identik dengan ibu mertuanya itu.

Tapi kalau memang benar Caitlyn, mengapa tak mengatakan apa pun? Apakah Caitlyn benar-benar tidak tahu kalau semalam Reviano....

Ah, mengapa lagi-lagi hal itu yang Elena pikirkan?

Diliriknya Reviano yang sedang mengolesi roti dengan selai blueberry kesukaannya. Lelaki itu tampak acuh dan dingin.

“Maaf Mommy, setelah sarapan aku akan bantu membersihkan sisa makanan kita dan mencucinya.” Elena tertunduk, belum berani ikut duduk.

“Ah, sudah. Sekarang duduklah.” Suara Caitlyn seakan mencair. Sejatinya, dia memang tak punya alasan untuk marah pada Elena.

Elena merasa semua makanan terasa hambar saat masuk ke mulutnya. Untuk hari-hari biasa saja dia selalu merasa canggung setiap kali berada di satu tempat bersama Reviano.

Apalagi sejak kejadian tadi malam.

Reviano memang sosok yang dingin dan jarang sekali bicara. Sejak diboyong tinggal di rumah mertuanya, bisa dihitung dengan jari berapa banyak interaksi antara dia dan sang mertua.

“Mommy, suapi aku.” Leon bermanja di samping Caitlyn.

Sejak kejadian malam itu, Leon seperti takut untuk dekat-dekat dengan Elena.

“Seharusnya kau minta disuapi dengan istrimu, Leon. Kau juga sebaiknya tak lagi tidur di kamar Mommy. Suami istri harus tidur seranjang. Tak baik kalau kau meninggalkan peran sebagai seorang suami. Apa kau tidak khawatir, nanti akan ada yang menggantikan peranmu? Di saat kau nyenyak di kamar kami, ada laki-laki lain yang masuk ke kamarmu dan tidur seranjang dengan Elena.”

“Bisakah kau hentikan omong kosong itu!”

Darah Elena seakan menyembur sampai ke kepala, saat suara Reviano terdengar menggelegar. Ini pasti karena kalimat Caitlyn yang seperti sedang menyindir.

Apakah Caitlyn tahu soal kejadian semalam? Atau dia pun memang menjadi bagian dari rencana gila Reviano? Mungkinkah ide itu juga terjadi atas persetujuan Caitlyn?

Elena sungguh tak bisa berpikir. Kepalanya terasa berdenyut tiba-tiba. Ia berusaha menghilangkan kegugupannya dengan meminum air di gelas beberapa kali.

Adapun Caitlyn, seketika langsung terdiam. Namun riak wajahnya terlihat begitu emosional.

Sekilas Elena melihat tangan wanita yang masih terlihat cantik itu gemetar, saat menyuapkan bubur ke mulut Leon.

PRANG....!!!

“Ah, maafkan aku....”

Elena gugup berjongkok, memunguti pecahan gelas yang baru saja ia jatuhkan. Sungguh membuat suasana menjadi semakin canggung.

Seorang housemaid wanita terlihat buru-buru membantunya.

“Biarkan saya yang membersihkannya, Nona. Silakan Anda melanjutkan sarapan.”

Elena menggeleng. Baginya, membuat kesibukan seperti ini lebih baik daripada harus duduk dengan canggung di atas kursi.

Elena yakin, ke depannya akan selalu ada ketidak-nyamanan di antara mereka. Terkecuali Leon tentunya.

“Kau kenapa, Elena? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Ada kejadian yang telah membuatmu terbayang-bayang?” Caitlyn memandang Elena dengan netra yang menyorot tajam.

Apa-apaan, pertanyaan itu? Kenapa Caitlyn seakan selalu melemparkan kata-kata yang memancing tentang kejadian laknat yang ia alami semalam?

“Tidak, Mommy. Maaf, aku hanya sedang banyak pikiran.” Elena menarik bibir, membentuk sebuah senyuman kaku.

“Siapa yang kau pikirkan?” tanya Caitlyn lagi.

“Aku--- merindukan Ibuku. Sudah lama aku tak pulang ke rumah. Aku merindukan masakannya.” Otak Elena begitu cepat berpikir, agar sebisa mungkin tak ada yang curiga padanya.

“Telepon dia. Minta untuk datang ke sini.” Caitlyn berkata tanpa melihat Elena sama sekali.

“Kalau aku yang pulang ke sana, apa boleh?” Elena bertanya takut-takut. Karena ia tak yakin akan diberi izin. Mengingat dulu Caitlyn pernah berkata agar ia tak boleh terlalu sering pulang ke rumah orang tua kandungnya.

Tapi untuk sekarang, memang lebih baik dia keluar dari rumah mertuanya sementara waktu. Selain karena menghindari dilecehkan lagi malam ini, dia juga ingin bercerita pada sang Ibu. Siapa tahu bisa mendapatkan solusi atas masalah pelik yang sedang dihadapinya.

“Kau baru beberapa minggu di sini...”

“Biarkan saja.” Suara berat Reviano memotong kalimat Caitlyn.

“Honey...”

“Tak masalah. Biarkan dia pulang selama beberapa hari. Mungkin dia perlu menyegarkan pikirannya.” Reviano memandang Elena, membuat gadis itu sedikit merinding.

Baru kali ini Reviano bicara sambil menatapnya. Secara normal, lelaki itu hanya menunduk dan mengeluarkan kata-kata seadanya.

“Kau pasti akan kembali ke rumah ini kan, Elena?” pertanyaan Reviano bagai sebuah kalimat intimidasi yang mengharuskan Elena untuk pulang ke tempat yang kini seperti neraka baginya.

“I-ya, tentu saja Dad. Tak mungkin aku berlama-lama meninggalkan suamiku.” Elena berusaha tersenyum semanis mungkin.

“Baguslah. Kalau kau tidak kembali, kasihan Ayahmu, nantinya akan mengembalikan aset dan saham yang sudah terlanjur dipakainya.”

Elena meneguk ludah. Kata-kata Reviano jelas sekali bernada ancaman baginya.

***

“Pukul...! Pukul...!”

Suara sorak-sorai terdengar di sebuah ruangan setengah gelap dengan lampu berwarna-warni yang terus menyala berkedip-kedip.

“Ayo Elena, pukul bokongnya! Apa lagi yang kau tunggu!”

Elena berdecak sambil memandang kesal pada Nazarina Rosewood, sahabatnya sejak kecil.

Bagaimana tidak, wanita yang masih melajang itu telah menjebaknya. Padahal saat membawa ia pergi dari rumah sang ibu tadi, perempuan itu bilang hanya minta ditemani untuk menghadiri pesta salah satu kenalannya.

Namun ternyata, Nazarina membawanya ke dalam sebuah klub rahasia yang menjadi tempat para wanita lajang menghambur-hamburkan uang untuk para lelaki muda.

Kini Elena terpaksa duduk di sebuah kursi di tengah-tengah ruangan. Ia hanya bisa menatap geli pada seorang pemuda tampan bertubuh tegap atletis yang sedang meliuk-liuk di depannya.

Sejak tadi yang ia lihat hanya bokong yang ditutupi selembar celana dalam tipis, itu pun sudah diturunkan setengah.

Dan Elena dipaksa dengan sorakan ramai untuk memukul bokong pemuda itu!

Mau tak mau Elena melakukannya.

Dia pikir penderitaannya telah usai, namun ternyata belum. Pemuda di hadapannya kini berbalik dan menarik celana dalamnya ke depan, membuat sebuah celah yang nyaris memperlihatkan isinya.

Teriakan histeris para wanita kembali menggema keras. Elena memandang Nazarina dengan frustasi. Wanita itu tampak tergelak melihat wajah lucu Elena yang seakan minta diselamatkan dari sana.

“Berikan uangmu!” Nazarina berteriak.

“Apa?!”

“Berikan uang yang kau bawa dan masukkan ke dalam sana.”

“Hah! Gila!”

Elena bersungut-sungut. Pantas saja tadi Nazarina menyuruhnya untuk membawa uang yang banyak.

‘Tunggu saja saat kita pulang nanti!’ ucap Elena dalam hati.

Meski terpaksa, Elena merogoh handbag miliknya dan mengambil segepok uang di sana. Ia sudah tak menghitung dan tak peduli lagi berapa banyak yang akan melayang hanya karena sebuah tarian erotis menjijikkan yang menyakitkan mata.

Ia memberikannya, tapi pemuda itu terus memintanya untuk memasukkan sendiri ke dalam sana.

Elena menyerah. Dengan mata terpejam ia berusaha meletakkan uang pada tempat yang disediakan. Namun sedetik kemudian ia menjerit karena terkejut.

Tangannya ditangkap dan ditahan tangan pemuda itu, sampai menyentuh sesuatu yang terasa agak mengeras.

“Sial!” Elena mengumpat. Memandang lelaki muda di hadapannya yang kini mengedipkan mata.

Sejurus kemudian ia berdiri dan berlari menjauh. Syukurnya kali ini tak lagi ditahan seperti tadi.

“Kau benar-benar keterlaluan, Nazarin. Kau membohongiku. Kalau tahu kau akan membawaku ke tempat seperti ini, lebih baik aku tetap di rumah dan menyelesaikan masalah dengan Ibu.” Elena protes begitu mereka keluar dari klub, beberapa jam kemudian.

“Oh ayolah, Elena. Anggap ini hukuman karena telah mengkhianatiku.” Nazarina masih saja terus tergelak.

“Kapan aku mengkhianatimu?” mata Elena mendelik tajam.

“Sekarang.” Nazarina menjawab cepat. “Bukankah kau dulu berjanji akan terus melajang bersamaku? Nyatanya kau menikah dan meninggalkan aku menikmati kesendirian ini,” ucapnya kemudian.

Elena tertunduk karena merasa bersalah.

“Kalau tahu begini, sepertinya memang lebih baik kalau aku terus melajang bersamamu.” Elena seakan bicara sendiri.

“Memangnya ada apa? Kau punya masalah dengan keluarga suamimu?” Nazarina merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya.

“Tidak ada. Lupakan saja. Aku ke sini beberapa hari hanya untuk mendinginkan pikiran.”

Belum sempat Nazarina bertanya lagi, suara seseorang terdengar menyapa mereka.

“Halo, Ladies... Apakah aku boleh meminta waktu sebentar?”

Mata Elena membulat saat melihat sosok lelaki yang kini berada di hadapan mereka.

“Kau....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status