“Dia tampan Elena.” Nazarina memiringkan badan, berkata dengan setengah berbisik.
“Diamlah! Aku bisa melihatnya dengan mataku sendiri.” Elena merasa sebal.
“Dia juga masih muda. Kutebak umurnya baru 19 tahunan.” Nazarina semakin menjadi-jadi, seakan tak mengindahkan kekesalan sahabatnya.
Elena memberikan tatapan garang. Nazarina langsung mengatupkan bibir, menyatukan jari telunjuk dan jempol, kemudian menggeser dari kiri ke kanan mulutnya, seolah sedang memasang resleting di sana.
“Kenalkan, aku Billy. Billy Harper. Kita sudah bertemu tadi di dalam.” Pemuda itu memperkenalkan diri dengan ramah.
“Maaf, aku tak tertarik untuk mengetahui namamu. Dan sebenarnya aku juga tidak berharap kita bertemu lagi.” Elena berkata dingin. Masih terbayang jelas liukan tubuh Billy yang tadi sempat membuatnya nyaris muntah.
“Apakah dia memang selalu seperti ini?” Billy bertanya pada Nazarina.
“Iya. Makanya kemarin dia sempat lama melajang.” Nazarina menjawab sambil meletakkan tangan di samping bibir, seolah berbisik.
“Aku mendengarnya, Nazarin!” Elena dongkol karena sahabatnya itu seakan tak tahu diri. Bukankah sampai sekarang pun, justru dia yang masih melajang?
Billy tertawa. “Tapi wanita seperti ini yang memang sungguh sangat menarik.”
“Namanya Elena Davis.” Nazarina menyebutkan nama seenaknya, membuat mata Elena melotot.
“Apa maumu?” tanya Elena, berusaha memangkas waktu agar tak terlalu lama melihat Billy.
Harus diakui, Billy memang sangat tampan. Apalagi setelah memakai pakaian yang lengkap seperti sekarang. Cukup membuat Elena terpukau, sebenarnya.
“Langsung saja. Aku ingin berterima kasih karena telah memberiku uang tip yang besar.”
“Tak masalah. Ambil saja karena aku ikhlas.” Elena memotong kalimat Billy dengan cepat.
“Masalahnya, aku merasa tak enak kalau menerima uang sebesar itu tapi tak melakukan apa-apa. Kalau hanya sekedar menari, uang yang kudapatkan tak perlu sebanyak itu. Uang yang kau berikan bisa untuk tiga kali bayaran buat memuaskanmu di ranjang.”
“Sudah kubilang aku ikhlas dan tak memikirkannya. Jadi, permisi... Ayo kita pulang, Nazarin.” Elena menarik lengan sahabatnya.
“Jangan bilang kalau kau masih perawan.”
Kalimat Billy membuat Elena menghentikan langkahnya. Status perawan memang sangat memalukan di usianya yang sudah tak lagi muda.
“Siapa bilang? A-aku sudah tak perawan.” Elena menyanggah. Apa yang ia katakan memang tak sepenuhnya salah, karena dia memang sudah tak suci lagi.
“Kalau begitu, berarti kau tak pernah menikmatinya. Mungkin saja kau terpaksa saat melakukan hal ‘itu’. Iya kan?”
Billy berjalan mendekati Elena dan berbisik di telinganya.
“Mau aku beritahu betapa nikmatnya berhubungan badan atas dasar perasaan suka sama suka? Aku akan mengembalikan semua uangmu kalau memang tak berhasil memberimu kepuasan. Ayolah, kuberi satu kali pelayanan gratis. Apa kau tak penasaran dengan rasanya?”
Suara Billy yang mendesah lembut di telinga Elena membuat wanita itu meneguk ludah. Apalagi dilihat dari dekat, Billy memang sangat mempesona.
“A-aku sudah menikah.” Elena tergagap. Ingin menolak, tapi sayang melewatkan kesempatan.
“Aku selalu memegang kode etik dalam pekerjaanku. Aku tak pernah buka rahasia, karena bukan Cuma kali ini aku meniduri istri orang.” Billy masih terus menggoda.
Elena memandang Nazarina yang tampak menahan tawa.
“Aku juga tak mungkin cerita. Aku tak mengenal keluarga suamimu.” Nazarina meyakinkan kalau dia adalah teman yang baik dan pengertian.
“Baiklah... Berarti kita sepakat.”
Billy terlihat senang. Ia langsung menarik lengan Elena untuk membawanya ke sebuah hotel terdekat.
“Hei Billy... Lain kali kita yang harus bersenang-senang!” Nazarina berteriak saat mereka mulai semakin menjauh. Billy hanya mengacungkan jempolnya.
***
Elena menyemprotkan parfum ke leher dan lengan. Ia sudah berdandan cantik dan memakai pakaian terbaiknya. Tentu saja, ia juga mengenakan lingerie yang bisa membangkitkan hasrat di balik piyama berbahan satin mengkilap yang dikenakannya.
Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam. Kalau tebakannya benar, maka tak lama lagi Reviano pasti akan datang untuk menggaulinya.
Baru saja tadi siang ia kembali ke rumah Leon, setelah lima hari berlibur di tempat orang tuanya. Bisa ia lihat tatapan senang Reviano saat melihatnya datang.
Berbanding terbalik dengan Caitlyn yang justru terkesan menyulitkannya. Wanita itu seperti sengaja menyuruh Elena untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga. Padahal mereka memiliki lebih dari lima orang housemaid.
Caitlyn jelas sekali berubah. Ia tak lagi menyukai Elena. Entah apa alasannya.
Untuk menghilangkan rasa bosan, Elena kembali melayangkan ingatannya pada kejadian beberapa hari yang lalu saat Billy memberikan pelayanan khusus padanya.
Benar apa yang dikatakan pemuda itu, kalau melakukannya secara suka sama suka, memang membuat ketagihan.
Masih bisa ia rasakan, sentuhan basah mulut Billy yang menyapu hampir setiap jengkal tubuhnya.
Elena bahkan sampai tak memikirkan rasa malu lagi, saat mendesah kuat setiap kali ia mencapai puncaknya.
Hanya saja ada yang membuat Elena terkejut setelah selesai melakukan hubungan intim dengan Billy.
Mereka tidak memakai pengaman, saking lupa diri karena kenikmatannya.
Suara ketukan di pintu membuyarkan pikiran kotor di kepala Elena. Spontan ia berdiri merapikan penampilan.
Malam ini, ia ingin mencoba mendapatkan kepuasan dari Reviano. Bukankah dia diperlakukan seenaknya hanya karena mempertahankan garis keturunan keluarga Lawrence?
Maka biarkanlah setidaknya ia bisa menikmati apa yang menjadi aib baginya.
“Kau belum tidur?” suara berat Reviano terdengar heran saat melihat wajah Elena yang segar.
“Belum. Aku menunggumu, Dad. Karena kupikir kau pasti akan datang lagi.”
Reviano memandangi Elena dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Kau berdandan,” gumamnya.
“Memang. Aku sengaja.” Elena kini seakan bukan lagi seorang wanita yang polos. Ia mulai berani bicara tanpa rasa malu.
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin aku hanya ingin terlihat--- menarik?”
“Dengar Elena, aku melakukan ini bukan karena punya perasaan terhadapmu. Ingat, hubungan kita hanya sebatas tujuan untuk mendapatkan keturunan buat menjadi penerus keluarga Lawrence.” Reviano seakan memastikan kalau menantunya tak salah kaprah akan perbuatan mereka.
“Aku tahu. Dad sudah mengatakannya dengan jelas saat pertama kali merenggut keperawananku tempo hari.”
Reviano terdiam mendengar jawaban telak Elena yang seolah-olah menjabarkan kesalahannya.
Elena melanjutkan kalimat. “Tapi, tidak ada salahnya kan, kalau aku hanya berusaha untuk menikmati semuanya? Apa Dad tidak merasa kalau kalian hanya menilaiku sebagai mesin pembuat anak demi lahirnya anggota baru keluarga Lawrence? Meski mungkin aku dibeli dengan saham ataupun aset, tapi tetap saja itu tak sebanding dengan kelangsungan keturunan kalian jangka panjang. Benar kan kataku?”
“Lalu apa maumu?” tanya Reviano.
“Aku Cuma minta diberikan perlakuan selembut dan sehangat mungkin,” ucap Elena. Perlahan ia mendekati Reviano yang masih tegap berdiri. Elena sedikit berjinjit saat mendekatkan bibirnya di telinga Reviano untuk membisikkan sesuatu di sana. “Bukankah Mommy bilang kalau Dad sangat hebat di ranjang? Aku ingin merasakan semua kenikmatan yang pernah didapatkan Mommy, tanpa terkecuali. Dan itu harus setiap malam. Apakah kau bisa melakukan semuanya untukku, Revi?” ujar Elena dengan nada mendesah yang menggoda nafsu liar kelelakian Reviano. Tanpa diduga, Reviano menangkap rambut Elena dan melumat bibirnya dengan kasar. Sebentar saja pakaian keduanya telah lepas dan Elena didorong jatuh di atas kasur. Tanpa memberi kesempatan, Reviano mulai menggarap Elena dengan fantasinya yang liar dan tak terkendali. “Tunggu dulu, Dad. Biarkan aku bernafas sejenak.” Elena membuka mulutnya yang ditutupi tangan kekar Reviano. Sementara lelaki itu terus mengerjainya dari belakang. “Kenapa panggil Dad? Bu
“Lepaskan! Kalau Dad seperti ini, yang mati bukan Cuma aku, tapi juga anakmu.” Elena masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Reviano di lehernya. Sungguh, ia sudah hampir kehabisan nafas. Matanya bahkan sudah mulai berkunang-kunang. Reviano menyerah. Bagaimanapun, ia tak mau terjadi sesuatu dengan bakal bayinya yang kini telah bersemayam di rahim Elena. Ia melepaskan cekikan meski masih merasa sangat kesal. Elena terbatuk-batuk, beberapa kali berusaha menarik nafas panjang. Seolah untuk menggantikan udara yang tadi sempat terputus. “Berarti benar kan, kau memang sudah hamil?” Reviano kembali mengulangi pertanyaannya. “Iya, aku memang sudah hamil Dad. Maafkan aku karena telah menutupinya darimu. Tapi aku melakukannya bukan karena mau menggugurkan anakmu. Aku--- aku hanya ingin agar kita bisa tetap seperti ini.” “Apa maksudmu dengan ‘seperti ini?’ Jangan bilang kalau kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita!” Reviano m
“Apa yang mau kau katakan? Apa sudah ada kabar baik tentang calon penerus keturunan keluarga? Apa Elena sudah hamil?” Caitlyn mencecar dengan segala pertanyaan, yang bahkan Reviano pun belum sempat mengatakan apa-apa.Sedangkan Elena, hanya bisa menggigit bibir sambil meremas tangannya sendiri. Habislah sudah, Reviano pasti mengumumkan kehamilannya.Elena pasrah. Tak berharap lagi.“Diane...” Reviano justru memanggil housemaid leader yang telah bekerja padanya lebih dari sepuluh tahun itu dengan ekspresi wajah dingin, tanpa menoleh sama sekali.“Iya Tuan.” Diane yang berdiri tak jauh, datang mendekat dengan badan nyaris membungkuk sempurna. Wanita paruh baya itu berdiri di samping Reviano.“Kumpulkan semua bawahanmu di ruangan ini, sekarang!” Reviano memberi perintah.Diane mengangguk dan membungkuk sekali lagi. “Baik Tuan. Beri saya waktu lima menit,” ucapnya.Reviano tak me
Di saat Elena telah pasrah, sebuah harapan muncul tatkala melihat Leon terlihat di ujung koridor. Senyumnya terbit.Lari melesat tanpa suara, Elena mendekati Leon dan memegang tangan suaminya.Tentu saja Leon yang memang takut dengan Elena jadi memberontak. Namun justru menjadi hal yang bagus dan menguntungkan bagi Elena.Elena sengaja membawa Leon secara paksa melewati ruang kerja Reviano. Tepat di saat itu juga pintu terbuka dan muncul Caitlyn dengan seorang lelaki yang menyusul di belakangnya, Evan Lewis.Elena berpura-pura terkejut, sementara baik Caitlyn maupun Evan justru terlihat salah tingkah ketika melihat Elena. Mungkin mereka tak menyangka kalau Elena akan memergoki mereka berdua keluar bersamaan dari dalam sebuah ruangan.“Paman Evan, ternyata Anda datang ke sini hari ini. Aku tak melihatnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam ruang kerja Dad, bersama Mommy,” Elena menyapa dengan ramah, namun ada sindiran di dalam kalimatnya.
“Annabeth?” raut wajah Elena kecewa saat melihat yang datang adalah salah satu asisten pribadi yang kemarin telah ditunjuk khusus oleh Reviano.“Selamat malam, Nona. Maafkan aku karena telah mengganggu istirahatmu malam-malam begini.” Annabeth terlihat menunduk karena tak enak hati. Apalagi di depannya, Elena kini sedang memakai gaun tidur yang seksi dan menerawang. Meski sama-sama wanita, tetap saja Annabeth merasa malu.“Tidak apa-apa. Aku juga belum tidur.” Elena memaksakan diri untuk tersenyum. “Memangnya ada apa kau datang ke sini?”“Maaf Nona. Saya kemari hanya mau mengantarkan makanan yang dititipkan oleh Tuan Rev. Beliau baru pulang tadi dan menitipkan ini untuk Nona.” Annabeth menyerahkan bungkusan plastik yang sudah pasti berisi sandwich pesanan Elena.“Terima kasih, Annabeth. Kau boleh kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ujar Elena.Annabeth mengangguk takzim dan
“Masuklah.” Reviano meletakkan berkas yang sedang ia baca ke atas meja saat terdengar bunyi ketukan pintu.“Anda memanggilku, Tuan Rev?” Marion, sekretaris pribadi Reviano berjalan mendekat diiringi bunyi sepatu hak tingginya.“Ah, kemarilah Marion. Aku punya tugas untukmu.”Marion berhenti tepat di depan Reviano. “Tugas apa Tuan Rev? Apakah harus kukerjakan sekarang? Laporan proyek baru yang semalam kau berikan padaku belum selesai.”Marion sebenarnya menyisipkan keluhan dalam kalimatnya. Entah bosnya itu bisa paham atau tidak, kalau pekerjaan yang diberikan selalu bertambah setiap harinya.Bahkan di saat yang satu belum sempat dikerjakan, Reviano sudah memberikan tugas yang baru.Kalau saja bukan karena gaji yang besar dan Reviano adalah bos yang royal, mungkin Marion sudah lama mengajukan surat pengunduran diri. Karena tak mampu kepalanya berdenyut setiap hari.“Kesampingkan saj
“Dilihat dari ukuran dan perkembangan organ dalam janin, kandungannya sudah masuk 7 pekan.” Dokter Estelle menunjukkan hasil USG empat dimensi pada Caitlyn yang duduk di samping Elena.Caitlyn melihat sekilas gambar yang ada di tangannya. Jujur saja ia tak mengerti. Terlihat pun tidak bentuk bayi di dalam sana. Ia menyerahkannya kembali pada sang Dokter.“Apakah tumbuh kembang bayinya bagus?” tanya Caitlyn.“Sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kelainan. Semoga tidak akan ada. Lakukan saja pemeriksa rutin setiap bulan untuk memantau perkembangan janin,” jawab Dokter Estelle sambil membetulkan letak kacamatanya yang sempat melorot ke bawah.“Apa Dokter yakin? Elena bilang dia masih menstruasi setiap bulan, tapi ternyata dia telah hamil 7 pekan. Aku takut ada kelainan, karena meski hamil, dia masih datang bulan.”Pucat pasi wajah Elena.Habislah, kalau sampai Dokter Estelle menjabarkan ilmunya dan mengatakan hal yang bertolak belakang dengan pengakuannya kemarin, maka Caitly
Mobil memasuki pekarangan yang luas.Caitlyn sempat berhenti cukup jauh sebelum benar-benar sampai di depan rumah.“Kenapa berhenti di sini Mommy?” tanya Elena.“Apa kau tak penasaran dengan hadiah yang sudah aku persiapkan untukmu?”Elena tak menjawab. Hatinya masih ketar-ketir luar biasa. Perasaannya mengatakan kalau hadiah yang dimaksud Caitlyn bukanlah sesuatu yang baik.Caitlyn mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Elena hanya bisa mendengarkan dan menebak-nebak siapa yang sedang dihubungi oleh mertuanya itu.Tak lama setelah Caitlyn mengakhiri panggilan telepon, sebuah mobil SUV berwarna hitam melewati mereka dan berhenti tepat di depan rumah.Elena terkejut luar biasa, saat melihat siapa yang keluar dari mobil tadi.Itu Nancy Rosendale, ibu kandungnya.“Mama...” Elena bergumam lirih. Antara rasa tak percaya dan penasaran, bagaimana bisa ibunya datang hari ini tanpa menelepon terlebih dahulu?“Elena...”Panggilan Caitlyn membuatnya menoleh. Wanita itu memposisikan ponseln