“Lepaskan! Kalau Dad seperti ini, yang mati bukan Cuma aku, tapi juga anakmu.”
Elena masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Reviano di lehernya. Sungguh, ia sudah hampir kehabisan nafas. Matanya bahkan sudah mulai berkunang-kunang.
Reviano menyerah. Bagaimanapun, ia tak mau terjadi sesuatu dengan bakal bayinya yang kini telah bersemayam di rahim Elena. Ia melepaskan cekikan meski masih merasa sangat kesal.
Elena terbatuk-batuk, beberapa kali berusaha menarik nafas panjang. Seolah untuk menggantikan udara yang tadi sempat terputus.
“Berarti benar kan, kau memang sudah hamil?” Reviano kembali mengulangi pertanyaannya.
“Iya, aku memang sudah hamil Dad. Maafkan aku karena telah menutupinya darimu. Tapi aku melakukannya bukan karena mau menggugurkan anakmu. Aku--- aku hanya ingin agar kita bisa tetap seperti ini.”
“Apa maksudmu dengan ‘seperti ini?’ Jangan bilang kalau kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita!” Reviano melotot sambil menunjuk-nunjuk Elena.
“Apakah aku salah, kalau berharap hal yang seperti itu?” tanya Elena dengan suara lemah.
“Jelas salah! Sudah aku jelaskan sejak awal, dan sering kali kuperingatkan. Kau bilang sudah paham. Tapi kenapa sekarang berpikiran agar kita tetap seperti ini?”
“Aku memang sudah paham, Dad. Tapi apakah kau sama sekali tak merasa kasihan padaku? Setelah kehamilan ini kita beritakan pada keluarga besar, maka aku akan kembali seperti dulu. Aku akan seperti seorang wanita yang tak bersuami, yang mana aku akan menjalaninya seumur hidup. Apa kau tak merasa kalau kalian begitu kejam padaku? Andai aku bisa mengembalikan semua yang kau berikan pada keluargaku, maka aku lebih memilih untuk hidup miskin daripada harus menjadi wanita paling menyedihkan di dunia ini.”
Elena menangis, menumpahkan segala rasa kecewa dan sakit hatinya. Dia hanya ingin sedikit kebahagiaan, itu saja.
“Kau bisa mencoba untuk mencintai Leon, Elena. Kau tak boleh berharap sesuatu yang lebih padaku. Aku tak mungkin mencintaimu! Seharusnya kau tahu batasan kita. Akan menjadi suatu aib yang besar dan memalukan kalau CEO Corazon Group terlibat skandal dengan menantunya sendiri.”
Elena berlari mengejar kedua kaki Reviano.
“Aku mohon, Dad. Aku tak mengharapkan cintamu. Aku hanya ingin sedikit belas kasihanmu. Tolong, jangan biarkan aku sendirian menanggung rasa sedih ini. Bukankah seorang Ibu yang hamil tak boleh merasa sedih atau tertekan? Apa kau tidak takut itu akan berpengaruh pada tumbuh kembang bayinya? Jangan sampai anak kita seperti Leon, yang mentalnya terganggu karena selama masa kehamilan aku mengalami stres berat.” Elena masih berupaya membujuk mertuanya itu agar berubah pikiran.
“Jaga bicaramu, Elena! Aku tak suka mendengarmu merendahkan Leon!” Reviano berkata dingin, namun menusuk.
“Aku sama sekali tak merendahkan Leon. Aku hanya tak mau kalau nantinya akan disalahkan, andai anak ini lahir dalam keadaan yang tidak sesuai keinginan kita. Tolonglah, kalau kau tak mau melakukannya demi aku, maka lakukan saja demi anak ini,” Elena memohon. Air matanya telah jatuh berderai di wajah cantiknya yang mendongak ke atas.
Reviano menghela dan membuang nafas dengan keras. Hatinya berbelah bagi. Antara kasihan dan juga tak mau membuat masalah di kemudian hari.
“Aku pergi dulu. Bersikaplah yang baik sebagai menantu di rumah ini.” Reviano bergerak sambil melepas paksa pelukan Elena di kakinya.
“Dad, kau tak akan bilang pada Mommy kan kalau aku sudah hamil?”
Reviano tak menjawab pertanyaan Elena. Bahkan menoleh pun tidak. Ia terus berjalan menuju pintu kamar.
“Kau akan datang lagi kan besok atau lusa malam?”
Lagi-lagi, pertanyaan Elena diacuhkan. Sampai akhirnya Reviano menutup pintu dengan sempurna, meninggalkan Elena yang masih duduk bersimpuh di lantai dengan tangisnya yang senyap.
***
“Bawa ini ke depan. Pelan-pelan, jangan sampai jatuh,” ujar Caitlyn dengan nada memerintah yang kentara. Wanita itu menyerahkan buah potong di piring keramik ke tangan Elena.
“Baik Mommy.” Elena membawa dengan hati-hati menuju ke meja makan.
“Kenapa Nona yang membawa makanan ke depan? Berikan pada saya. Biar saya yang menghidangkannya.” Seorang housemaid panik, saat melihat Elena membawa sendiri menu sarapan untuk majikan mereka. Bagaimanapun, Elena adalah menantu di rumah ini. Jadi harus sama dihormati seperti anggota keluarga yang lain.
“Tidak masalah. Biar aku saja,” Elena berkata sambil tersenyum.
“Tapi...” kalimat housemaid bernama Diane itu terputus tatkala suara Caitlyn terdengar menggelegar memarahinya.
“Apa kau tak mendengar apa yang Elena katakan, Diane?! Biarkan dia sendiri yang membawanya! Jangan terlalu memanjakan dia. Sebagai menantu di rumah ini, dia juga harus pandai bekerja. Paling tidak untuk menyajikan makanan buat Leon nantinya. Sekarang menyingkirlah! Kalau kau terlalu lama berdiri menghalangi jalannya, bisa-bisa apa yang ia bawa jatuh ke lantai!” sergah Caitlyn dengan nada kasar.
“Baik, Nyonya. Maafkan saya.” Diane membungkuk berulang kali. Ia sangat takut, karena baru kali ini melihat Caitlyn begitu marah. Padahal biasanya, wanita itu tak pernah meninggikan suara, sekalipun ia pernah melakukan salah dalam bekerja.
Elena yang mendengar langsung paham, kalau sebenarnya amarah Caitlyn bukanlah tertuju untuk Diane, melainkan dirinya. Caitlyn memang berubah drastis semenjak ia dan Reviano melakukan hubungan terlarang.
Tentu saja, apa pun alasannya, seorang istri pasti cemburu saat suaminya bermesraan dengan perempuan lain.
Elena meletakkan piring berisi potongan buah di atas meja. Dari ekor mata ia melihat Reviano yang ternyata sudah duduk manis sejak tadi, menunggu menu sarapan yang lengkap dihidangkan.
Diam-diam Elena menghela nafas, mengingat sudah lebih dari tiga hari Reviano tak pernah lagi mendatanginya di kamar. Tapi kalau dilihat dari gelagat Caitlyn, sepertinya ia belum tahu kalau Elena sudah berbadan dua.
Elena tak habis pikir, kalau memang Reviano belum memberitahu soal kehamilannya, kenapa sampai kini tak datang mengunjunginya? Apa mau lelaki itu?
“Pergilah ke belakang lagi, ambil sup dan bubur untuk Leon.” Lagi-lagi Caitlyn memerintah seenaknya. Padahal, Elena merasa kepalanya sangat pusing.
Sebenarnya, sejak Elena tahu ia positif hamil melalui tes urine, berbagai gejala morning sickness mulai bermunculan satu persatu.
Aneh memang. Padahal awalnya biasa-biasa saja. Tak ada keluhan apa pun. Tapi saat tahu ia mengandung, seakan sang jabang bayi menjadi cerewet minta diperhatikan. Tanda-tanda mengidam pun mulai mengganggunya.
Mulai dari rasa pusing, mual, juga benci terhadap bau parfum, sabun mandi dan beberapa jenis bahan makanan.
Mungkin itu masih wajar. Tapi ada yang lebih merepotkan dari itu semua.
Libido!
Ada pengaruh atau tidak, yang jelas Elena merasa kini ia memiliki nafsu seksual yang terasa semakin menggebu-gebu. Apalagi setiap kali melihat Reviano di depan matanya. Ingin rasa ia menerkam lelaki itu meski saat berada di atas meja makan.
“Duduklah, Elena. Biarkan Diane atau Amber yang mengambilkan makanan Leon,” suara Reviano terdengar berat namun menekan.
Elena sempat ragu. Apalagi saat melihat pandangan mata Caitlyn yang seperti mengintimidasinya.
“Aku bilang duduk!” Reviano mengulang kalimat perintahnya, kali ini dengan nada satu oktaf lebih tinggi.
Elena spontan mengambil posisi tempat biasanya ia duduk. Kalau Reviano sudah memerintah dengan gertakan, Caitlyn pun tak akan berani membangkang.
“Kau juga duduklah, Honey. Ada hal penting yang mau aku katakan padamu soal Elena,” ujar Reviano sambil memandang Caitlyn yang masih berdiri.
“Apa yang mau kau katakan? Apa sudah ada kabar baik tentang calon penerus keturunan keluarga? Apa Elena sudah hamil?” Caitlyn mencecar dengan segala pertanyaan, yang bahkan Reviano pun belum sempat mengatakan apa-apa.Sedangkan Elena, hanya bisa menggigit bibir sambil meremas tangannya sendiri. Habislah sudah, Reviano pasti mengumumkan kehamilannya.Elena pasrah. Tak berharap lagi.“Diane...” Reviano justru memanggil housemaid leader yang telah bekerja padanya lebih dari sepuluh tahun itu dengan ekspresi wajah dingin, tanpa menoleh sama sekali.“Iya Tuan.” Diane yang berdiri tak jauh, datang mendekat dengan badan nyaris membungkuk sempurna. Wanita paruh baya itu berdiri di samping Reviano.“Kumpulkan semua bawahanmu di ruangan ini, sekarang!” Reviano memberi perintah.Diane mengangguk dan membungkuk sekali lagi. “Baik Tuan. Beri saya waktu lima menit,” ucapnya.Reviano tak me
Di saat Elena telah pasrah, sebuah harapan muncul tatkala melihat Leon terlihat di ujung koridor. Senyumnya terbit.Lari melesat tanpa suara, Elena mendekati Leon dan memegang tangan suaminya.Tentu saja Leon yang memang takut dengan Elena jadi memberontak. Namun justru menjadi hal yang bagus dan menguntungkan bagi Elena.Elena sengaja membawa Leon secara paksa melewati ruang kerja Reviano. Tepat di saat itu juga pintu terbuka dan muncul Caitlyn dengan seorang lelaki yang menyusul di belakangnya, Evan Lewis.Elena berpura-pura terkejut, sementara baik Caitlyn maupun Evan justru terlihat salah tingkah ketika melihat Elena. Mungkin mereka tak menyangka kalau Elena akan memergoki mereka berdua keluar bersamaan dari dalam sebuah ruangan.“Paman Evan, ternyata Anda datang ke sini hari ini. Aku tak melihatnya. Tahu-tahu sudah ada di dalam ruang kerja Dad, bersama Mommy,” Elena menyapa dengan ramah, namun ada sindiran di dalam kalimatnya.
“Annabeth?” raut wajah Elena kecewa saat melihat yang datang adalah salah satu asisten pribadi yang kemarin telah ditunjuk khusus oleh Reviano.“Selamat malam, Nona. Maafkan aku karena telah mengganggu istirahatmu malam-malam begini.” Annabeth terlihat menunduk karena tak enak hati. Apalagi di depannya, Elena kini sedang memakai gaun tidur yang seksi dan menerawang. Meski sama-sama wanita, tetap saja Annabeth merasa malu.“Tidak apa-apa. Aku juga belum tidur.” Elena memaksakan diri untuk tersenyum. “Memangnya ada apa kau datang ke sini?”“Maaf Nona. Saya kemari hanya mau mengantarkan makanan yang dititipkan oleh Tuan Rev. Beliau baru pulang tadi dan menitipkan ini untuk Nona.” Annabeth menyerahkan bungkusan plastik yang sudah pasti berisi sandwich pesanan Elena.“Terima kasih, Annabeth. Kau boleh kembali ke kamarmu untuk beristirahat,” ujar Elena.Annabeth mengangguk takzim dan
“Masuklah.” Reviano meletakkan berkas yang sedang ia baca ke atas meja saat terdengar bunyi ketukan pintu.“Anda memanggilku, Tuan Rev?” Marion, sekretaris pribadi Reviano berjalan mendekat diiringi bunyi sepatu hak tingginya.“Ah, kemarilah Marion. Aku punya tugas untukmu.”Marion berhenti tepat di depan Reviano. “Tugas apa Tuan Rev? Apakah harus kukerjakan sekarang? Laporan proyek baru yang semalam kau berikan padaku belum selesai.”Marion sebenarnya menyisipkan keluhan dalam kalimatnya. Entah bosnya itu bisa paham atau tidak, kalau pekerjaan yang diberikan selalu bertambah setiap harinya.Bahkan di saat yang satu belum sempat dikerjakan, Reviano sudah memberikan tugas yang baru.Kalau saja bukan karena gaji yang besar dan Reviano adalah bos yang royal, mungkin Marion sudah lama mengajukan surat pengunduran diri. Karena tak mampu kepalanya berdenyut setiap hari.“Kesampingkan saj
“Dilihat dari ukuran dan perkembangan organ dalam janin, kandungannya sudah masuk 7 pekan.” Dokter Estelle menunjukkan hasil USG empat dimensi pada Caitlyn yang duduk di samping Elena.Caitlyn melihat sekilas gambar yang ada di tangannya. Jujur saja ia tak mengerti. Terlihat pun tidak bentuk bayi di dalam sana. Ia menyerahkannya kembali pada sang Dokter.“Apakah tumbuh kembang bayinya bagus?” tanya Caitlyn.“Sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kelainan. Semoga tidak akan ada. Lakukan saja pemeriksa rutin setiap bulan untuk memantau perkembangan janin,” jawab Dokter Estelle sambil membetulkan letak kacamatanya yang sempat melorot ke bawah.“Apa Dokter yakin? Elena bilang dia masih menstruasi setiap bulan, tapi ternyata dia telah hamil 7 pekan. Aku takut ada kelainan, karena meski hamil, dia masih datang bulan.”Pucat pasi wajah Elena.Habislah, kalau sampai Dokter Estelle menjabarkan ilmunya dan mengatakan hal yang bertolak belakang dengan pengakuannya kemarin, maka Caitly
Mobil memasuki pekarangan yang luas.Caitlyn sempat berhenti cukup jauh sebelum benar-benar sampai di depan rumah.“Kenapa berhenti di sini Mommy?” tanya Elena.“Apa kau tak penasaran dengan hadiah yang sudah aku persiapkan untukmu?”Elena tak menjawab. Hatinya masih ketar-ketir luar biasa. Perasaannya mengatakan kalau hadiah yang dimaksud Caitlyn bukanlah sesuatu yang baik.Caitlyn mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Elena hanya bisa mendengarkan dan menebak-nebak siapa yang sedang dihubungi oleh mertuanya itu.Tak lama setelah Caitlyn mengakhiri panggilan telepon, sebuah mobil SUV berwarna hitam melewati mereka dan berhenti tepat di depan rumah.Elena terkejut luar biasa, saat melihat siapa yang keluar dari mobil tadi.Itu Nancy Rosendale, ibu kandungnya.“Mama...” Elena bergumam lirih. Antara rasa tak percaya dan penasaran, bagaimana bisa ibunya datang hari ini tanpa menelepon terlebih dahulu?“Elena...”Panggilan Caitlyn membuatnya menoleh. Wanita itu memposisikan ponseln
Perdebatan kecil yang terjadi antara Elena dan Nancy harus terhenti tatkala pintu kamar diketuk.“Maaf Nona, saya diperintahkan untuk memanggil Nona Elena dan Nyonya Nancy agar turun ke bawah. Makan malam sudah siap sejak tadi, dan Tuan Rev sedang menunggu.”Lagi, Nancy terpaksa harus menahan diri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Ia harus bersabar sampai benar-benar bisa punya waktu yang tepat agar bisa bertanya lagi pada Elena.Nancy yakin, hubungan antara Elena dan Leon bahkan jauh lebih rumit dari yang terlihat di luar.Keyakinannya semakin diperkuat saat mereka berdua sampai di ruang makan. Nancy melihat Leon yang sudah duduk manis di samping Caitlyn.Terlihat jelas, kalau anak semata wayang Reviano itu tak berani dekat-dekat dengan Elena.Jadi bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hubungan intim dan Elena hamil?“Kenapa hanya Anda yang datang ke sini, Nyonya Nancy? Apa Harland tak bisa datang?” tanya Reviano, saat para housemaid mulai menyajikan menu appetizer di d
“Kenapa kau memanggilku ke sini Honey? Tak baik kalau tiba-tiba saja meninggalkan tamu di meja makan.” Caitlyn yang baru saja ikut Reviano masuk ke dalam kamar terlihat risih saat melihat suaminya yang tampak mondar-mandir. “Bagaimana ini, Honey. Elena ingin pulang ke rumah orang tuanya sampai melahirkan nanti.” “Lalu, apakah itu menjadi tanggung jawab dan kesalahanku?” Caitlyn bertanya dengan nada datar. Sungguh ia tak suka melihat Reviano yang tampak panik kala mendengar Elena akan meninggalkan rumah . “Lakukan sesuatu. Kenapa tadi kau hanya diam saja?” Reviano terdengar protes. “Itu sudah menjadi keinginannya. Kita bisa apa?” Reviano menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak bisa begini! Elena harus tetap di rumah ini selama masa kehamilannya.” “Biar apa? Biar kau bisa terus berhubungan dengannya diam-diam di belakangku?” sentak Caitlyn. “Apa maksudmu?! Ini demi anak yang dikandungnya!” jelas Reviano tak suka mendengar saat Caitlyn bicara seperti itu. “Huh, kandungannya baik-b