Share

6. Kesulitan Elena

“Lepaskan! Kalau Dad seperti ini, yang mati bukan Cuma aku, tapi juga anakmu.”

Elena masih berusaha melepaskan cengkeraman tangan Reviano di lehernya. Sungguh, ia sudah hampir kehabisan nafas. Matanya bahkan sudah mulai berkunang-kunang.

Reviano menyerah. Bagaimanapun, ia tak mau terjadi sesuatu dengan bakal bayinya yang kini telah bersemayam di rahim Elena. Ia melepaskan cekikan meski masih merasa sangat kesal.

Elena terbatuk-batuk, beberapa kali berusaha menarik nafas panjang. Seolah untuk menggantikan udara yang tadi sempat terputus.

“Berarti benar kan, kau memang sudah hamil?” Reviano kembali mengulangi pertanyaannya.

“Iya, aku memang sudah hamil Dad. Maafkan aku karena telah menutupinya darimu. Tapi aku melakukannya bukan karena mau menggugurkan anakmu. Aku--- aku hanya ingin agar kita bisa tetap seperti ini.”

“Apa maksudmu dengan ‘seperti ini?’ Jangan bilang kalau kau mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan kita!” Reviano melotot sambil menunjuk-nunjuk Elena.

“Apakah aku salah, kalau berharap hal yang seperti itu?” tanya Elena dengan suara lemah.

“Jelas salah! Sudah aku jelaskan sejak awal, dan sering kali kuperingatkan. Kau bilang sudah paham. Tapi kenapa sekarang berpikiran agar kita tetap seperti ini?”

“Aku memang sudah paham, Dad. Tapi apakah kau sama sekali tak merasa kasihan padaku? Setelah kehamilan ini kita beritakan pada keluarga besar, maka aku akan kembali seperti dulu. Aku akan seperti seorang wanita yang tak bersuami, yang mana aku akan menjalaninya seumur hidup. Apa kau tak merasa kalau kalian begitu kejam padaku? Andai aku bisa mengembalikan semua yang kau berikan pada keluargaku, maka aku lebih memilih untuk hidup miskin daripada harus menjadi wanita paling menyedihkan di dunia ini.”

Elena menangis, menumpahkan segala rasa kecewa dan sakit hatinya. Dia hanya ingin sedikit kebahagiaan, itu saja.

“Kau bisa mencoba untuk mencintai Leon, Elena. Kau tak boleh berharap sesuatu yang lebih padaku. Aku tak mungkin mencintaimu! Seharusnya kau tahu batasan kita. Akan menjadi suatu aib yang besar dan memalukan kalau CEO Corazon Group terlibat skandal dengan menantunya sendiri.”

Elena berlari mengejar kedua kaki Reviano.

“Aku mohon, Dad. Aku tak mengharapkan cintamu. Aku hanya ingin sedikit belas kasihanmu. Tolong, jangan biarkan aku sendirian menanggung rasa sedih ini. Bukankah seorang Ibu yang hamil tak boleh merasa sedih atau tertekan? Apa kau tidak takut itu akan berpengaruh pada tumbuh kembang bayinya? Jangan sampai anak kita seperti Leon, yang mentalnya terganggu karena selama masa kehamilan aku mengalami stres berat.” Elena masih berupaya membujuk mertuanya itu agar berubah pikiran.

“Jaga bicaramu, Elena! Aku tak suka mendengarmu merendahkan Leon!” Reviano berkata dingin, namun menusuk.

“Aku sama sekali tak merendahkan Leon. Aku hanya tak mau kalau nantinya akan disalahkan, andai anak ini lahir dalam keadaan yang tidak sesuai keinginan kita. Tolonglah, kalau kau tak mau melakukannya demi aku, maka lakukan saja demi anak ini,” Elena memohon. Air matanya telah jatuh berderai di wajah cantiknya yang mendongak ke atas.

Reviano menghela dan membuang nafas dengan keras. Hatinya berbelah bagi. Antara kasihan dan juga tak mau membuat masalah di kemudian hari.

“Aku pergi dulu. Bersikaplah yang baik sebagai menantu di rumah ini.” Reviano bergerak sambil melepas paksa pelukan Elena di kakinya.

“Dad, kau tak akan bilang pada Mommy kan kalau aku sudah hamil?”

Reviano tak menjawab pertanyaan Elena. Bahkan menoleh pun tidak. Ia terus berjalan menuju pintu kamar.

“Kau akan datang lagi kan besok atau lusa malam?”

Lagi-lagi, pertanyaan Elena diacuhkan. Sampai akhirnya Reviano menutup pintu dengan sempurna, meninggalkan Elena yang masih duduk bersimpuh di lantai dengan tangisnya yang senyap.

***

“Bawa ini ke depan. Pelan-pelan, jangan sampai jatuh,” ujar Caitlyn dengan nada memerintah yang kentara. Wanita itu menyerahkan buah potong di piring keramik ke tangan Elena.

“Baik Mommy.” Elena membawa dengan hati-hati menuju ke meja makan.

“Kenapa Nona yang membawa makanan ke depan? Berikan pada saya. Biar saya yang menghidangkannya.” Seorang housemaid panik, saat melihat Elena membawa sendiri menu sarapan untuk majikan mereka. Bagaimanapun, Elena adalah menantu di rumah ini. Jadi harus sama dihormati seperti anggota keluarga yang lain.

“Tidak masalah. Biar aku saja,” Elena berkata sambil tersenyum.

“Tapi...” kalimat housemaid bernama Diane itu terputus tatkala suara Caitlyn terdengar menggelegar memarahinya.

“Apa kau tak mendengar apa yang Elena katakan, Diane?! Biarkan dia sendiri yang membawanya! Jangan terlalu memanjakan dia. Sebagai menantu di rumah ini, dia juga harus pandai bekerja. Paling tidak untuk menyajikan makanan buat Leon nantinya. Sekarang menyingkirlah! Kalau kau terlalu lama berdiri menghalangi jalannya, bisa-bisa apa yang ia bawa jatuh ke lantai!” sergah Caitlyn dengan nada kasar.

“Baik, Nyonya. Maafkan saya.” Diane membungkuk berulang kali. Ia sangat takut, karena baru kali ini melihat Caitlyn begitu marah. Padahal biasanya, wanita itu tak pernah meninggikan suara, sekalipun ia pernah melakukan salah dalam bekerja.

Elena yang mendengar langsung paham, kalau sebenarnya amarah Caitlyn bukanlah tertuju untuk Diane, melainkan dirinya. Caitlyn memang berubah drastis semenjak ia dan Reviano melakukan hubungan terlarang.

Tentu saja, apa pun alasannya, seorang istri pasti cemburu saat suaminya bermesraan dengan perempuan lain.

Elena meletakkan piring berisi potongan buah di atas meja. Dari ekor mata ia melihat Reviano yang ternyata sudah duduk manis sejak tadi, menunggu menu sarapan yang lengkap dihidangkan.

Diam-diam Elena menghela nafas, mengingat sudah lebih dari tiga hari Reviano tak pernah lagi mendatanginya di kamar. Tapi kalau dilihat dari gelagat Caitlyn, sepertinya ia belum tahu kalau Elena sudah berbadan dua.

Elena tak habis pikir, kalau memang Reviano belum memberitahu soal kehamilannya, kenapa sampai kini tak datang mengunjunginya? Apa mau lelaki itu?

“Pergilah ke belakang lagi, ambil sup dan bubur untuk Leon.” Lagi-lagi Caitlyn memerintah seenaknya. Padahal, Elena merasa kepalanya sangat pusing.

Sebenarnya, sejak Elena tahu ia positif hamil melalui tes urine, berbagai gejala morning sickness mulai bermunculan satu persatu.

Aneh memang. Padahal awalnya biasa-biasa saja. Tak ada keluhan apa pun. Tapi saat tahu ia mengandung, seakan sang jabang bayi menjadi cerewet minta diperhatikan. Tanda-tanda mengidam pun mulai mengganggunya.

Mulai dari rasa pusing, mual, juga benci terhadap bau parfum, sabun mandi dan beberapa jenis bahan makanan.

Mungkin itu masih wajar. Tapi ada yang lebih merepotkan dari itu semua.

Libido!

Ada pengaruh atau tidak, yang jelas Elena merasa kini ia memiliki nafsu seksual yang terasa semakin menggebu-gebu. Apalagi setiap kali melihat Reviano di depan matanya. Ingin rasa ia menerkam lelaki itu meski saat berada di atas meja makan.

“Duduklah, Elena. Biarkan Diane atau Amber yang mengambilkan makanan Leon,” suara Reviano terdengar berat namun menekan.

Elena sempat ragu. Apalagi saat melihat pandangan mata Caitlyn yang seperti mengintimidasinya.

“Aku bilang duduk!” Reviano mengulang kalimat perintahnya, kali ini dengan nada satu oktaf lebih tinggi.

Elena spontan mengambil posisi tempat biasanya ia duduk. Kalau Reviano sudah memerintah dengan gertakan, Caitlyn pun tak akan berani membangkang.

“Kau juga duduklah, Honey. Ada hal penting yang mau aku katakan padamu soal Elena,” ujar Reviano sambil memandang Caitlyn yang masih berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status