“Kalau Yudha tetap nekat menikah tanpa resepsi, banyak yang akan membuat praduga. Saat ini kondisi perusahaan baru perlahan stabil pasca pandemi. Jika orang-orang mengira Yudha menikah karena skandal, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak berita dan gosip yang beredar. Hal itu akan berpengaruh pada kestabilan saham perusahaan. Kalau Mama sama Papa tidak merestui Yudha menikah dengan Tari, maka kita harus siap menjawab pertanyaan orang-orang, minimal awak media. Sementara anak ini, dia tidak akan peduli,” jelas Arbian menunjuk adik laki-lakinya.
Yudha kembali mengedikkan bahu karena ucapan kakaknya benar adanya. Setidaknya ia sudah berbagi kabar dan tidak menikah diam-diam. “Kalau saham perusahaan anjlok, Mama sama Kayla siap-siap aja kembali miskin,” lanjut Yudha santai.
“Yudha!!” jerit Lusiana yang rasanya ingin mencakar-cakar wajah putranya itu.
“Memangnya Tari setuju menikah sama kamu?” tanya Rudi mencoba mengendalikan situasi. Istri dan putranya sedang perang dingin.
Yudha mengangguk dan mengaku jika sudah setahun mereka menjalani LDR. Baru beberapa hari menjalin hubungan, tapi ia mendapat perintah tugas. Menyadari usianya tidak muda lagi, ia meminta Tari menunggunya.
Ia sudah berjanji jika kembali dengan selamat setelah bertugas di perbatasan, maka ia akan datang melamar Tari. Lain halnya dengan Tari yang meminta agar hubungan mereka dirahasiakan. Gadis itu setuju untuk menunggunya dan tetap fokus bekerja. Sesekali Yudha akan mengiriminya pesan jika mendapat signal. Yudha bahkan tak mengerti bagaimana lidahnya begitu fasih berbohong.
Lusiana mendengus kesal seraya berkata, “Pantas saja dia ngelunjak. Masa minta sumbangan sampai 20 juta?”
“Mama kasihnya cuma segitu? Bukannya Arbian juga titip 10 juta?” tanya Rudi mengernyit. Pikirnya, sang istri akan memberikan donasi 30 juta mengingat dirinya sendiri sudah menjanjikan 20 juta rupiah pada karyawannya itu. Operasi jantung butuh biaya yang besar.
Seperti tupai yang tergelincir, Lusiana buang muka. Lusiana baru saja membuka rahasianya sendiri. Sisa uang 10 juta itu ia gunakan bersenang-senang bersama putrinya.
“Semoga saja uang itu tidak jadi pintu azab,” gumam Yudha mendapat tepukan di pahanya. Bukan hanya itu, Arbian juga menyenggol lengannya.
Arbian yang sudah hapal sifat pelit mamanya hanya bisa pasrah menghela napas panjang. Saat ia sendiri sudah menyampaikan perihal donasi itu pada teman-temannya, bisa dibilang dirinya justru belum menyumbang karena keegoisan mamanya. Harusnya ia meminta sekretarisnya saja yang memberikan uang itu pada Tari.
“Ma, apa Mama tidak bisa sedikit saja melunakkan hati Mama? Masih mending Yudha mau nikah dan punya anak. Apa Mama lupa kalau aku ini bisa dibilang mandul? Mama sama Papa tidak akan bisa punya cucu dariku,” ujar Arbian menatap lekat mata mamanya.
Saat semua orang membisu, Arbian lalu menoleh menatap Kayla. “Apa kamu siap nikah muda, Dek? Kamu baru saja lulus. Wisuda saja masih bulan depan. Kamu anak kesayangan Mama, harusnya kamu yang harus siap kasih Mama cucu.”
“Kak Arbian mau jodohin aku?” tanya Kayla syok.
“Sepertinya Mama yang berniat begitu. Mama pernah tanya, apa kakak punya kenalan relasi yang masih muda dan sukses? Katanya, mumpung Kayla udah mau yudisium,” ungkap Arbian membuat mamanya semakin geram.
Kayla yang baru tahu hal itu lantas berkata, “Aku nggak mau dijodohin!”
“Memangnya kamu udah punya pacar? Kalau udah ada, ya paling tidak Mama sama Papa punya harapan punya cucu,” tambah Yudha memanasi adiknya.
“Bagaimana mau punya pacar kalau Kak Yudha sama Kak Arbian mukanya garang? Kalau jemput di kampus aja, yang ngomong itu dagu. Apa susahnya bilang, masuk ke mobil dek. Temen-temen cewekku bilang, aku punya dua kakak ganteng tapi nyeremin,” keluh gadis itu menumpahkan unek-uneknya.
Arbian mengulas senyum tipis dan kembali berkata, “Karena kakak mandul dan kamu sendiri belum siap menikah, makanya kakak tidak keberatan kalau Yudha nikah. Tari tidak seburuk itu, kamu hanya belum mengenalnya, Dek. Bayangkan saja, kalau kamu punya kakak ipar yang selalu mau mendominasi. Bukannya jadi kakak rasa teman, justru malah jadi saingan.”
Kayla mulai tampak berpikir, sementara Yudha menyenggol kaki kakaknya. Dua kali ketukan pelan dari alas kaki Arbian membuat Yudha tetap diam. Kakaknya memintanya sabar karena sang mama tampaknya belum luluh.
“Mama mau punya menantu yang lebih sibuk dengan dunianya sendiri atau mengutamakan anak Mama?” tanya Arbian pelan-pelan.
Yudha rasanya ingin bersorak. Negosiator ulung sudah bertindak. Selama ini, memang hanya Arbian yang paling memahami dirinya.
“Coba Mama pikirkan, kami punya istri tapi tidak benar-benar memperhatikan kami. Dia hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Pada kami saja yang jelas-jelas adalah suaminya, dia mungkin akan abai. Lantas, bagaimana wanita seperti itu akan memperlakukan Mama sama Papa? Tari itu yatim piatu, Ma. Aku yakin dia tahu dengan baik bagaimana akan memperlakukan mertuanya. Dia akan mengganggap kalian sebagai pengganti orang tuanya,” pungkas Arbian panjang lebar agar mamanya luluh.
“Kamu tidak tahu saja bagaimana mama menghinanya saat dia ke sini. Gadis itu pasti setuju menikah dengan Yudha karena mau balas dendam padaku,” batin Lusiana resah. Jika setuju, maka ia akan menuai apa yang sudah ia tabur.
“Ma,” panggil Rudi ketika istrinya beranjak begitu saja sebelum pembahasan menemui titik terang.
“Keras kepalanya Yudha, turunan dari Mama,” ucap Yudha turut beranjak dan pamit ingin kembali baraknya.
###
Setelah Kayla juga beranjak, tinggallah Rudi bersama Arbian. “Arbian, papa boleh tanya sesuatu?”Arbian meletakkan tabletnya dan fokus menatap papanya. Ia pun mengangguk hingga Rudi menghela napas panjang. “Papa ingin tahu tentang apa? Tentang pemecatan salah satu manajernya Papa atau penggantian salah satu founder?”Rudi menggeleng seraya berujar, “Papa ingin tanya soal Yudha. Apa kamu sengaja setuju dengan keinginan adikmu karena hasil pemeriksaan kesehatanmu?”Kini giliran Arbian yang menggeleng. “Bukan, Pa. Kemarin aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka berdua keluar dari Kafe Biru. Yudha yang tarik duluan tangannya Tari. Dia bahkan membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt. Apa pernah Papa melihat Yudha seperti itu? Untuk mama saja, yang jelas-jelas wanita yang sudah melahirkannya, Yudha tidak pernah seperti itu. Sama Kayla? Nggak juga, karena Yudha selalu berupaya agar Kayla mandiri
Tari memandang blanko di hadapannya. Ia harus mengisi data dirinya dan menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan. Sampai saat ini Tari bahkan belum berbagi perihal tawaran pernikahan dari Kapten Yudha. Ibu Nilam masih harus fokus pada adik pantinya yang sedang dalam tahap persiapan operasi.Pria tampan dan mapan itu menegaskan jika mereka memang menjalin kontrak kerja sama. Namun, tidak dengan pernikahan. Akad sakral itu akan tetap berlangsung sekali seumur hidup Yudha. Berbeda dengan Tari nantinya. Jika kelak Tari tidak sanggup bertahan, maka ia boleh menggugat cerai pria itu.“Ya Allah, kenapa hidupku jadi serumit ini?” batin Tari menghela napas panjang. Selama ini Tari berpikir, hidupnya hanya berputar di panti dan bekerja.Menikah. Hamil. Melahirkan.Tiga hal itu akan ada dalam bayang-bayang hidup Tari dalam setahun kemudian. Berkali-kali ia membaca artikel tentang rumah tangga. Ada banyak pahit manis dalam hubungan sakral itu.Terleb
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Lusiana yang mendapati putra keduanya berdiri di depan pintu ruang kerja suaminya.Siang ini Lusiana sengaja datang membawa makan siang. Tujuannya tidak lain adalah untuk membujuk suaminya agar mendukung penolakannya terhadap keinginan Yudha. Akan tetapi, justru malah Rudi yang membujuknya agar menerima Tari.Yudha mencoba menekan emosi melihat wajah ketus mamanya. “Ini kantornya papaku. Sebagai putranya, tidak ada yang berhak melarang Yudha ke sini selain papa atau Mas Arbian yang menjabat sebagi CEO,” jawab Yudha dengan tenang. Berdebat dengan mamanya hanya menyisakan lelah.Lusiana menyunggingkan senyum sinis. “Mau minta papamu mengadakan resepsi buat kamu? Gajimu selama ini kamu buang ke mana?”Sindiran sang mama nyatanya membekas di hati. Yudha hampir saja lupa mamanya itu amat perhitungan. Apa-apa selalu saja diungkit.“Kalau Mama tidak mau mengadakan resepsi buat Yudha,
Raut bahagia Yudha surut kala mendapati mamanya ternayata sengaja menunggunya di lobi. Alasannya minta diantar pulang. Tetapi, Yudha yakin jika bukan itu alasan utamanya.Baru beberapa menit mobil melaju, Lusiana menyinggung perihal map yang tadi dimasukkan putranya ke dashboard. Sebenarnya tangannya gatal untuk membuka dashborad di hadapannya. Namun, ia tidak mau dianggap lancang dan kembali membuat putranya marah. Ia tidak ingin Yudha lebih berpihak pada Tari dan mengabaikan dirinya.“Apa kamu nggak punya pilihan calon istri lain? Kamu ingat kan, mama pernah bilang mau kenalin kamu sama seseorang?” Lusiana mencoba membuka obrolan dengan putranya.“Tidak ada, Ma. Kenapa Mama tidak mencoba mengenalkannya pada Mas Arbian?” Yudha memilih melihat keluar jendela saat mobilnya berhenti di persimpangan jalan.“Mama itu lagi bahas kamu, bukan Arbian.”“Dan aku menolak.”Lusiana tak m
Kerutan halus tercetak di dahi Yudha. Suara Ayana juga terdengar antusias. Yudha bisa menarik kesimpulan jika hal yang hendak diungkapkan gadis itu memang penting. Melirik jam tangannya, Yudha menghela napas panjang.“Maaf, sekarang tidak bisa. Aku harus kembali ke batalion,” sahut Yudha.“Apa aku susul saja ke sana?” tawar Alana penuh harap agar bisa kembali bertemu Yudha.“Voice note saja. Aku tidak ada waktu karena harus rapat dengan komandan,” saran Yudha menolak tawaran dokter kandungan itu.“Baiklah, setelah itu tolong kabari aku keputusanmu,” ujar Ayana yang akhirnya pasrah. Ia tidak ingin mengusik pekerjaan Yudha.Begitu sambungan telpon terputus, Yudha langsung menghubungi Tari. Ia meminta gadis itu bersiap-siap untuk melakukan foto studio dan membeli pakaian formal. Kali ini Yudha tidak menemani, melainkan memesankan mobil rental yang akan mengantar Tari ke tempat-tempat yang akan dituju. Tak lupa ia meminta Tari mengajak adik pantinya untuk menemaninya.“Apa kesulitan yang
“Maaf, Ayana. Soal pendamping itu keputusan mutlak dariku. Keluargaku bahkan tidak berhak mengatur hidupku. Kalau ada yang menentang, terserah mereka. Aku tidak peduli,” tukas Yudha melirik pintu kafe. “Masih mau di sini atau mau ikut pulang?” “Ha?” “Bahaya kalau seorang gadis pulang sendiri malam-malam. Kalau mau diantar, ayo jalan!” ajak Yudha berdiri dari kursinya. “Boleh,” sahut Ayana yang merasa sakit hatinya sedikit terobati. Yudha mau mengantarnya pulang. Setidaknya, malam ini adalah kesempatan PDKT bagi Ayana. Tadi Ayana sudah berpesan pada supirnya agar tidak perlu menjemputnya. Ia sengaja tidak membawa kendaraan agar bisa diantar pulang oleh Yudha. Punggung tegap di hadapannya adalah tempat bersandar yang diimpikannya selama ini. Terlihat begitu kokoh dan pastinya lengan kekar itu bisa memberikan pelukan hangat nan rasa aman. “Aku harus memikirkan cara agar kamu membatalkan niatmu menikahi gadis miskin itu, Yud. Kalau bukan kamu, mak
“Ck! Bukannya berterima kasih sudah diantar, malah meledek,” gerutu Arbian yang membuat Ayana terkekeh. Tepatnya sedang bersandiwara demi menjaga citranya.Demi menjadi calon pendamping Yudha, ia tidak boleh memiliki cacat di mata keluarga Yudha. Tanpa terkecuali, termasuk asisten rumah tangga atau supir mereka. Sementara Yudha sudah meluncur bersama seorang brimob menggunakan motor patroli. Pria itu bahkan tidak pamit padanya.“Maaf ya, Ayana. Adik saya kadang memang semenyebalkan itu,” kata Arbian saat kembali melaju.Kali ini ia merasa lebih rileks setelah melihat gadis di sampingnya tertawa. Arbian merasa jika sekarang adalah kesempatannya untuk PDKT dengan gadis yang sudah mencuri perhatiannya. Dan semua ini berkat Yudha.Ayana berdeham dan berkata, “Dari dulu sampai sekarang, Yudha masih saja sama. Saya pikir dia sudah sekaku dan sedingin balok es saat lihat seragam lorengnya.”“Jadi ... kamu sudah la
“Boleh.”Satu kata yang baru saja meluncur dari lidah Arbian membuat Ayana bergeming. Batinnya kembali menjerit dan mengumpat. Mengapa dirinya harus sesial ini?“Tapi lain kali saja. Sekarang sudah malam, kamu pasti butuh istrahat. Saya juga harus segera menyusul Yudha ke Mall Ratuna,” lanjut Arbian melirik jam tangannya. Sebenarnya ia merasa tidak tenang sejak tahu adiknya ditugaskan menjinakkan bom di sana.Tak butuh waktu lama, Arbian sudah tiba di Mall Ratuna. Di salah satu resto cepat saji yang berada di lantai satu dekat parkiran itu tampak ramai dengan mobil polisi. Beberapa petugas dengan pakaian khusus bersiaga untuk menjaga jarak agar tidak ada yang melintasi barier.“Permisi, apa bomnya belum berhasil dijinakkan?” tanya Arbian ketika menghampiri salah seorang petugas polisi.Polisi dengan seragam dua balok emas di pundaknya itu menjawab, “Sayangnya belum. Maaf, ada kepentingan apa Anda b