Deru napas wanita paruh baya itu semakin nyaring terdengar. Tangannya terkepal kuat sampai urat-urat di punggung tangannya mulai mencuat. Binar bahagia di matanya seketika berubah menjadi tatapan tajam yang menikam.
Ruang keluarga yang biasanya dihiasi tawa, kini terasa mencekam. Tak ada suara, mereka memilih bungkam. Mereka baru saja mendengar penuturan Yudha yang ingin menikah pada akhir pekan. Tuturnya tenang, lugas dan tegas mengambil keputusan.
Awalnya mereka senang dan tampak antusias saat Yudha menyinggung perihal pernikahan. Namun, saat Yudha menyebutkan nama gadis yang hendak dinikahinya, raut wajah mereka perlahan berubah. Papa dan adiknya tampak terkejut. Kakaknya tampak santai, sementara sang mama marah besar.
“Mama tidak akan pernah sudi punya menantu seperti wanita itu, Yudha! Tidak akan pernah!” bentak Lusiana melotot.
“Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Rudi pada putra keduanya.
Yudha mengangguk dengan tenang seperti biasanya. “Aku akan tetap menikah dengan Tari, dengan atau tanpa restu kalian. Pasangan hidup adalah hakku. Jadi, aku berhak memilih dengan siapa aku ingin menikah dan menjalani sisa hidupku.”
Si Sulung turut angkat bicara dengan berkata, “Aku sama sekali tidak keberatan dengan keputusan Yudha. Tari gadis yang baik dan pekerja keras. Selama tiga tahun dia bekerja sebagai cleaning service di kantor, tidak pernah sekalipun ada cacat dari catatan kerjanya. Di kantor, bisa dikata semua orang senang padanya. Dia ramah dan senang membantu orang lain.”
Lusiana terperangah mendengar si sulung mendukung adiknya. “Mama tetap tidak terima!”
“Yang mau nikah bukan Mama, tapi aku,” sahut Yudha dengan suara tenang. Ia lantas melirik ke arah adiknya yang sejak tadi diam.
Merasa ditatap semasang mata elang yang hangat, gadis itu menghela napas panjang. Kakaknya menuntut jawaban sekarang juga. Dilema mendera saat sadar jika usia kakaknya sudah tidak mudah lagi. Belum lagi ia selalu ditinggal sendiri.
“Kayla memang berharap punya kakak ipar, karena selama ini Kak Arbian sibuk ngantor. Kak Yudha sendiri sibuk tugas negara. Aku merasa nggak ada teman. Tapi ... bukan Tari juga. Dia kan, kampungan. Apa kata teman-temanku nanti kalau aku punya kakak ipar kayak dia,” cicit Kayla ragu, tapi pelototan mamanya membuatnya mencari alasan penolakan.
Yudha mengulas senyum sinis. “Aku prihatin sama Papa. Dosa dua wanita di rumah ini, masih dominan ditanggung sama Papa, ‘kan? Aku nggak akan milih istri tipe gituan, Pa. Karena aku sudah melihat dan turut merasakan betapa pusingnya kepala Papa sekarang,” sindir Yudha.
Kali ini adiknya turut melotot. Berbeda dengan Arbian yang mengulum senyum karena Yudha menumpahkan semuanya mentah-mentah. Gaya hidup dan sikap dari mama dan adiknya memang menguras kesabaran.
Rudi Giriandra memijat kepalanya. Ia tidak menduga jika putra keras kepalanya mengambil keputusan mendadak seperti ini. Belum lagi sindiran telaknya tadi benar-benar menyentil sudut hatinya. Namun, ia juga tahu bila ancaman Yudha tidak main-main. Putranya yang satu ini menolak menikah dengan gadis lain selain Tari.
“Kenapa harus gadis kampung dan yatim piatu itu? Masih banyak gadis lain yang jauh lebih baik darinya!” Lusiana masih saja emosi.
Yudha menarik napas dan menghembuskannya perlahan dari mulut. Ia menatap wanita yang telah melahirkannya itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Yudha sudah lama suka sama dia. Kalau saja tahun lalu aku tidak ditugaskan di perbatasan, sudah setahun lalu kulamar dan kujadikan istri. Mungkin Mama sudah punya cucu seperti keinginan Mama selama ini,” jawab Yudha berbohong.
Faktanya, ia baru mengenal Tari sepekan lalu saat rekannya mampir memberikan donasi ke panti. Yudha tidak turun dari mobil, tapi dari balik kaca ia melihat Tari turun dari angkot. Begitu anak-anak panti melihatnya, mereka semua mengerumi Tari seperti semut mengerumuni gula. Tawa riang mereka menyita perhatian Yudha.
Sampai beberapa hari lalu, gadis itu kembali muncul di depan matanya. Tepatnya di dalam rumahnya. Tari bersimpuh di bawah telunjuk mamanya yang tak berhenti menghinanya. Gadis itu tetap sabar dan tak sedikit pun membalas mamanya. Ia ingin sosok ibu penyabar yang kelak menjadi ibu dari benih rahasianya. Tidak seperti mamanya yang angkuh dan kasar.
“Dasar anak durhaka! Anak kurang ajar! Sampai kapanpun, mama tidak akan merestui!”
Yudha mengedikkan bahu seraya berkata, “Terserah Mama. Kalau Mama tidak ingin merestui pernikahanku dengan Tari, anggap saja Yudha bukan anak Mama lagi.”
“Yudha!!!” bentak pasangan suami istri itu.
“Kalau boleh jujur, setiap kali Yudha pulang ke rumah ini, Mama berusaha untuk mengambil alih hidupku. Mama selalu ingin semua berjalan sesuai kehendak Mama. Maaf Ma, Yudha bukan robot,” pungkas Yudha beranjak.
Baru saja melangkah, Arbian menahan pergelangan tangan adiknya. Tekanan halus dari telunjuk sang kakak seakan menjadi isyarat untuk Yudha jika Arbian akan melakukan sesuatu untuknya. Anggukan kecil Arbian akhirnya berhasil membuat Yudah kembali duduk di sampingnya.
###
Apa yang akan dikatakan sang kakak? Lanjut baca yuk!
Sejak mendengar kabar tentang hilangnya Yudha, keluarga Giriandra seakan kehilangan separuh hidup. Tiap hari Arbian dan Rudi akan mampir ke batalion untuk menanyakan perkembangan kabar Tim Alfa. Letkol Pasha yang merupakan pimpinan batalion pun merasakan hal yang serupa. Keponakannya Ken juga belum ada kabar sejak terjadi serangan terakhir. Yudha dan Ken seakan hilang ditelan bumi. Serka Hilman dan Sertu Fatur yang berhasil bergabung dengan pasukan utama terus berbagi kabar. Selain fokus bertahan dengan serangan musuh, sebagian dari mereka fokus mencari keberadaan Yudha dan Ken.Sore ini, Tari sedang membersihkan rumah dan merapikan isi lemari. Sengaja menyibukkan diri karena tidak tahu harus melakukan apa lagi. Pagi tadi ia sempat menanyakan kabar Yudha dan Tim Alfa pada Ibu Danyon. Namun, wanita itu juga sama, sedang menunggu kabar dan tim pendukung yang dikirim ke wilayah operasi."Aku kangen kamu, Mas," gumam Tari sembari mengusap seragam loreng Yudha yang baru saja selesai ia s
Kedatangan Lusiana ke batalion tempat Yudha bertugas dengan niat untuk berbaikan dengan putranya, justru terbalas dengan kekecewaan. Tadinya Lusiana pikir, putranya sedang bertugas di dalam kota seperti berita terakhir yang didengarnya. Namun, alangkah terkejutnya ia saat mengetahui jika putranya itu sedang tugas di perbatasan. Memang tak ada informasi yang jelas di mana lokasi perbatasan yang dimaksud dalam operasi tugas yang dijalani Tim Alfa. Tari sendiri hanya tahu jika daerah itu adalah daerah perbatasan negara. Bisa saja batas utara, selatan, timur ataupun barat. "Kamu kenapa tidak bilang kalau Yudha lagi tugas?" desis Lusiana saat memeluk menantunya. Sengaja ia tunjukkan kepedulian pada menantunya di hadapan Ibu Danyon. Jangan sampai wanita berseragam hijau polos itu tahu kalau Yudha sama sekali tidak mengabarinya perihal tugas dinas di perbatasan. Bisa ketahuan jika hubungan mereka tidak baik-baik saja."Ibu Lusiana ini benar-benar mertua idaman. Putranya sedang bertugas, t
Helaan napas panjang sang kapten membuat Serda Ken menoleh. Sesuatu yang terasa amat asing di telinga pemuda berusia 21 tahun itu. Bisa dikata, ini baru kedua kalinya ia mendengar helaan napas seperti itu dari seorang Kapten Yudha.Nampaknya, bukan hanya Serda Ken yang menyadari. Sertu Fatur pun peka dan turut memberi kode pada rekan bungsunya. Yudha sama sekali tidak menyadari interaksi keduanya. Pikiran Kapten Tim Alfa itu tertuju pada hal lain. Bukan memikirkan strategi atau hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, melainkan sedang memikirkan Tari. Flashback onNapas keduanya terengah. Yudha mengusap bibir Tari yang baru saja ia lepaskan. Sementara Tari sendiri, masih berusaha mengatur napasnya. Yudha mengulum senyum melihat tangan kanan Tari mencengkram kuat lengan seragamnya. "Aku berangkat besok malam.""HA?!!! Besok?! Harus secepat itu, Mas?!" "Kenapa? Mau ikut?""Bukan," sahut Tari menggeleng."Lalu?" desak Yudha. "Aku belum bisa keluar dari rumah sakit selama prosedur i
Tiga malam berada di rumah sakit, tapi baru sekali Yudha menginap menemaninya. Entah kenapa Tari malah sering menunggu pria itu datang. Walau hanya melihat punggung Yudha yang tertidur pulas di sofa bisa membuat Tari tenang. "Nungguin suaminya ya, Bu?" tanya perawat yang baru saja masuk. Wanita yang lebih tua dari Yudha itu mengulum senyum. Tari sudah beberapa kali melirik pintu ruang inap. Kentara sekali sedang menunggu kedatangan seseorang. "Tadi saya dengar dari Dokter Ayana kalau suaminya Ibu Tari tidak bisa datang. Katanya ada tugas latihan. Padahal ada yang penting dan mau dibahas dokter sama suami Ibu," jelas perawat itu. Tari mengangguk dan merasakan perasaan aneh. Semacam perasaan tidak senang karena Yudha lebih memilih memberitahu Dokter Ayana ketimbang dirinya kalau pria itu tidak jadi datang. "Memangnya suami Bu Tari tidak ngabarin?" tanya wanita itu lagi. "Ponsel saya lowbat, Sus. Saya juga baru bangun," kilah Tari. "Iya, ya. Kok saya sampai lupa. Padahal, pas su
Akibat ketahuan menjarah isi toples milik istri sang Kapten Galak, Serda Ken akhirnya mendapat hukuman. Tidak sendirian melainkan bersama yang lainnya. Pasalnya, mereka turut menutupi kelakuan si Bontot Tim Alfa. "Sumpah, badanku pegel semua, Bang," keluh Sertu Fatur memijat bahunya bergantian."Jangan kau, aku yang latihan kayak biasa ikutan pegelinu. Latihan kalau sama Kapten Yudha biasanya selalu seru, tapi beda kalau dia lagi badmood," ungkap Serka Hilman terkekeh.Serda Ken yang berjalan paling belakang dan nyaris terseok-seok, kini kembali menghela napas panjang. Sang Kapten belum mengampuninya. Ia harus meminta maaf pada istri kaptennya, barulah setelah itu ia akan dimaafkan."Jangan bersedih, Ken. Bukankah tadi kita diundang makan malam sama Kapten Yudha? Kalau kuenya seenak tadi, bayangkan dengan masakannya?" hibur Rian.Langkah para rekannya terhenti. Karena terlalu lelah, mereka sampai lupa jika tadi skor latihan mereka mencapai target. Hanya saja sempat terlupakan karena
Di tempat lain, Ayana tersenyum setelah mendapat pesan balasan dari Yudha. Ia senang karena selama mempersiapkan prosedur bayi tabung, bukan Tari yang berkomunikasi dengannya. Melainkan Yudha langsung.Data pasien di hadapannya membuat senyum Ayana luntur. Kalau saja tidak ingin kehilangan kepercayaan Yudha. Ayana sebenarnya tidak sudi membantu menanamkan benih itu ke dalam rahim Tari.Di sisi lain, jika ia nekat untuk mengandung benih itu, maka dirinya akan dalam masalah. Keluarganya akan murka jika dirinya sampai hamil diluar nikah. Yudha juga pasti akan membencinya.“Andi Ayudia Batari. Saya yakin kamu melakukan semua ini hanya untuk mendongkrak status hidup kamu. Upik Abu bermimpi jadi seorang cinderella. Dia bahkan hanya seorang mantan cleaning servis dan pekerja serabutan. Apa sih, yang Yudha lihat dari gadis ini?” gumam Ayan masih tak habis pikir.Ayana merasa jika Tari begitu licik. Kembali gadis itu menghela napas panjang sambil bersa