Share

Part 6 Anak Kurang Ajar

Deru napas wanita paruh baya itu semakin nyaring terdengar. Tangannya terkepal kuat sampai urat-urat di punggung tangannya mulai mencuat. Binar bahagia di matanya seketika berubah menjadi tatapan tajam yang menikam.

Ruang keluarga yang biasanya dihiasi tawa, kini terasa mencekam. Tak ada suara, mereka memilih bungkam. Mereka baru saja mendengar penuturan Yudha yang ingin menikah pada akhir pekan. Tuturnya tenang, lugas dan tegas mengambil keputusan.

Awalnya mereka senang dan tampak antusias saat Yudha menyinggung perihal pernikahan. Namun, saat Yudha menyebutkan nama gadis yang hendak dinikahinya, raut wajah mereka perlahan berubah. Papa dan adiknya tampak terkejut. Kakaknya tampak santai, sementara sang mama marah besar.

“Mama tidak akan pernah sudi punya menantu seperti wanita itu, Yudha! Tidak akan pernah!” bentak Lusiana melotot.

“Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Rudi pada putra keduanya.

Yudha mengangguk dengan tenang seperti biasanya. “Aku akan tetap menikah dengan Tari, dengan atau tanpa restu kalian. Pasangan hidup adalah hakku. Jadi, aku berhak memilih dengan siapa aku ingin menikah dan menjalani sisa hidupku.”

Si Sulung turut angkat bicara dengan berkata, “Aku sama sekali tidak keberatan dengan keputusan Yudha. Tari gadis yang baik dan pekerja keras. Selama tiga tahun dia bekerja sebagai cleaning service di kantor, tidak pernah sekalipun ada cacat dari catatan kerjanya. Di kantor, bisa dikata semua orang senang padanya. Dia ramah dan senang membantu orang lain.”

Lusiana terperangah mendengar si sulung mendukung adiknya. “Mama tetap tidak terima!”

“Yang mau nikah bukan Mama, tapi aku,” sahut Yudha dengan suara tenang. Ia lantas melirik ke arah adiknya yang sejak tadi diam.

Merasa ditatap semasang mata elang yang hangat, gadis itu menghela napas panjang. Kakaknya menuntut jawaban sekarang juga. Dilema mendera saat sadar jika usia kakaknya sudah tidak mudah lagi. Belum lagi ia selalu ditinggal sendiri.

“Kayla memang berharap punya kakak ipar, karena selama ini Kak Arbian sibuk ngantor. Kak Yudha sendiri sibuk tugas negara. Aku merasa nggak ada teman. Tapi ... bukan Tari juga. Dia kan, kampungan. Apa kata teman-temanku nanti kalau aku punya kakak ipar kayak dia,” cicit Kayla ragu, tapi pelototan mamanya membuatnya mencari alasan penolakan.

Yudha mengulas senyum sinis. “Aku prihatin sama Papa. Dosa dua wanita di rumah ini, masih dominan ditanggung sama Papa, ‘kan? Aku nggak akan milih istri tipe gituan, Pa. Karena aku sudah melihat dan turut merasakan betapa pusingnya kepala Papa sekarang,” sindir Yudha.

Kali ini adiknya turut melotot. Berbeda dengan Arbian yang mengulum senyum karena Yudha menumpahkan semuanya mentah-mentah. Gaya hidup dan sikap dari mama dan adiknya memang menguras kesabaran.

Rudi Giriandra memijat kepalanya. Ia tidak menduga jika putra keras kepalanya mengambil keputusan mendadak seperti ini. Belum lagi sindiran telaknya tadi benar-benar menyentil sudut hatinya. Namun, ia juga tahu bila ancaman Yudha tidak main-main. Putranya yang satu ini menolak menikah dengan gadis lain selain Tari.

“Kenapa harus gadis kampung dan yatim piatu itu? Masih banyak gadis lain yang jauh lebih baik darinya!” Lusiana masih saja emosi.

Yudha menarik napas dan menghembuskannya perlahan dari mulut. Ia menatap wanita yang telah melahirkannya itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Yudha sudah lama suka sama dia. Kalau saja tahun lalu aku tidak ditugaskan di perbatasan, sudah setahun lalu kulamar dan kujadikan istri. Mungkin Mama sudah punya cucu seperti keinginan Mama selama ini,” jawab Yudha berbohong.

Faktanya, ia baru mengenal Tari sepekan lalu saat rekannya mampir memberikan donasi ke panti. Yudha tidak turun dari mobil, tapi dari balik kaca ia melihat Tari turun dari angkot. Begitu anak-anak panti melihatnya, mereka semua mengerumi Tari seperti semut mengerumuni gula. Tawa riang mereka menyita perhatian Yudha.

Sampai beberapa hari lalu, gadis itu kembali muncul di depan matanya. Tepatnya di dalam rumahnya. Tari bersimpuh di bawah telunjuk mamanya yang tak berhenti menghinanya. Gadis itu tetap sabar dan tak sedikit pun membalas mamanya. Ia ingin sosok ibu penyabar yang kelak menjadi ibu dari benih rahasianya. Tidak seperti mamanya yang angkuh dan kasar.

“Dasar anak durhaka! Anak kurang ajar! Sampai kapanpun, mama tidak akan merestui!”

Yudha mengedikkan bahu seraya berkata, “Terserah Mama. Kalau Mama tidak ingin merestui pernikahanku dengan Tari, anggap saja Yudha bukan anak Mama lagi.”

“Yudha!!!” bentak pasangan suami istri itu.

“Kalau boleh jujur, setiap kali Yudha pulang ke rumah ini, Mama berusaha untuk mengambil alih hidupku. Mama selalu ingin semua berjalan sesuai kehendak Mama. Maaf Ma, Yudha bukan robot,” pungkas Yudha beranjak.

Baru saja melangkah, Arbian menahan pergelangan tangan adiknya. Tekanan halus dari telunjuk sang kakak seakan menjadi isyarat untuk Yudha jika Arbian akan melakukan sesuatu untuknya. Anggukan kecil Arbian akhirnya berhasil membuat Yudah kembali duduk di sampingnya.

###

Lisani

Apa yang akan dikatakan sang kakak? Lanjut baca yuk!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status