"Assalamualaikum." Azlan mengucap salam saat hendak masuk ke rumah.
Seorang wanita berhijab, cantik dan sangat elegan menyambut lelaki itu. Begitu hangat, wanita itu mencium punggung tangan Azlan yang dibalas oleh Azlan dengan kecupan di dahinya.So sweet jika dilihat. Pantas saja Azlan sangat mencintai wanita itu, ternyata memang sangat layak jika Elina diperlakukan bak ratu.Sejenak pandanganku mengedar, kembali mengagumi setiap aksen rumah yang begitu mewah. Di usia 35 tahun, Azlan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Tidak kaget, sih ... karena dia memang terlahir dari keluarga hartawan.Beruntung sekali Elina bisa menikmati harta tanpa batas keluarga Azlan, segala kemewahan dia dapatkan. Seandainya saja ....Haissh! Segera kutepis pikiran itu. Aku hanya ingin fokus pada pengajuan syarat saja. Aku sudah putuskan, kali ini keuntungan yang kudapat harus sepadan dengan apa yang kukorbankan.Mungkin dengan harta yang akan kudapat nanti, aku bisa pergi jauh dari ibuku. Memulai hidup baru di negara yang sudah menjadi targetku kelak. Sekarang, aku harus memiliki banyak simpanan uang dan harta lainnya, agar nantinya tak takut kekurangan.Benar kata Flora, mungkin saja ini adalah salah satu jalan keluar dari lembah dosa."Hai, Nara. Akhirnya kita ketemu. Ayo duduk," sapa Elina dengan sangat ramah.Meskipun orang kaya, wanita itu tidak menampakkan keangkuhannya. Dia begitu hangat menyambutku, memberikan pelukan layaknya seorang sahabat.Dia duduk di sampingku, tatapannya begitu teduh. Senyum juga tak henti terulas. Apakah ini hanya karena aku dianggap sebagai wanita yang akan membantunya?"Kamu cantik, Nara. Aku yakin, anakku nantinya akan sempurna karena Mas Azlan ganteng dan kamu juga cantik."Aku cukup terperangah dengan ucapannya. Tanpa merasa berat hati dia berbagi suami, bahkan langsung bilang kata 'anakku'. Kurasa wanita seperti Elina memang sudah tak ada pilihan. Sesakit apapun hatinya, sudah pasti akan ditutupi demi sesuatu yang dia inginkan."Tapi gue ... eh, tapi aku mau dinikahi dulu baru hamil."Wanita itu tersenyum, lalu merengkuh tanganku. "Sudah pasti. Kalian akan menikah secara agama, agar anak yang kamu kandung nanti bernasab ke ayahnya.""Aku sudah siapkan semuanya, besok kalian menikah. Setelah itu bisa bulan madu," lanjut Elina."Bulan madu?" Aku dan Azlan hampir berbarengan kagetnya."Dek, kamu apa apaan sih?" Azlan memprotes.Aku tahu, Azlan tidak menginginkan aku. Dia menikahiku juga hanya karena permintaan Elina. Entahlah, tetiba rasa sakit menyelinap masuk di dasar hati. Seperti inikah rasanya tidak diinginkan? Bukankah aku sudah merasakan sejak kecil? Tapi kenapa ini lebih sakit?Luar biasa sekali nasibku ini. Kelahiranku tidak diinginkan oleh ibuku, sekarang pun ada seorang pria baik yang juga tidak menginginkan aku.Apakah aku tak pantas untuk dicintai?Aku mencoba untuk menahan gemuruh yang tiba-tiba saja menyelimuti batin. Ada apa denganku?"Mas, semua demi cepatnya program. Nanti aku akan ikut, jadi mama dan papa nggak akan curiga dengan kepergianmu.""Terserah saja lah. Aku mau mandi dulu, kamu bicara saja dengan Nara."Azlan berjalan lunglai meninggalkan kami. Aku rasa dia benar-benar kesal dengan rencana istrinya, hanya saja dia tak mampu berbuat apa-apa selain pasrah dan menurut."Nara, Mas Azlan sudah cerita semuanya. Termasuk persyaratan yang kamu ajukan. Aku tidak masalah, karena aku sangat tahu kalau hamil itu nggak mudah."Aku sedikit bernapas lega, itu artinya aku tidak perlu lagi khawatir. Senyum kuberikan pada Elina, sebagai tanda bahwa aku pun puas dengan keputusannya.***Keesokan harinya, pernikahanku digelar tanpa pesta. Hanya nikah siri, bukan nikah resmi di KUA. Namun entahlah, meskipun nikah siri tapi tetap saja ada perasaan beda yang hadir. Ada secercah bahagia yang bisa aku rasakan.Aku sendiri masih belum paham dengan apa yang aku rasakan. Bahagia karena mendapat harta, ataukah yang lainnya.Flora turut menghadiri pernikahanku, bahkan dia mendampingiku. "Akhirnya lo bisa merasakan menikah dengan orang baik, Ra." Flora berbisik tepat di telingaku saat mengucapkan selamat.Aku mendelik, tersenyum smirk. "Kalau bukan karena mengikuti apa kata lo, gue nggak akan ambil jalan ini.""Udah, yang penting ntar lo punya modal buat pergi jauh dari negara ini."Aku hanya mengangguk mantap. Apalagi tadi sebelum ijab kabul, telah disepakati bahwa Azlan akan membantuku untuk pergi ke negara tujuan. Bahkan tempat tinggal juga dia yang akan sediakan."Nara, setelah ini kita harus siap-siap untuk berangkat ke Bali. Jadi, segera lepas pakaian pengantin itu dan berganti pakaian yang sopan." Suara titah Elina membuatku kaget, pasalnya ini terlalu cepat."Apa tidak menunggu besok?""Tidak bisa, aku sudah memesan tiket pesawat dan booking hotel hari ini. Jadi nggak perlu tunggu lama."Aku dan Flora saling bertatapan. Ada hal yang beda dari sikap Elina. Apakah mungkin dia sedang cemburu?"Flora, lebih baik kamu pulang. Biarkan Nara berkemas. Tidak perlu dibantu, nanti ada asisten yang akan bantu."Aku semakin terhenyak, wanita itu memerintah tanpa basa-basi. Sungguh sangat beda sikapnya dengan sebelumnya. Aku rasa benar dugaanku, wanita itu sedang dibakar api cemburu.Tatapanku semakin lekat di setiap gerakan yang dia lakukan. Tangan kananku menggenggam lengan Flora, aku tidak ingin sahabatku satu-satunya meninggalkan aku sendirian."Bu Elina yang terhormat, aku ada di sini bukan atas kemauanku. Melainkan kalian yang membawaku!" ucapku dengan lantang.Ucapanku mampu membuat Elina menghentikan aktivitasnya yang sejak tadi hanya memerintah para asisten rumah tangga. Sepertinya dia sengaja melakukan itu untuk mengalihkan rasa cemburu yang sedang membakar hatinya. Bagaimana pun dia seorang wanita, sudah pasti tak akan rela berbagi suami.Tapi itu bukan inginku. Jadi dia tak pantas melakukan itu semua.Sepertinya dia menyadari apa maksudku, raut wajah tegangnya perlahan berubah setelah menghela napas. Dia mendekatiku, lalu tersenyum."Ada apa, Nara?""Aku tidak suka dengan sikapmu tadi. Aku di sini bukan karena aku yang menawarkan diri, tapi kalian yang meminta. Aku sadar, aku bukan wanita baik-baik ... tapi aku nggak pernah suka disalahkan. Apalagi untuk sesuatu yang bukan keinginanku.""Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya memintamu untuk segera bersiap.""Tapi tidak dengan cara seperti itu. Aku bukan pesuruhmu, pahami itu! Jangan karena kamu membayarku, terus seenaknya memerintah," ucapku penuh penekanan.Jujur saja, aku kesal dengan sikapnya. Posisiku bukanlah pelakor, bukan juga perusak rumah tangganya. Lalu, apa yang perlu dia takutkan?Azlan yang sejak tadi duduk diam, akhirnya berdiri dan mendekati kami. Elina adalah wanita yang dia tuju. Dengan lemah lembut lelaki itu merengkuh tubuh istrinya, membelai mesra wajah wanita itu."Sayang ... kamu sudah tahu resikonya. Jadi, tolong untuk tetap sabar, ya. Aku tahu, ini sangat berat bagimu. Tapi percayalah, cinta dan perasaanku seutuhnya masih milikmu." Sebuah kecupan Azlan daratkan di puncak kepala Elina.Melihat pemandangan itu, aku pun memalingkan pandangan. Antara rasa kesal dan tak terima, semua berkecamuk dalam dada.Baru juga sehari, apakahaku akan sanggup untuk ke depannya?Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d