Tanpa kuduga, wanita itu menangis tersedu di pelukan Azlan. Benar dugaanku, dia tengah menahan rasa cemburu. Kasihan juga sih, sebenarnya. Demi mempertahankan rumah tangga, wanita itu sampai rela menahan rasa sakitnya berbagi suami.
Huff ... aku yakin, pasti berat berada di posisi Elina. Jika aku yang ada di posisinya, sudah pasti sama. Mungkin saja bisa lebih parah dan lebih rapuh. Apalagi dia sangat mencintai suaminya, pasti hancur menyaksikan pernikahan tadi. Dan sekarang ... dia malah ingin mengantarkan suaminya berbulan madu denganku.Ah, kenapa aku merasa telah jadi manusia kejam?Sebagai wanita, tentunya aku bisa turut merasakan apa yang dirasakan Elina. Ya ... walaupun belum pernah merasakan dicintai, tapi paling tidak sisi lain dari nuraniku masih ada."Nara, bisakah kamu turuti permintaan Elina?" Azlan sepertinya tak ingin membuat hati sang istri lebih terluka.Mungkin saja dengan memintaku untuk mengikuti apa perkataan istrinya, akan membuat dirinya tetap terlihat membela Elina.Tanpa menjawab, aku melangkah pergi dengan diikuti Flora. Bagaimana pun, aku belum siap sendirian memghadapi lingkungan baru. Flora masih tetap kubutuhkan sebagai teman saat nanti aku sendirian."Nara, lo yakin ingin tetap ngajakin gue pergi?" tanya Flora saat kami sudah tiba di kamar."Gue butuh lo, Flo. Rasanya akan aneh kalau gue sendirian di antara mereka. Apa lo lupa, kalau gue hanya akan ditiduri untuk beberapa kali saja?"Flora terdiam, sepertinya sedang berpikir."Mikir apa lo? Jangan keseringan mikir, ntar jidat lo keriput!" ledekku yang berakhir dengan sebuah jitakan di kepalaku."Kebiasaan lo, Flo. Ini kepala, main jitak aja.""Habisnya lo asal ngomong.""Laah, kan emang bener. Gue bakalan dipakai Cuma beberapa kali doank, kalau gue udah dung, ya pasti udahan lah. Hahaha ....""Udah, sini gue bantu lo bersihin make up. Biar cepet. Habis tuh, nata baju yang bakalan lo bawa." Flora langsung mengambil kapas dan cleanser wajah, dengan cekatan tangannya mengusap setiap inci wajah yang dihiasi make up tebal.Mendengar ucapan Flora, aku baru ingat kalau tidak satu pun pakaian yang kubawa ke rumah ini. Elina melarangku menggunakan pakaian seksi. Dia membelikan beberapa setel pakaian yang bisa kupakai untuk sementara."Pakaian gue udah disiapin, termasuk yang bakalan gue pakai untuk ganti sekarang.""Maksud lo?""Tuuh ...." Aku mengangkat dagu untuk memberikan isyarat agar Flora melihat pakaian yang sudah diletakkan di atas bantal.Flora terkesima. "Wow, sampai pakaian pun lo udah disiapin? Wah, beneran jadi kayak putri donk.""Lihat aja dulu."Flora bergegas mengambil pakaian tersebut. Sebuah gamis dengan pashmina instan. Melihat itu semua, sontak membuat mata Flora membeliak dan berakhir dengan tawa geli. Dia pasti akan merasa sangat aneh saat melihatku pakai pakaian tersebut.Pasalnya, selama ini seorang Nara sangat jauh dari kategori agamis ataupun berpakaian yang serba tertutup."Are you sure want to wear this outfit?" tanya Flora masih belum yakin.Aku menghela napas sembari menuntaskan aktivitas menghapus make up tebal khas pengantin. Padahal cuma nikah siri, heran saja kenapa juga harus didandani layaknya pengantin."Nara, are you sure?" Flora mengulang pertanyaan, seolah dia ingin jawaban yakin dariku.Tanpa menjawab, segera kuambil pakaian tersebut dari tangan Flora. Segera memakai gamis dan pashmina. Sesuai permintaan Elina, aku dilarang menggunakan make up. Entahlah, mungkin dia takut kalau suaminya akan terpikat oleh kecantikanku."Udah, yuk!" ajakku seraya menyambar tas branded pemberian Elina."Wait!"Flora tampak masih belum percaya dengan apa yang terjadi."Lo mau tampil begini? Udah pakai gamis dombrong, tanpa make up pula? OMG ... Nara, what happend with you?""Udah jangan banyak tanya ... semua ini syarat dari istrinya Azlan.""Hah?!"Flora makin tercengang."Nara!!! Cepat dikit, kita sudah mau berangkat!" Suara Elina lantang terdengar.Aku dan Flora bergegas keluar kamar, kembali menuruni anak tangga dan menemui Elina. Tampak Azlan menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Hanya saja, aku merasa tidak nyaman saat dia menatapku seperti itu. Mungkin saja aku tampak aneh dalam balutan pakaian yang belum pernah kupakai."MashaAllah ...." Kalimat itu yang kudengar keluar dari mulut Azlan saat aku sudah dekat."Mas," tegur istrinya.Menyadari itu, Azlan menjadi salah tingkah. "Ini, Dek. Kaget saja, kamu bisa mengubah Nara menjadi wanita yang mau menutup aurat."Aku hanya memutar bola mata saat mendengar alasan Azlan."Iya donk, Mas. Aku nggak mau jika ada yang melihat kita bersama, ada pandangan negatif. Iya, kan, Nara?"Senyum smirk hampir saja muncul dari bibir ini, buru-buru aku mengubah ekspresi dengan senyum yang kupaksakan senang. "I ... iya. Gue rasa ... eh, aku rasa Mbak Elina ada benarnya."Sungguh, jadi orang munafik bukan kebiasaanku. Hanya saja, untuk saat ini aku harus menjadi orang lain. Nara yang alim, bukan peliharaan sugar daddy.***Keberangkatanku ke Bali bersama mereka tetap saja membuatku cemas. Keindahan alam yang disuguhkan pulau dewata tersebut, tak mampu kunikmati dengan baik.Kekhawatiran ditiduri oleh suami orang, tetapi berasa diawasi. Bayangan sikap Elina setelah suaminya tidur denganku pun sudah bikin aku bergidik. Kemarin saat pernikahan saja, dia sudah menunjukkan rasa cemburu. Apalagi sekarang?Malam temaram di hotel yang langsung menghadap ke laut, memberikan nuansa indah. Namun, hatiku justru berdebar saat suara kaki mendekat ke kamarku.Ya, Elina sudah mengatur semua. Aku dipesankan sebuah kamar sendiri, terpisah dengan Flora. Tujuannya sudah jelas, malam ini aku harus melaksanakan pekerjaanku."Nara," panggil Azlan sembari mengetuk pintu.Panggilannya membuatku semakin berdebar. Ada apa denganku? Beberapa kali bercinta dengan para sugar daddy, tak seperti ini rasanya. Lalu, kenapa aku justru sekarang merasa salah tingkah dan aneh?"Ra, Nara."Bergegas aku menuju pintu untuk membukanya. Ternyata bukan hanya Azlan, melainkan ada Elina di belakangnya."Aku mengantar suamiku, tolong satu kali langsung jadi. Karena aku tak mau kalian merasakan kenikmatan lebih banyak lagi."Hah?!'Gila banget tuh cewek! Bisa-bisanya dia bilang begitu, huh!'Hatiku terus saja menggerutu, lalu menutup pintu kembali.Enak saja memperlakukan aku seperti itu, bukankah aku istrinya Azlan juga? Harusnya aku berhak atas dirinya.Deg!Seketika aku sadar dengan apa yang barusan kupikirkan. Bagaimana bisa aku menganggap pernikahan itu sebagai pertalian suci? Bodohnya aku, aku ini hanya dibayar. Lalu kenapa harus sakit hati saat sang pemilik berkata seperti itu?Bukankah tujuanku hanya materi?Menyadari itu, dilema seketika melanda."Ra, Nara. Maaf, aku bukan bermaksud begitu." Suara Elina berusaha meminta maaf, mungkin dia menyesal atau ... halah, paling juga karena takut aku membatalkan perjanjian.Kembali kubuka pintu, lalu membiarkan Azlan masuk. Aku menyandarkan badan pada tepi pintu sembari menyilangkan tangan di dada."Anda mau ikut masuk sekalian, Nyonya Azlan yang terhormat? Sekalian aja atur berapa ronde yang harus kami mainkan, atau mau jadi wasitnya?" sindirku pedas.Elina hanya terdiam, bahkan menunduk. Jemarinya memainkan ujung hijabnya, sepertinya dia sedang gelisah. Tetiba bulir bening itu jatuh.Ya Tuhan ... dia menangis. Duh, perasaan bersalah jadi menyelinap di dasar hati. Seperti wanita yang telah merebut suami wanita lain, begitu jahatnya aku. Akan tetapi kembali lagi pada siapa pemilik rencana, dia sendiri.Boomerang akan menyerang pada orang yang melempar, itulah keputusan yang diambil oleh Elina. Sakit, perih, dan pastinya terluka karena harus merelakan suaminya tidur denganku.Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d