"Wow, tampan sekali pacar kamu, Ra!" ujar wanita itu dengan ekspresi terpesona.
Sungguh, itu sangat memalukan bagiku. Apalagi saat melihat kerling nakal dari sosok ibu durjana itu.Ya, walaupun aku akui Azlan memanglah tampan, bahkan tubuhnya saja tinggi dan atletis. Cara berpakaian dia pun layaknya orang kaya yang paham fashion dan style. Sudah persis artis Varel Bramastha saja kalau sekilas."Tumben banget lho, Ra, kamu nggak milih ma aki-aki." Wanita itu masih saja mengomentari hidupku tanpa berpikir siapa yang membuatku menjadi seperti ini."Tapi inget ... pastikan brondong tampan ini bisa memberimu hasil yang besar. Jangan hanya karena mabuk cinta, kamu lupa dengan duitnya."Sumpah, dadaku kian mendidih mendengar ucapannya itu. Rasanya ingin sekali menjambak dan mencekiknya."Ganteng, kapan-kapan main juga dengan Tante ya. Tenang aja, Tante masih bisa berbagai macam gaya. Kamu mau gaya apa? Doggy style, gerobak dorong, atau gaya capit kepiting?" Dengan genitnya wanita tak tahu malu itu merayu Azlan.Sungguh sangat memalukan!Aku semakin gedeg ketika jemari nakal itu menoel dagu Azlan, bahkan dengan sengaja mendesah dekat telinga lelaki yang mulai merasa tak nyaman itu. Kerlingan mata yang mengisyaratkan tanda ingin dipuaskan pun dia berikan.Benar-benar wanita macam apa dia, Tuhan? Aku sudah tak tahu lagi mengapa Engkau memberiku takdir yang miris begini. Kenapa aku harus lahir dari rahimnya?Azlan tampak salah tingkah. Jujur, ada rasa malu yang tetiba menyusup ke relung batin ini. Azlan lelaki terhormat, dia terpaksa berurusan dengan wanita sepertiku hanya karena permintaan istrinya.Segera aku menarik tangan Azlan untuk cepat pergi. Bahkan pintu apartemen saja tidak aku kunci."Nara, jangan lupa tiga ratus juta!" teriak wanita yang tak pantas kupanggil ibu itu.***Hembusan angin pantai membelai lembut wajahku. Segarnya air kelapa muda cukup membuat mood-ku lebih baik dari sebelumnya. Menikmati laut lepas tanpa batas, di bawah birunya langit. Aku mencoba melepas seluruh penat hati dari beban kehidupan yang terus menghimpit.Aku sengaja meminta Azlan untuk menunda pertemuanku dengan istrinya. Semua karena suasana hati yang sudah tak karuan gegara wanita tak punya hati nurani itu.Kupikir beneran mau insaf, ternyata hanya kamuflase!Jika ingat semua sikapnya, hanya sakit hati dan kekesalan saja yang ada."Ra, aku minta maaf, ya.""Maaf untuk apa?""Tadi niatku hanya untuk menghampirimu, karena aku sudah menunggu lama di parkiran apartemen. Waktu kutelpon juga nggak kamu angkat."Aku hanya menghela napas, lalu kembali membuang pandangan ke laut."Lo pasti sudah mendengarnya, bukan?""Iya, dan aku minta maaf. Bukan bermaksud menguping.""Sudahlah. Itu tak masalah.""Apa itu ibu kandungmu?"Pertanyaan Azlan mengambil perhatianku. Tatapanku menelisik wajah tampannya, mungkin saja dia merasa heran kenapa ibuku bisa setega itu denganku."Gue anak kandungnya, hanya saja gue bukan anak yang dia harapkan.""Maksudnya?"Dadaku tetiba terasa sakit kembali saat ingatan itu hadir. Sebuah kenyataan yang sangat pahit. Kala itu usiaku masih sembilan tahun dan harus menerima kenyataan bahwa aku bukanlah anak yang diinginkan.Jawaban yang selama itu kucari pada akhirnya terjawab. Aku selalu bertanya pada nenek, kenapa Ibu selalu bersikap kasar padaku. Sikap yang tak wajar sebagai seorang ibu. Bahkan luka sundutan rokok dan dua goresan silet itu masih membekas hingga sekarang.Aku kembali menatap Azlan, lalu berdiri dan melangkah menuju deburan ombak kecil. Azlan hanya mengikutiku dari belakang."Lo lihat burung camar itu?" ujarku sembari menunjuk ke beberapa burung camar yang beterbangan, sesekali burung itu ke permukaan air untuk menyambar mangsa."Ya, kenapa?""Gue pengen bisa kayak burung itu. Terbang bebas tanpa beban.""Kamu bisa kalau kamu mau."Aku tertawa kecil. Lalu menatap kembali Azlan yang sudah mensejajariku."Gue mau, tapi takdir belum memberi kesempatan." Senyumku terulas, senyum penuh kemirisan."Jangan salahkan takdir, Ra. Tuhan memberimu banyak jalan, cukup kamu pilih yang terbaik."Aku tertawa kecil, dia bisa berkata begitu karena tidak pernah merasakan ada di posisiku. Jika aku tidak menuruti perkataan Ibu, maka dia bisa menjualku ke orang-orang yang punya kelainan dalam bermain cinta.Sudah cukup sekali saja aku merasakan kesakitan saat digarap dua pria. Semua karena ulah wanita iblis itu. Dan karena hal tersebut pula, akhirnya aku harus berusaha memenuhi setiap keinginannya."Gue anak hasil perkosaan. Ibu membenci gue karena lelaki yang sudah menghancurkan masa depannya. Bahkan dia harus kehilangan kekasih yang sangat dia cintai. Semua karena kehadiran gue di rahimnya."Pandanganku nanar, embun bening mulai menghalangi pandanganku. Ah, air mata ini kembali jatuh. Terlalu sakit bagiku, takdir ini bukan aku yang meminta. Bahkan kehadiranku di rahimnya pun bukan aku yang meminta, lalu kenapa aku yang disalahkan? Kenapa aku yang harus menerima hukuman tersebut?"Nara, kamu tidak bersalah. Kamu hadir di rahim dia juga bukan kesalahanmu.""Ya ... gue tahu, tapi tidak dengan nyokap gue. Dia tetep aja menyalahkan gue, benci gue, bahkan menyiksa gue dari kecil sampai sekarang.""Lo liat, ini bukti siksaan dia selama ini." Kutunjukkan bekas dua bekas sayatan silet di lengan kiriku. Meskipun sudah tersamar, tapi masih tetap bisa dilihat."Lalu ini, ini bekas sundutan rokok." Aku menggulung celana jeans-ku dan menunjukkan bekas luka pada betisku."Apa tidak ada yang melindungimu saat itu?""Ada, hanya nenek yang mau melindungi gue. Sedangkan kakek tidak mau tahu. Dia sama, hanya menganggap kehadiran gue sebagai pembawa aib. Kakek juga menyalahkan ibu terus menerus."Sesaat kami terdiam. Hanya deburan ombak dan kicauan burung yang terdengar, sesekali suara tawa orang menimpali suara lainnya.Azlan membuang pandangan ke laut, begitu pun aku. Entah apa yang dipikirkan Azlan sekarang. Apakah akan membatalkan tawarannya ataukah tetap lanjut."Apa kamu siap bertemu Elina sore ini?"Pandanganku kembali ke Azlan. "Apa lo masih tetap yakin dengan rencana lo ini? Kenapa tidak memilih perempuan baik-baik saja?""Nara, Nara ... mana ada perempuan baik yang mau disewa rahimnya?" sanggah Azlan dengan tawa yang terdengar aneh bagiku.Jawaban sekaligus pertanyaan Azlan cukup menohok batinku. Tapi memang bener, mana ada cewek baik yang mau disewa rahimnya? Itu sebabnya mereka memilihku, karena aku bukan wanita baik-baik.Jujur, sisi hatiku tersinggung. Di sinilah harga diriku hilang, anggapan bukan wanita baik-baik tampaknya sudah melekat pada diriku. Makin ironis hidupku ini, bukan?"Ah, ma ... maaf, bukan maksud aku ...." Seolah Azlan menyadari ucapannya, dia hendak meralat."Tak masalah, gue sadar diri kok." Sumpah, saat mengatakan kalimat itu ... ah, ada yang sakit di relung batin ini."Bukan gitu, Ra. Aku harap kamu bisa paham.""Ya ... gue paham.""Makasih, ya. Tapi beneran aku nggak bermaksud ....""Sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya." Aku berusaha menghentikan kalimat Azlan, bagaimana pun aku sangat menyadari siapa diriku.Aku mencoba untuk tetap tersenyum meski hati terasa tersentil. Tak bisa kutampik, apa yang diucapakan Azlan memang benar."Nara, nanti jika ketemu Elina ... tolong jangan pakai bahasa 'lo gue', ya. Di keluarga kami tidak ada yang seperti itu."Aku mengedikkan bahu sembari menaikkan bibir dan alis. Dengan terpaksa aku mengiyakan permintaan tersebut. "Oke, itu gampang. Gue bisa jadi bunglon kapan aja.""Biasakan dari sekarang untuk pakai 'aku kamu' saat bicara denganku atau pun Elina.""Iya, paham."Azlan tersenyum, sangat manis. Semakin lama kupandangi, makin kusadari bahwa dia tampan dan sangat menarik. Seandainya saja takdir berbaik hati padaku, memberi jodoh seperti Azlan. Ah, alangkah beruntungnya aku.Tapi sayang, takdir masih ingin mempermainkan aku lebih lama lagi.Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma
Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k
Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja
Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna
POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal
Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d