Aku menepikan mobil tepat di depan Ibu berdiri. Wanita berjambul itu terkesiap, dengan kelopak mata melebar sempurna menatapaku.
"Ibu dari mana?" tanyaku menyelidik.
"Jalan-jalan sama temen. Memangnya kenapa?" Dia balik bertanya.
"Siapa yang tadi bersama Ibu. Tadi aku lihat Ibu turun dari mobil sedan berwarna silver. Ibu nggak ngelakuin hal yang macem-macem kan?" Menatap intens wajah perempuan yang sudah melahirkanku itu.
"Kamu ngomong apa sih, Zis?!" Dia membuka pintu mobil dan segera duduk di kursi sebelah kemudi, memasang sabuk pengaman kemudian sibuk memainkan ponselnya.
Dasar emak-emak labil!
"Bu, memangnya aku anak hasil selingkuh ya?" Iseng-iseng bertanya, teringat dengan kata-kata Hamzah tadi.
Riak wajah Ibu seketika langsung berubah. Sepertinya ada yang sedang disembunyikan oleh perempuan berkulit putih tersebut dari diriku. Tapi
"Mas Azis kenapa sih, selalu saja membuat masalah. Bikin rugi aku saja!" rutuk Rafika sambil masuk ke dalam ruangan tempat dimana aku sedang ditahan."Bawel!" sahutku kesal."Mas tahu, nggak? Aku harus bayar ganti rugi lebih dari lima juta. Dan semua itu gara-gara sifat anarkisnya Mas Azis. Nyusahin aja bisanya!" sungutnya lagi, menarik kasar lengan bajuku hingga hampir robek."Baru lima juta!""Lima juta juga duit, Mas. Nyarinya susah. Capek aku!" Dia menyilang tangan di depan dada."Aku juga nyari hampir seratus juta, lebih capek lagi, Fika. Dan kamu menghabiskannya dalam waktu beberapa hari, karena ulah konyol kamu di klinik aborsi!" Aku mendebat tidak kalah sengit. Geram dengan sikapnya yang selalu semena-mena terhadapku.Tidak disangka, Rafika malah mendorong tubuhku hingga hampir terjatuh. Kalau saja dia laki-laki, sudah aku ajak berduel saat ini juga.
Ibu mengangkat tangan hendak membalas tamparanku, akan tetapi Kak Dimas dengan sigap menangkap tangan mantan mertuaku dan menepisnya dengan kasar."Dasar pezina. Jadah. Wanita mura**n!" Maki Ibu dengan suara lantang, mengalihkan perhatian para pengunjung taman."Saya sumpahin nanti lahirannya susah dan anak kamu terlahir cacat, Rania!" Lagi. Sumpah serapah terlontar dari mulut ibunya Mas Azis.Padahal dia sesama wanita. Pernah mengandung dan merasakan seperti apa rasanya melahirkan. Terlebih lagi yang dia jatuhi sumpah serapah adalah calon cucunya sendiri.Apa dia tidak berpikir jika nanti salah satu dari anak perempuannya diperlukan seperti aku sekarang ini? Difitnah, diusir dari rumah lalu diceraikan begitu saja. Sekarang malah didoakan yang buruk-buruk oleh dia."Jaga mulut anda, Nyonya.
"Loh, Ran. Kok kamu di sini?" Aku terkesiap ketika tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di belakangku."Apa mobil kamu mogok?" tanyanya lagi dengan senyum tersungging di bibir."E--enggak, Kak. Aku lagi nungguin Kak Dimas. Tadi dia masuk ke dalam bengkel. Kirain lagi ketemuan sama Kakak!" jawabku sembari melongok ke dalam."Enggak, Ran. Dimas nggak bilang apa-apa sama saya."Hufh! Aku menyentak napas kasar. Sebenarnya apa sih yang sedang dia lakukan di dalam?"Sudah sarapan?" tanya Kak Hamzah lagi."Belum, Kak. Lagi nunggu Kak Dimas keluar dulu."Lagi. Dia tersenyum sambil menatap wajahku. Aku menunduk malu juga menjadi salah tingkah karena merasa terus diperhatikan."Itu ada tukang ketoprak. Apa kamu mau?" Dia menunjuk gerobak yang terparkir di bawah pohon mangga.
"Ayah kenapa, Kak?" tanyaku panik."Mas Zubair jatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri. Sekarang dia ada di rumah sakit, Ran!" terang Kak Dimas sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket.Buru-buru kami menuju rumah sakit tempat dimana Ayah sedang dirawat, ingin tahu keadaan pria paling aku cintai itu saat ini. Aku begitu khawatir terjadi sesuatu kepada beliau."Agak cepetan bawa mobilnya, Kak!" titahku panik."Kakak nggak bisa ngebut, Ran. Soalnya bawa kamu. Kamu ini kan lagi hamil. Takut terjadi sesuatu sama calon anak kamu kalau diajak kebut-kebutan." Kaka Dimas menjawab sambil terus menatap kedepan, fokus melihat jalanan Jakarta yang kian padat merayap.Benar juga kata Kak Dimas. Ada nyawa yang begitu berharga di dalam rahim, yang juga perlu dijaga dengan super hati-hati.kuelus perut yang kian membukit, merasakan gerakan calon buah hati yang kian aktif.Ah, andai saja kehadirannya diterima oleh ayah biolog
Aku mendesis kesal. Lama-lama menyebalkan juga sikap Kak Dimas. Mentang-mentang aku selalu merepotkan dia."Mulai sekarang aku nggak mau tergantung kepada siapa pun, Kak. Mau berusaha apa-apa sendiri."Kak Dimas malah terkekeh."Memangnya bisa?"Kesal. Itu reaksiku mendengar pertanyaan tersebut. Lebih baik buru-buru pergi dari pada panjang urusannya.Berjalan sendiri menyusuri koridor rumah sakit menuju poli ibu dan anak menemui dokter Kayla, dan ketika menoleh ke belakang, ternyata Kak Dimas tidak mengikuti. Baguslah. Biar aku bisa membuktikan kalau aku juga bisa mandiri.Sesampainya di poli yang kutuju, seorang perawat menyapa dan memintaku mengisi data pasien. Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah kemudian menyuruhku menunggu karena hari ini mendapatkan giliran ke tiga.Duduk sendiri di kursi panjang. Menoleh ke kanan dan
"Kamu tahu, nggak? Itu ponsel harganya berapa?!" Berangku, menarik kasar kerah baju Dimas."Ya, harganya mahal. Bahkan lebih mahal dari harga diri kamu!" timpalnya asal bicara.Dasar manusia tidak punya akhlak. Tidak memiliki etika dan sopan santun. Enak saja kalau berucap kata!"Sampai mati pun, sampai kiamat pun, kamu tidak akan bisa membeli ponsel semahal itu, Dimas!""Cuih!!" Dia mendecih kesal."Bahkan aku mampu membeli seratus unit ponsel murahan seperti itu!" Lelaki tidak bermoral itu memasang wajah jumawa."Dengan cara memoroti perempuan-perempuan haus belaian seperti Rania?"Buk!!Kepala serta hidung berkedut nyeri setelah Dimas mendaratkan tinju begitu keras tepat mengenai hidung. Cairan hangat berwarna merah nan asin mengalir deras dari lubang hidungku, juga dari bibirku yang pecah. Sialan
#POV Sulis"Apa, Bu? Apa maksud dari perkataan Ibu. Apa benar aku bukan anak Bapak? Dan aku ini memang anak hasil selingkuh antara Ibu dan pria beristri yang pernah Hamzah katakan kepadaku?" Aku menelan saliva mendengar pertanyaan Azis putraku.Lagian si Hamzah, apa sih maksudnya bilang ke Azis kalau dia itu bukan anak kandung suami saya? Dari mana dia tahu rahasia tentang diriku. Apa jangan-jangan, Nafsiah yang menceritakan masa laluku terhadap putranya?Dasar! Wajah dan penampilannya saja sok alim. Tapi kelakuannya sama saja kaya aku yang tidak berhijab. Bahkan lebih parah. Doyan ghibah, mengungkit-ungkit masalah orang lain, membeberkan aib orang lain kepada orang-orang yang tidak tahu tentang masalah kita."Bu, kenapa diam?" tanya Azis lagi.Aku bingung harus menjawab apa. Jika jujur dan mengatakan yang sebenarnya, pasti dia akan marah dan menilai jelek diriku."Bu!" Azis menatap menghunus ke arahku."Ka--kamu nggak usah dengerin omongan Hamzah. Dia itu 'kan membenci kita. Jadi, bi
"Tapi bisa jadi memang calon bayi ibu besar, atau malah mungkin kembar, tapi belum bisa terdeteksi," imbuhnya lagi. Binar bahagia terpancar jelas di wajah jelek Mas Moko. Dia terlihat bangga karena baru lima pekan menikah, dan langsung dikaruniai momongan. Sedangkan bersama istri pertamanya dulu, dia sudah menikah selama sepuluh tahun dan dicerai oleh mantan istrinya karena tidak kunjung memberi keturunan."Terima kasih, sayang!" Mas Moko melingkarkan tangan di pinggang, mencium pipiku bertubi-tubi menunjukkan rasa cinta yang begitu dalam. Lagi. Aku melengkungkan bibir bersandiwara kalau aku juga merasa sangat bahagia. Tidak mau suami curiga, kalau anak yang sedang aku kandung bukan darah dagingnya.*Semenjak Mas Moko tahu aku sedang mengandung. Dia terlihat bertambah sayang juga selalu memanjakanku. Hal itu kugunakan untuk bermalas-malasan serta meminta apapun yang aku inginkan. Jika suami tidak menuruti, senjata andalannya adalah merajuk dan mengancam akan pergi membawa calon bua