Share

Part 2

POV Rania.

Membuka lemari pakaian, mengeluarkan beberapa lembar baju yang aku punya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku akan pergi dari rumah ini, sebab Mas Azis sudah menjatuhkan talak untukku. Meskipun aku tahu, jika seorang lelaki telah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, sang istri belum diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya, sebab masih ada kesempatan untuk rujuk kembali. 

Tapi, untuk apa aku harus bertahan dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku, bahkan telah menuduhku telah berzina. Sungguh keji fitnah yang telah dia tuduhkan kepadaku.  

"Aku pulang sekarang, Mas. Terima kasih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama enam pekan!" pamitku seraya menahan air mata, agar tidak luruh di depan Mas Azis.

Hening. Mas Azis menatap lurus ke tembok tanpa mau menoleh.

Ya Allah. Sakit sekali melihat sikapnya saat ini. Terlalu hinakah aku di mata pria yang sudah aku kenal selama enam tahun itu. Sudah hilangkah rasa cinta di hatinya, hanya karena mempercayai omongan bidan yang sepertinya belum lulus sekolah kebidanan tersebut. 

Aku terima semua perlakuan kamu saat ini dengan ikhlas, Mas. Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini saja.

Miris rasanya. Menjalin hubungan serius selama enam tahun, sabar menunggu karena Mas Azis saat itu belum lulus kuliah serta memiliki pekerjaan, dan pernikahan kami hanya mampu bertahan enam pekan saja.

Memang benar kata pepatah. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan gara-gara fitnah, rumah tanggaku yang baru seumur jagung harus kandas. Hancur, roboh hingga rata dengan tanah.

Menyalami tangan Mas Azis, memberikan penghormatan sebagai istri untuk yang terakhir kalinya. Aku berjanji kepada diriku sendiri, tidak akan kembali lagi ke rumah ini walaupun nanti dia akan memintaku untuk kembali. Sudah terlalu dalam luka yang dia dan keluarganya torehkan.

"Biar Mas antar, Ran!" Pelan Mas Azis berujar, namun masih tertangkap oleh indra pendengaranku.

"Tidak udah, Mas. Terima kasih!" tolakku dengan nada getir menahan sakit yang luar biasa.

Menggengam handle pintu, menatap suamiku sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan rumah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku itu.

"Coba Ibu lihat tas kamu, siapa tahu kamu bawa barang-barang berharga milik putraku!" Dengan kasar Ibu menarik tasku dan mengeluarkan semua isinya.

Mas Azis yang mengekor di belakangku, hanya diam membisu tanpa membela atau mencegah perbuatan ibunya.

"Itu, gelang sama ponsel kamu kan Azis yang beli. Jadi kamu tidak berhak membawa barang berharga milik Azis. Haram hukumnya buat kamu memakan uang anak saya!" hardiknya lagi, sambil menodongkan tangan meminta barang-barang yang dulu ia jadikan seserahan saat datang meminangku.

"Ini, Bu. Aku memang dulu saat masuk ke rumah ini tidak membawa apa-apa. Jadi aku pergi juga tidak akan membawa apa-apa dari sini!" ujarku seraya melenggang pergi, meninggalkan baju-bajuku yang berserakan di lantai.

"Heh, beresin dulu baju-baju kamu ini. Kamu masuk ke rumah ini dalam keadaan rapi, sekarang kamu pergi meninggalkan baju-baju jelek di lantai ruang tamu!" Mbak Zalfa menarik kasar tanganku.

Aku tersenyum miris. 

"Baju-baju jelek itu juga kalian yang beli. Jadi aku tidak sudi membawanya!" jawabku berusaha menata hati.

Jangan menangis Rania. Kamu wanita kuat. Mereka akan bertambah bahagia kalau melihat kamu menitikkan air mata. Gumamku dalam hati, menyemangati diri supaya tidak merasa bersedih.

"Kalau nggak mau dibawa ya kamu rapiin lah!" dengus Ibu kesal.

"Kan Ibu yang berantakin, jadi Ibu yang bertanggungjawab merapikan semuanya!" Melangkah keluar tanpa memperdulikan teriakan Ibunya Mas Azis yang sedang mengumpat kepadaku.

Sebelum menutup pintu garasi, aku menoleh berharap Mas Azis mengejarku dan mencegah suapaya aku tidak pergi. Tapi nyatanya, laki-laki itu tidak jua menampakkan batang hidungnya. Dia lebih percaya dengan ucapan Ibu dan juga bidan jaga tersebut, meskipun dia tahu saat malam pertama aku masih dalam keadaan suci. Sakit. Bagai disilet-silet rasanya hati ini.

Biarlah. Aku harus menerima semua takdir yang sudah digariskan Illahi Rabbi. Aku yakin sekenario Allah lebih indah. Aku harus sabar menghadapi ujian hidupku, sebab Allah tidak akan menguji seorang umat diluar batas kemampuan sang hamba.

***

Mobil taksi yang aku tumpangi menepi tepat di depan rumah orang tuaku. Gegas aku turun, mengetuk pintu pagar sambil mengucapkan salam. Tidak lama kemudian Bunda keluar sambil mengulas senyum melihatku datang.

"Rania apa kabar. Kok tumben datang ke rumah nggak sama Azis?" tanya Bunda seraya membukan pintu.

Aku berusaha melengkungkan bibir, menutupi luka supaya Bunda tidak tahu apa yang sedang menimpa putrinya saat ini.

"Mas Azis lagi keluar kota. Aku sengaja main ke sini karena kesepian di rumah Ibu," dustaku.

"Ya sudah, ayo masuk!" Bunda menggandengku masuk dan langsung membuatkan teh hangat untukku.

Huek!

Entah mengapa mencium aroma teh melati malah membuat aku mual. Perutku seperti sedang diaduk-aduk dan kepala ini terasa berputar seperti gasing. 

"Kamu kenapa, Ran. Apa kamu sakit?" Bunda menatapku dengan mimik khawatir.

"Nggak apa-apa, Bun. Sepertinya aku masuk angin," dustaku. Aku belum berani menyampaikan kabar kehamilanku, sebab aku takut akan diperlakukan sama seperti seperti saat di rumah Mas Azis.

"Ya sudah, minum teh hangatnya dulu, habis itu istirahat di kamar!" perintah wanita berusia empat puluh lima tahun itu dan langsung aku turuti.

Aku masuk ke dalam kamar, membenamkan wajah ke dalam bantal, menumpahkan air mata yang sudah sejak tadi aku tahan. 

***

Lamat-lamat terdengar suara sang muadzin mengumandangkan adzan di masjid dekat rumah. Gegas aku bangun, membasuh wajah yang terlihat sembab lalu segera melaksanakan ibadah shalat subuh. 

"Ran!" Tok! Tok! Tok! 

Terdengar suara Bunda mengetuk pintu. Buru-buru aku keluar menghampiri wanita yang sudah melahirkanku dua puluh tiga tahu yang lalu dan mengulas senyum kepadanya.

"Sudah shalat belum? Kita jalan-jalan pagi sambil nyari sarapan yuk!" ajak Bunda. Dia memang selalu rajin jalan pagi dan pulang membawa beberapa tentengan di tangan.

"Rania ambil kerudung dulu, Bun." Kembali masuk dan mengambil khimar yang tergantung di senderan kursi.

Udara pagi di komplek perumahan orang tuaku membuat diriku sedikit bisa melupakan rasa sakit yang sedang mendera hati. Sesaat rasa sesak dalam dada sedikit terobati tatkala menghirup udara segar serta masih bersih dari polusi.

"Ambar!" Aku dan Bunda menoleh secara bersamaan ketika mendengar seseorang memanggil nama ibuku.

Mataku membulat sempurna, ketika melihat siapa yang berdiri di depanku.

Astaghfirullah...

Kenapa mereka berada di tempat ini? Apa mereka sengaja ingin mempermalukan aku di tempat umum?

"Eh, mbak Sulis sama nak Azis?" Senyum Bunda terkembang merekah melihat Ibu mertuaku datang bersama Mas Azis.

Ya Allah. Semoga saja mereka berniat meminta maaf dan memintaku untuk kembali.

"Kedatangan saya kesini, saya mau meminta supaya mahar dari anak saya dikembalikan!" ucap Ibu lantang, membuat semua orang yang ada langsung menoleh ke arah kami.

"Maksud Mbak Sulis apa?" Bunda menatap wajah Ibu dengan dahi berkerut-kerut dan mimik terheran-heran.

"Iya, saya mau minta mahar anak saya dikembalikan, karena Kamu dan anak kamu sudah menipu Azis. Pantas saja Mas Zubair terus mendesak Azis supaya cepat-cepat menikahi Rania. Ternyata Rania sudah hamil dengan laki-laki lain!"

Bunda menoleh ke arahku. Wajah perempuan berhijab biru muda itu terlihat sangat syok, dan tidak lama kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status