POV Rania.
Membuka lemari pakaian, mengeluarkan beberapa lembar baju yang aku punya dan memasukkannya ke dalam tas. Aku akan pergi dari rumah ini, sebab Mas Azis sudah menjatuhkan talak untukku. Meskipun aku tahu, jika seorang lelaki telah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, sang istri belum diperbolehkan pulang ke rumah orang tuanya, sebab masih ada kesempatan untuk rujuk kembali.
Tapi, untuk apa aku harus bertahan dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku, bahkan telah menuduhku telah berzina. Sungguh keji fitnah yang telah dia tuduhkan kepadaku.
"Aku pulang sekarang, Mas. Terima kasih sudah mau menjadi pendamping hidupku selama enam pekan!" pamitku seraya menahan air mata, agar tidak luruh di depan Mas Azis.
Hening. Mas Azis menatap lurus ke tembok tanpa mau menoleh.
Ya Allah. Sakit sekali melihat sikapnya saat ini. Terlalu hinakah aku di mata pria yang sudah aku kenal selama enam tahun itu. Sudah hilangkah rasa cinta di hatinya, hanya karena mempercayai omongan bidan yang sepertinya belum lulus sekolah kebidanan tersebut.
Aku terima semua perlakuan kamu saat ini dengan ikhlas, Mas. Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini saja.
Miris rasanya. Menjalin hubungan serius selama enam tahun, sabar menunggu karena Mas Azis saat itu belum lulus kuliah serta memiliki pekerjaan, dan pernikahan kami hanya mampu bertahan enam pekan saja.
Memang benar kata pepatah. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan gara-gara fitnah, rumah tanggaku yang baru seumur jagung harus kandas. Hancur, roboh hingga rata dengan tanah.
Menyalami tangan Mas Azis, memberikan penghormatan sebagai istri untuk yang terakhir kalinya. Aku berjanji kepada diriku sendiri, tidak akan kembali lagi ke rumah ini walaupun nanti dia akan memintaku untuk kembali. Sudah terlalu dalam luka yang dia dan keluarganya torehkan.
"Biar Mas antar, Ran!" Pelan Mas Azis berujar, namun masih tertangkap oleh indra pendengaranku.
"Tidak udah, Mas. Terima kasih!" tolakku dengan nada getir menahan sakit yang luar biasa.
Menggengam handle pintu, menatap suamiku sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan rumah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku itu.
"Coba Ibu lihat tas kamu, siapa tahu kamu bawa barang-barang berharga milik putraku!" Dengan kasar Ibu menarik tasku dan mengeluarkan semua isinya.
Mas Azis yang mengekor di belakangku, hanya diam membisu tanpa membela atau mencegah perbuatan ibunya.
"Itu, gelang sama ponsel kamu kan Azis yang beli. Jadi kamu tidak berhak membawa barang berharga milik Azis. Haram hukumnya buat kamu memakan uang anak saya!" hardiknya lagi, sambil menodongkan tangan meminta barang-barang yang dulu ia jadikan seserahan saat datang meminangku.
"Ini, Bu. Aku memang dulu saat masuk ke rumah ini tidak membawa apa-apa. Jadi aku pergi juga tidak akan membawa apa-apa dari sini!" ujarku seraya melenggang pergi, meninggalkan baju-bajuku yang berserakan di lantai.
"Heh, beresin dulu baju-baju kamu ini. Kamu masuk ke rumah ini dalam keadaan rapi, sekarang kamu pergi meninggalkan baju-baju jelek di lantai ruang tamu!" Mbak Zalfa menarik kasar tanganku.
Aku tersenyum miris.
"Baju-baju jelek itu juga kalian yang beli. Jadi aku tidak sudi membawanya!" jawabku berusaha menata hati.
Jangan menangis Rania. Kamu wanita kuat. Mereka akan bertambah bahagia kalau melihat kamu menitikkan air mata. Gumamku dalam hati, menyemangati diri supaya tidak merasa bersedih.
"Kalau nggak mau dibawa ya kamu rapiin lah!" dengus Ibu kesal.
"Kan Ibu yang berantakin, jadi Ibu yang bertanggungjawab merapikan semuanya!" Melangkah keluar tanpa memperdulikan teriakan Ibunya Mas Azis yang sedang mengumpat kepadaku.
Sebelum menutup pintu garasi, aku menoleh berharap Mas Azis mengejarku dan mencegah suapaya aku tidak pergi. Tapi nyatanya, laki-laki itu tidak jua menampakkan batang hidungnya. Dia lebih percaya dengan ucapan Ibu dan juga bidan jaga tersebut, meskipun dia tahu saat malam pertama aku masih dalam keadaan suci. Sakit. Bagai disilet-silet rasanya hati ini.
Biarlah. Aku harus menerima semua takdir yang sudah digariskan Illahi Rabbi. Aku yakin sekenario Allah lebih indah. Aku harus sabar menghadapi ujian hidupku, sebab Allah tidak akan menguji seorang umat diluar batas kemampuan sang hamba.
***
Mobil taksi yang aku tumpangi menepi tepat di depan rumah orang tuaku. Gegas aku turun, mengetuk pintu pagar sambil mengucapkan salam. Tidak lama kemudian Bunda keluar sambil mengulas senyum melihatku datang.
"Rania apa kabar. Kok tumben datang ke rumah nggak sama Azis?" tanya Bunda seraya membukan pintu.
Aku berusaha melengkungkan bibir, menutupi luka supaya Bunda tidak tahu apa yang sedang menimpa putrinya saat ini.
"Mas Azis lagi keluar kota. Aku sengaja main ke sini karena kesepian di rumah Ibu," dustaku.
"Ya sudah, ayo masuk!" Bunda menggandengku masuk dan langsung membuatkan teh hangat untukku.
Huek!
Entah mengapa mencium aroma teh melati malah membuat aku mual. Perutku seperti sedang diaduk-aduk dan kepala ini terasa berputar seperti gasing.
"Kamu kenapa, Ran. Apa kamu sakit?" Bunda menatapku dengan mimik khawatir.
"Nggak apa-apa, Bun. Sepertinya aku masuk angin," dustaku. Aku belum berani menyampaikan kabar kehamilanku, sebab aku takut akan diperlakukan sama seperti seperti saat di rumah Mas Azis.
"Ya sudah, minum teh hangatnya dulu, habis itu istirahat di kamar!" perintah wanita berusia empat puluh lima tahun itu dan langsung aku turuti.
Aku masuk ke dalam kamar, membenamkan wajah ke dalam bantal, menumpahkan air mata yang sudah sejak tadi aku tahan.
***
Lamat-lamat terdengar suara sang muadzin mengumandangkan adzan di masjid dekat rumah. Gegas aku bangun, membasuh wajah yang terlihat sembab lalu segera melaksanakan ibadah shalat subuh.
"Ran!" Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara Bunda mengetuk pintu. Buru-buru aku keluar menghampiri wanita yang sudah melahirkanku dua puluh tiga tahu yang lalu dan mengulas senyum kepadanya.
"Sudah shalat belum? Kita jalan-jalan pagi sambil nyari sarapan yuk!" ajak Bunda. Dia memang selalu rajin jalan pagi dan pulang membawa beberapa tentengan di tangan.
"Rania ambil kerudung dulu, Bun." Kembali masuk dan mengambil khimar yang tergantung di senderan kursi.
Udara pagi di komplek perumahan orang tuaku membuat diriku sedikit bisa melupakan rasa sakit yang sedang mendera hati. Sesaat rasa sesak dalam dada sedikit terobati tatkala menghirup udara segar serta masih bersih dari polusi.
"Ambar!" Aku dan Bunda menoleh secara bersamaan ketika mendengar seseorang memanggil nama ibuku.
Mataku membulat sempurna, ketika melihat siapa yang berdiri di depanku.
Astaghfirullah...
Kenapa mereka berada di tempat ini? Apa mereka sengaja ingin mempermalukan aku di tempat umum?
"Eh, mbak Sulis sama nak Azis?" Senyum Bunda terkembang merekah melihat Ibu mertuaku datang bersama Mas Azis.
Ya Allah. Semoga saja mereka berniat meminta maaf dan memintaku untuk kembali.
"Kedatangan saya kesini, saya mau meminta supaya mahar dari anak saya dikembalikan!" ucap Ibu lantang, membuat semua orang yang ada langsung menoleh ke arah kami.
"Maksud Mbak Sulis apa?" Bunda menatap wajah Ibu dengan dahi berkerut-kerut dan mimik terheran-heran.
"Iya, saya mau minta mahar anak saya dikembalikan, karena Kamu dan anak kamu sudah menipu Azis. Pantas saja Mas Zubair terus mendesak Azis supaya cepat-cepat menikahi Rania. Ternyata Rania sudah hamil dengan laki-laki lain!"
Bunda menoleh ke arahku. Wajah perempuan berhijab biru muda itu terlihat sangat syok, dan tidak lama kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.
"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" pekikku melihat wanita yang telah melahirkanku jatuh pingsan.Mas Azis segera membopong tubuh Bunda, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengangtarku pulang ke rumah."Loh, ada apa ini. Kenapa Bunda kamu pingsan?" tanya Ayah ketika kami sampai di rumah.Aku hanya bisa menelan ludah, tidak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku sungguh takut karena pasti Ayah juga akan syok mendengar kabar kehamilanku yang sudah menginjak minggu ke sepuluh, disaat pernikahanku baru mulai memasuki minggu ke enam."Begini ya, Mas Zubair, tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ambar dan Rania di jalan. Saya langsung menghampiri mereka dan meminta mahar anak saya dikembalikan. Eh, Ambar malah pingsan!" ucap Ibu tanpa basa-basi."Loh, kenapa Mbak Sulis meminta kami mengembalikan mahar yang sudah Nak Azis berikan. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang lelaki saat mempers
Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun.Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari.Bismillah...Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan."Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri.Aku mengangguk yakin.Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dala
"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis.Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya."Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya."Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal."Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku."Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini.
Sekilas aku masih mendengar suara kepanikan ayah serta Bunda. Merasa bahwa tubuh ini sedang digotong dan dibawa menjauh dari rumah. Mungkin kedua orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Ya Allah. Lindungi aku dan juga janin yang ada di dalam perut. Jangan ambil dia. Calon bayi ini sumber kekuatanku, walaupun tidak diakui oleh Mas Azis. Beberapa menit setelah menempuh perjalanan, aku merasa tubuhku kembali diangkat, direbahkan diatas brankar karena aku yakin saat ini sudah berada di rumah sakit, sebab aku bisa mencium aroma khas obat-obatan. *** Pelan-pelan membuka mata, merasa ngilu di punggung tangan sebelah kanan karena ada jarum yang menancap di pembuluh darah vena, berserta selang yang terhubung dengan cairan intravena yang menggantung di standar infus. "Kamu sudah bangun, Ran?" Bunda mengulas senyum sembari membelai lembut kepalaku yang terbungkus hijab. Wajah perempuan berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sendu. Matanya basah serta memerah. Bunda pasti merasa sedih me
Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari kedua sudut netra.Ya Illahi Rabbi. Ternyata Rania benar-benar mengandung anakku, dan sekarang Engkau telah mengambil kembali amanah yang telah Kau berikan kepadaku.Ampuni aku ya Allah....Masuk ke dalam mobil, duduk bersandar sambil menangis meratapi kepergian calon anakku. "Ran, maafin Mas. Maafkan suamimu ini karena sudah tidak percaya sama kamu!" Menangis tersedu sambil mencengkram erat kemudi. Semua ini salahku. Rania kehilangan bayinya karena keegoisanku. Aku lembek, tidak berani membantah Ibu meskipun tahu Rania tidak bersalah. Kenapa juga kemarin harus mempercayai ucapan Fika dan Mbak Zalfa. Ya Allah. Harusnya aku lebih percaya kepada istriku. Aku seorang kepala rumah tangga, yang mengatur serta memutuskan segalanya. Bukan diatur juga menuruti semua perkataan Ibu juga saudariku. Aku kembali keluar dari mobil. Mengetuk pintu pagar rumah Mbak Mela, menanyakan di mana Rania di rawat. "Wah, kurang tahu ya, Mas. Soaln
"Sudah, Azis. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kamu urus saja Ibu kamu. Jangan urusi hidup putri saya lagi!" usir Ayah dengan wajah memerah menahan amarah."Ayah, saya mohon!" Terus saja mengiba."Azis. Jangan buat saya bertambah marah!" Wajah Ayah kian memerah, dengan rahang mengeras dan gigi menggertak.Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu lalu melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk terpekur di lantai depan rumahnya, tidak perduli dengan permohonan serta tangisanku. Mungkin hatinya sudah tertutup oleh rasa benci yang mengelusup ke dasar hatinya.Ponsel dalam genggamanku terus saja berdering. Mbak Zalfa memanggil. Aku mengabaikannya karena sedang merasa kesal kepada dia dan juga Ibu.Lunglai aku berjalan, masuk ke dalam mobil menyenderkan kepala sambil menangis.Ya Allah, Rania. Maafkan suamimu yang dulu tidak mau mempercayai kamu. J
Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati."Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut.Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah."Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!"Booking?Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om?Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur.Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku."Bu!" Tok! Tok! Tok!Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam."Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar."Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri."Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi."Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se