Share

Benih Siapa di Rahim Istriku?
Benih Siapa di Rahim Istriku?
Penulis: Kayla Afrizkha Suratno

Part 1

"Mas, aku hamil!" ucap Rania dengan wajah berbinar sambil menyodorkan benda pipih panjang bergaris dua.

"Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah," sahutku seraya mengelus perut datarnya kemudian menciuminya sambil tidak henti-hentinya mengucap hamdalah.

Namaku Azis Syafi'i. Aku dan Rania sudah menikah sekitar enam mingguan yang lalu.

Kabar kehamilan Rania istriku, menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Sebab, kami memang sengaja tidak menunda-nunda memiliki momongan. Aku ingin cepat memilik anak sebagai penguat ikatan suci pernikahan kami.

***

"Rania Hamil?" Ibu mengerutkan dahi ketika kami mengabarinya.

"Iya, Bu. Sebentar lagi mimpi Ibu untuk menimang cucu akan segera terkabul!" Aku mengulas senyum sambil menggenggam jemari Rania.

"Kok cepet banget, Zis? Mbakmu saja yang sudah menikah selama satu tahun belum ada tanda-tanda kalau dia sudah hamil loh!" 

"Namanya juga rezeki, Bu."

"Iya juga sih!" Ibu menyungginkan bibir dan ikut mengusap perut datar istriku. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Aku merasa sangat bersyukur karena Allah langsung memberi amanah itu kepadaku.

Malam harinya, aku beserta Ibu membawa Rania ke rumah bidan Hapsari ingin mengecek kandungannya. Binar bahagia terpancar jelas di wajah Ibu, sebab dia memang sudah lama ingin memiliki cucu. Ibu terlihat sangat bersemangat ketika memasuki tempat praktek bidan langganannya dulu.

"Selamat malam, Ibu, Bapak, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang bidan jaga yang aku taksir masih berusia sekitar dua puluh dua tahun itu.

"Saya mau memeriksakan kandungan mantu saya, Mbak. Bidan Hapsarinya ada?" sahut Ibu dengan semangat empat lima.

"Bu Hapsarinya lagi pergi, Bu. Mungkin dia kembali nanti malam. Sama saya juga sama saja kok, Bu." Wanita berambut sebahu itu kembali mengulas senyum kepada kami.

Ibu mangangguk setuju dan menyuruh Rania duduk di kursi untuk diperiksa tekanan darahnya.

"Kapan terakhir datang bulan, Bu?" tanya sang bidan setelah mengecek tekanan darah istriku.

"Tanggal tiga Agustus, Mbak!" jawab Rania dengan intonasi sangat lembut.

"Haid terakhirnya tanggal berapa, Bu?" Lagi, bidan bermata bulat itu menanyakan kapan terakhir istriku menstruasi.

"Sekitar tanggal sepuluhan, Mbak."

Bidan yang memperkenalkan diri bernama Dona itu mengambil buku kesehatan ibu dan anak, mencatat semua yang dia tanyakan lalu menyuruh istriku untuk berbaring di atas tempat tidur yang tersedia.

"Sudah jalan sepuluh minggu ya, Bu," ucapnya lagi, membuat seketika jantung ini seperti berhenti berdetak.

Sepuluh minggu? 

Bagaimana bisa?

Sedang aku saja baru menikah dengan Rania enam minggu yang lalu.

Aku dan Ibu saling memandang, lalu tatapan kami berpindah ke wajah Rania yang sudah terlihat pias. Apa selama ini dia menipuku?

"Mbak, bagaimana bisa saya hamil sepuluh minggu. Semantara saya dan suami saya baru menikah selama enam minggu?!" Rania akhirnya angkat bicara.

"Kalau sebelum menikah sudah melakukan!" sahut si bidan bagai ribuan peluru yang menghujam tepat di jantung.

Kedua bola mata Rania sudah dipenuhi kaca-kaca. Wajah wanita yang teramat aku cintai itu terlihat pucat dengan mimik ketakutan. Aku tidak tahu kepada siapa harus percaya. Kepada bidan yang notabene sudah mahir menghitung kehamilan, ataukah kepada istriku sebab yang aku tahu saat malam pertama Rania masih suci dan aku yang pertama kali menyentuhnya.

Ya Allah. Cobaan apa ini?

"Ayo, Ziz. Kita pulang. Dari awal juga ibu sudah curiga kalau anak yang ada di dalam rahim Rania bukan benih kamu!" Ibu menarik kasar tanganku, membawaku keluar dari rumah bidan Hapsari.

"Mas, demi Allah. Aku tidak pernah melakukannya dengan laki-laki lain. Janin yang ada di perut aku itu anak kamu, Mas!" Rania menatatap mengiba ke arahku.

"Sudahlah, Rania. Kamu tidak usah bawa-bawa nama Allah. Lagian, mana ada maling ngaku!" sungut Ibu, menatap bengis wajah Rania yang sudah basah oleh air mata.

"Ayo, Azis. Ngapain kamu masih berdiri di sini. Kita pulang sekarang, dan tinggalkan Rania di tempat ini. Ibu tidak sudi mempunyai menantu pezina!"

"Bu, aku nggak pernah berzina, Bu. Demi Allah!" Lagi-lagi dia bersumpah atas nama Tuhan.

Aku hanya bisa diam tanpa mampu berkata apa-apa. Lidahku kelu. Hatiku juga teramat kecewa mendapati kenyataan, kalau ternyata istriku sudah mengandung sepuluh minggu.

Dengan perasaan gusar kutinggalkan Rania di rumah bidan langganan Ibu, walaupun sejujurnya aku merasa tidak tega meninggalkannya sendiri di sana. 

Sepanjang perjalanan aku tidak bisa konsentrasi mengemudi karena terus memikirkan Rania. Ditambah lagi, Ibu terus saja mengomel tanpa henti, mengumpat serta menjelekkan istriku karena merasa sudah tertipu oleh sifat lugu wanita berusia dua puluh tiga tahun itu.

***

"Kenapa sih, Bu. Kok pulang dari bidan malah cemberut. Mana Rania?" tanya Mbak Zalfa ketika kami sampai di rumah.

"Ibu tinggal di rumah bidan!" jawab ibu kesal.

Aku yang sejak tadi terus memikirkan Rania, hanya bisa diam sebab bingung dengan keadaan kami saat ini. Aku masih yakin kalau Rania tidak pernah mengkhianatiku, akan tetapi buktinya dia sudah hamil sepuluh minggu.

Astaghfirullahaladzim....

"Kok ditinggal di rumah bidan, Bu?" timpal Fika adik bungsuku, yang sejak tadi terus saja sibuk dengan gawainya.

"Ibu kecewa dan kesal sama dia. Ternyata sebelum dia menikah dengan Azis, dia sudah hamil duluan. Pantas saja kedua orang tuanya terus saja mendesak Azis supaya cepat-cepat menikahi putrinya. Ternyata, dia lagi isi!" sungut Ibu muntab.

"Duh, kasihan banget kamu, Zis. Orang makan nangkanya, kamu yang dapat getahnya!" Mbak Zalfa menatap iba ke arahku.

"Sudahlah, Mba, Bu. Kan semuanya baru perkiraan. Besok aku akan membawa Rania ke dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi, supaya kita tahu berapa usia kandungan Rania sebenarnya. Aku yakin Rania tidak pernah mengkhianatiku!" Aku terus saja meremas jari jemariku, merasa takut kalau apa yang diperkirakan sang bidan ternyata benar.

"Kamu itu bagaimana, Zis. Sudah tahu istri kamu bukan wanita baik-baik, tapi masih saja kamu bela!" Ibu mencebik bibir.

"Wajar kalau aku membela dia, Bu. Rania itukan istri aku!" 

"Tapi dia sudah mengkhianati kamu loh, Zis?!"

"Sepertinya ini cuma salah faham, Mbak. Demi Allah, saat kami melakukannya untuk yang pertama kali, Rania itu masih suci. Dia masih perawan!" belaku, sebab aku yang merasa mempertamainya.

"Memang buktinya apa, Zis?" Mbak Zalfa menatapku tajam.

"Bercak darah di seprai Rania, juga..." Menggantung kalimat, tidak mungkin membeberkan secara gamblang semua yang telah kami berdua lakukan di malam pertama.

"Mas Azis jangan terlalu bodoh, deh. Jaman sekarang ya, Mas. Banyak selaput dara palsu yang dijual di toko online. Bisa saja Mbak Rania menggunakan selaput dara palsu sebelum nyampur sama Mas!" sambung Fika lagi.

Aku menyipitkan mata mendengar ucapan si bungsu. 

"Kalu nggak percaya, nih Mas lihat sendiri di e-commerce. Banyak tuh yang jual barang begituan!" Dia menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan beberapa toko yang memang menjual barang yang dia sebutkan.

Allahu Akbar...

Apa Rania benar-benar menipuku dengan cara seperti itu?

Tega sekali dia. Apa dia tidak tahu kalau aku sangat mencintainya, melebihi cintaku kepada nyawaku sendiri.

"Assalamualaikum!" 

Semua mata tertuju ke arah sumber suara ketika mendengar seseorang mengucap salam. Rania berdiri diambang pintu dengan wajah penuh dengan peluh serta mata yang sudah basah oleh air mata. 

Ingin rasanya aku menghambur memeluknya, mengusap butiran-butiran keringat yang ada di wajahnya dengan tanganku sendiri dan merengkuhnya.

Namun, bayangan Rania sedang melakukan perbuatan hina itu tiba-tiba menari di pelupuk mata, membuatku teramat jijik melihat wajah sok lugunya.

"Kamu masih berani pulang ke rumah, Rania?!" sambut Ibu dengan wajah memerah penuh amarah.

"Bu, Mas. Tolong percaya sama aku. Demi Allah, aku tidak pernah berzina dengan siapapun!" elaknya lagi, membuat Ibu beserta kedua saudara perempuanku bertambah marah kepadanya.

"Dih, aku nggak nyangka loh, Mbak. Ternyata Mbak Rania itu pembohong. Padahal dari segi tampilan, semua orang pasti tahunya Mbak wanita baik-baik. Ternyata...," cemooh Fika, menatap jijik ke arah Rania.

"Kamu itu perempuan loh, Fik. Apa kamu tidak takut kalau nanti kamu menikah dan diperlakukan seperti aku? Dituduh berzina, bahkan anak yang ada di dalam rahim kamu sampai tidak diakui suami sama mertua kamu!" sungut Rania sambil menyusut air mata dengan punggung tangan.

"Sudahlah, Rania. Nggak usah sumpah serapah. Fika putriku tidak mungkin melakukan hal memalukan seperti kamu!" Ibu menimpali sambil berkacak pinggang.

"Sekarang kamu ceraikan saja istri kamu ini, Azis. Di luaran sana masih banyak wanita yang pantas mendampingi kamu!" sentak Ibu membuatku semakin bingung.

Lagi. Aku hanya bisa diam. Kutarik Rania masuk ke dalam kamar, menyuruhnya istirahat karena malam kian beranjak larut. 

"Mas, apa kamu mempercayaiku?" Perempuan berparas ayu itu melingkarkan tangan di pinggangku.

"Aku capek, Ran. Tolong jangan ganggu aku dulu!" jawabku sembari menyingkirkan tangannya.

Wanita yang sudah menjadi istriku selama enam minggu itu memutar badan, memeluk guling membelakangiku. Aku tahu saat ini dia sedang menangis, sebab aku lihat bahu Rania berguncang.

Ya Allah. Sebenarnya aku tidak tega melihat istriku menangis seperti itu. Namun entahlah, kali ini aku tidak berniat untuk merayunya, sebab perasaanku sedang kalut saat ini.

***

"Ran, Mas mau bicara serius sama kamu." Duduk di bibir ranjang, menatap wajah istriku yang sudah terlihat sembab serta kuyu.

"Ada apa, Mas?" tanya wanita itu sembari menatapaku dengan mimik ketakutan.

"Tolong jawab dengan jujur, siapa ayah janin yang sedang kamu kandung, Ran?" Menatap tajam manik hitamnya, ingin tahu sedalam mana cinta Rania terhadapku.

"Ya Allah, Mas. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Dua bulir air bening mulai berlomba-lomba meluncur dari kedua sudut netranya, membentuk jejak lurus di pipi putih Rania.

"Kamu tinggal jawab saja, siapa ayah janin yang ada di rahim kamu. Kalau kamu jujur kepadaku, insya Allah aku akan menerima dia sebagai anakku!"

"Dia anak kamu, Mas. Anak kita!" Rania masih saja mengelak.

"Tapi kita baru menikah enam minggu, dan kamu sudah hamil dua setengah bulan. Wajar kan kalau aku curiga sama kamu!" 

Plak!!

Panas perih menjalar di pipi, karena Rania begitu keras menamparku.

"Kamu berani menamparku, Ran?" Mengepalkan tangan, merasa geram kepada wanita yang sudah menanamkan cinta begitu dalam di hati.

"Rania Humaira binti haji Zubair. Mulai hari ini, aku jatuhkan talak untuk kamu. Aku akan mengembalikan kamu kepada kedua orang tuamu, karena kamu sudah berzina dan juga berani berbuat kasar kepadaku!" sentakku lepas kendali.

Perempuan dengan bulu mata lentik tersebut menatap nanar ke arahku, sambil menyapu air mata yang berduyun-duyun meluncur dari ujung netranya.

"Baiklah, Mas. Kalau itu mau kamu. Aku pastikan setelah ini, kamu akan menyesal karena sudah tidak mempercayai semua ucapanku. Berjanjilah, jika suatu saat terbukti bahwa anak yang aku kandungan adalah darah daging kamu, kamu tidak akan memintaku untuk kembali kepadamu, sebab aku sudah tidak sudi lagi mempunyai suami yang tidak mempercayai ucapan istrinya.

Terima kasih atas cinta dan luka yang telah kamu torehkan di hati. Aku pastikan, kamu tidak akan bisa melihat anakmu seumur hidup kamu. Aku akan pergi!" ucap Rania seraya menegakkan kepala, membereskan semua pakaiannya lalu keluar dari rumah dan pulang ke rumah orang tuanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
mampir ya di karya recehku Istri yang tak dirindukan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status