Share

Part 3

"Astaghfirullahaladzim, Bunda!" pekikku melihat wanita yang telah melahirkanku jatuh pingsan.

Mas Azis segera membopong tubuh Bunda, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengangtarku pulang ke rumah.

"Loh, ada apa ini. Kenapa Bunda kamu pingsan?" tanya Ayah ketika kami sampai di rumah.

Aku hanya bisa menelan ludah, tidak mampu menjawab pertanyaan Ayah. Aku sungguh takut karena pasti Ayah juga akan syok mendengar kabar kehamilanku yang sudah menginjak minggu ke sepuluh, disaat pernikahanku baru mulai memasuki minggu ke enam.

"Begini ya, Mas Zubair, tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ambar dan Rania di jalan. Saya langsung menghampiri mereka dan meminta mahar anak saya dikembalikan. Eh, Ambar malah pingsan!" ucap Ibu tanpa basa-basi.

"Loh, kenapa Mbak Sulis meminta kami mengembalikan mahar yang sudah Nak Azis berikan. Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang lelaki saat mempersunting seorang wanita?" Ayah menatap heran wajah Ibu.

"Iya, memang kaki-laki wajib membayar mahar saat menikah. Tapi kalau perempuannya masih suci. Lah ini, Rania sedang hamil empat minggu ketika dia menikah dengan anakku, enak saja masih minta mahar. Yang ada Mas Zubair yang harus membayar kami karena kami sudah menutupi aib keluarga Mas Zubair!" bengis Ibu, dengan suara lantang tanpa perduli ada orang lain yang mendengar.

Aku hanya bisa menangis mendengar hinaan demi hinaan yang Ibu lontarkan kepadaku.

Mas Azis, laki-laki yang teramat aku cintai, hanya dia membisu ketika melihat Ibunya sedang menghinaku. Apa cinta di hatinya sudah memudar. Apa dia lebih mempercayai ucapan asisten bidan itu ketimbang ucapan istrinya sendiri.

"Apa benar kamu sudah hamil saat kamu menikah dengan Azis, Rania?" tanya Ayah, menatap menghunus mataku.

"Nggak Ayah, itu semua fitnah. Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun selain dengan Mas Azis. Aku berani bersumpah, Yah!" jawabku meyakinkan Ayah.

"Kamu nggak usah ngelak, Rania. Sudah jelas-jelas semalam bidan mengatakan kalau kamu sudah hamil sepuluh minggu. Padahal, pernikahan kamu dan Azis baru menginjak minggu ke enam!" Mata Ibu sudah memerah menahan amarah.

"Sudahlah, Bu. Nggak usah dibahas lagi. Toh, aku juga sudah menjatuhkan talak kepada Rania!" sambung Mas Azis bagai belati dengan ujung runcing yang menancap tepat di relung hati. Sakit, perih tercabik-cabik.

"Kamu sudah menalak anak saya?" Bunda yang baru saja siuman berusaha duduk, akan tetapi Ayah mencegahnya.

"Mana ada sih, laki-laki yang mau jadi tumbal perempuan sundal seperti Rania!" Dengan wajah angkuhnya Ibu melipat tangan di depan dada.

Ya Tuhan, ingin rasanya saat ini juga bumi tempatku berpijak menenggelamkanku, hingga aku tidak membuat kedua orang tuaku merasa malu serta terhina.

"Ya sudah, saya akan mengembalikan uang mahar yang sudah Nak Azis berikan." Ayah berjalan menuju kamarku, mengambil pigura berisi uang mahar yang masih tertata rapi, juga beberapa barang yang Mas Azis berikan kepada kami saat menikah.

"Makanya, Mas. Jangan sibuk menceramahi orang, tapi sampai lalai menjaga anaknya sendiri!" Dengan kasar Ibu menarik figura yang ada di tangan Ayah, mencebik bibir kemudian melenggang pergi meninggalkan kediaman orang tuaku.

Aku terus menatap punggung Mas Azis hingga tubuh lelaki yang selalu hadir dalam mimpi idahku itu menghilang di balik pintu.

Kini aku duduk sendiri, bagai seorang terdakwa yang siap disidang oleh sang hakim. Ayah pasti akan marah sekali kepadaku, karena aku sudah membuat pria berusia setengah abad itu malu.

"Kamu yang sabar, Nduk. Ayah percaya sama kamu. Jadi, jangan pernah berfikir kalau Ayah juga akan berbuat seperti yang mereka lakukan kepadamu." Ayah mengusap kepalaku yang masih terbungkus oleh hijab.

Aku menghambur memeluk Ayah dan menumpahkan segala laraku di dalam dekapannya.

"Apa kamu beneran sedang hamil?" tanya Bunda yang sejak tadi tidak henti-hentinya menyusut air mata.

Aku hanya menjawab dengan menganggukan kepala. 

"Tapi kenapa ibu mertua kamu malah menuduh kamu hamil dengan pria lain, bukan dengan Azis?" cecarnya lagi, membuatku kembali tersudut dan merasa tidak nyaman.

"Karena kata bidan, aku sudah hamil sepuluh minggu," jawabku pelan, tanpa berani menatap wajah Bunda.

"Kamu terakhir datang bulan kapan?" 

"Tanggal tiga Agustus, Bun. Sebulan sebelum aku menikah dengan Mas Azis. Bunda percaya sama aku kan, Bun. Hampir dua bulan aku selalu bersama Bunda, dan nggak pernah pergi ke mana-mana apalagi sampai menemui seorang laki-laki. Demi Allah ini anaknya Mas Azis, Bun!" ungkapku seraya menangis tersedu.

"Ya pantas saja bidan bilang kalau kamu hamil sepuluh minggu. Kehamilan bukan dihitung berdasarkan kapan berhubungan, tapi terhitung dari tanggal haid terakhir. Apa bidan tempat kamu periksa tidak menjelaskan tentang hal itu?" Bunda mulia terlihat emosi.

"Bidannya malah bilang ke mereka, kalau sebelum menikah aku sudah melakukan hubungan badan!" 

"Periksa di mana kamu, Ran. Biar Bunda samperin tuh bidan, karena sudah menghancurkan rumah tangga anak dan menantu Bunda!"

"Di klinik bidan Hapsari. Pas aku cek kandungan bidan Hapsarinya nggak ada. Di klinik cuma ada asistennya."

"Sudahlah, Bun. Biarkan saja. Ayah sudah tidak mau lagi berurusan dengan keluarganya Azis. Insya Allah, Ayah masih bisa menghidupi Rania dan calon anaknya," sambung Ayah, menampakkan raut kecewa di wajahnya. 

"Lagian, Azis juga sudah menalak Rania. Aku tidak mau putri Ayah satu-satunya disakiti oleh mereka." imbuhnya lagi.

"Tapi kita harus klarifikasi juga, Yah. Aku nggak mau nama baik keluarga kita tercemar gara-gara masalah ini!" desis Bunda kesal.

"Oke, sekarang juga kita pergi ke dokter kandungan. Kita periksa di sana, dan tunjukkan hasil USGnya kepada Azis. Biar dia percaya kalau bayi yang ada di rahim Rania memang anaknya!"

***

POV Azis.

Masuk ke dalam kamar, mengusap kasur tempat dimana biasanya Rania berbaring. Aku memejamkan mata menikmati harum wangi tubuh istriku yang masih tertinggal di bantal juga seprai kamarku.

Kenapa kamu tega mengkhianati aku, Ran. Tidakkah kamu ingat perjuangan kita untuk bersatu dulu. 

Memeluk guling, mencoba menepis rasa rindu yang kian mendera hati. Kupandangi potret Rania yang ada di dalam geleri ponsel, ingin menghapusnya tetapi aku tidak tega. Aku masih berharap kalau semua ini hanya kesalahan fahaman dan Tuhan masih mengizinkan kami untuk kembali bersama.

Astaghfirullahaladzim, la hawla wala quwwata Illa billah...

Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung

Aku membaca hauqalah berkali-kali, berharap hati ini merasa tenang dan tidak lagi memikirkan pengkhianatan Rania. Aku tidak mau terluka terlalu dalam karenanya. 

Tapi, kenapa semakin aku berusaha melupakannya, rasa cintaku terhadap wanita itu terasa semakin dalam?

Sudah benarkah keputusan yang aku ambil. Kenapa aku tidak mencari second opinion dan mendatangi dokter kandungan yang lebih profesional?

Ya Allah. Tolong tunjukkan kebenarannya. Aku masih yakin kalau Rania tidak mengkhianati cintaku, apalagi sampai berzina dengan pria lain.

***

Lamat-lamat terdengar suara adzan subuh berkumandang. Gegas diri ini turun dari tempat tidur, membersihkan badan kemudian melakukan ibadah wajib dua rakaat.

"Ran, tolong buatkan Mas teh hangat ya!" teriakku seperti hari-hari biasanya.

Pintu kamarku terbuka lebar, seraut wajah cantik dengan senyum menawan muncul dari balik pintu lalu menghampirku.

"Mas ngapain sih, pagi-pagi sudah teriak-teriak!" 

Loh, kenapa wajah Rania berubah menjadi Fika adikku. Kemana dia. Apa dia tidak mendengar panggilanku?

"Mana mbakmu?" tanyaku sembari melipat sajadah dan meletakkannya di atas kursi.

"Mbak Zalfa belum bangun!" jawab Fika ketus.

"Mas nggak nanyain Mbak Zalfa. Tapi Rania!"

"Mbak Rania kan sudah Mas usir. Memangnya Mas Azis lupa ya?!"

Astaghfirullah...

Ya Allah, Rania. Kenapa bayanganmu masih saja menari-nari di ingatan. Kenapa pesonamu membuat aku seperti orang linglung. Aku tidak boleh terus menerus seperti ini. Aku harus menemuinya, membicarakan masalah ini berdua dan mencari jalan keluar atas masalah yang sedang manimpa kami.

***

"Loh, Bu. Kenapa foto-foto pernikahanku diturunkan semua?" tanyaku ketika melihat Ibu dan Mbak Zalfa sedang sibuk mencopot beberapa foto yang tergantung di dinding.

"Ibu tidak sudi melihat foto wanita pezina itu, Zis!!" sahut Ibu meninggikan nada bicaranya satu oktaf.

Aku hanya mendengkus kesal. Malas beradu argument dengan Ibu juga Mba Zalfa karena sudah pasti aku yang kalah.

"Aku berangkat kerja dulu!" Menyalami Ibu, mencium punggung tangannya dengan khidmat lalu segera mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja televisi.

"Kamu nggak sarapan dulu, Zis?" Ibu mengejarku ke depan dan mengetuk kaca mobil.

"Aku nggak lapar, Bu. Nanti makan di kantin saja!" jawabku sembari menyalakan mesin mobilku dan membawa kendaraan roda empat itu menjauh dari pekarangan rumah.

Melajukan mobil dengan kecepatan sedang, terus memikirkan Rania yang kini tinggal di rumah orang tuanya. 

'Ya Allah, jika memang ini yang terbaik untuk hubungan kami, aku ikhlas melepasnya. Tapi, jika dia memang tidak bersalah, tolong tunjukkan kebenarannya kepadaku, supaya aku bisa kembali bersatu dengan istriku!' Aku bergumam sendiri dalam hati, sambil terus fakus mengemudi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuyun Yuningsih
ya kali laki gitu di pertahanin. mlesss
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status