Share

Part 4

last update Last Updated: 2022-03-23 07:40:28

Ayah menepikan mobil di depan rumah sakit ibu dan anak, lalu menyuruhku beserta Bunda turun. 

Jujur, aku sangat takut jika hasil pemeriksaan di rumah sakit ini juga sama seperti saat aku cek kandungan di klinik bidan Hapsari.

Bismillah...

Semoga saja hasilnya berbeda, sebab aku merasa tidak pernah melakukan perbuatan hina seperti yang keluarga Mas Azis tuduhkan.

"Nggak usah takut, Ran. Ada Bunda di samping kamu." Wanita berhijab panjang menjuntai itu mengusap tanganku, seolah mengerti kegundahan yang sedang mendera hati sang putri.

Aku mengangguk yakin.

Setelah mengisi data pasien, memeriksa tekanan darah serta menimbang berat badan. Aku duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan kepala yang terasa berat di pundak Bunda. Hatiku mencelos melihat para ibu hamil yang terlihat begitu disayangkan oleh suami-suami mereka. Tidak sepertiku yang malah dibuang dalam keadaan mengandung seperti ini 

Kuatkan hati hamba-Mu ini, ya Allah.

"Ran, nama kamu dipanggil. Ayo kita masuk!" ucap Bunda menarikku dari lamunan.

"I–iya, Bun!" jawabku tergagap, merasa ragu memasuki ruangan sang dokter.

Seorang dokter berhijab ungu tersenyum menyapa kami, menyuruhku berbaring di atas brankar setelah memeriksa data pasien yang disodorkan oleh asistennya.

Sebenarnya aku agak sedikit risih saat asisten dokter menyingkap gamisku ke atas, menuangkan gel pelumas di perut bagian bawahku dan tidak lama setelahnya, dokter menempelkan transduser, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan sambil menatap layar LCD yang ada di depannya.

"Sudah terlihat kantung janin dan embrio di dalamnya ya, Bun. Ukurannya baru tujuh milimeter, karena janinnya masih berusia sekitar lima mingguan," terang dokter berwajah cantik itu membuatku bernafas lega.

Tanpa terasa dua bulir air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut netraku, ketika dokter bernama Kayla Afrizkah, Sp.OG itu memperbesar gambar calon buah hatiku. Aku sungguh terharu karena Allah telah menunjukkan kebenaran, bahwa aku bukanlah seorang pezina.

***

Sepulang dari rumah sakit, Ayah membawaku ke rumah Mas Azis, ingin menunjukkan hasil USG yang telah kami lakukan, supaya Ibu tidak terus mengecapku wanita murahan. Ayah sangat tidak terima dengan tuduhan itu. Dia begitu marah, apalagi sekarang para tetangga sudah mulai membicarakan masalah kehamilanku ini. Pasti sebentar lagi mereka memojokkan aku karena termakan ucapan Ibu.

Menepikan mobil di depan rumah Ibu, mengetuk pintu pagar dan tidak lama kemudian Fika–adik iparku muncul sambil melipat tangan di dada serta memasang wajah angkuh. 

"Mana Ibu kamu?!" tanya Ayah sedikit membentak.

"Ada, di dalam!" jawab perempuan berpakaian kurang bahan itu seraya membuang muka. Tidak sopan.

Tanpa mengucap salam atau permisi, Ayah menerobos masuk ke dalam lalu melemparkan foto hasil USG tersebut di depan Ibu yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu.

"Silahkan Mba Sulis lihat hasilnya. Anak saya itu baru hamil lima minggu, bukan sepuluh minggu!" sentak lelaki yang selalu memberiku limpahan kasih sayang itu. Wajah Ayah terlihat memerah padam menahan kesal. 

"Halah, palingan juga Mas Zubair sudah memanipulasi hasilnya. Saya sudah tidak percaya lagi sama Mas Zubair dan anaknya Mas yang sok alim itu. Hati saya sudah terlanjur sakit, merasa ditipu oleh kalian semua. Sudahlah, sekarang bawa pulang perempuan nggak tahu malu itu. Sebentar lagi anak saya pulang!" hardik Ibu, lagi-lagi mencemoohku di depan Ayah dan Bunda. Sakit, sungguh nyeri seperti sedang dicacah-cacah hati ini.

Ya Allah, kuatkanlah hambamu untuk menghadapi semua masalah. Aku yakin dibalik semua ini, Sang Maha Rahim sedang menyiapkan skenario indah untukku. Sebab setiap kali ada hujan badai menerpa, pasti akan ada pelangi nan indah setelahnya.

Brak!!

Berjingkat kaget, ketika Ayah menggebrak meja dengan begitu keras. 

"Jaga bicaramu, Mbak Sulis. Apa Mbak lupa kalau Mbak juga masih punya anak gadis. Jangan sampai Allah murka dan menegur Mbak dengan cara yang sama persis seperti yang sedang anak saya alami. Semoga saja Allah mengampuni dosa-dosa Mbak dan tidak membalas semua kelakuan Mbak terhadap anak saya!" sungut Ayah sambil menunjuk wajah Ibu yang berdiri angkuh di hadapan kami. Wanita dengan jambul tinggi menjulang itu hanya tersenyum, menatap mencemooh diriku sambil sesekali melirik Ayah.

"Saya itu wanita baik-baik, Om Zubair. Saya bukan wanita gampangan seperti Rania. Biar kata pakaian saya terbuka, tapi saya masih bisa jaga diri!" timpal Fika membusungkan dada, merasa bangga dengan pakaian yang dia kenakan.

Astaghfirullah...

Sungguh sulit sekali mereka diajak bicara baik-baik. Semuanya mudah terbakar emosi. Pikiran seluruh keluarga Mas Azis teramat kolot, padahal mereka dari keluarga berpendidikan tinggi. 

"Ayo, Rania, kita pulang. Ayah tidak mau lama-lama berada di tempat ini. Bisa naik tensi darah Ayah menghadapi orang-orang yang otaknya nggak pernah dipake!" Ayah menarik tanganku kemudian membawaku kembali masuk ke mobil, melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah bidan Hapsari yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Ibu.

Wajah Ayah kian memerah ketika memarkirkan mobil di depan klinik bidan tersebut. Semoga saja pria berkopiah putih itu tidak terbawa emosi dan memaki bidan Hapsari, karena memang dia tidak terlibat dengan masalahku.

"Eh, Pak haji dan Bu hajah. Mari, silahkan masuk!" Sambut bidan berturban itu ramah, mempersilahkan kami masuk sambil melengkungkan bibir.

Tangan Ayah tidak lepas dariku. Laki-laki berusia lebih dari setengah abad tersebut membawaku masuk, memintaku duduk di kursi tunggu pasien lalu menyuruh bidan Hapsari memanggil asistennya.

"Sebenarnya ada apa, Pak Haji?" Bidan Hapsari menatap heran wajah Ayah.

"Gara-gara anak buah Ibu, rumah tangga anak saya jadi berantakan. Dia diusir dari rumah Sulis dengan cara tidak terhormat karena dituduh berzina oleh mertua dan suaminya. Semuanya gara-gara bocah itu!!" Ayah menujuk wajah bidan Dona yang sedang duduk di pojokan, tepat di samping bosnya.

"Maksud Pak Haji? Maaf, saya tidak tahu permasalahan ini. Mungkin ada salah faham antara asisten saya dan juga Mbak Rania!" sanggah bidan berwajah cantik meski usianya sudah tidak lagi muda itu.

"Dia bilang ke keluarganya Azis kalau anak saya sudah hamil sepuluh minggu, padahal, anak saya baru menikah selama enam minggu!" rutuk Ayah belum bisa meredam emosi.

"Apa benar, Dona?" tanya bu bidan seraya menatap perempuan berambut sebahu tersebut.

"Iya, Bu. Kan Mbak Rania terakhir menstruasi tanggal tiga Agustus. Sebulan sebelum dia dan Mas Azis menikah. Jadi, menurut perhitungan kita 'kan memang sudah memasuki sepuluh minggu. Terus, salah saya di mana ya?" Dona memindai wajahku dengan wajah datar, tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Benar Pak, Bu, Mbak Rania. Kalau orang hamil itu dihitung dari hari petama haid terakhir. Jadi wajar kalau bidan Dona bilang kalau Mbak Rania sudah hamil sepuluh minggu. Untuk lebih tepatnya, Ibu dan Bapak segera mengajak Mbak Rania ke dokter spesialis kandungan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi." terang bidan Hapsari panjang lebar, dengan intonasi sangat lembut serta berwibawa.

"Saya faham, Bu. Istri saya juga sudah memeberi tahu saya tentang masalah itu. Saya juga sudah mengecek kandungan anak saya ke dokter kandungan. Yang ingin saya permasalahahkan di sini bukan masalah itu. Tapi masalah tuduhan si bidan abal-abal ini yang sudah menuduh anak saya sudah berzina!" Ayah beranjak dari duduknya, kembali menunjuk wajah si Dona membuat diri ini sedikit khawatir kalau Ayah akan lepas kendali dan berbuat kasar kepada asisten bidan Hapsari.

"Saya tidak pernah menuduh Mbak Rania berzina loh, Pak. Saya memeriksa dia sesuai prosedur!" elak Dona. Aku lihat wajah perempuan yang mungkin seumuran denganku itu sudah sangat ketakutan.

"Mbak memang tidak menuduh saya secara langsung. Tapi, Mbak bilang ke mertua dan suami saya kalau saya sudah melakukan hubungan badan sebelum menikah. Apa Mbak lupa dengan kata-kata itu?!" Aku ikut angkat bicara, tidak mau bidan Dona memenangkan kasus ini. Dia harus mendapat ganjaran atas apa yang sudah dia ucapkan, supaya nanti, tidak ada lagi korban kecerobohannya.

"Saya cuma bercanda loh, Mbak. Tidak usah diambil hati. Lagian, kalau Mbak tidak merasa melakukannya, kenapa Mbak musti marah!" sahut dia membuat semua orang yang ada langsung geleng-geleng kepala.

"Astaghfirullah, Dona. Bercanda kamu itu tidak lucu sama sekali. Saya pikir kamu bisa profesional walaupun masih magang. Ternyata kamu belum layak menjadi seorang bidan. Saya akan mengembalikan kamu ke yayasan supaya mereka menindaklanjuti kasus ini. Saya tidak mau nama baik saya tercemar gara-gara keteledoran kamu!" sentak bidan Hapsari, mulai ikut emosi.

"Saya juga akan menuntut dia karena kasus pencemaran nama baik. Saya tidak terima anak saya dihina sama orang-orang, dituding telah berzina bahkan sampai ditalak oleh suaminya!" Ayah menimpali. 

Sedangkan Bunda, dia hanya diam saja tidak ikut angkat bicara. Namun, dari mimik wajah ayunya, aku dapat melihat rasa sakit yang teramat dalam di sana. Pasti Bunda juga sangat marah atas apa yang dikatakan oleh Dona.

***

Setelah urusan kami di klinik bidan Hapsari selesai, gegas Ayah mengajakku pulang, karena wajah ini sudah kian memucat dan kepala berputar seperti gasing. Beberapa kali aku membekap mulut, menahan hasrat ingin muntah yang terus saja mendesak perut. Apa semua orang hamil seperti ini?

Mobil yang aku tumpangi menepi di depan pagar rumah. Ayah sengaja menurunkan aku dan Bunda di halaman, karena dia hendak pergi ke kantor polisi untuk melaporkan asisten bidan Hapsari. Ayah memang orangnya sangat keras kepala dan tidak bisa dicegah jika sudah menginginkan sesuatu.

"Duh, kasihan ya si Rania. Baru nikah enam minggu sudah dikembalikan sama suaminya. Padahal kelihatannya dia itu alim banget loh, tapi ternyata, kata Bu Sulis dia sudah hamil duluan!" Bunda menarikku masuk tanpa memperdulikan bisikan sumbangan dari tetangga. Biar saja mereka berkata apa, sebab Allah akan menunjukkan kebenarannya. Aku yakin itu.

"Rania!" Aku dan Bunda menoleh secara serempak ketika mendengar Mas Azis memanggil namaku.

Ada apa lagi?

Belum puaskah dia menyakiti hatiku?

"Ayo ikut denganku, Ran!" Dia menatap netraku. Ada rindu samar terlihat di dalam sana. Apa Mas Azis akan merujukku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anggra
bagus pak haji..ank magang kek gtu hrus dkasih efek jera..Krna mulut ceplosnya bikin rusak rumah tngga orang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 61

    “Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 60

    “Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 59

    “Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 58

    Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 57

    “Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r

  • Benih Siapa di Rahim Istriku?   Part 56

    Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status