MasukDarahku seketika rasanya langsung berhenti mengalir. Tanganku, yang baru saja sempat bebas dari genggaman Devan, masih menggantung kikuk di pangkuan. Aku pun buru-buru menariknya ke atas meja, meraih gelas air untuk menutupi rasa gugup.“Oh nggak, cuma lagi tek pijit-pijit pelan, tadi pegel aja, tadi abis pegang laptop lama,” jawabku cepat, mencoba tertawa kecil.Suara tawaku terdengar canggung bahkan di telingaku sendiri. Siska mengangguk pelan, tapi matanya bergerak cepat ke arah Devan, pandangan yang sulit ditebak, seakan penuh rasa ingin tahu.Akan tetapi, Devan tetap tenang. Pria itu bahkan bisa tersenyum tipis sambil menjawab, “Tadi Cleo bantu presentasi laporan proyek, wajar aja tangannya agak capek. Saya yang nyuruh, makanya saya kasih kompensasi buat traktir makan siang dia di sini.”Nada bicaranya datar, tapi ada sesuatu di dalam suaranya yang membuatku ingin menatapnya. Aku menahan diri.Siska hanya tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya berbeda.“Oh gitu, ya. Kayaknya Mba
"Mas Ethan?"Dia datang bersama dua orang, satu pria berkemeja gelap, dan seorang wanita cantik berambut panjang dengan gaun biru lembut. Aku bisa menebak, wanita itu pasti Siska, nama yang beberapa hari lalu sempat disebut Mas Ethan sebagai “rekan investor.”“Kenapa?” tanya Devan pelan, mencondongkan tubuhnya sedikit.“Ethan ...."Devan langsung menoleh cepat, pandangannya mencari arah yang dimaksud. Begitu melihat sosok Ethan yang baru duduk di meja seberang, wajahnya menegang. Namun, dia terlihat cepat menguasai diri. “Tenang. Jangan panik.”Aku menggigit bibir, mataku terus menatap piring yang kini tampak tak berarti. Pikiranku kacau. Apa yang harus kulakukan?Keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Apalagi saat tawa Mas Ethan terdengar samar dari seberang meja, diikuti suara lembut wanita yang duduk di sebelahnya.Aku menarik napas panjang, mencoba menstabilkan diri. Jantungku masih berdebar, tapi naluri sebagai seorang istri yang sedang menyembunyikan rahasia membuatku cepat
Devan kemudian kemudian memainkan gundukan kenyal milikku dengan lidah kasarnya. Hingga membuatku mengerang kecil."Ahhhh, Devan."Aku mengerang, hingga tanpa sengaja meremas milik Devan yang sudah mengeras di bawah sana. Ciuman Devan yang penuh pemujaan di dadaku, seketika berhenti tatkala menyadari itu. Devan menegakkan kepala, tatapannya terlihat begitu sayu, pertanda jika laki-laki itu sudah dipenuhi oleh gairah.Apalagi mengetahui tanganku sudah menempel di atas celananya, dan beberapa kali meremas aset miliknya. Dia buru-buru melonggarkan celananya serta melepas ikat pinggangnya. Lalu menurunkan celana itu."Bisa nggak mainin?" Aku yang juga sudah dipenuhi oleh nafsu setan, menuruti perintah Devan. Aku pun mengangguk, lalu memegang batang miliknya yang sudah tak tertutup apapun."Ahhhh."Devan mengeram saat kejantanannya masuk ke dalam mulutku. Apalagi, ketika aku menggerakkan kepala naik dan turun. Eraman pun berulang kali terdengar dari bibir Devan."Kau memang luar biasa, Sa
Devan tersenyum tipis.“Nggak apa-apa kok, aku cuma agak khawatir aja. Soalnya kemarin kamu pulang sendiri, terus nggak balas chat aku lagi.”Tangannya terangkat perlahan, ujung jarinya menyentuh pipiku dengan lembut. Usapannya ringan, tapi cukup untuk membuatku merasa nyaman. Aku menunduk, mencoba menenangkan diri, karena sentuhan itu membuatku hanyut.“Maaf, aku nggak maksud ngabaikan kamu.”Devan hanya mengangguk, matanya menatapku lama, seperti sedang memastikan kalau aku benar-benar baik-baik saja.“Aku udah tahu alasannya. Sekarang bisa tenang." Aku tak langsung menjawab. Hanya mengangguk, menahan debar di dada. Sentuhan itu, seolah masih terasa di pipiku, lembut tapi membekas dalam, membuatku bertanya dalam hati, sampai kapan aku bisa terus berpura-pura seperti ini?"Kita jadi ke proyek, kan?” tanyaku pada akhirnya. Devan menatapku sejenak sebelum mengangguk.“Iya, aku cuma butuh memastikan kamu baik-baik aja dulu.”Aku hanya membalas dengan kekehan kecil. Devan lalu menyalaka
Aku akhirnya memberanikan diri melangkah keluar dari balik dinding.“Mas?” panggilku pelan.Mas Ethan tampak terkejut. Ponsel di tangannya cepat-cepat dia turunkan, lalu menoleh ke arahku dengan ekspresi yang sulit ditebak, antara gugup dan berusaha tenang.“Sayang, kamu belum tidur?” tanyanya, mencoba tersenyum.Aku melangkah mendekat, menatap ponsel di tangannya yang masih menyala. “Kamu lagi nelepon siapa malam-malam begini?” tanyaku, suaraku terdengar lebih dingin dari yang kumaksud.Dia tersenyum. “Nggak, cuma urusan kerja. Investor masih mau diskusi soal lahan di Puncak. Maaf kalau ganggu tidurmu.”Aku menatapnya dalam diam, mencoba membaca wajahnya, apakah dia jujur, atau berbohong. Namun, ekspresinya datar, nyaris tanpa celah.Meskipun begitu tetap saja ada yang mengganggu perasaanku. Suamiku tadi mengatakan jika dia berbicara dengan investor. Bukankah itu artinya dia sedang berbicara Sisca? Berbicara dengan seorang wanita di saat dini hari seperti ini.Aku tahu, ini sebatas p
Desahan demi desahan terus keluar dari mulutku ketika Devan memainkan gunung kembarku. Sementara, di bawah sana, aku memaju mundurkan pinggangku.Kini keringat mulai membanjiri tubuh polos kami, seiring dengan suara kecipak dan desahan khas yang mendominasi di seluruh sudut ruang kerja."Ahhhhh ... Devan.""Yes baby, are you like it?"Aku menangguk sembari memejamkan mata, dan menggigit bibir bawahku. Di antara gerakan yang semakin liar.Desahan dan erangan kian memenuhi seluruh bagian sudut ruangan, hingga akhirnya terdengar leguhan panjang dari bibir kami manakala berhasil mendapatkan pelepasan secara bersamaan.Setelah mencapai pelepasan itu, tubuhku kutempelkan di atas tubuh Devan, sembari mengusap perlahan kepalanya yang bersembunyi di ceruk leherku."Mau mandi bareng nggak?" bisiknya pelan. Aku pun menggeleng."Nggak mau, mau mandi sendiri aja"Perlahan, aku melepaskan diri. Lalu, mengambil pakaianku yang tercecer, dan masuk ke dalam toilet yang ada di ruang kerja Devan.Saat ak







