Keesokan paginya, ketika masuk ke dapur, Rani mendapati Dimas sudah duduk di meja dengan secangkir kopi mengepul di depannya. Lelaki itu mendongak, menatapnya sejenak sebelum pandangannya berpaling.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara serak. “Tidurmu nyenyak?” Rani hanya mengangguk sambil menuangkan teh. Ia bisa merasakan tatapan Dimas mengikuti setiap gerakannya di dapur. Saat ia akhirnya duduk, matanya sekilas menangkap Elano di meja, bersandar santai dengan seringai samar. Rani pura-pura tidak peduli dan sibuk mengoleskan selai ke roti panggangnya. “Seharian ini aku dan Elano ada beberapa hal yang harus dibicarakan,” ujar Dimas, matanya berpindah dari Rani ke pria di sampingnya. “Aku akan bekerja dari rumah.” Rani kembali mengangguk, berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman karena harus terjebak seharian bersama keduanya. Seharusnya ia bersyukur bisa lebih lama dekat dengan DiSaat cahaya fajar pertama menyaring melalui celah-celah pintu, tatapan Dimas melayang di atas tubuh Rani, menangkap banyak bekas ciuman dan gigitan cinta yang menghiasi kulitnya. Gelombang posesif menyelimuti dirinya, kepuasan primal menyebar saat melihat jejaknya padanya. Ia menggerakkan jarinya perlahan di atas memar, mengagumi kontras antara kulit halus dan bukti pertemuan mereka. Rani bergerak di sisinya, matanya terbuka untuk bertemu tatapan intens Dimas. “Dimas…” gumamnya, rona merah merayap di pipinya. “Apa yang… kamu lihat?” Dimas tersenyum nakal, membungkuk untuk mencium tulang selangkanya. “Mahakaryaku,” bisiknya di kulitnya. Namun, ketenangan itu segera terganggu. Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar ruangan. Rani dan Dimas membeku, jantung mereka berdegup kencang, telinga mereka menangkap setiap hentakan. Langkah itu semakin keras, berhenti tepat di luar pintu. Napas Rani tersangkut saat ia mengenali suara polos itu. “Tahte Rani?” Afqlah memanggil
Jantung Rani berdebar hebat mendengar kata-katanya. Ia mendekat tanpa ragu, lalu melingkarkan tangannya ke leher pria itu, menempelkan tubuhnya erat. “Aku merindukanmu,” bisiknya di dada Dimas. “Malam ini kacau. Tasya menyuruhku mengantarkan paket, dan ternyata… itu semacam dokumen pemerasan.” Lengan Dimas menegang, memeluknya lebih kuat. Rahangnya mengeras saat mendengar nama Tasya. “Pemerasan?” suaranya pelan tapi berbahaya. “Paket macam apa itu?” Rani ragu sejenak sebelum mundur sedikit, menatap Dimas dengan hati-hati. “Aku tidak tahu,” akunya pelan. “Tapi Meisya memperingatkanku… katanya paket itu berisi informasi yang bisa menghancurkan perusahaanmu kalau jatuh ke tangan yang salah. Dia bilang Tasya mencoba memeras seseorang.” Mata Dimas menggelap saat nama Meisya disebut. Otot di rahangnya menegang. “Meisya?” ulangnya dengan nada dingin. “Apa hubungannya dengan semua ini?” Rani menggeleng, alisnya berkerut. “Aku juga tidak yakin,” katanya jujur. “Tapi dia terlihat b
Rani ragu sejenak, terbelah antara tugasnya kepada Tasya dan kerinduannya untuk bertemu Dimas. Ia tahu tidak bisa mengabaikan paket itu begitu saja, tetapi mungkin ada cara untuk menyelesaikannya dengan cepat dan tetap sampai ke pertemuan mereka. “Aku akan kembali sesegera mungkin,” gumamnya pada diri sendiri, menyelipkan paket itu dengan aman di bawah lengannya. Dengan napas dalam-dalam, ia menyelinap keluar rumah, hati-hati agar tidak terlihat oleh pelayan yang masih berada di sekitar. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya saat Rani bergegas menuju gerbang. Ia menundukkan kepala dan melangkah cepat, berharap tidak menarik perhatian. Leganya terasa saat Zafla, yang sedang sibuk dengan ponselnya, hampir tidak menoleh saat ia melambaikan tangan. Jantung Rani berdebar kencang saat ia melangkah ke jalan-jalan yang gelap, paket berat di pelukannya. Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari bayangan: “Ya?” Nada itu hati-hati, penuh waspada. Rani menelan ludah, genggamannya pada
Penthouse rahasia itu adalah tempat perlindungan bagi Rani, tempat ia bisa melarikan diri dari suasana rumah utama yang mencekik dan dari kesendirian pikirannya sendiri. Dimas telah menyiapkannya dengan segala kenyamanan yang ia sukai: sofa mewah, TV layar datar besar, dapur kecil lengkap, dan kamar tidur luas dengan kamar mandi dalam. Di sinilah Rani dan Dimas bisa benar-benar jujur satu sama lain, tanpa takut dihakimi atau dibalas dendam. Rani duduk di sofa, menyeruput segelas anggur sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip melalui jendela dari lantai hingga langit-langit. Ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia tahu apa yang dilakukannya salah—mengkhianati kepercayaan saudara perempuannya dan merusak fondasi keluarga mereka. Namun, di sisi lain, cintanya pada Dimas terlalu kuat untuk ditolak. Suara pintu penthouse yang terbuka menarik Rani keluar dari pikirannya. Ia menoleh dan melihat Dimas masuk, tubuhnya yang tinggi bersiluet di lorong. Ia mengu
Afqlah keluar dari kamar, wajahnya masih berkerut karena baru bangun tidur. Dia mendekati Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu, tangan mungilnya memeluk boneka beruang. "Ayah," kata Afqlah mengantuk sambil menggosok matanya dengan tangan yang bebas, "kenapa Tante Rani selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganku daripada Mommy?" Dimas menurunkan korannya perlahan, menatap Tasya yang duduk di meja makan, asyik dengan ponselnya seperti biasa. Ia menghela napas pelan sebelum kembali menoleh ke Afqlah. "Baiklah, sayang," katanya lembut. "Ibumu sangat sibuk. Dia punya banyak tanggung jawab yang menyita waktunya." Afqlah mengangguk perlahan, mencerna kata-kata ayahnya. "Tapi Tante Rani sepertinya tidak sibuk," katanya, alis mungilnya berkerut kebingungan. "Dia selalu di sini, bermain denganku dan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah." Ekspresi Dimas melunak mendengar pengamatan polos Afqlah. Ia tahu Rani memang menghabiskan jauh lebih banyak waktu dengan putrinya dibandingk
Dimas dan Rani duduk di ruang tamu, tenggelam dalam percakapan tenang ketika suara sepatu hak tinggi beradu dengan marmer menandakan kedatangan Tasya. Ia melangkah masuk dengan anggun—gaunnya berkilau, riasannya sempurna—namun ada sedikit goyangan di langkahnya yang menandakan ia sudah terlalu banyak minum di pesta tadi. “Wah, wah,” ucapnya dengan suara tidak jelas, matanya menyipit melihat Dimas dan Rani yang duduk begitu dekat. “Apa yang kita punya di sini?” Dimas berdiri dengan tenang, ekspresinya tetap netral. “Hanya membicarakan beberapa urusan rumah tangga,” katanya datar. “Rani sangat membantu di rumah… sesuatu yang tampaknya sering kamu lupakan.” Bibir Tasya melengkung sinis. “Oh, begitu? Dia?” tanyanya tajam. “Saya yakin dia senang sekali bermain peran sebagai pengurus rumah tangga kita.” Mata Dimas menajam menanggapi nada meremehkannya. “Rani bukan sekadar pengurus rumah tangga,” ucapnya tegas. “Dia keluarga—sesuatu yang sepertinya sudah kamu lupakan dalam usahamu men