Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar

Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar

last updateLast Updated : 2025-09-02
By:  Yes, me! LeesoochanUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
18views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Rani Prameswari adalah gadis mahasiswi semester akhir, hanya ingin berteduh. Ia lari ke rumah kakaknya, Tasya Prameswari, tak pernah tahu bahwa pria yang menunggu di balik pintu adalah pemilik neraka sesungguhnya: Dimas Satya, suami sang kakak. Dingin, berkuasa… dan haus kontrol. Apa yang Dimas lakukan malam itu, merenggut segalanya dari Rani termasuk kepolosannya. Dan yang lebih buruk: meninggalkan benih dalam rahimnya.

View More

Chapter 1

🖤 EPISODE 1

Pagi itu, Rani tiba di kompleks elit dengan koper kecil di tangannya. Rumah kaca tiga lantai berdiri megah di hadapannya, dinding-dinding beningnya memantulkan cahaya matahari pagi. Indah, tapi sekaligus terasa asing, terlalu besar, terlalu sepi.

Dengan canggung ia menyapa beberapa tetangga. Namun bisik-bisik segera terdengar, menusuk telinganya. “Itu kan adik iparnya Dimas… kok malah jadi asisten rumah tangga juga?” Tatapan penuh gosip membuat langkah Rani terasa berat.

Begitu masuk, Tasya menyambut dengan senyum dingin. “Kau di sini bukan untuk bersantai, Rani. Ingat posisimu.”

Rani berusaha menahan gugup, lalu tersenyum kaku. “Tentu, Mbak… aku hanya ingin membantu.”

Rani menaruh koper di kamar lalu menjelajah rumah bercahaya kaca dan marmer, merasa seakan diawasi. Dari balkon lantai tiga, ia melihat Dimas berdiri tegap di taman, menatap kosong ke kolam. Hatinya bergetar, entah takut, hormat, atau sesuatu lebih dalam. Angin pagi menyapu wajahnya ketika Dimas tiba-tiba menoleh. Tatapan singkat mereka membuat jantungnya berhenti sejenak, hingga ia tergesa bersembunyi di balik bayangan balkon.

Suara Tasya memanggil dari bawah, memecah ketegangan. “Rani! Cepat turun, bantu aku sebentar!”

Dengan langkah ragu, Rani meninggalkan balkon. Tatapan Dimas masih membekas di benaknya saat ia turun ke ruang tamu.

Tasya menunggu dengan wajah tak sabar.

“Lama sekali. Kotak perhiasanku macet lagi, coba kau betulkan.”

Rani memaksakan senyum. “Baik, Mbak.”

Ia berlutut di samping kotak itu, mencoba fokus. Tapi pikirannya melayang kembali pada sorot mata Dimas yang menembus dari kejauhan. Jemarinya sedikit gemetar saat memutar kunci yang seret.

Pintu depan berderit terbuka. Dimas masuk, langkahnya tegas. Tatapannya sempat berhenti pada Rani sebelum beralih ke Tasya.

“Aku berangkat rapat. Pastikan semua beres sebelum aku pulang.”

Nada suaranya dingin, membuat Rani menunduk cepat. Tasya menatap adegan itu dengan senyum tipis, seakan menikmati sesuatu yang hanya ia pahami.

Begitu Dimas pergi, keheningan terasa berat. Tatapan Tasya menusuk. “Kau tahu, Dimas akhir-akhir ini banyak beban. Dia butuh perempuan yang benar-benar bisa mengerti kebutuhannya.”

Rani menoleh ragu. “Maksud Mbak?”

Tasya mendekat, suaranya merendah jadi bisikan. “Kau hanya adik iparnya. Jangan pernah punya pikiran aneh. Ingat baik-baik, kau di sini untuk melayani, tidak lebih.”

Wajah Rani memanas. “Aku tahu itu, Mbak. aku tidak akan pernah…”

Tasya tertawa kecil, mengejek, lalu berdiri.

“Bagus. Ingat posisimu.”

Rani terdiam, menunduk, menelan rasa malu bercampur sakit hati. Tapi semakin ia berusaha menepis kata-kata Tasya, semakin jelas bayangan tatapan Dimas tadi muncul kembali dalam ingatannya.

Ia menggenggam jemarinya erat, berbisik pada diri sendiri. “Kendalikan dirimu, Rani. Dia suami kakakmu…”

Namun ada percikan kecil yang tak bisa ia padamkan, sesuatu yang berbahaya sekaligus… tak terelakkan.

Pagi itu berakhir cepat. Setelah Dimas berangkat kerja, Rani kembali sibuk dengan rutinitas: membantu Tasya, membereskan rumah, hingga menyiapkan makan siang. Namun, tatapan singkat Dimas dari bawah balkon tadi masih terbayang di benaknya, membuat hari terasa lebih panjang daripada biasanya.

Menjelang sore, panas terik mulai menyelimuti rumah itu. Rani merasa tubuhnya lelah, pikirannya penat. Ia pun mencari sedikit jeda di kolam renang, berharap air dingin bisa menenangkan hati yang sejak pagi tak benar-benar tenang.

“Rani. Sedang apa kamu di kolam renangku?”

Suara itu dalam, agak tegas, dan cukup untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia menelan ludah, lalu tersenyum tipis, senyum yang ia tahu bukanlah senyum terbaik, tapi cukup untuk menutupi gugupnya. Dimas Elvano Satya, kakak iparnya, berdiri di tepi kolam dengan tatapan serius.

“Maaf, Kak,” katanya pelan. “Aku hanya... ingin menghindari panas untuk sementara.”

Ia perlahan bangkit dari posisi berbaring di atas pelampung. Air dingin mengalir dari rambut, turun ke leher, lalu merambat di sepanjang tubuhnya. Rani bisa merasakan bagaimana setiap gerakan kecilnya seakan diperhatikan. Ada keheningan di antara mereka, hening yang justru membuat darahnya mengalir lebih cepat.

Dimas tidak langsung menjawab. Pandangannya terlalu lama tertahan, dan Rani menyadarinya. Ia ingin menutupi tubuhnya, tapi ada sisi dirinya yang ragu. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa tatapan itu tidak hanya sekadar melihat, melainkan juga... menginginkan.

Akhirnya suara itu terdengar lagi.

“Tidak apa-apa. Tapi... usahakan untuk tidak terlalu sering. Aku tidak ingin tetangga membicarakan hal yang tidak perlu.”

Rani menunduk sebentar, mencoba menyembunyikan gelombang kecil di dadanya. Ia tahu Dimas benar. Ia tahu batas itu ada, dan ia harus menjaganya. Tapi mengapa nada suara Dimas barusan justru terdengar... melindungi?

“Tentu, Kak. Aku mengerti.”

Ia hendak memalingkan wajah, namun bibirnya terlanjur menggigit lembut bagian bawahnya. Ada sesuatu yang belum selesai. Ia menarik napas, memberanikan diri bertanya:

“Kak... Kalau boleh tahu, bagaimana harimu?”

Sekilas, wajah Dimas terlihat kaget. Pertanyaan sederhana, tapi sorot matanya berubah, seolah retak dari ketegasan biasanya.

“Cukup melelahkan,” jawabnya akhirnya. “Penuh jadwal. Seperti biasa.”

Rani mendengarkan dengan tenang, lalu mengangguk pelan.

“Aku turut prihatin, Kak. Semoga besok lebih baik.”

Kali ini, ia melihat dengan jelas bagaimana kata-kata itu benar-benar menyentuh Dimas. Ada sesuatu di wajahnya yang melunak. Rani tahu, ia sudah melangkah terlalu jauh ke wilayah yang seharusnya tidak dimasuki. Tapi entah mengapa, ia merasa nyaman, merasa... dekat.

Keheningan menyelimuti lagi, hanya suara air yang beriak pelan di permukaan kolam. Rani bisa merasakan pandangan Dimas masih menempel padanya, dan itu membuat tubuhnya semakin panas meski ia berada di dalam air.

Tiba-tiba—

“Dimas! Kamu di mana?”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status