Rani Prameswari adalah gadis mahasiswi semester akhir, hanya ingin berteduh. Ia lari ke rumah kakaknya, Tasya Prameswari, tak pernah tahu bahwa pria yang menunggu di balik pintu adalah pemilik neraka sesungguhnya: Dimas Satya, suami sang kakak. Dingin, berkuasa… dan haus kontrol. Apa yang Dimas lakukan malam itu, merenggut segalanya dari Rani termasuk kepolosannya. Dan yang lebih buruk: meninggalkan benih dalam rahimnya.
View MorePagi itu, Rani tiba di kompleks elit dengan koper kecil di tangannya. Rumah kaca tiga lantai berdiri megah di hadapannya, dinding-dinding beningnya memantulkan cahaya matahari pagi. Indah, tapi sekaligus terasa asing, terlalu besar, terlalu sepi.
Dengan canggung ia menyapa beberapa tetangga. Namun bisik-bisik segera terdengar, menusuk telinganya. “Itu kan adik iparnya Dimas… kok malah jadi asisten rumah tangga juga?” Tatapan penuh gosip membuat langkah Rani terasa berat. Begitu masuk, Tasya menyambut dengan senyum dingin. “Kau di sini bukan untuk bersantai, Rani. Ingat posisimu.” Rani berusaha menahan gugup, lalu tersenyum kaku. “Tentu, Mbak… aku hanya ingin membantu.” Rani menaruh koper di kamar lalu menjelajah rumah bercahaya kaca dan marmer, merasa seakan diawasi. Dari balkon lantai tiga, ia melihat Dimas berdiri tegap di taman, menatap kosong ke kolam. Hatinya bergetar, entah takut, hormat, atau sesuatu lebih dalam. Angin pagi menyapu wajahnya ketika Dimas tiba-tiba menoleh. Tatapan singkat mereka membuat jantungnya berhenti sejenak, hingga ia tergesa bersembunyi di balik bayangan balkon. Suara Tasya memanggil dari bawah, memecah ketegangan. “Rani! Cepat turun, bantu aku sebentar!” Dengan langkah ragu, Rani meninggalkan balkon. Tatapan Dimas masih membekas di benaknya saat ia turun ke ruang tamu. Tasya menunggu dengan wajah tak sabar. “Lama sekali. Kotak perhiasanku macet lagi, coba kau betulkan.” Rani memaksakan senyum. “Baik, Mbak.” Ia berlutut di samping kotak itu, mencoba fokus. Tapi pikirannya melayang kembali pada sorot mata Dimas yang menembus dari kejauhan. Jemarinya sedikit gemetar saat memutar kunci yang seret. Pintu depan berderit terbuka. Dimas masuk, langkahnya tegas. Tatapannya sempat berhenti pada Rani sebelum beralih ke Tasya. “Aku berangkat rapat. Pastikan semua beres sebelum aku pulang.” Nada suaranya dingin, membuat Rani menunduk cepat. Tasya menatap adegan itu dengan senyum tipis, seakan menikmati sesuatu yang hanya ia pahami. Begitu Dimas pergi, keheningan terasa berat. Tatapan Tasya menusuk. “Kau tahu, Dimas akhir-akhir ini banyak beban. Dia butuh perempuan yang benar-benar bisa mengerti kebutuhannya.” Rani menoleh ragu. “Maksud Mbak?” Tasya mendekat, suaranya merendah jadi bisikan. “Kau hanya adik iparnya. Jangan pernah punya pikiran aneh. Ingat baik-baik, kau di sini untuk melayani, tidak lebih.” Wajah Rani memanas. “Aku tahu itu, Mbak. aku tidak akan pernah…” Tasya tertawa kecil, mengejek, lalu berdiri. “Bagus. Ingat posisimu.” Rani terdiam, menunduk, menelan rasa malu bercampur sakit hati. Tapi semakin ia berusaha menepis kata-kata Tasya, semakin jelas bayangan tatapan Dimas tadi muncul kembali dalam ingatannya. Ia menggenggam jemarinya erat, berbisik pada diri sendiri. “Kendalikan dirimu, Rani. Dia suami kakakmu…” Namun ada percikan kecil yang tak bisa ia padamkan, sesuatu yang berbahaya sekaligus… tak terelakkan. Pagi itu berakhir cepat. Setelah Dimas berangkat kerja, Rani kembali sibuk dengan rutinitas: membantu Tasya, membereskan rumah, hingga menyiapkan makan siang. Namun, tatapan singkat Dimas dari bawah balkon tadi masih terbayang di benaknya, membuat hari terasa lebih panjang daripada biasanya. Menjelang sore, panas terik mulai menyelimuti rumah itu. Rani merasa tubuhnya lelah, pikirannya penat. Ia pun mencari sedikit jeda di kolam renang, berharap air dingin bisa menenangkan hati yang sejak pagi tak benar-benar tenang. “Rani. Sedang apa kamu di kolam renangku?” Suara itu dalam, agak tegas, dan cukup untuk membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia menelan ludah, lalu tersenyum tipis, senyum yang ia tahu bukanlah senyum terbaik, tapi cukup untuk menutupi gugupnya. Dimas Elvano Satya, kakak iparnya, berdiri di tepi kolam dengan tatapan serius. “Maaf, Kak,” katanya pelan. “Aku hanya... ingin menghindari panas untuk sementara.” Ia perlahan bangkit dari posisi berbaring di atas pelampung. Air dingin mengalir dari rambut, turun ke leher, lalu merambat di sepanjang tubuhnya. Rani bisa merasakan bagaimana setiap gerakan kecilnya seakan diperhatikan. Ada keheningan di antara mereka, hening yang justru membuat darahnya mengalir lebih cepat. Dimas tidak langsung menjawab. Pandangannya terlalu lama tertahan, dan Rani menyadarinya. Ia ingin menutupi tubuhnya, tapi ada sisi dirinya yang ragu. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa tatapan itu tidak hanya sekadar melihat, melainkan juga... menginginkan. Akhirnya suara itu terdengar lagi. “Tidak apa-apa. Tapi... usahakan untuk tidak terlalu sering. Aku tidak ingin tetangga membicarakan hal yang tidak perlu.” Rani menunduk sebentar, mencoba menyembunyikan gelombang kecil di dadanya. Ia tahu Dimas benar. Ia tahu batas itu ada, dan ia harus menjaganya. Tapi mengapa nada suara Dimas barusan justru terdengar... melindungi? “Tentu, Kak. Aku mengerti.” Ia hendak memalingkan wajah, namun bibirnya terlanjur menggigit lembut bagian bawahnya. Ada sesuatu yang belum selesai. Ia menarik napas, memberanikan diri bertanya: “Kak... Kalau boleh tahu, bagaimana harimu?” Sekilas, wajah Dimas terlihat kaget. Pertanyaan sederhana, tapi sorot matanya berubah, seolah retak dari ketegasan biasanya. “Cukup melelahkan,” jawabnya akhirnya. “Penuh jadwal. Seperti biasa.” Rani mendengarkan dengan tenang, lalu mengangguk pelan. “Aku turut prihatin, Kak. Semoga besok lebih baik.” Kali ini, ia melihat dengan jelas bagaimana kata-kata itu benar-benar menyentuh Dimas. Ada sesuatu di wajahnya yang melunak. Rani tahu, ia sudah melangkah terlalu jauh ke wilayah yang seharusnya tidak dimasuki. Tapi entah mengapa, ia merasa nyaman, merasa... dekat. Keheningan menyelimuti lagi, hanya suara air yang beriak pelan di permukaan kolam. Rani bisa merasakan pandangan Dimas masih menempel padanya, dan itu membuat tubuhnya semakin panas meski ia berada di dalam air. Tiba-tiba— “Dimas! Kamu di mana?”Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra
Rani hanya mengangguk pelan dan keluar, meninggalkan ruang kerja Dimas. Namun saat menutup pintu, hatinya masih berdegup kencang. Jemarinya yang sempat bersentuhan dengan Dimas tadi masih hangat, seperti ada arus listrik kecil yang terus menjalar. Ia hendak naik ke kamar, tapi dari lorong ia melihat Dimas keluar dari pintu belakang menuju taman. Tubuhnya tampak tegang, langkahnya cepat. Rani berhenti di tangga, tanpa sadar menoleh ke arah jendela samping. Dari sana, ia bisa melihat jelas Dimas menghampiri Danish yang tengah merapikan semak. Rani menggigit bibir, rasa ingin tahu mengalahkan niatnya untuk segera pergi. Ia mendekat ke bingkai jendela, berusaha tidak terlihat. “Kita perlu bicara,” suara Dimas terdengar jelas, meski agak terbawa angin. Rani membeku. Jantungnya makin kencang. “Ya, Pak?” balas Danish, suaranya tenang dan tanpa gentar. Keduanya berdiri berhadapan, seakan saling mengukur lewat tatapan. Dari tempatnya, Rani bisa melihat rahang Dimas yang mengeras. I
Rani duduk di lantai, lututnya gemetar, masih terhuyung oleh kata-kata Tasya yang menusuk. Setelah beberapa saat, perlahan ia berdiri, merapikan gaunnya, dan menatap keluar jendela. Sinar pagi menembus tirai tipis, seakan menawarkan hari baru yang tak peduli dengan drama kemarin. Dengan langkah ringan, meski hati masih campur aduk, ia menuju dapur.Pintu terbuka perlahan, dan aroma kopi hangat menyambutnya. Matanya menangkap Dimas yang sudah duduk di sana, ekspresinya tegang, seolah malam sebelumnya belum benar-benar pergi dari tubuhnya. Suara detak mesin kopi seakan menenangkan, memberi jeda dari gema kata-kata yang masih menempel di kepalanya.“Selamat pagi, Kak Dimas.” Suaranya pelan, hampir hanya bisikan. Ia sendiri tak menyangka akan mendapati Dimas sudah duduk di sana sepagi itu. Matanya menangkap sejenak ekspresi kakak iparnya yang tampak tegang, seolah masih membawa beban dari malam sebelumnya. Ia pura-pura tidak terlalu memperhatikan, lalu melangkah ke arah mesin kopi. Set
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments