Share

Mas Pras 5

Author: Nendia
last update Last Updated: 2023-03-09 11:39:59

Part 5

Ketika Mas Pras Ngapel

Jam delapan malam aku sudah berpakaian rapi mau ngapel. Celana jeans dan kaus polos dibalut sweter. Dompet dan ponsel kumasukkan ke dalam kantung celana. Terlihat Mamak masih mengaji saat aku keluar kamar.

“Pergi, Pras?” tanya Mamak menghentikan lantunannya sesaat, Mamak yang sudah rabun dekat itu menurunkan kaca matanya saat melihatku.

“Inggih, Mak. Eh tapi, Mak. Emang Mbah Pur, punya anak gadis?” Setahuku Mbah Purwanti itu sudah sepuh, mana mungkin punya anak gadis, jangan-jangan bukan perempuan yang hampir kutabrak tadi. Mana tahu salah paham. Takutnya anak Mbah Pur yang janda.

Mamak menutup Al-Quran, dan melihat padaku lagi. “Bukan anaknya, Gil. Tapi cucu. Cuma sudah dianggap anak, wong diurus dari kecil sama mbahnya,” kata Mamak.

“Tapi bapaknya ada?”

“Sekarang ada. Dulu jarang, merantau.”

Aku mengangguk. “Ya sudah, aku pergi, Mak.” Aku meneruskan langkah.

“Nah gitu, bujang harus ke luar rumah. Jangan seperti dipingit, sembunyi terus di rumah.”

Aku menutup pintu perlahan, lalu mengayunkan langkah menyusuri jalanan gelap. Bintang-bintang di langit terlihat berkilauan, bulan sabit menggantung. Hari ini langit tampak cerah. Suara kodok di sawah terdengar cukup berisik.

Sepuluh menit berlalu aku sudah sampai di rumah bercat kuning yang disebutkan Pakde. Sekali mengetuk pintu lalu mengucapkan salam, menunggu beberapa detik.

Rumah di sini sepertinya baru, terlihat masih segar. Lantainya keramik membentuk pola bunga. Di atas, lampu terang dikerumuni laron. Tepat saat aku sedang melihat sekeliling, pintu terbuka. Seorang wanita tambun berdiri dengan ekspresi penuh tanya.

“Assalamualaikum, Bu. Sarinya ada?” ucapku sebelum ia bertanya.

“Sari? Ada. Masuk, Mas!” ajaknya. Ia membuka pintu lebar dan mempersilahkan duduk.

Kursi busa berwarna cokelat diatur serupa hurup U. Meja dengan hiasan bunga dari plastik ada di tengahnya. Aku duduk di sana setelah dipersilakan.

“Sari ada yang mencari,” tandas wanita tambun yang kurasa ibunya.

“Siapa, Mak?” tanyanya. Rupanya benar dugaanku.

“Mamak tidak tahu, baru lihat.”

Tidak lama berselang Sari menghampiriku, di ruang lain yang tidak berpintu suara televisi cukup mendominasi. Sari berdiri tepat di antara ruang tamu dan televisi.

“Lah, Mas yang tadi nabrak aku toh?” ucapnya sedikit memiringkan kepala.

“Bukan nabrak, tapi hampir ketabrak,” jelasku meluruskan.

“Sama saja toh, masnya gak lihat jalan,” tandasnya lalu duduk di kursi.

“Ada apa, Mas?” serunya seakan baru diapeli laki-laki.

“Main saja, pengen ngobrol. Kata pakdeku ada yang cantik di sini.” Aku tidak sedang menggombal tapi memang begitu yang dikatakan Pakde. Ternyata ucapanku membuat Sari bersemu.

“Pakde siapa, Mas. Memangnya Mas ini asli mana?” Ibunya Sari nongol dari ruang TV.

“Pakde Karyo. Saya anaknya Mbah Ningrum,” jelasku. Mamak memang sudah tua, usianya sekitar enam puluhan, warga kampung biasanya memanggil Mbah.

“Walah ini Prasetio, toh. Si ragil?” Ibunya Sari bangun dan menghampiriku lagi.

“Iya, saya Pras.” Aku mengulurkan tangan, menyatukan tangannya dengan keningku.

“Sekarang beda, yo. Dulu hitam, kurus, kucel. Sekarang kamu jadi bersih, putih, ganteng.” Ibunya Sari menepuk punggungku. Aku sebenarnya tidak terlalu kenal beliau, tapi tersenyum saja untuk meresponsnya.

“Kapan datang, Le?”

“Sudah lima hari di sini,” jelasku, lalu bapaknya Sari, adiknya, dan juga Mbah Pur menghampiriku, mengajak ngobrol, bertanya ini-itu.

Setelah tayangan televisi memutar kembali sinetron semua pindah ruangan lagi kecuali Sari. Gadis itu membawakan air, juga setoples kacang goreng. Ia terlihat kesulitan membuka tutupnya mungkin karena baru.

“Sini biar Mas buka,” tandasku. Sari menyerahkan toples kaca dengan tutup berwarna putih itu. Kuperhatikan ternyata masih dikelilingi selotip. Pantas saja tidak bisa dibuka.

“Masih ada selotipnya, grogi bukanya, ya?” Aku menyerahkan toples ke hadapannya.

“Masa sih, Mas? Perasaan udah gak ada.” Sari berkata malu-malu.

“Jangan pakai perasaan,” seruku. Selanjutnya tidak ada respons, Sari hanya diam, lalu kami sama-sama tidak bicara. Sulit mencari topik.

“Dimakan, Pras.” Bapaknya Sari mengambil segenggam kacang goreng lalu pergi lagi. Tidak lama kemudian adiknya menyusul, lalu setelanya adiknya balik lagi untuk mengambil kacang goreng kembali. Aku jadi tersenyum, lucu.

Kalau punya anak gadis memang sering didatangi tamu pemuda, jadi camilan itu sengaja disediakan untuk tamu saja, sementara keluarga tidak ada yang boleh memakannya. Saat aku ke sini, Sari membuka kacangnya. Maksudnya kacang goreng. Karena bapak dan keluarganya ingin turut serta mencicipi jadilah ada pemandangan seperti ini. Adiknya bulak-balik untuk mengambil camilan.

Aku tersenyum, menutup bibir dengan kepalan tangan.

“Sudah, Danis, kamu bulak-balik terus, ini untuk tamu.” Sari memukul pantat adiknya.

“Tidak apa-apa biarkan saja,” kataku. Sari tertunduk kembali. Selanjutnya tidak ada suara lagi antara kami.

“Di depan ada penjual makanan, boleh enggak kalau aku ajak kamu jalan ke depan?” Aku memberanikan diri mengajak Sari ke luar rumah. Kondisi di dalam rumah membuatku merasa kikuk.

“Lama, tidak?” tanyanya.

“Tidak. Kita beli martabak, atau apa gitu.”

Gadis dengan celana lebar dan kaus lengan panjang berwarna hitam itu tampak menimbang, lantas berdiri menghampiri ibunya, meminta ijin.

“Boleh asal jangan lama-lama, yo, Pras!” teriak ibunya dari dalam.

“Sebentar saja, Ma. Hanya beli makanan,” seruku agak keras agar terdengar.

“Yo wes. Sana! Jangan macam-macam kalian!” Pesan ibunya.

***

Di bawah langit bertaburkan bintang ini aku berjalan beriringan dengan Sari. Aku memegang tangan kecil yang lembut, lalu menariknya, menuntun.

“Dingin tidak, Nis?” tandasku pada anak lima tahun yang aku tuntun.

“Mboten, Mas,” jawabnya.

Sari yang berjalan tepat di belakang adiknya terlihat kaku.

“Apa tidak ada yang marah, kamu jalan sama aku?” seruku memulai percakapan. Adiknya lumayan tahu diri juga, sepanjang perjalanan dia diam saja. Aku sengaja mengajak anak ini takut orang tua Sari khawatir.

“Siapa yang marah, Mas?” tandasnya.

“Pacar kamu.”

“Aku tidak punya pacar.”

“Hmmm. Kenapa tidak punya pacar? Pasti banyak yang mau jadi pacar kamu.”

“Belum ada yang srek saja.”

“Aku tidak percaya, pasti ada.”

“Yey, maksa.”

Aku tersenyum saja.

Rumah sari dekat ke jalan utama, ada beberapa pedagang di sana, semacam pecel, nasi goreng dan martabak.

“Mau apa, Danis? Kamu mau apa Sari?” tanyaku setelah sampai di sana.

“Kata masnya mau beli martabak.”

“Siapa tahu kamu mau yang lain, atau Danis mau yang lain?”

“Mboten, Mas,” seru Sari. Sedangkan Danis, merengek minta jajan di warung.

.

Pedagang martabak lihai membuat makanan manis itu. Kami duduk di kursi panjang depan gerobaknya. Danis duduk di antara aku dan Sari. Harum martabak tercium menggiurkan.

“Usia kamu berapa, Sari?”

“Dua puluh, Mas.”

“Muda sekali.”

“Masnya berapa?”

“Aku sudah tua, tiga puluh.”

“Ha? Kupikir masih dua lima.”

“Kejauhan pikirannya.”

“Masnya tidak terlihat usia segitu.”

Aku pura-pura merogoh kantung celana.

“Makasih udah dipuji, tapi maaf aku tidak punya receh.”

“Emang aku pengamen.” Sari tersenyum. Baru kali ini melihat senyumnya, ternyata manis juga. Anaknya memang cantik, tidak berlebihan kalau dibilang bunga desa.

“Mas di Jakarta, kerja?” Akhirnya Sari melontarkan pertanyaan.

“Kerja di toko komputer.”

“Ada lowongan tidak buat perempuan, aku juga pengen kerja yo Mas.”

“Buat apa kerja, perempuan di rumah saja.”

Lalu selanjutnya kami ngobrol lebih santai lagi. Sampai waktu tidak terasa, kalau aku sudah berada di depan rumah Sari kembali dengan tiga kantung martabak dan sekantung jajanan Danis.

“Mas tidak bisa mampir, kamu masuk saja, Mas mau pulang.” Aku berhenti di depan rumahnya. Membagi martabak, dua untuk Sari, satu untuk Mamak.

“Loh, ko? Nganterin beli doang?” tanyanya heran.

“Iya, sudah malam soalnya. Sudah jam sembilan.”

“Yo wes.” Dia menjeda, diam di sini tidak langsung masuk rumah. “Masnya masih lama di kampung?”

“Besok Mas berangkat.”

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Merlin Sidabalok
perasaan memang tidak bisa bohong..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 46. Tamat

    Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.b

    Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.a

    Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.b

    Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.a

    Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 43.b

    "Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status