Part 5
Ketika Mas Pras Ngapel
Jam delapan malam aku sudah berpakaian rapi mau ngapel. Celana jeans dan kaus polos dibalut sweter. Dompet dan ponsel kumasukkan ke dalam kantung celana. Terlihat Mamak masih mengaji saat aku keluar kamar.
“Pergi, Pras?” tanya Mamak menghentikan lantunannya sesaat, Mamak yang sudah rabun dekat itu menurunkan kaca matanya saat melihatku.
“Inggih, Mak. Eh tapi, Mak. Emang Mbah Pur, punya anak gadis?” Setahuku Mbah Purwanti itu sudah sepuh, mana mungkin punya anak gadis, jangan-jangan bukan perempuan yang hampir kutabrak tadi. Mana tahu salah paham. Takutnya anak Mbah Pur yang janda.
Mamak menutup Al-Quran, dan melihat padaku lagi. “Bukan anaknya, Gil. Tapi cucu. Cuma sudah dianggap anak, wong diurus dari kecil sama mbahnya,” kata Mamak.
“Tapi bapaknya ada?”
“Sekarang ada. Dulu jarang, merantau.”
Aku mengangguk. “Ya sudah, aku pergi, Mak.” Aku meneruskan langkah.
“Nah gitu, bujang harus ke luar rumah. Jangan seperti dipingit, sembunyi terus di rumah.”
Aku menutup pintu perlahan, lalu mengayunkan langkah menyusuri jalanan gelap. Bintang-bintang di langit terlihat berkilauan, bulan sabit menggantung. Hari ini langit tampak cerah. Suara kodok di sawah terdengar cukup berisik.
Sepuluh menit berlalu aku sudah sampai di rumah bercat kuning yang disebutkan Pakde. Sekali mengetuk pintu lalu mengucapkan salam, menunggu beberapa detik.
Rumah di sini sepertinya baru, terlihat masih segar. Lantainya keramik membentuk pola bunga. Di atas, lampu terang dikerumuni laron. Tepat saat aku sedang melihat sekeliling, pintu terbuka. Seorang wanita tambun berdiri dengan ekspresi penuh tanya.
“Assalamualaikum, Bu. Sarinya ada?” ucapku sebelum ia bertanya.
“Sari? Ada. Masuk, Mas!” ajaknya. Ia membuka pintu lebar dan mempersilahkan duduk.
Kursi busa berwarna cokelat diatur serupa hurup U. Meja dengan hiasan bunga dari plastik ada di tengahnya. Aku duduk di sana setelah dipersilakan.
“Sari ada yang mencari,” tandas wanita tambun yang kurasa ibunya.
“Siapa, Mak?” tanyanya. Rupanya benar dugaanku.
“Mamak tidak tahu, baru lihat.”
Tidak lama berselang Sari menghampiriku, di ruang lain yang tidak berpintu suara televisi cukup mendominasi. Sari berdiri tepat di antara ruang tamu dan televisi.
“Lah, Mas yang tadi nabrak aku toh?” ucapnya sedikit memiringkan kepala.
“Bukan nabrak, tapi hampir ketabrak,” jelasku meluruskan.
“Sama saja toh, masnya gak lihat jalan,” tandasnya lalu duduk di kursi.
“Ada apa, Mas?” serunya seakan baru diapeli laki-laki.
“Main saja, pengen ngobrol. Kata pakdeku ada yang cantik di sini.” Aku tidak sedang menggombal tapi memang begitu yang dikatakan Pakde. Ternyata ucapanku membuat Sari bersemu.
“Pakde siapa, Mas. Memangnya Mas ini asli mana?” Ibunya Sari nongol dari ruang TV.
“Pakde Karyo. Saya anaknya Mbah Ningrum,” jelasku. Mamak memang sudah tua, usianya sekitar enam puluhan, warga kampung biasanya memanggil Mbah.
“Walah ini Prasetio, toh. Si ragil?” Ibunya Sari bangun dan menghampiriku lagi.
“Iya, saya Pras.” Aku mengulurkan tangan, menyatukan tangannya dengan keningku.
“Sekarang beda, yo. Dulu hitam, kurus, kucel. Sekarang kamu jadi bersih, putih, ganteng.” Ibunya Sari menepuk punggungku. Aku sebenarnya tidak terlalu kenal beliau, tapi tersenyum saja untuk meresponsnya.
“Kapan datang, Le?”
“Sudah lima hari di sini,” jelasku, lalu bapaknya Sari, adiknya, dan juga Mbah Pur menghampiriku, mengajak ngobrol, bertanya ini-itu.
Setelah tayangan televisi memutar kembali sinetron semua pindah ruangan lagi kecuali Sari. Gadis itu membawakan air, juga setoples kacang goreng. Ia terlihat kesulitan membuka tutupnya mungkin karena baru.
“Sini biar Mas buka,” tandasku. Sari menyerahkan toples kaca dengan tutup berwarna putih itu. Kuperhatikan ternyata masih dikelilingi selotip. Pantas saja tidak bisa dibuka.
“Masih ada selotipnya, grogi bukanya, ya?” Aku menyerahkan toples ke hadapannya.
“Masa sih, Mas? Perasaan udah gak ada.” Sari berkata malu-malu.
“Jangan pakai perasaan,” seruku. Selanjutnya tidak ada respons, Sari hanya diam, lalu kami sama-sama tidak bicara. Sulit mencari topik.
“Dimakan, Pras.” Bapaknya Sari mengambil segenggam kacang goreng lalu pergi lagi. Tidak lama kemudian adiknya menyusul, lalu setelanya adiknya balik lagi untuk mengambil kacang goreng kembali. Aku jadi tersenyum, lucu.
Kalau punya anak gadis memang sering didatangi tamu pemuda, jadi camilan itu sengaja disediakan untuk tamu saja, sementara keluarga tidak ada yang boleh memakannya. Saat aku ke sini, Sari membuka kacangnya. Maksudnya kacang goreng. Karena bapak dan keluarganya ingin turut serta mencicipi jadilah ada pemandangan seperti ini. Adiknya bulak-balik untuk mengambil camilan.
Aku tersenyum, menutup bibir dengan kepalan tangan.
“Sudah, Danis, kamu bulak-balik terus, ini untuk tamu.” Sari memukul pantat adiknya.
“Tidak apa-apa biarkan saja,” kataku. Sari tertunduk kembali. Selanjutnya tidak ada suara lagi antara kami.
“Di depan ada penjual makanan, boleh enggak kalau aku ajak kamu jalan ke depan?” Aku memberanikan diri mengajak Sari ke luar rumah. Kondisi di dalam rumah membuatku merasa kikuk.
“Lama, tidak?” tanyanya.
“Tidak. Kita beli martabak, atau apa gitu.”
Gadis dengan celana lebar dan kaus lengan panjang berwarna hitam itu tampak menimbang, lantas berdiri menghampiri ibunya, meminta ijin.
“Boleh asal jangan lama-lama, yo, Pras!” teriak ibunya dari dalam.
“Sebentar saja, Ma. Hanya beli makanan,” seruku agak keras agar terdengar.
“Yo wes. Sana! Jangan macam-macam kalian!” Pesan ibunya.
***
Di bawah langit bertaburkan bintang ini aku berjalan beriringan dengan Sari. Aku memegang tangan kecil yang lembut, lalu menariknya, menuntun.
“Dingin tidak, Nis?” tandasku pada anak lima tahun yang aku tuntun.
“Mboten, Mas,” jawabnya.
Sari yang berjalan tepat di belakang adiknya terlihat kaku.
“Apa tidak ada yang marah, kamu jalan sama aku?” seruku memulai percakapan. Adiknya lumayan tahu diri juga, sepanjang perjalanan dia diam saja. Aku sengaja mengajak anak ini takut orang tua Sari khawatir.
“Siapa yang marah, Mas?” tandasnya.
“Pacar kamu.”
“Aku tidak punya pacar.”
“Hmmm. Kenapa tidak punya pacar? Pasti banyak yang mau jadi pacar kamu.”
“Belum ada yang srek saja.”
“Aku tidak percaya, pasti ada.”
“Yey, maksa.”
Aku tersenyum saja.
Rumah sari dekat ke jalan utama, ada beberapa pedagang di sana, semacam pecel, nasi goreng dan martabak.
“Mau apa, Danis? Kamu mau apa Sari?” tanyaku setelah sampai di sana.
“Kata masnya mau beli martabak.”
“Siapa tahu kamu mau yang lain, atau Danis mau yang lain?”
“Mboten, Mas,” seru Sari. Sedangkan Danis, merengek minta jajan di warung.
.
Pedagang martabak lihai membuat makanan manis itu. Kami duduk di kursi panjang depan gerobaknya. Danis duduk di antara aku dan Sari. Harum martabak tercium menggiurkan.
“Usia kamu berapa, Sari?”
“Dua puluh, Mas.”
“Muda sekali.”
“Masnya berapa?”
“Aku sudah tua, tiga puluh.”
“Ha? Kupikir masih dua lima.”
“Kejauhan pikirannya.”
“Masnya tidak terlihat usia segitu.”
Aku pura-pura merogoh kantung celana.
“Makasih udah dipuji, tapi maaf aku tidak punya receh.”
“Emang aku pengamen.” Sari tersenyum. Baru kali ini melihat senyumnya, ternyata manis juga. Anaknya memang cantik, tidak berlebihan kalau dibilang bunga desa.
“Mas di Jakarta, kerja?” Akhirnya Sari melontarkan pertanyaan.
“Kerja di toko komputer.”
“Ada lowongan tidak buat perempuan, aku juga pengen kerja yo Mas.”
“Buat apa kerja, perempuan di rumah saja.”
Lalu selanjutnya kami ngobrol lebih santai lagi. Sampai waktu tidak terasa, kalau aku sudah berada di depan rumah Sari kembali dengan tiga kantung martabak dan sekantung jajanan Danis.
“Mas tidak bisa mampir, kamu masuk saja, Mas mau pulang.” Aku berhenti di depan rumahnya. Membagi martabak, dua untuk Sari, satu untuk Mamak.
“Loh, ko? Nganterin beli doang?” tanyanya heran.
“Iya, sudah malam soalnya. Sudah jam sembilan.”
“Yo wes.” Dia menjeda, diam di sini tidak langsung masuk rumah. “Masnya masih lama di kampung?”
“Besok Mas berangkat.”
Bersambung ....
Part 6 Jangan Hina Ibuku! “Masnya masih lama di sini?” “Besok Mas berangkat.” Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah. “Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali. *** Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi. “Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku. “Iya, Mamak dengar?” “Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikut
Part 7. Cari Ribut “Loh, kok, pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma. Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak keluar dari ruangan itu. Aku berjalan tegap melewati lorong rumah sakit, mata dan dada terasa panas. Memang betul ibuku kampungan, penampilannya kolot, udik, dan apa pun terserah, tapi siapa mereka sampai bebas menghina ibuku begitu saja? Sungguh tidak tahu diri. Padahal sudah dibantu. “Mas! Mas Pras!” Ambar mengejar kami sampai parkiran. Tangan Mamak masih kugenggam, aku balik badan untuk berhadapan dengan Ambar. “Apa lagi?” Aku menatap irisnya menantang, dia sedikit menunduk kikuk. “Ma-maaf, bukan maksud aku begitu, tapi kasihan saja Bude kalau harus di sini. Ini kan rumah sakit, bukan tempat bermain. Jadi maksudku—“ “Apa? Mau berkilah apa ...? Ambar dengar! Saya paham cara tatapan kamu melihat Mamak, cara bicara kamu, dan semua hinaan kamu, saya PAHAM. Jadi jangan memberikan alasan karena itu percuma. Asal kamu tahu Mamak meninggalkan pek
Part 8. Grup GoibKe lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun,
Part 9 Kartu AS Bulik Hasma Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng saat tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik. Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah. "Semakin belagu saja kamu Prasetio, mentang-mentang meminjamkan uang segitu. Nih uangmu kukembalikan!" Hartanto melempar segepok uang ke dadaku, lantas uang itu terjatuh di lantai. Dia berbicara dengan nada tinggi. Mamak yang baru masuk kamar langsung ke luar lagi. "Anto? Kapan pulang?" tanya Mamak dengan ekspresi kaget. Aku mengambil segepok uang lima puluh ribuan yang jatuh di dekat kaki. Pinjamnya mohon-mohon, bayarnya di lempar. Walau tergeletak di lantai benda ini tetap berharga. "Alah tidak penting kapan aku pulang. Kalau bukan karenamu bapakku tidak akan sakit." Pria tinggi besar itu men
Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi
Part 11. Wanita di Kamar Pras Kendaraan melaju terus menjauhi Gunungkidul, meliuk di bukit bintang sampai turun ke Jogja. Alunan musik dari Sheila On Seven menemani. Dulu, pulang pergi naik motor mio butut, malam-malam kehujanan di jalanan. Kalau berangkat memang selalu pilih malam hari. Pulang pun tidak bisa sering, paling cepat setahun sekali ketika lebaran saja. Pernah juga bertahun-tahun tidak pulang, saat awal-awal tinggal di sana. Wah, seru sekali setiap mudik lebaran itu, karena ribuan kendaraan motor berangkat searah. Kalau kelelahan, istirahat, tidur di mana saja. Sekarang pertama kalinya pulang pergi pakai mobil sendiri, kadang masih merasa tidak percaya, tapi inilah jerih payah selama ini. Andai aku seperti katak dalam tempurung, sudah nyaman kerja di pabrik, cukup pendapatan bisa memenuhi kebutuhan, mungkin kehidupanku hari ini seperti kakak-kakak. Punya rumah subsidi, kendaraan cicilan, ngasih ke orang tua pikir-pikir dulu. Beruntung dulu diberi ujian, punya cambuk untu
“Supri, sialan lu, ngapain bawa cewek ke sini?” sergahku saat kepalanya nongol di tangga.“Mas sudah lihat?” Dia malah bertanya.Aku mengangkat dagu, tangan melipat di dada dan bersilang kaki. Menunggu jawaban.Supri memainkan kuping, duduk di kursi hitam kecil yang ada di samping sofa. “Sori, sebenarnya dia adikku, Mas.” Ia berbicara pelan.“Ta-tapi tenang saja. Malam ini kucarikan kos-kosan.” Pria putih berpipi cabi ini menunjukkan telapak tangan.Aku menghela napas panjang. Sukurlah ternyata bukan wanita simpanannya, meski begitu tetap ini keterlaluan. Memakai kamarku tanpa meminta izin."Dari kapan ade lu di sini? Tidur di kamar gue gak bilang-bilang.""Maaf Mas, kalau bilang dulu takut gak diizinkan. Jadi minta izin belakangan, biar nginep dulu." Dia meremas rambut, alisnya menegang hampir bertautan. Merasa bersalah, mungkin."Hih! Bisa lu bermain politik."Supri melambaikan tangan ke arahku. Aku nengok ke sisi lain. Adiknya Supri berdiri di belakangku."Kenalin de, ini bos Aa."
Part 12. Entakan Kaki Riri Riri tersenyum malu-malu, disimpannya segelas kopi itu di atas meja. Gadis berpipi bersih itu melihat ke arahku, “Terima kasih sudah diizinin tinggal di sini, A ... Eh! Mas.” Dia tersenyum lagi menunjukkan gigi-gigi. Matanya berbinar, bulu mata lentiknya terlihat jelas. “Makasihnya oke, tapi tanya dulu, emang siapa yang suka kopi cokelat begitu.” Alisku menegang. Anak ini aneh, semalam menyembunyikan muka, pagi ini so kenal so deket. Pake senyam-senyum segala lagi. “Ha? Emang gak suka?” dia ternganga, gak mingkem-mingkem. “Mas Pras sukanya kopi hitam, Neng,” timpal Supri yang sedang membongkar monitor di belakangku. “Buat Aa Anton saja atuh, Neng Riri,” canda Anton dari depan. Riri meruncingkan bibirnya, lalu menarik capucino yang baru saja disimpan itu. “Yaudah deh buat A Yana sajah.” Dia memindahkan gelas kopi ke dekat Supri. Lalu pergi hendak naik kembali. “Buat Aa Anton mana, Neng Riri? Aa Anton suka apa aja asal Neng Riri yang buatkan,” goda Anto