Share

Mas Pras 4

Part 4.

Kembang Desa

Dulu Mamak pernah menyimpan uang di lemari. Tidak terpakai karena dimakan rayap. Sekarang aku jadi kepikiran di mana Mamak menyimpan uang?

"Mak .... Mamak."

"Opo, Pras," seru Mamak dari dalam kamar.

"Mamak simpan uang di mana? Apa di ATM?" tanyaku setelah Mamak menghampiri.

"Di ...." Mamak menggantung jawabannya.

"Di mana Mak, ada berapa di ATM?"

Mamak diam saja, terlihat serba salah.

"Itu, Pras. Sebenarnya ...."

“Sebenarnya apa, Mak.”

Mamak menjeda. “Sebenarnya dipinjam Pakde Karyo.”

Aku mengangguk pelan. Pakde Karyo adalah kakak ibuku yang paling besar, rumahnya sekitar satu kilo meter dari sini. Wajar kalau Pakde Karyo pinjam uang, keluarga dari pihak Mamak memang tidak ada yang mapan. Semuanya menengah ke bawah. Rumahnya juga sama, memiliki dinding kayu. Yang rumahnya kekinian hanya milik anak-anaknya saja.

Mamak anak terakhir dari empat bersaudara. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka memang miskin tapi tidak miskin hati. Kalau aku pelajari, beberapa hal yang menjadi asal mula adiknya bapak tidak dekat dengan ibuku. Salah satunya karena Mamak berasal dari keluarga kurang mampu, yang menikah dengan bapak—seorang anak dari orang terpandang, yang mempunyai banyak tanah, sawah, dan kebun.

“Berapa Pakde Karyo pinjam?” Aku merasa sedang menginterogasi Mamak, tapi ini demi kebaikan Mamak, bentuk aku perhatian saja.

“Sepuluh juta.”

“Ha! Uang itu?”

“Yo, iyo, Gil. Buat nombok bangun rumah anaknya.”

“Kalau di ATM ada berapa?”

“Ada dua juta.” Mamak mengambil teh manis dan menyeruputnya.

“Mamak itu sebenarnya makan tidak?”

“Yo makan, to, Gil. Masa puasa.”

“Terus, ko, uangnya banyak.”

“Mau beli apa lagi. Semua kebutuhan Mamak sudah tercukupi.”

“Aku bilang beli makanan enak, beli susu, beli Vitamin. Aku kerja juga buat siapa. Buat Mamak. Lagian kalau punya duit kenapa KWH masih nebeng. Bukannya dipake saja. Emangnya duit bisa beranak dibiarin gitu.”

“Kalau KWH pake uang kamu saja, jangan pake uang Mamak.”

“Eh! Kan sama.”

“Yo, beda. Mamak sayang kalau pake uang sendiri.”

“Eh! Rumusnya begitu.” Aku menelan saliva. Mamak terkekeh. Padalah uangnya juga dari aku, dasar perempuan.

Televisi empat belas inci menayangkan Channel TVRI Jogja, tayangannya dari tadi berita. Tidak ada yang menarik.

“Mamak itu gak bisa kalau harus makan enak, Gil,” tandas Mamak pelan, nampaknya beliau sedang mengingat hal yang menyedihkan. Benar saja, sekarang Mamak mengusap sudut netranya.

“Mamak enak-enakkan menikmati hasil perjuangan kamu. Tapi bapakmu tidak bisa menikmati. Mamak tu kalau mau makan enak, ora iso. Kepikiran terus bapakmu, di akhir hidupnya malah susah. Belum sempat melihat anak-anaknya sukses.”

Aku mengalihkan pandangan dari Mamak. Sebagai laki-laki aku sulit menangis, tapi kalau ingat akhir hidup bapak rasanya dada jadi berat, lalu mata berair. Dulu bapak ... sudahlah aku tidak ingin menangis hari ini.

“Bapak sudah tenang, jangan ditangisi.” Aku membujuk Mamak supaya berhenti menangis.

“Iya, ragil. Bapak sudah tenang.” Mamak memaksa air matanya berhenti.

Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi. Mata menatap ke televisi, tapi pikiran tidak di sana. Sudah lama aku ingin membawa Mamak ke kota, bahkan kedua kakakku juga berkali-kali membujuk Mamak. Sayangnya percuma. Mamak tidak mau. Katanya ingin terus dekat dengan bapak. Setiap hari Jumat beliau pasti mendatangi makam bapak. “Mamak baru mau ikut kalian kalau Mamak sudah tidak sanggup sendiri, selama Mamak masih sehat Mamak tidak mau menyusahkan,” kata Mamak tiap kami mengajak pergi. Ya, mau gimana lagi. Kami hanya mengikuti kemauan Mamak.

***

Teh manis seperti minuman wajib di sini. Pagi, siang, malam teh manis selalu tersedia. Gula sebesar ukuran tangan bayi, dimasukkan ke gelas lalu disiram teh panas. Ini sudah menjadi ciri khas. Aku sendiri menjaga konsumsi gula, bukannya tidak mau, tapi menjaga kesehatan lebih baik.

Mas Galuh dan kedua temannya, menyeruput air itu. Terlihat nikmat setelah lelah bekerja. Empat hari mereka memperbaiki rumah, sekarang rumah Mamak dikelilingi pagar bambu. Sudah tidak ada kayu lapuk juga bocor. KWH sudah terpasang. Itu artinya aku bisa balik ke kota.

“Kapan berangkat lagi, Ragil?” tanya Mas Galuh.

“Besok mungkin,” jawabku. Belum ada pastinya berangkat kapan, tapi mungkin secepatnya.

“Besok? Jangan!” tandas Mamak.

“Kenapa?”

“Temui dulu bukde sama pakdemu, mereka pada nanyain,” lanjut Mamak. Dari hari pertama Mamak memintaku menemui kakak-kakaknya, tapi aku belum menyempatkan waktu karena punya pekerja. Kalau malam malas. Di sini bawaannya sore sudah ngantuk.

“Iya, besok aku ke sana dulu sebelum pulang.”

“Gimana sih, Ragil. Mamak belum persiapan apa-apa. Jangan! Harus bawa oleh-oleh dulu.” Mamak memaksa. Aku diam saja.

***

Sesuai janji, aku mengunjungi keluarga dari pihak Mamak, beberapa amplop kupersiapkan untuk para orang tua juga anak-anaknya. Biasanya mereka senang di beri uang walau hanya lima puluh ribu saja. Kalau keluarga bapak diberi uang segini mungkin jadi bahan olokkan, itulah kesenjangan sosial di sini.

“Kamu naik ontel, biar Mamak jalan kaki.” Mamak menggulung rambutnya seraya berjalan ke sana-kemari, mengambil kerudung di lemari, lantas melihatku. Sudah siap pergi.

“Mamak saja naik ontel, Pras yang jalan kaki.”

“Mboten, kamu yang pakai ontel. Wong kamu ra biasa jalan kaki di sini.”

Aku diam, tidak enak kalau Mamak jalan sementara aku naik ontel. “Yaudah, sama-sama jalan saja.” Aku menengahi.

“Oh, ayo!” Mamak sudah memakai sandalnya, siap melangkahkan kaki.

“Mamak duluan sana, nanti Pras ikuti. Gak enak dilihat orang.”

Sudah besar begini masa jalan berdua dengan Mamak. Sepeti bocah saja.

“Gengsi kamu, yo,” tandas Mamak, lantas beliau pergi.

Sepuluh menit aku menunggu, perkiraan Mamak mungkin sudah sampai di rumah Pakde Karyo. Aku memakai sandal siap berangkat. Tapi dipikir-pikir sayang juga ontel tidak dipakai. Akhirnya dari pada jalan kaki kuambil saja kendaraan kuno itu. Tidak konsisten memang.

Mengayuh ontel di sini terasa sekali aura tradisionalnya, sepeda lama, semilir angin, juga pemandangan sawah yang luasnya sejauh mata memandang. Di tengah pesawahan terlihat ada rumah-rumah, seolah tidak ada jalan ke sana, padahal jalan selebar dua meter terbentang ke sana-kemari. Aku hanyut menikmati suasana ini. Seratus delapan puluh derajat berbalik dari kehidupan kota.

“Aaaa!” suara seseorang mengagetkan. Aku oleng dan segera menghentikan laju ontel. Seorang wanita di pinggir jalan baru saja akan kutabrak.

“Kalau mengayu sepeda itu matanya ke depan to Mas jangan ke mana-mana. Ada orang di pinggir jalan mau ditabra saja,” umpat gadis itu kesal. Dia mengenakan rok dibawah lutut dan atasan kaus biasa, rambutnya tergerai rapi melewati pundak. Seperti gadis desa pada umumnya.

“Maaf, Mba. Saya tadi sedang memandangi sawah.” Aku menyesal.

“Yo wes, lah,” ucapnya seraya pergi, memasuki salah satu rumah di sana.

Aku mengayuh sepeda kembali. Di rumah Pakde aku disambut luar biasa, ada yang panggil Ragil, ada yang memanggil Pras, ngajak ngobrol ini itu. Di rumah berdinding kayu dengan ruang tamunya yang luas ini, semua keluarga: Pakde, Bukde, anak, cucu, cicitnya berkumpul. Saat kubagikan amplop mereka menyambut senang, mengucapkan terima kasih dan mendoakan. Aku pun jadi merasa bahagia.

Terkadang hidup itu unik, dua keluarga dengan cara hidup bertolak belakang. Di keluarga bapak aku hina tidak punya nama. Tapi di sini aku dihargai dan disayangi. Seperti itulah peranan uang. Andai aku bisa kaya, nanti, semoga tidak lekas membuatku buta.

Dari keluarga Mamak aku tidak punya Paklik dan Bulik. Karena Mamak anak bungsu. Mereka juga banyak yang tidak merantau, jadi di sini memang ramai, ada anaknya Bude yang menengok Mamak tiap hari jika sehari saja tidak berkunjung ke rumah kakaknya.

“Ragil wes sukses yo sekarang,” tandas Pakde, pria tua yang rambutnya dipenuhi uban.

“Yo inggih, wes punya mobil to sekarang.”

“Mamak tuh apaan,” seruku tidak mau Mamak menyombongkan diri.

“Ra po-po, orang tua itu bangga kalau lihat anaknya sukses,” timpal Bude.

“Iyo, tuh dengerin! Ragil. Mamak itu bukannya sombong, tapi bangga sama kamu.” Mamak melihat padaku, lalu irisnya berpindah pada keluarga yang lain. “Tapi mobilnya enggak di bawa ke halaman rumah. Katanya malu sama Bulik Hasma, takut Suroto serangan jantung.” Ucapan Mamak disambut tawa yang lain. Suroto adalah nama suami Bulik Hasma.

Itu memang tidak salah, aku takut Suroto dan istrinya kepanasan lalu serangan jantung, jangankan kendaraan, lihat Mamak beli centong saja Bulik Hasma mendelik.

“Biarin, to, Gil. Biar tobat,” balas Bude, aku tersenyum saja.

Setelah berbicara ke sana-kemari Pakde berganti topik lagi. “Kapan nikah, Pras. Sudah punya calon?” tanyanya.

“Belum, Pakde. Ada yang cantik tidak di sini?”

“Wo ada. Sari. Anak Mbah Pur, cuantik tenan anaknya.”

“Iyo, itu anaknya baik, gak neko-neko. Kembang desa sini. Coba kamu deketin,” timpal Mamak.

“Yang rumahnya sebelah mana?”

“Itu yang perempatan sana, ada rumah cat kuning.”

“Iya.” Ingatanku pada gadis yang tadi mau tertabrak.

“Lah, itu!” tandas Pakde.

Aku menyenderkan punggung pada sandaran kursi seraya berpikir. Sepertinya boleh juga.

“Cepat temui, Gil,” pinta Mamak.

“Iya, nanti malam.”

Tidak diduga ucapanku disambut ramai, ada yang bilang, hore, yuhu, tepuk tangan.

“Gitu dong, baru cowok jentel, garcep, garcep,” Mas Cahyo—anaknya Pakde merangkul pundakku.

Nanti malam ... Sari ... Hmmm, penasaran juga.

Bersambung ....

Keterangan: Ragil adalah panggilan yang artinya bungsu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jones Adri Agus Najoan
sangat menyentu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status