Share

Mas Pras 6

Penulis: Nendia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-16 17:58:11

Part 6

Jangan Hina Ibuku!

“Masnya masih lama di sini?”

“Besok Mas berangkat.”

Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah.

“Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali.

***

Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi.

“Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku.

“Iya, Mamak dengar?”

“Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikuti ke halaman ternyata benar, terdengar tangisan dari rumah tetangga.

Mamak berputar mengelilingi pagar, berjalan menuju halaman rumah Bulik. Aku jadi ikut bertanya-tanya. Takutnya terjadi apa-apa pada Suroto dan istrinya. Bukan sekali dua kali mereka sering kepanasan kalau ada tetangga yang unggul sedikit saja. Seperti saat tetangga sebelah barat rumahnya membeli kulkas, esok harinya Bulik langsung pasang koyo di kiri-kanan pelipisnya. Minggu depannya mereka langsung membeli kulkas.

“Ragil, sini!” Mamak melambaikan tangan dari rumah Bulik, aku yang masih memakai sarung langsung berjalan mendekati pagar.

“Paklik pingsan, lagi sakit katanya. Ayo bantu, Gil!” seru Mamak dari balik pagar bambu.

Jika harus kukatakan jiwa ini sebenarnya menolak untuk menolong mereka. Untuk apa? Kebahagiaan bagi mereka adalah menjatuhkan harga diri orang lain. Namun, ini tentang kemanusiaan, walau terpaksa akhirnya aku berputar mengelilingi pagar.

Paklik duduk di kursi ruang keluarga, lebih tepatnya dia berbaring lemas. Mamak menjelaskan kalau tadi pingsan, kemudian Mamak dan Bulik memindahkan ke kursi. Lihatlah betapa sabarnya Mamak, ia tidak pernah berpikir dua kali saat menolong orang.

Di rumah ini tidak ada orang lain lagi selain Bulik dan Paklik, cucunya—Anggun—hanya menginap sesekali saja. Ibu mereka tinggal di kota Jogja, jadi bisa berkunjung kapan pun dia mau.

Bulik Hasma tidak hentinya terisak. Dia tentu tidak tahu harus bagaimana sekarang.

“Paklik kenapa?” tanyaku setelah berdiri di hadapan mereka.

“Tadi jatuh pada saat mau ambil wudhu, dari kemarin Bapak panas tinggi, sudah minum obat tapi belum sembuh,” jelas Bulik seraya terisak.

Aku menghela napas panjang. Bisa jadi demamnya karena kupermalukan harga dirinya tempo hari. Bukan mengada-ada tapi seperti itulah uniknya keluarga ini.

“Kita bawa ke Rumah Sakit saja, Gil!” ajak Mamak.

“Mau naik apa ke rumah sakit? Suamiku tidak bisa bawa mobil.” Bulik masih terisak sembari memijat kaki suaminya.

“Naik mobil Pras saja,” kata Mamak yang langsung membuat mata Bulik membulat. Iris wanita berkulit putih itu berpindah padaku, membingkai diri ini dari atas sampai bawah. Tentunya tidak pantas orang sepertiku memiliki kendaraan roda empat. Lagian kalau naik mobilku mungkin Paklik malah sakaratul maut.

“Memang kamu punya mobil, Pras. Mobil apa? Mobil hasil nyewa. Di mana mobilnya? Apa masih di deler?” Lihatlah hanya dengan mendengar itu saja Bulik lupa kalau dia sedang berhadapan dengan suaminya yang berbaring lemah. Malah sempat-sempatnya menghina. Semoga saja saat sakaratul maut nanti bukan hinaan yang keluar dari mulutnya.

“Ragil sudah punya mobil, hanya disimpan di depan. Ayo Ragil bawa mobilnya kita ajak Paklik ke rumah sakit dulu.” Mamak memutuskan, Bulik tidak membantah lagi.

Aku segera kembali ke rumah, mengganti sarung dengan celana, lantas ke jalan raya menuju rumahnya Damar—salah satu temanku yang kutitipi mobil. Halamannya cukup luas, dan berada tepat di pinggir jalan.

Sepuluh menit aku sudah berada di rumah Bulik lagi, lalu memasukkan Paklik ke dalam mobil. Diikuti Mamak dan Bulik. Di dalam kendaraan Bulik duduk tidak nyaman.

Menit berlalu, langit sudah sedikit lebih terang saat kami sampai di RSUD Wonosari, perawat IGD langsung mengatasi Paklik. Mamak dan Bulik di dalam, sedangkan aku lebih banyak di parkiran. Dengar-dengar katanya harus di rawat inap.

Jam sembilan pagi, Ambar—ibunya Anggun—alias anaknya Bulik yang tinggal di Jogja, datang ke rumah sakit. Aku segera mengikutinya, berjalan cepat ke ruang rawat. Ambar memasuki ruang, aku berhenti di depan kamar rawat, memperhatikan. Ia terlihat khawatir, bertanya ini dan itu.

Ambar melirik ke arah ibuku, dilihatnya ketus lalu melempar wajah. Tampak enggan sekali melihat penampilan ibuku. Mamak datang ke sini dengan pakaian seadanya, kerudung yang mencong, baju panjang batik bunga yang sudah lama, juga celana bahan lebar, tidak lupa sandal jepit. Ya, jangankan Mamak, aku pun lupa dengan penampilan sendiri saking terburu-burunya.

Aku mengerti maksud ekspresi wajah itu, tapi biarlah sebelum mulutnya berkata kotor. Tapi sayangnya aku salah, menit berlalu dia mulai berbicara ketus pada ibuku.

“Mau sampai kapan Bude di sini?” Ambar melihat ibuku dengan tatapan jijik, seakan keberadaan Mamak tidak diharapkan.

Mamak terlihat serba salah menjawab pertanyaan Ambar, padahal dari tadi Mamak ikut sibuk, menyiapkan air minum, ini, dan itu.

“Sekarang juga Bude pulang, Ndo. Kalau semuanya sudah aman,” jawab ibuku setelah terbentuk jeda.

“Hah!” Ambar mendesah, seraya melempar wajah lagi.

Dia kembali melihat Mamak, melontarkan pertanyaan dengan mengangkat dagu. “Memangnya bisa apa Bude di sini?”

Tidak sopan sekali.

“Ya ... menyiapkan macam-macam, ini kan Bude yang siapin.” Mamak menunjuk air dan makanan yang sudah sedia di atas lemari yang tingginya sepinggang orang dewasa. Baju-baju yang sudah ada di dalam lemari pun memang Mamak yang merapikan.

“Segitu doang? Apa bagusnya? Udah Bude pulang saja. Di sini juga malu-maluin. Ini rumah sakit, Bude, bukan tempat pelesiran, ngapain pake ikut segala. Mana pake sandal jepit.” Ambar melipat tangan di dada. Terlihat najis sekali melihat ibuku. Baiklah sudah cukup.

Aku gegas berdiri, memasuki ruangan itu dengan dada panas.

“Mas Pras.” Ambar terbelalak, nampaknya memang dia tidak menyadari kalau aku duduk di kursi depan dari tadi.

“Ayo, Mak. Kita pulang! Untuk apa lagi di sini.” Aku meraih tangan Mamak.

“Lho, Mas Pras di kampung? Sejak kapan?” Ambar bertanya ramah padaku. Munafik.

“Sebentar, Mamak ambil tas dulu.” Ibuku mengambil tas yang dibiarkannya tergeletak di lantai. Aku biarkan pertanyaan Ambar menggantung di udara.

“Loh, ko pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma.

Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak ke luar dari ruangan itu.

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Merlin Sidabalok
kesombongan akan menyesal juga nantinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 46. Tamat

    Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.b

    Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 45.a

    Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.b

    Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 44.a

    Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari

  • Berangkat Miskin Pulang Kaya   Mas Pras 43.b

    "Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status