Share

Mas Pras 6

Part 6

Jangan Hina Ibuku!

“Masnya masih lama di sini?”

“Besok Mas berangkat.”

Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah.

“Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali.

***

Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi.

“Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku.

“Iya, Mamak dengar?”

“Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikuti ke halaman ternyata benar, terdengar tangisan dari rumah tetangga.

Mamak berputar mengelilingi pagar, berjalan menuju halaman rumah Bulik. Aku jadi ikut bertanya-tanya. Takutnya terjadi apa-apa pada Suroto dan istrinya. Bukan sekali dua kali mereka sering kepanasan kalau ada tetangga yang unggul sedikit saja. Seperti saat tetangga sebelah barat rumahnya membeli kulkas, esok harinya Bulik langsung pasang koyo di kiri-kanan pelipisnya. Minggu depannya mereka langsung membeli kulkas.

“Ragil, sini!” Mamak melambaikan tangan dari rumah Bulik, aku yang masih memakai sarung langsung berjalan mendekati pagar.

“Paklik pingsan, lagi sakit katanya. Ayo bantu, Gil!” seru Mamak dari balik pagar bambu.

Jika harus kukatakan jiwa ini sebenarnya menolak untuk menolong mereka. Untuk apa? Kebahagiaan bagi mereka adalah menjatuhkan harga diri orang lain. Namun, ini tentang kemanusiaan, walau terpaksa akhirnya aku berputar mengelilingi pagar.

Paklik duduk di kursi ruang keluarga, lebih tepatnya dia berbaring lemas. Mamak menjelaskan kalau tadi pingsan, kemudian Mamak dan Bulik memindahkan ke kursi. Lihatlah betapa sabarnya Mamak, ia tidak pernah berpikir dua kali saat menolong orang.

Di rumah ini tidak ada orang lain lagi selain Bulik dan Paklik, cucunya—Anggun—hanya menginap sesekali saja. Ibu mereka tinggal di kota Jogja, jadi bisa berkunjung kapan pun dia mau.

Bulik Hasma tidak hentinya terisak. Dia tentu tidak tahu harus bagaimana sekarang.

“Paklik kenapa?” tanyaku setelah berdiri di hadapan mereka.

“Tadi jatuh pada saat mau ambil wudhu, dari kemarin Bapak panas tinggi, sudah minum obat tapi belum sembuh,” jelas Bulik seraya terisak.

Aku menghela napas panjang. Bisa jadi demamnya karena kupermalukan harga dirinya tempo hari. Bukan mengada-ada tapi seperti itulah uniknya keluarga ini.

“Kita bawa ke Rumah Sakit saja, Gil!” ajak Mamak.

“Mau naik apa ke rumah sakit? Suamiku tidak bisa bawa mobil.” Bulik masih terisak sembari memijat kaki suaminya.

“Naik mobil Pras saja,” kata Mamak yang langsung membuat mata Bulik membulat. Iris wanita berkulit putih itu berpindah padaku, membingkai diri ini dari atas sampai bawah. Tentunya tidak pantas orang sepertiku memiliki kendaraan roda empat. Lagian kalau naik mobilku mungkin Paklik malah sakaratul maut.

“Memang kamu punya mobil, Pras. Mobil apa? Mobil hasil nyewa. Di mana mobilnya? Apa masih di deler?” Lihatlah hanya dengan mendengar itu saja Bulik lupa kalau dia sedang berhadapan dengan suaminya yang berbaring lemah. Malah sempat-sempatnya menghina. Semoga saja saat sakaratul maut nanti bukan hinaan yang keluar dari mulutnya.

“Ragil sudah punya mobil, hanya disimpan di depan. Ayo Ragil bawa mobilnya kita ajak Paklik ke rumah sakit dulu.” Mamak memutuskan, Bulik tidak membantah lagi.

Aku segera kembali ke rumah, mengganti sarung dengan celana, lantas ke jalan raya menuju rumahnya Damar—salah satu temanku yang kutitipi mobil. Halamannya cukup luas, dan berada tepat di pinggir jalan.

Sepuluh menit aku sudah berada di rumah Bulik lagi, lalu memasukkan Paklik ke dalam mobil. Diikuti Mamak dan Bulik. Di dalam kendaraan Bulik duduk tidak nyaman.

Menit berlalu, langit sudah sedikit lebih terang saat kami sampai di RSUD Wonosari, perawat IGD langsung mengatasi Paklik. Mamak dan Bulik di dalam, sedangkan aku lebih banyak di parkiran. Dengar-dengar katanya harus di rawat inap.

Jam sembilan pagi, Ambar—ibunya Anggun—alias anaknya Bulik yang tinggal di Jogja, datang ke rumah sakit. Aku segera mengikutinya, berjalan cepat ke ruang rawat. Ambar memasuki ruang, aku berhenti di depan kamar rawat, memperhatikan. Ia terlihat khawatir, bertanya ini dan itu.

Ambar melirik ke arah ibuku, dilihatnya ketus lalu melempar wajah. Tampak enggan sekali melihat penampilan ibuku. Mamak datang ke sini dengan pakaian seadanya, kerudung yang mencong, baju panjang batik bunga yang sudah lama, juga celana bahan lebar, tidak lupa sandal jepit. Ya, jangankan Mamak, aku pun lupa dengan penampilan sendiri saking terburu-burunya.

Aku mengerti maksud ekspresi wajah itu, tapi biarlah sebelum mulutnya berkata kotor. Tapi sayangnya aku salah, menit berlalu dia mulai berbicara ketus pada ibuku.

“Mau sampai kapan Bude di sini?” Ambar melihat ibuku dengan tatapan jijik, seakan keberadaan Mamak tidak diharapkan.

Mamak terlihat serba salah menjawab pertanyaan Ambar, padahal dari tadi Mamak ikut sibuk, menyiapkan air minum, ini, dan itu.

“Sekarang juga Bude pulang, Ndo. Kalau semuanya sudah aman,” jawab ibuku setelah terbentuk jeda.

“Hah!” Ambar mendesah, seraya melempar wajah lagi.

Dia kembali melihat Mamak, melontarkan pertanyaan dengan mengangkat dagu. “Memangnya bisa apa Bude di sini?”

Tidak sopan sekali.

“Ya ... menyiapkan macam-macam, ini kan Bude yang siapin.” Mamak menunjuk air dan makanan yang sudah sedia di atas lemari yang tingginya sepinggang orang dewasa. Baju-baju yang sudah ada di dalam lemari pun memang Mamak yang merapikan.

“Segitu doang? Apa bagusnya? Udah Bude pulang saja. Di sini juga malu-maluin. Ini rumah sakit, Bude, bukan tempat pelesiran, ngapain pake ikut segala. Mana pake sandal jepit.” Ambar melipat tangan di dada. Terlihat najis sekali melihat ibuku. Baiklah sudah cukup.

Aku gegas berdiri, memasuki ruangan itu dengan dada panas.

“Mas Pras.” Ambar terbelalak, nampaknya memang dia tidak menyadari kalau aku duduk di kursi depan dari tadi.

“Ayo, Mak. Kita pulang! Untuk apa lagi di sini.” Aku meraih tangan Mamak.

“Lho, Mas Pras di kampung? Sejak kapan?” Ambar bertanya ramah padaku. Munafik.

“Sebentar, Mamak ambil tas dulu.” Ibuku mengambil tas yang dibiarkannya tergeletak di lantai. Aku biarkan pertanyaan Ambar menggantung di udara.

“Loh, ko pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma.

Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak ke luar dari ruangan itu.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Merlin Sidabalok
kesombongan akan menyesal juga nantinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status