Share

2. Gagal Move On

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-06-25 04:54:36

Happy reading

***

Andini menghempaskan diri di sofa tunggal yang terdapat pada salah satu ruangan kafe miliknya. Dia mulai menyalakan pendingin ruangan, berharap bisa menghilangkan bara kemarahan di dalam hati. Susah payah perempuan itu menebus rasa bersalah pada lelaki yang ditemuinya tadi, tetapi semua sia-sia saat mengetahui reaksi pertemuan pertama mereka.

"Di sini, kamu rupanya," kata Pratiwi. Kepalanya tersembul masuk dari pintu yang terbuka sedikit.

"Pesankan aku jus jeruk, dong. Lagi butuh pendingin, nih," ungkap Andini.

"Dah, siap. Nih." Pratiwi masuk dan menyerahkan segelas jus jeruk yang sengaja dia bawa kepada sahabatnya. Tanpa diminta, dia tahu apa yang diinginkan Andini.

Di sebelah sahabatnya, Pratiwi mengamati wajah muram sang pemilik kafe. Sama seperti Andini, dia pun tak percaya akan bertemu dengan Rasya dalam suasana seperti tadi.

"Wi, apa takdir hidupku memang seperti ini, ya?" Tawa sumbang terlontar dari Andini.

"Jangan pesimis gitu, dong. Kita nggak tahu maksud kedatangannya lagi. Bisa saja ini suatu kebetulan. Kamu yang selalu ngajarin nggak berburuk sangka. Sekarang buktikan. Anggap kejadian tadi memang murni dia lakukan sebagai seorang pebisnis profesional."

"Lama aku mencari keberadaannya, hanya ingin mengucapkan satu kata maaf atas kejadian di masa lampau. Saat bertemu, reaksinya malah seperti itu. Apa dia terlalu membenciku?" Andini mulai memijat pelan kepalanya yang terasa berdenyut sambil memejamkan mata.

"Sudah! Jangan dipikirkan lagi. Jemput Bisma, gih. Sudah jamnya dia pulang." Pratiwi menarik pelan tangan sahabatnya untuk segera berdiri.

Andini melirik jam yang menempel pada pergelangan, sudah setengah sepuluh. "Astagfirullah," ucapnya, "semoga nggak terlambat. Aku ke sekolah dia dulu, ya."

"Hati-hati. Nggak usah terburu-buru, dia pasti nunggu kamu," teriak Pratiwi.

***

Pada waktu yang bersamaan di tempat lain, tepatnya di sebuah kafe kopi, dua lelaki yang bersahabat kini tengah beradu argumen. Mereka saling mempertahankan pendapatnya demi sebuah kebenaran yang diyakini hati masing-masing. Membahas tentang pertanyaan yang diajukan Rasya pada rapat tadi.

"Sedeng kamu, Ras. Jika hatimu masih tertaut padanya, kenapa nggak diungkap saja?" nasihat Davit pada Rasya.

"Jangan ambil kesimpulan sendiri. Bagian mana dari perkataanku yang mengatakan masih ada namanya tersimpan di sini?" Rasya menunjuk dada sebelah kiri, di sanalah letak jantung hatinya.

"Memang nggak ada kata yang mengungkap perasaanmu itu, tapi sorot matamu terbaca dengan jelas. Dia masih memenuhi seluruh ruang hatimu. Nggak perlu munafik, kita berdua ini sama-sama gagal move on dengan perempuan di masa lalu." Davit menyesap kopi latte miliknya yang mulai dingin.

Dari tempat duduknya, Rasya tertawa lebar dengan kejujuran sang sahabat. Dia sangat tahu siapa perempuan yang telah membuat Davit tidak bisa berpaling. Bisa jadi itulah kekuatan cinta pertama, pesonanya tidak mudah tergantikan bahkan ketika perempuan pujaan sang sahabat telah mengikrarkan janji suci dengan laki-laki lain. Davit masih menyimpan erat rasa cinta untuk perempuan itu.

"Seorang lelaki tampan dan mapan sepertimu, bisa gamon juga ternyata," seloroh Rasya.

Davit yang mendapat ejekan seperti itu, hanya menatap santai. Namun, benda yang dikeluarkan dari saku celana Davit membuktikan semua kebenaran perkataan Rasya, selalu saja benda mati itu jadi pelampiasan sahabatnya. Zat nikotin yang terkandung di dalamnya, dipercaya bisa meringankan beban pikiran Davit.

"Sembarangan. Setidaknya, aku pernah mencoba membuka hati dan berkomitmen, walaupun gagal. Apa kabarnya dirimu yang sama sekali nggak tertarik dengan perempuan selain Andini Prameswari?"

Tak mau kalah, Rasya menanggapi perkataan Davit dengan sindiran. "Kasihan, ya. Rokok itu nggak punya salah apa-apa, tapi dia jadi pelampiasanmu selama ini."

"Nggak usah diperjelas."

"Dasar sensian," jawab Rasya. Lalu, ponselnya berdering cukup nyaring. Wajah sang pemilik seketika berubah masam.

"Siapa?" tanya Davit. Masih menyesap dan menikmati sebatang rokok.

"Biasa."

"Tante Hawa? Kenapa?" Menyunggingkan senyum, Davit kembali mengepulkan asap ke udara.

"Nggak tahu."

"Angkat saja. Siapa tahu penting."

 Seolah mengerti dengan karakter orang tua sahabatnya, Davit kembali menyesap zat nikotin sambil mendengarkan perbincangan anak dan ibu.

"Mi, tolong berhenti mengatur kencan dengan perempuan-perempuan nggak jelas. Aku bisa nyari  calon istri sendiri." Suara Rasya mulai meninggi

Davit tertawa dari tempat duduknya. Bibirnya bergerak, "Rasain, emang enak?"

Rasya segera mengepalkan tangan kanannya dan menunjukkan pada sang sahabat. Davit makin tertawa keras sampai terbatuk.

"Oke, aku bakal temuin dia. Tapi, Mami harus janji. Ini yang terakhir kalinya. Kalau sampai perempuan itu nggak mau, jangan memaksaku lagi." Diam sebentar, Rasya mendengarkan perkataan lawan bicaranya. "Oke. Satu jam lagi, aku sampai di restoran itu."

Panggilan terputus dan Davit tidak bisa menahan tawanya lagi. "Masih jaman jodoh-jodohan? Ingat, Ras. Sekarang sudah jaman milenial. Aneh jika cowok tampan dan mapan sepertimu nggak ada satu pun yang mau dekat."

"Mulutmu. Aku bukan nggak laku, tapi memilih yang terbaik." Rasya melambaikan tangan pada salah satu pelayan yang ada di kafe tersebut. "Aku juga nggak mau dijodohkan seperti ini, tapi mau gimana. Mami bakalan ngoceh kalau aku nggak nurut."

Menyerahkan selembar uang berwarna biru untuk membayar tagihan, Rasya berdiri. "Aku tinggal dulu. Mami resek kalau aku nggak cepat datang."

"Kali ini, apa rencanamu untuk menggagalkan?" tanya Davit dan sang sahabat mengangkat kedua bahunya.

"Good Luck. Semoga rencanamu berhasil, menghempaskan cewek-cewek itu."

Rasya mengacungkan jempol kanannya sebagai jawaban. Dia pun melangkah pergi meninggalkan sahabat sekaligus rekan kerjanya.

Melihat ponsel, Rasya masih punya waktu sekitar setengah jam lagi. Sengaja, dia datang lebih awal sekalian untuk menyusun rencana menggagalkan perjodohannya. Di sebuah mall terbesar yang berada di kabupaten ujung Timur pulau Jawa, pandangan lelaki tersebut menyapu segala arah.

Tiba-tiba ide muncul ketika lelaki tersebut melihat seorang anak laki-laki yang tengah duduk sendirian di kursi tunggu mall.

"Semoga, dia bisa membantuku," ucap Rasya lirih. Dia pun berjalan mendekati sang bocah.

"Hai," sapa si lelaki berkemeja biru dongker. Sang bocah memutar bola mata.

"Boleh nggak Om duduk di sebelahmu?"

"Nggak boleh." Wajah si kecil menunjukkan rasa tidak sukanya.

Namun, Rasya tetap duduk di sebelah si kecil. "Boleh tahu namamu? Om, mau minta tolong. Kalau kamu mau, Om, bakalan ngasih hadiah."

Itulah Rasya, lelaki yang tidak suka basa-basi jika memiliki tujuan. Tak ayal wajah si kecil langsung berubah waspada dengan kening berkerut dan mata terbuka.

"Om mau menculik aku, ya?"

"Hei, bukan begitu. Om, cuma mau minta tolong. Ada cewek resek yang ngejar-ngejar. Dia itu jahat banget, mau menipu. Sini, deh," pinta Rasya. Lalu, dia membisikkan sesuatu ke telinga si kecil.

"Bagaimana?" Rasya menatap penuh permohonan.

"Nggak. Nanti, Mama marah kalau adik nakal," jawab si kecil yang masih memakai seragam sekolahnya. "Lagian, adik takut kalau Om penipu atau penculik."

Rasya melirik arlojinya, tinggal beberapa menit lagi. Teleponnya juga sudah berdering sejak tadi, panggilan dari maminya. Pasti mengabarkan jika cewek tersebut sudah sampai.

"Gini saja. Ini KTP dan kartu ATM Om. Kalau kamu nggak percaya dan takut. Kamu bisa lapor polisi." Rasya juga menyerahkan kartu namanya.

Setelah beberapa menit.

"Oke. Adik bantu, Om. Tapi, ada syaratnya." Setelah mengatakan syarat dan disetujui oleh Rasya. Mereka berdua meninggalkan tempat duduk, menuju restoran cepat saji yang berada di dalam mall.

Baru saja dua lelaki berbeda generasi itu melangkah masuk, Seorang perempuan berpakaian kurang bahan melambaikan tangan. Malas, Rasya beserta anak kecil tersebut mendekat.

"Hai, Ras. Apa kabar?" tanya si perempuan. Langsung memeluk dan berniat mencium pipi.

Namun, gerakan wanita tersebut bisa dihindari oleh Rasya. "Sebaiknya, kamu jaga sikap. Ada anak kecil di sini."

"Dia siapa? Apa keponakanmu?" tanya si perempuan. Hendak mencubit pipi, gemas. Namun, si kecil malah menepis tangan si perempuan.

"Pa, bibi jelek ini siapa?"

"Hei, jangan memanggilku Bibi? Nggak mungkin kamu anaknya Rasya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   76. Happy End

    Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   75. Pernikahan

    Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   74. Gagal

    Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   73. Akhirnya

    Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   72. Harus Jujur

    Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   71. Syarat

    Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status