Share

3. Masalah Besar

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-06-25 04:56:31

Happy Reading

*****

"Dia memang anakku. Apa Mami nggak cerita soal ini?" Rasya berkata penuh percaya diri.

"Nggak, mungkin. Tante Hawa nggak mungkin bohong. Kamu belum menikah, bagaimana bisa punya anak?" Perempuan bernama Bonita itu membulatkan mata.

"Apa harus menikah dulu untuk mendapatkan anak?" tanya Rasya dengan tampang meremehkan. "Katanya generasi milenial."

"Sorry, meskipun aku hidup di jaman milenial, tapi nggak menganut free seks. Aku kecewa sama Tante Hawa." Perempuan berpakaian seksi itu segera pergi meninggalkan Rasya dalam keadaan marah.

"Jangan lupa bayar bill makananmu," teriak si lelaki dengan wajah ceria dan tawa keras.

Lalu, dia menoleh pada si kecil. Mengangkat tangan kanannya dan melakukan tos. Dua cowok beda generasi tersebut tertawa.

"Terima kasih. Kamu sudah membantu Om."

"Jangan lupa hadiahnya." Si kecil berbalik hendak pergi.

"Tunggu, kamu mau hadiah apa?" Rasya masih menyunggingkan senyuman.

"Hadiahnya, nanti saja. Adik pasti hubungi Om untuk menagihnya. Sekarang, adik harus kembali ke tempat tadi. Mama pasti nyariin." Lalu, si kecil menyerahkan dua kartu yang dipakai jaminan tadi.

"Tunggu," cegah lelaki berbadan atletis dengan tinggi 173 cm.

"Kenapa lagi, Om? Adik sudah terlalu lama ninggalin Mama." Bibir si kecil mulai maju.

"Boleh tahu namamu?"

"Bisma. Sudah, ya, Om. Bye." Melambaikan tangan sambil berlari kecil.

Rasya tersenyum dengan tingkah si bocah, tetapi bersyukur akhirnya bisa keluar dari kencan menyesatkan. Baru saja akan melangkahkan kaki meninggalkan mall tersebut, ponselnya berdering sangat nyaring. Tahu dari sang mami, Rasya sengaja mengabaikan panggilan tersebut dan meninggalkan mall untuk kembali ke kantor.

*****

"Adik dari mana? Mama sudah dari tadi nyariin," ucap seseorang yang tak lain adalah Andini. "Sudah dibilang, jangan main jauh-jauh."

"Maaf, Ma. Adik tadi kebelet pipis."

"Di toilet antri, ya?"

Si kecil mengangguk, dalam hati sempat memohon ampun karena sudah membohongi orang yang paling disayang. 

"Ya, sudah. Ayo pulang."

Sepanjang perjalanan menuju rumah, si kecil tampak sibuk dengan ponselnya. Andini melirik dengan rasa penasaran, pasalnya Bisma jarang sekali bermain ponsel ketika mereka bersama.

"Tumben adik main HP terus. Ada apa?" Andini kembali fokus menyetir.

Belum sampai rumah,  ponsel Andini berdering nyaring. "Tumben, Tiwi nelpon jam segini."

"Ada apa, Wi?"

"Gawat, kamu harus secepatnya balik resto," ucap Pratiwi di seberang sana.

"Ada apa? Jangan buat aku panik."

"Din, ini benar-benar gawat. Tolong secepatnya datang." Napas Pratiwi terdengar memburu. Andini mulai panik karena tak biasanya sang sahabat berperilaku demikian. 

"Oke, setelah mengantar Bisma, aku akan segera ke resto." 

Panggilan terputus, Andini mempercepat laju kendaraan supaya lekas sampai rumah. Menurunkan si kecil dan mengatakan pada asisten rumah tangga bahwa dia harus kembali ke resto dengan cepat. 

"Bi, tolong jaga adik. Saya harus ke resto lagi," ucap Andini. Dia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. "Jika saya pulang agak telat, tolong jangan pulang dulu."

"Baik, Bu."

Setelah mengucap beberapa kata pada putranya, Andini kembali melajukan kendaraan roda empatnya, kembali ke resto. Tak sampai sepuluh menit, Andini sudah berhasil memarkirkan kendaraannya. Langsung mencari Pratiwi karena pikirannya kacau sejak mendapat telepon tadi.

Di sisi lain, ketika Rasya baru sampai di kantor. Sang asisten sudah memberikan kabar tidak menyenangkan. Sebuah pesan dari Adipati terlihat. 

"Bapak lagi di mana? Ada kabar buruk dengan kafe MCD. Sepertinya kita tidak bisa menanamkan modal dan meneruskan kerja sama dengan mereka," tulis sang asisten yang belum mengetahui jika atasannya sudah duduk di singgasana kebesaran.

Malas mengetikkan balasan, Rasya menghubungi sang asisten. "Kabar buruk apa yang kamu maksud? Kalau ngasih info jangan setengah-setengah, dong," sentaknya ketika panggilan terangkat.

"Baca semua chat saya, Bos. Maka, akan tahu kabar buruk itu."

"Kelamaan kalau aku baca semua chat-mu itu. Sekarang, ceritakan ada apa?" Rasya benar-benar seorang atasan yang mendominasi. Aetiap ucapannya tak terbantahkan.

Mau tak mau, asistennya mulai menjalaskan, "Sebagian para pewaralaba yang sudah tergabung sejak setahun lalu, komplain. Mereka mempertanyakan kinerja manajemen pusat. Kabar yang berembus mengatakan bahwa uang bagi hasil tidak pernah dibayarkan. Jadi, mereka mempengaruhi sebagian pewaralaba yang baru bergabung. Semua bukti masalah tersebut sudah ditangan para pewaralaba."

"Sialan. Bagaimana semua itu menimpa kafe MCD. Aku tahu bagaimana karakter Andini. Dia nggak mungkin seperti itu. Kepercayaan serta dedikasinya untuk pekerjaan sangatlah tinggi. Jangan termakan gosip murahan. Cari tahu siapa yang mengembuskan kabar miring tersebut. Merusak citra usaha yang baru dirintis Andini saja."

"Pak, dengarkan dulu. Semua bukti sudah dikantongi oleh pihak pewaralaba. Bahkan saya mendapat salinan semua bukti tersebut yang dikirim lewat email perusahaan. Saya harap Bapak tidak gegabah."

"Gegabah bagaimana, semua orang yang ada di dalam manajemen MCD aku kenal mereka dengan baik. Nggak ada tindakan korupsi seperti itu. Selidiki segera siapa yang menaikkan kabar ini untuk merusak nama Andini. Aku akan cari tahu lewat Davit."

Setelah mematikan sambungan telepon Adipati, Rasya segera menghubungi Davit. Namun, sialnya lelaki itu tidak mengangkat bahkan beberapa detik kemudian ponsel sang sahabat bernada sibuk.

"Sial ... sial. Kenapa harus ada tragedi seperti ini," umpat Rasya keras.

Mendapat persetujuan seperti itu, secepat kilat Rasya melesakkan kendaraan menuju kafe MCD pusat.

Kurang dari lima belas menit, lelaki itu sudah berada di pelataran kafe. Banyak mobil mewah yang terparkir di sana. Suasana kafe juga ramai pengunjung. Rasya melangkahkan kaki menuju lantai tiga. Pasti di sana sedang ada rapat besar seperti cerita Adipati.

"Di mana Ibu Andini?" tanya Rasya pada resepsionis yang menjaga lantai itu.

"Apa Bapak salah satu pewaralaba kafe kami?"

"Iya."

"Silakan di ruangan meeting, Pak. Beberapa sudah datang sejak tadi untuk bertemu Ibu."

Tanpa membuang waktu lagi, Rasya melangkah ke ruangan yang ditunjukkan, membuka pintu tanpa mengetuk membuat semua orang yang ada di sana menoleh. Dia tidak peduli, fokusnya kini hanya Andini yang tak terlihat ada di ruangan tersebut.

"Apa kamu juga akan membatalkan kerja sama kita tanpa mendengarkan penjelasan?" tanya Pratiwi tidak suka.

"Aku, hanya mengkhawatirkan Andini bukan yang lainnya. Di mana dia sekarang?" tanya Rasya dengan wajah tegas tak ingin dibantah atau dicegah siapa pun.

"Aku di sini. Ada apa? Apa kamu juga ingin memojokkan aku seperti mereka semua?" Mata sayu dan dipenuhi kabut membuat Rasya tahu jika wanitanya tidak baik-baik saja.

Perempuan itu baru saja terlihat oleh Rasya.

"Nggak usah negatif thinking."

"Kenyataan, di meeting tadi saja kamu menentang visi misi yang aku paparkan."

"Terserah." Rasya duduk di barisan para pewaralaba dan menatap semua yang hadir dengan tatapan marah.

"Siapa yang berani mengatakan bahwa pihak MCD nggak menjalankan tanggung jawab pembagian saham? Silakan berhadapan dengan grup Zafir."

"Rasya, apa yang kamu katakan," ucap Andini keras.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   76. Happy End

    Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   75. Pernikahan

    Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   74. Gagal

    Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   73. Akhirnya

    Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   72. Harus Jujur

    Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   71. Syarat

    Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status