Share

Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi
Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi
Author: pramudining

1. Pertemuan

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-06-23 08:39:34

Muka kenapa mendung gitu?" tanya seorang perempuan pada salah satu rekannya.

"Mukaku emang gini, bahagia aja terlihat muram. Kayak baru sehari kenal aja." Dia melempar tisu ke arah temannya tadi.

"Masih mikirin suamimu yang nggak jelas juntrungannya itu? Otakmu waras nggak, sih, Din? Dia sudah ninggalin kamu. Aku, sih, berharap dia mati saja supaya kamu bisa hidup bebas. Sudah dua tahun sejak dia menghilang dan ninggalin banyak hutang, kamu masih saja berharap lelaki itu kembali. Ayolah, Din! Jangan jadi cewek lemah yang nggak bisa hidup tanpa seorang suami. Ke mana perginya semangatmu yang dulu?" Sang sahabat mulai memberikan ceramah.

"Aku masih tetap bersemangat, Wi. Lagian kenapa, sih? Ngegas aja dari tadi ngomongnya," ucap Andini Prameswari menanggapi perkataan sahabatnya.

Pratiwi mendekat ke arah Andini. "Aku nggak mau lihat kamu terus-menerus mikirin dia. Sudah selama ini, tapi suamimu belum menampakkan diri. Belum lagi warisan hutang yang dibebankan olehnya. Terlalu banyak dan menyiksamu, Din."

Andini tersenyum masam kepada sahabatnya. "Aku masih kuat untuk menjalani semua ini, Wi. Aku masih punya Bisma sebagai kekuatan hidupku."

"Dah, lah. Berdebat denganmu itu nggak akan pernah menang. Ayo temui seseorang yang akan bekerja sama dan menjadi pewaralaba cabang kita yang baru." Pratiwi berjalan keluar terlebih dahulu dari ruangan Andini.

Sebuah kafe dengan konsep cepat saji merupakan usaha yang dirintis kedua sahabat itu sejak dua tahun lalu. Berbekal sisa tabungan sejak masih gadis, Andini memberanikan diri mengajak sahabatnya berwirausaha. Tak butuh waktu lama, setahun selang pembukaan pertama dari kafe tersebut, sudah ada yang menawarkan diri bergabung dan menanamkan modal untuk cabang baru mereka. Sejak enam bulan lalu, secara resmi baik Andini maupun Pratiwi meresmikan usaha mereka untuk diwaralabakan.

Di depan pintu ruang meeting  yang biasa digunakan mereka, Andini dan Pratiwi bertemu dengan salah satu rekan mereka yang dipercaya mengelola salah satu cabang kafe.

"Baru datang, Pak?" tanya Andini ramah.

"Iya, Bu. Maaf, telat," jawab si lelaki. Panggilan yang sangat formal dari keduanya terucap, sekalipun mereka sama-sama saling mengenal dan bersahabat sejak dulu.

Berbeda dengan Pratiwi, dia enggan untuk menyapa rekannya yang bernama Davit.

"Mukanya biasa saja, Bu. Benci dengan cinta itu bedanya tipis sekali, lho." Dini berbisik pada sahabatnya, meskipun lirih suaranya masih mampu ditangkap oleh Davit yang hanya berjarak beberapa langkah di depan mereka.

"Nggak perlu dilanjut! Sudah telat." Pratiwi mendahului keduanya masuk. Di dalam sudah ada beberapa perwakilan para waralaba kafe mereka. Salah satunya, seorang lelaki yang baru bergabung. "Selamat siang semuanya. Maaf, saya sedikit terlambat."

Di belakang Pratiwi, Andini dan Davit mengikuti. Keenam orang yang ada di ruangan itu memberikan hormat serta sapaan pada mereka, kecuali satu orang yang masih asyik dengan laptopnya. Fokus sang lelaki masih belum terpecah sama sekali oleh suara-suara sapaan di sekelilingnya. Andini berjalan begitu saja melewati lelaki tersebut.

"Oke, saya rasa semua orang sudah hadir di ruangan ini. Kita akan mulai rapat dengan bacaan basmalah terlebih dahulu," ucap Davit memulai. Serentak yang hadir mengikuti instruksi darinya.

Sebagai partner yang pertama kali bergabung di kafe MCD milik Pratiwi dan Andini, Davit selalu didaulat sebagai moderator dalam setiap rapat yang diadakan. Setelah pembacaan basmalah, Davit melirik seseorang yang masih asyik dengan benda mati persegi miliknya. Di dalam hati, dia mengutuk lelaki itu yang sifatnya tidak pernah berubah.

Satu dehaman keras Davit berikan pada lelaki tersebut. "Maaf, Pak Rasya. Apakah Anda mendengar suara saya?" tanyanya keras.

Merasa namanya dipanggil seseorang, lelaki yang bernama lengkap Zafir Al Rasya itu mendongakkan kepala, menatap Davit. "Tentu, saya mendengar setiap perkataan Anda, Pak. Silakan dilanjutkan!"

Pratiwi menghentikan kegiatan menyiapkan materi yang akan dipresentasikan. Sedikit ragu, dia menatap pemilik suara itu. Garis-garis pada keningnya terlihat jelas ketika bisa melihat Rasya begitu dekat di hadapannya kini. Siku kanannya mulai memberi isyarat pada sang sahabat.

"Apa, sih, Wi?" ujar Andini sedikit sebal.

"Lihat siapa yang sedang bicara tadi!" perintah Pratiwi. Demi menghormati sahabatnya, Andini pun menoleh pada lelaki yang duduk tepat di hadapan Davit.

"Astagfirullah," ucap Andini terkejut. "Kenapa dia di sini, Wi?"

"Mana aku tahu." Kedua bahu Pratiwi terangkat ke atas. "Tanyakan pada lelaki nggak waras itu nanti," tunjuknya pada Davit.

Percakapan kedua sahabat itu memancing tatapan semua yang hadir tak terkecuali lelaki yang sedang mereka bicarakan. Tak ingin menjadi pusat perhatian, Andini mengatupkan tangannya meminta maaf pada semua orang.

"Bisa kita lanjut sekarang, Bu Dini?" tanya Davit.

"Silakan, Pak."

Tak terhitung seberapa cepat jantung Andini kini bergerak setiap detiknya. Menit demi menit begitu menegangkan, apalagi saat dia harus mempresentasikan visi misi usaha yang dibangunnya. Bagaimana prosentase keuntangan yang akan didapat bagi setiap orang yang telah menggunakan dan menanamkan modal pada brand kafe miliknya. Semua keterangan itu, Andini jelaskan sedetail mungkin pada Rasya dan dua orang yang ingin bergabung.

Ketika Andini akan mengakhiri materi karena sudah tidak ada pertanyaan yang diajukan, tangan kanan Rasya terangkat ke atas. "Berapa lama Anda akan memberikan jaminan BEP pada modal yang telah kami keluarkan untuk usaha ini?"

Davit membuka matanya lebar, dia tak percaya dengan pertanyaan sahabatnya yang seperti itu. "Pak, kita tidak bisa memprediksi kapan BEP itu akan terjadi. Hanya saja, kita akan berusaha maksimal untuk dapat mencapainya secepat mungkin. Nggak sampai lima tahun, Insya Allah sudah BEP."

"Wajar saya menanyakan hal seperti itu. Kita sebagai pemilik modal butuh kepastian. Di luaran sana banyak sekali usaha franchise atau waralaba yang menjanjikan BEP bisa kita peroleh di tahun ketiga. Jika usaha Anda tidak bisa menjanjikannya, lalu untuk apa saya mengeluarkan uang." Rasya berkata seolah dia tidak mengenal orang-orang yang terlibat dalam usaha tersebut.

Benar kata bijak, uang itu tidak mengenal kata sahabat atau kerabat. Davit, Pratiwi serta Andini menyadari hal itu kini. Suara bisik-bisik para pemilik modal membawa kericuhan di ruangan tersebut. Namun, si penanya malah tersenyum mendapati kejadian ini.

"Oke. Saya sebagai pendiri dari usaha ini akan memberikan jaminan pada Anda. Saya pastikan modal Anda akan kembali dalam jangka waktu dua tahun," ucap Andini tegas.

"Yakin hal itu akan terjadi?" Rasya mencibir perkataan perempuan berjilbab tersebut.

Pratiwi berdiri, ucapan Rasya seolah merendahkan harga dirinya dan juga Andini. Bisa jadi karena mereka seorang perempuan, lalu dipandang sebelah mata oleh kaum Adam. "Saya sebagai jaminannya, Pak. Jika dalam jangka waktu yang disebutkan, modal Anda belum juga kembali. Saya akan mengembalikan seluruh uang yang telah dikeluarkan."

"Oke. Saya pegang kata-kata Anda." Masih dengan wajah yang penuh ketidakpercayaan, Rasya menatap kedua perempuan itu.

Davit merasakan aura ruang meeting  sudah tidak kondusif lagi karenanya dia segera mengambil tindakan untuk menutup pertemuan.

"Saya rasa pertemuan ini kita cukupkan sampai di sini saja. Segala hal yang berkaitan dengan prosedur selanjutnya akan kami sampaikan melalui email masing-masing. Selamat siang."

Satu per satu, mereka meninggalkan ruang meeting kecuali empat orang tersebut.

"Pertanyaanmu seperti ingin menghancurkan usaha kami, ya." Pratiwi sedikit emosi saat berkata pada Rasya.

"Menghancurkan? Aku bertanya sebagai seorang pemilik modal," jawab Rasya acuh. Dia sudah bersiap-siap akan meninggalkan ruangan, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar perkataan Andini.

"Jika aku tahu orang yang dikatakan Davit itu adalah kamu, maka nggak akan pernah aku menerima kerja sama ini." Andini berjalan meninggalkan ketiga orang tersebut dan melewati Rasya begitu saja.

Reaksi Rasya atas perkataan Andini cukup mengejutkan semua. Dia menarik pergelangan tangan perempuan dewasa itu dengan keras. "Sepuluh tahun nggak bertemu, ternyata kamu masih tetap seorang perempuan yang angkuh. Mari kita bekerja secara profesional. Jangan libatkan perasaan dan masa lalu!"

Davit dan Pratiwi, hanya mampu menatap keduanya dengan heran. Mereka berdua saling memandang hingga siluet sang lelaki menghilang di balik pintu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   76. Happy End

    Happy Reading*****Rasya sangat jengkel dengan tingkah Davit yang menyamar sebagai Andini. D jaia pun memukuli lelaki itu hingga mengaduh."Ampun ... Ampun. Adikmu tersayang yang nyuruh. Marahin dia saja," ucap Davit sambil menunjuk pada Anggita. "Ih, kok aku, sih?" sahut Anggita, "Mbak Tiwi, tuh. Dia yang ngasih ide." Menunjuk sahabat Andini yang tertawa lebar melihat ekspresi kecewa Rasya. "Sudah!" bentak Rasya, "sekarang mana istriku?""Ini," ucap Ranti dan Hawa bersamaan. Gamis putih perpaduan sutra satin dan berkata serta payet mutiara, melekat di tubuh Andini. Kerudung yang menutup dada dan menjuntai serta mahkota mutiara bertengger di kepala. Jangan lupakan make up natural yang makin menambah pesona kecantikan perempuan itu berlipat ganda. Senyum penuh kebahagian menambah kilau kecantikannya bersinar. Rasya dibuat terpukau dengan sosok wanita yang kini sedang berjalan mendekatinya. Tanpa kedip, dia terus menatap Andini. Seorang perempuan yang sudah sangat lama dicintai. Se

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   75. Pernikahan

    Happy Reading*****Niat hati ingin berduaan dan menyatakan cinta pada sang pujaan malah gagal total. Seluruh keluarga Rasya dan Andini ada di restoran itu. Tangan Nareswara bahkan sudah bertengger pada telinga kiri. "Papi itu nggak percaya kalau Mas ngomong mau jemput Andini. Pasti kayak gini hasilnya," ucap Nareswara. "Hmm, Mas," sahut Hamni."Padahal tinggal nunggu beberapa hari lagi. Masak iya sudah nggak tahan pengen berduaan," tambah Hawa. Rasya meringis sambil menggaruk kepalanya. "Kok pada tahu kalau Mas di sini, sih?""Jelas kami tahu. Ada mata-mata yang akan mengatakan perilakumu, Mas," sahut Dzauhari. "Ayah kok ikut-ikutan, sih?" Wajah ditekuk-tekuk karena kesal rencana manisnya dengan Andini gagal, Rasya memajukan bibirnya. "Makanya, Pa. Kalau punya rencana ajak-ajak Adik biar nggak gini kejadiaannya," celetuk Bisma. "Eh, kok nggak belain Papa?" Rasya menggerak-gerakkan bibir, lucu sekali tingkah sang pemimpin grup Zafir itu. Andai para karyawannya tahu, apa mungkin

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   74. Gagal

    Happy Reading*****"Sudahlah, Nak. Nggak usah tanya untuk apa beliau meminta cincin ini," ucap Hamni. Dia mulai melepas cincin yang dibelikan sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang ke 25 waktu itu. "Ibumu benar, Nak," tambah Dzauhari. "Ayah bisa membelikan ibumu cincin yang seperti itu lagi nantinya."Walau keberatan, Rasya tetap menganggukkan kepala. Perlahan Hamni melepaskan cincin yang diminta oleh Nareswara. "Ini, Pak." Menyerahkan pada lelaki yang tengah berbaring di ranjang kesakitan itu, Hamni menampilkan senyumnya."Tolong kamu pasangkan ke hari manis Mbak Andini. Sebelum terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, saya mau melihatnya menjadi calon menantumu.""Papi," panggil Andini dan Rasya bersamaan. Mereka juga saling tatap. Tidak menyangka sama sekali jika Nareswara punya niat seperti itu."Papi nggak tahu sampai kapan hidup. Jadi, sebelum Papi dipanggil sama Allah, Papi mau kalian saling terikat satu sama lain."Andini meletakkan jari telunjuknya ke

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   73. Akhirnya

    Happy Reading*****Anggita mendekat pada Nareswara. Tangannya berusaha melepaskan cekikan di leher Hawa. "Pi, pliss jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan semua dengan tenang. Biarkan Mami menceritakan semuanya.""Pi, benar katanya Adik. Nggak akan ada penyelesaian jika kita mengedepankan emosi," tambah Andini. Dia juga berusaha melepaskan pegangan tangan Nareswara pada leher Hawa. "Istighfar, Pi."Nareswara menghela napas. Perlahan, dia mengendurkan pegangannya pada leher sang istri. "Astagfirullah," ucapnya pelan.Sementara di seberang duduknya, Rasya dan orang tua kandungnya melihat dengan diam. Mereka tidak akan menambah kekeruhan permasalahan yang ada dengan membuka suara. "Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rasya sampai nekat akan melamar Andini yang jelas-jelas diketahui adalah adiknya," pinta Nareswara ketika Hawa terlihat jauh lebih tenang. "Berjanjilah, Papi nggak akan menceraikan Mami atau marah lagi," pinta Hawa. Sorot mata penuh ketakutan dan keput

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   72. Harus Jujur

    Happy Reading*****"Iya, saya," kata seorang perempuan berjilbab yang di sebelahnya berdiri Rasya dan Dzauhari. "Apa kabar, Mbak?""Kalian kok bisa kenal sama Rasya padahal nggak pernah bertemu sama sekali?" tambah Nareswara, "ayo duduk."Walau sedikit terkejut dengan kedatangan tamu tak diundang. Nareswara tetap ramah dan menerima kedatangan Dzauhari dan Hamni. "Mbak minta tolong sama Bibi buatkan minuman untuk mereka," tambah Nareswara pada Andini. Sementara Hawa, dia diam bak patung, menjawab pertanyaan yang Hamni ajukan saja, tidak dilakukan. Tak disangka, mamanya Arvan mendekati Hamni dan memeluk. Mereka saling sapa dengan cipika-cipiki. Rasya menatap curiga pada Hamni. "Apa kabar, Mbak? Lama nggak ketemu, balik Banyuwangi nggak kabar-kabar. Tahu gitu tak jemput lho di bandara," ujar perempuan yang diketahui bernama Sarita, ibunya Arvan."Kabar baik, Rit. Maaf, ya, aku dadakan ini pulangnya. Jadi, nggak sempat kabar-kabar.""Yah, kok ibu kenal?" bisik Rasya pada Dzauhari. "B

  • Berawal Dimodali, Berakhir Dinikahi   71. Syarat

    Happy Reading*****"Kami, cuma bisa memberikan ini untuk kebahagianmu, Nak. Kapan pun kamu meminta kami untuk menghadap Pak Nareswara dan Mbak Hawa, kami siap," ucap Hamni."Benar, Nak. Nggak perlu nunggu besok atau lusa. Sekarang pun, kita bisa kembali kalau kamu mau," tambah Dzauhari."Ayah, Ibu, sekali lagi terima kasih. Aku nggak tahu bagaimana harus membalas semua ini," ucap Rasa begitu terharu.Para pekerja yang melihat adegan mengharukan di depan mereka, tak kuasa membendung air mata. Mereka begitu terharu, setelah sekian lama kebahagiaan itu akhirnya datang pada atasan mereka. "Mungkin, besok pagi. Aku kembali ke Banyuwangi, Pak. Gimana?""Nggak masalah, Nak." Dzauhari menaikkan garis bibirnya. "Gimana kalau menggunakan perjalanan darat saja, Nak. Ibu dengar, besok penerbangan Banyuwangi-Bali ditiadakan karena cuaca memburuk," tambah Hamni."Sepertinya iya, Bu. Aku barusan dapat kabar dari Adipati. Nggak ada tiket ke sana untuk besok."Pasangan itu tersenyum. "Biar sopir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status