Hari ini, Ran tiba di Jakarta setelah perjalanan bisnisnya selama satu bulan.
Selama itu pula, dia selalu menerima laporan dari Riko asistennya untuk memantau kegiatan Meylinda.Menurut informasi yang didapat Riko dari orang Madiya, Mey masih bekerja seperti biasa.Tidak ada perubahan signifikan yang berarti. Namun, Ran tidak bisa untuk tidak gundah, entah kenapa firasatnya mengatakan semuanya tidak baik-baik saja.Bagaimana keadaan Mey yang sesungguhnya?Dari bandara, Ran langsung menuju hotel mengingat tiga puluh menit lagi meeting bersama Madiya akan dilaksanakan. Mey harusnya ikut serta karena mereka terlibat project bersama. Jadi, Ran ingin memastikan secara langsung keadaan perempuan itu.“Lancar Ran roadshownya? Rajin amat udah langsung ngantor, Dion aja kagak ikutan meeting,” kata Romi saat mereka bertemu di loby.“Aman kok.. yukk,” Ran mengacungkan jempolnya dan menepuk pelan bahu Romi sambil menuju ruangannya.Ran duduk di kursi kebesarannya sambil pikirannya menerawang jauh. Sebulan sudah sejak kejadian itu. Benaknya hanya dipenuhi oleh pikiran mengenai keadaan Mey.Perasaan bersalah menghantuinya setiap saat. Ran menoleh ketika suara pintu diketuk dari luar dan Riko muncul dari balik pintu.Tak menutupi lagi rasa penasarannya, setelah membalas salam Riko dia langsung bertanya, “Orang-orang Madiya Group sudah datang?”“Sudah Pak,” Riko terlihat memendam sesuatu sebelum mengatakan hal yang mengagetkannya.“Tapi pak, per hari ini Meylinda mengundurkan diri dari Madiya. Alasannya belum jelas karena mendadak,” lanjutnya.“Apa??” Ran tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Namun perkataan Riko berikutnya berkali kali lipat lebih mengagetkannya.“Mm, Pak. Gosip di bawah katanya Meylinda hamil karena ada anak front office yang melihat dia membeli test pack di apotek.”Ran memejamkan matanya sambil meremas pena di tangannya.Penjelasan Riko sudah tidak sepenuhnya Ran dengar.Sebelum-sebelumnya, Ran tidak pernah mau tahu apalagi percaya dengan yang namanya gosip. Tapi, untuk gosip kali ini sepertinya lebih mendekati kebenaran. Terlebih, dia adalah pelaku utama yang menjadi penyebab semuanya terjadi.“Lihat! Ran tidak hanya merusaknya kini, kau bahkan sudah membuatnya hamil,” Batin Ran seolah mengejek dirinya sendiri.Kepala Ran mendadak berat, merasa tidak akan bertemu dengan sosok yang ditunggunya.Ran pun angkat kaki dan mantap mengemudikan kendaraannya menuju tempat yang sudah lama ingin dikunjunginya.***Ran mengamati rumah lantai dua bercat white lily dari dalam mobilnya.Tamannya asri dipenuhi berbagai bunga dan tanaman hias. Ran memutuskan turun dari mobil dan memencet bel yang dibuka oleh wanita tua sepertinya asisten rumah tangga mereka.“Cari siapa ya?”Sang asisten mempersilakan masuk setelah Ran menyebutkan satu nama yang terus mengganggu pikirannya selama ini.Memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti melihat Mama Mey yang menatapnya dengan pandangan kaget bercampur amarah. Dengan langkah tergesa, Mama Mey mendatanginya dan mencengkeram lemah kedua lengannya. Dia menggoyangkan badan tegap Ran sambil menahan isak tangisnya agar tidak keluar.“Kenapa nak Randy? Kenapa? Apa salah Mey sama kamu?? Kenapa kamu jahat sama Mey??”Sungguh lidah Ran kelu. Dia hanya menundukkan wajah tidak berani menatap wajah tua di depannya. Hatinya seolah teriris. Ran masih mempertahankan posisinya hingga sebuah pekikan membuat pandangannya teralih dan menoleh ke sumber suara.“Mamaaaa … Aku nggak mau … aku nggak mau…” Mey berteriak di ujung tangga sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.Sontak Mama Mey melepaskan cengkeraman tangannya dan bergegas menghampiri Mey diikuti papanya yang muncul dari ruang tengah.“Bawa Mey masuk, Ma,” hardik papanya yang setelah itu menatap tajam Ran yang masih berdiri menatap kepergian Mey.“Apa yang kau inginkan?” Suara papa Mey berat dan tegas sambil tidak melepaskan tatapan tajamnya yang menelisik Ran sedari tadi.Kini mereka berdua sedang duduk berhadapan di ruang tamu.“Saya minta maaf,” Ran bersuara setelah sekian lama terdiam.“Apa kau tahu dampak perbuatan bejatmu? Kau sudah merusak hidup Mey!!” teriak papanya yang sudah tidak bisa lagi menahan amarah.“Saya akan bertanggung jawab.” Ran mengeluarkan niatnya yang selama ini dipendamnya. Melihat Mey yang tadi begitu rapuh dan ketakutan membuat dadanya kian nyeri.***Tamparan keras mendarat di pipi kirinya ketika mengutarakan maksud dan tujuannya datang. Saat ini, Ran berada di kediaman orang tuanya yang selama di Bali dibiarkan kosong dan hanya dibersihkan asisten rumah tangga.Mereka memutuskan menetap di Bali dan menjalankan bisnis restoran yang ditolak mentah-mentah oleh Ran.Dia memilih untuk tetap tinggal di Jakarta seorang diri dan menjalankan bisnis yang beberapa di antaranya sempat gagal, hingga kemudian tercipta bisnis hotel bersama sahabatnya yang sepertinya lebih menjanjikan dan memberikan keuntungan. “Dasar anak tidak tahu diri, bikin malu sajaaa!!! Jadi, ini hasilnya? Kau menolak tinggal bersama kami supaya bisa hidup bebas? Kalau sudah begini apa kau merasa hebat??”Papanya sudah tidak bisa menahan amarah lagi, semua sumpah serapahnya keluar begitu mendengar penuturan Ran.Merasa kesal hati kepada anak tunggalnya yang pembangkang. Sebelum bisnis hotelnya, Ran memiliki bisnis di bidang otomotif dan transportasi yang gulung tikar sebelum berkembang.Tak terhitung berapa kerugian yang diderita papanya mengingat Ran masih meminjam modal usaha. Karenanya ketika Ran ingin bisnis hotelnya disponsori, papanya menolak dengan keras dan sejak saat itu Ran bertekad untuk membuktikan bahwa dia mampu menjalankan bisnis tanpa bantuan orang tuanya sepeser pun.Saat usahanya mencari kedua perempuan tersebut belum berhasil, langkah Mey terhenti oleh panggilan seorang wanita. “Mbak Meylinda…” Mey hanya mengernyitkan dahinya karena merasa tidak mengenal wanita tersebut. “Saya Wanda, temen Vera,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Panggil Mey aja, kalo boleh tahu ada apa ya?” tanya Mey sambil masih sempat mengedarkan pandangannya. “Kata Vera, Mey punya usaha florist ya? Aku mau minta bantuan sih sebenernya, kalo nggak keberatan ngobrol sambil duduk yuk, aku janji cuma sebentar,” ajaknya. Mey pun menurut, mereka terlibat perbincangan yang cukup serius. Jadi, Wanda yang juga memiliki usaha florist dan lebih sering menerima pesanan hand bouquet, kerap kali kehabisan stock bunga import seperti bunga daffodil yang justru selalu ada di Meyra Florist. “Aku udah sering order daffodil di florist kamu Mey, tapi kan jadi dapet harga konsumen. Maunya sih special price gitu, hehe.” Wanda sangat berterus terang di pertemuan pertama mereka. Maka ketik
“Mey, ikut olahraga nggak?” tanya Ran ketika Mey sudah membuka matanya. Mey yang masih memeluk bantal hanya menggeleng, dengan pandangan yang masih samar dia melihat Ran sudah mulai bersiap-siap. Bagaimana bisa berolahraga? Semalam dirinya sulit tidur begitu Ran keluar kamar. Entah kenapa pikirannya kemana-mana saat mengetahui Ran selalu melihat ponsel dan mengabaikan dirinya. Mey bangun ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sewaktu makan malam kemarin, Mama Ran sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak usah enak hati jika ingin bangun siang hari ini. “Mey istirahat yang cukup ya Nak, nggak usah bangun pagi besok, Mey pasti masih capek,” begitu katanya. Mey menghela nafasnya pelan. Dia sungguh bersyukur memiliki mertua seperti orang tua Ran. Selain menyayanginya dengan tulus, mereka bukan tipikal mertua yang suka mencampuri urusan anak menantunya.Merasa telah cukup tidur, dia pun memutuskan pergi membersihkan diri sebelum turun menunggu kedatangan Ran. Mey keluar dari
Mereka tiba di Bali sekitar pukul sebelas siang dan langsung menuju restoran milik orang tua Ran di sekitaran Canggu. “Nggak ada yang sakit kan Mey?” tanya Ran sambil mengelus perut Mey saat mereka di dalam mobil. Mey hanya menggeleng, sebaliknya dia justru merasa sangat bersemangat. “Ini pertama kali kamu ke Bali?”“Iya Ran, makanya aku excited banget,” jawab Mey. Sesampainya di restoran, mereka disambut dengan pelukan hangat oleh orang tua Ran. Tubuh Mama sedikit lebih kurus dari pertemuan terakhir mereka. Tepat dua bulan sejak pernikahan mereka digelar, Mama divonis menderita penyakit jantung sehingga harus melakukan serangkaian pengobatan juga beberapa larangan dalam beraktivitas. “Duh kangen banget sama menantu Mama,” kata Mama sambil mengelus kepala Mey. “Kehamilan kamu sehat kan Mey? Maaf ya Mey, Mama…,” kalimat Mama terhenti karena sedetik kemudian air matanya sudah menetes tanpa diminta. “Jangan sedih Ma, yang penting Mama sehat dulu,” tenang Mey. Ran yang tengah bers
“Mey, kita lunch di luar ya… Sekalian diajak ketemuan sama sepupu aku,” jelas Ran saat mereka sudah berada di meja kerja Mey. “Sepupu?” “Iya Mey, dia emang nggak dateng ke nikahan kita karena waktu itu lagi dirawat di rumah sakit, abis kecelakaan. Nanti aku kenalin ya,” lanjut Ran. Mereka pun segera bergegas menuju restoran yang sudah diipilih oleh Aldi, sepupu Ran. Ternyata Aldi akan menikah dalam waktu dekat dan memerlukan bantuan Ran juga Mey untuk urusan florist. “Apa kabar Ran? Makin gagah aja setelah married,” sapa Aldi sesampainya mereka di restoran. Ran hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Kenalin ini Mey, istri aku. Nggak jadi bawa calon kamu?” tanya Ran. “Tar lagi dateng kok Ran, masih ada urusan,” jawabnya. Aldi pun beralih menatap Mey sambil menjulurkan tangannya. “Hai Mey, aku Aldi, btw maaf ya waktu itu nggak bisa dateng ke nikahan kalian,” ujar Aldi sambil tersenyum ramah. “Iya nggak apa-apa, tadi Ran udah sempet cerita kok.” Mereka pun memulai perbin
Mey memilih memejamkan mata ketika Ran memerangkap bibirnya dan melumatnya dengan ahli. Ciuman rasa vanila stawberi yang membuat keduanya terbuai selama beberapa saat. Ran membuka mata dan menjauhkan bibirnya sambil ibu jarinya mengusap pelan jejak basah pada bibir Mey. Senyum malu-malu yang menyambutnya membuat Ran mendekatkan kembali wajahnya. “Jadi, kita udah baikan?” tanya Mey saat wajah Ran hanya berjarak beberapa senti darinya. “Menurut kamu?” bisik Ran yang entah mengapa di telinga Mey terdengar begitu seksi. Mey tersenyum cerah sambil menatap mata Ran yang hitam dan tegas. Entah dorongan darimana, dengan tanpa tahu malu Mey menarik rahang kokoh milik Ran untuk mendekat padanya dan membiarkan Ran mengulang kembali ciuman mereka. “Aku minta maaf Ran, aku nggak akan nutupin apapun lagi dari kamu,” kata Mey.Saat ini mereka sudah duduk bersama dengan kepala Mey yang bersandar pada lengan Ran. Ran menghela nafas pelan, dengan penuh rasa sayang dia mengelus kepala Mey dan melab
Mey menjalani harinya dengan lesu. Dia merasa kepala dan matanya sangat berat, namun untuk pergi tidur juga tidak mungkin mengingat ini masih pagi. Dia pun membiarkan Bu Ana memasak sendiri di dapur sementara dia memeriksa laporan florist di ruang tamu. “Sarapan dulu Nak Mey,” panggil Bu Ana. Mey menoleh kemudian mengangguk.“Mey agak mual Bu, mau makan buah dulu. Bu Ana nggak apa-apa kan kalo Mey makannya nanti aja?” tanya Mey.Dia sendiri tidak tahu kenapa mual yang sudah lama hilang kini datang lagi. Apa karena semalam dirinya kurang tidur? Setelah menghabiskan sarapan buahnya, Mey pergi ke kamar karena kepalanya sedikit pusing. *** Ran tiba di hotel dan memulai briefing bersama jajaran manajemen juga panitia yang terlibat dalam event yang diadakan di Emperor hari ini. Dirinya sungguh tidak ada niatan untuk menghindari Mey, dia sendiri merasa bersalah ketika melihat mata Mey yang seperti ingin menangis tadi. Tapi di sisi lain, Ran masih merasa kesal dengan sikap Mey. Bisa-bisan