Ganes menelan ludah susah payah. Batapa apesnya ia yang tengah menerima orderan dari sebuah pusat perbelanjaan. Beruntungnya, ia telah terbiasa mengenakan masker sejak bekerja di rumah sakit ternama pada hari kedua.
Ganes mencoba tenang. Sembari terus mengikuti rute perjalanan sesuai aplikasi yang telah diterima, sesekali ia akan melirik pada kaca cembung motornya. Alih-alih terpesona dengan wajah rupawan yang tengah duduk di balik punggung, ia malah menghela napas panjang.
Ia ingat betul, bagaimana pertemuan ketiganya bersama pria yang telah mengajaknya bertaruh tiga bulan ke depan, seminggu yang lalu. Di hari keduanya bekerja, ia yang mengenakan masker hampir saja dikenali suaranya.
"Permisi, kamu enggak lagi ngepel 'kan, di dalam?" tanya sang direktur utama. Ia menunjuk ke arah dalam sembari memicing pada Ganes Gantari yang duduk di depan pintu toilet di lantai tiga.
Ganes menunduk, lantas menggeleng dengan pelan. Tak lupa, diubahnya suara agar tak mudah dikenali oleh pria pongah di hadapan.
"Sa-saya enggak lagi ngepel, Pak. Mohon maafkan kesalahan saya kemarin."
Usia mendengar pengakuan Ganes, alih-alih memaafkan, Rajendra malah mengernyit heran. Ia telah berkacak pinggang sembari memperhatikan perempuan yang tengah ada di hadapan.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Suaramu enggak asing rasanya."
Terang saja, Ganes membeliak. Ia menggeleng, lalu melambaikan kedua tangan di depan dada. Keringat pun mulai membulir pada dahinya yang lebar.
"Maaf, Pak. Saya baru kerja di sini. Kemaren kita bertemu untuk yang pertama kali."
Suara Ganes yang berubah drastis kian membuat Jendra merasakan sebuah kejanggalan. Namun karena harus buang air, ia mengabaikan keanehan yang terjadi.
Saat Rajendra kembali keluar dari toilet, Ganes bangkit dari tempatnya berjaga. Alih-alih memperhatikan, Ganes tetap menunduk demi menyembunyikan identitasnya.
Rajendra berhenti tepat di depan pintu toilet pria. Ia menatap Ganes sebentar dari ujung kaki hingga kepala, sebelum akhirnya mengulas senyum barang sekejap.
"Aneh."
Lamunan Ganes buyar saat Jendra yang duduk di balik punggung, menepuk-nepuk kedua bahu dengan keras.
"Hei! Jangan ngelamun! Kamu mau mati apa?"
Terang saja, Ganes langsung kembali memfokuskan diri. Meski caranya berkendara tak perlu diragukan lagi, tetapi tetap saja ia harus fokus pada jalanan demi keselamatan bersama.
"Ma-maaf."
Bersamaan dengan itu, Rajendra pun mengernyit. Diperhatikannya wajah driver ojek online yang ia pesan melalui spion motor yang mengalami banyak kerusakan.
Sadar ia kembali melakukan kesalahan fatal, Ganes berdeham. Diubahnya kembali suara agar tak mampu dikenali oleh sang direktur sekaligus pria yang mengajaknya bertaruh dengan pongah.
"Maaf, Pak. Saya meninggalkan anak di rumah. Pikiran saya enggak fokus karena kepikiran anak-anak."
Sembari mengaku demikian, Ganes berperan bak perempuan yang tengah sedih dan frustrasi. Entah bagaimana caranya, ia berhasil membuat air matanya menggantung di pelupuk mata.
Tentu saja, melihat itu, hati Rajendra tersentuh. Ia mengangguk, lalu menawarkan diri.
"Kalau begitu, bagaimana kalo saya yang menyetir? Biar ibuk bisa istirahat sebentar. Ayo, Bu, menepi sebentar."
Tentu saja, ajakan Jendra tak bisa ia tolak. Bak makan buah simalakama, akhirnya Ganes memilih untuk menepi demi berpindah posisi.
Usai duduk pada jok bagian belakang, Ganes teringat akan banyaknya keuntungan yang terjadi usai taruhan bersama pria yang kini tengah mengendalikan laju Blacky.
Sontak saja, Ganes menepuk dahi dengan pelan. Betapa bodohnya ia yang tak bisa menolak orderan aplikasi sejak ia tahu siapa penumpangnya.
"Jangan-jangan, meskipun pongah, dia adalah Dewa Fortuna untukku?"
"Maaf, apa Ibu mengatakan sesuatu?"
Sontak saja Ganes tergeragap. Ia menelan ludah susah payah, lalu kembali mengubah suara dengan menekan pangkal lidah."Oh, enggak, Pak. Saya cuma lagi berdoa saja. Maaf."Jendra melirik Ganes sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus sembari buka suara."Suami ke mana? Kenapa bukan suami yang ngojek? Itu tadi akun suaminya, kah?"Untuk sesaat, Ganes kembali menelan ludah susah payah. Dianggukkannya kepala sembari mencari alasan yang tepat."Anu, Pak, kebetulan su—""Tak perlu cerita kalo enggak mau cerita, Bu. Saya paham, keliatan banget dari motornya yang ringsek sana-sini."Ganes memejam sembayi mengernyit penuh sesal. Ia sadar bahwa telah banyak kebohongan yang ia lakukan. Namun, karena demi mendapat gaji dua kali lipat dari yang kini ditawarkan pihak rumah sakit, mau tak mau ia harus tetap bersikukuh dengan jalan yang ditempuh."Ya, begitulah. Yang saya pahami, saya harus cari yang sebanyak mungkin apa pun caranya karena biaya hidup dan berobat butuh banyak uang."Usai mengatakan d
Jam sudah menunjuk ke angka delapan saat mobil Rajendra berhenti tepat di parkiran yang disediakan oleh rumah sakit ternama tengah kota. Ia merapikan dasi sebelum akhirnya matanya tertuju pada salah satu motor yang juga berada di area parkir yang sama.Rajendra mengernyit, lantas mengingat-ingat di mana ia melihat motor yang serupa. Demi bisa menyelesaikan rasa penasarannya, Jendra beranjak. Ia turun dari mobil, lantas memperhatikan motor yang hampir seluruh bagian kanannya penyok dari depan hingga belakang.Rajendra bersedekap. Ia teringat tentang motor yang semalam mengantarnya pulang usai ditipu oleh sang ayah. Dijentikkannya jemari sebab benar-benar ingat bahwa motor yang dilihat di depannya adalah kendaraan yang sama.Rajendra meraih ponsel pada saku celana, lalu membuka aplikasi ojek online terkemuka. Benar saja, saat ia menekan tab riwayat, ada nomor plat yang sesuai dengan sopir bernama Ruslan."Dia benar-benar membawa suaminya berobat! Tapi kenapa kemari? Apa jangan-jangan, m
Karena penasaran, bukannya mulai bekerja memperhatikan tabel dalam Ms Excel, Jendra malah mencari pada laman pencarian. Hanya butuh kata kunci plat motor yang ia dapatkan dari riwayat pemesanan ojek semalam. Sayang, tidak ada apa pun yang bisa ditemukan."Sial! Kecelakaannya enggak diberitakan?"Merasa membuang waktu, Jendra akhirnya memilih fokus. Sayang, betapa kuat ia mencoba, ia kembali memikirkan kedua mata yang berkaca-kaca semalam saat diliriknya dari spion motor. Ia yakin, mata itu tak berbohong walau sebentar.Betapa terkejutnya Jendra saat bayangan akan kedua mata kelam milik sopir ojek online semalam, berubah menjadi sosok yang beberapa hari silam membuatnya baik pitam. Mata yang hampir serupa dengan sosok yang dimakinya usai melihatnya mengiba. Ia menghela napas panjang, terlebih saat mengingat taruhan keduanya."Jika aku kalah, bukan hanya rumah seni yang kudirikan bersama seniman senior yang akan malu, tetapi juga harga diriku yang akan runtuh. Sial. Bisa-bisanya aku tar
Rajendra menggebrak meja. Kedua matanya yang bulat kecokelatan membeliak dipenuhi angkara murka. Diabaikannya sambungan telepon yang masih terhubung demi pergi ke area HRD dengan langkah tergesa.Sembari berjalan dengan geram, dihubunginya salah seorang tim panitia pelaksanaan audisi pada sanggar seni tempo hari. "Kirimkan padaku, semua data perempuan yang pernah datang terlambat dan minta perpanjangan waktu. Kirim dengan cepat!"Beberapa karyawan yang melihat kemarahan badan gurat wajah Rajendra, tampak menunduk seolah-olah tak melihat apa pun. Mereka lebih memilih diam daripada menggunjingkan banyak bahan pembicaraan.Bukan tanpa sebab, mereka menahan diri untuk tak membicarakan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan sang direktur. Pernah sekali, saat kali pertama Rajendra diangkat menjadi direktur, demi menggantikan mendiang sang kakak, banyak orang yang menggunjing meragukan.Lantas, tak perlu waktu lama bagi Rajendra untuk membalas seluruh gunjingan orang dengan cara yang leb
Jam sudah menunjuk ke angka delapan tiga puluh saat ketukan pada pintu membuat Rajendra menggeram. Alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda sebab melihat motor hitam atas nama Ruslan, ia memilih untuk meluapkan segala amarah pada yang bersangkutan.Jemari tangan Jendra telah menekan salah satu tombol yang bisa langsung terhubung dengan bagian HRD melalui sambungan interkom. "Kemari dan bawakan surat pemutusan hubungan kerja sekarang juga."Usai memutuskan panggilan, Rajendra pun berseru pada sosok yang ada di balik pintu ruang kerja. "Masuk!"Benar saja dugaannya. Ia melihat Ganes yang tengah membawa bungkusan air kelapa segar. Kedua matanya menatap tajam seolah-olah siap menembus jantung siapa saja di hadapan.Melihat aura yang tak biasa, Ganes pun menunduk sembari melewati Rajendra. Ditujunya salah satu meja di ujung ruangan demi bisa menyalin air kelapa muda pada gelas tinggi yang disediakan.Setelah itu, dibawanya segelas besar air penuh elektrolit tinggi pada sang e
Ganes telah membeliak tak percaya. Kedua matanya yang lentik nan kecokelatan itu menatap tajam pada gurat wajah Rajendra yang lebih menakutkan daripada sebelumnya.Untuk sesaat, dadanya terasa begitu sesak sebab ketakutan. Namun pada detik berikutnya, ia yang telah menguasai keadaan, tertawa sembari bersedekap. "Anda sudah lihat, bukan? Akan selalu ada yang mau mempekerjakanku. Tak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk memberikan slip gaji pertamaku, Pak. Lantas, kenapa tak mengaku kalah mulai sekarang?"Keoptimisan Ganes membuat Rajendra mengernyit heran. Ia mundur, lalu duduk di tepian meja kerja sembari bersedekap."Aku tak tahu, ada perempuan setangguh kamu. Tapi, jangan sebut aku Jendra jika tak bisa menendangmu dari sini. Detik ini juga. Aku seorang direktur. Mudah bagiku untuk membuatmu dipecat dan tak akan pernah lagi bekerja di mana pun setelah ini."Alih-alih ketar-ketir sebab diancam sedemikian rupa, Ganes memilih membuang muka."Apa jadinya jika seorang direktur menyalahi at
Sementara itu, Ganes yang sudah dibakar amarah sebab memasang wajah manis di depan Rajendra, mau tak mau harus bertahan. Diteriakkannya amarah yang mulai meletup-letup dalam dada.Bukan tanpa sebab ia begitu marah. Alih-alih melampiaskan, ia harus menahan diri demi bisa tetap kembali bekerja.Dengan cepat, ia melangkah menuju gudang demi bisa mengambil alat kerjanya. Sembari demikian, dientakkannya kedua kaki sembari mengetatkan rahang hingga bunyi gemeletuk giginya terdengar.Beruntungnya, Faruk yang tengah berkeliling demi melihat situasi yang ada, mewujud pahlawan bagi Ganes hanya dalam sekejap mata."Nes? Kenapa basah kuyup? Kamu mandi?"Disindir sedemikian rupa tak membuat Ganes tertawa. Ia mencebik, lalu mengedikkan bahu dengan kesal. "Diudani!"Faruk yang memang jomlo dan suka jajan melalui aplikasi ajang kenakalan pun, mau tak mau menangkap konotasi buruk pada kata yang diucapkan oleh Ganes. Ia mendelik, sebelum akhirnya mengedar pandang."Siapa? Siapa yang berani nelanjangin
Faruk tengah mondar-mandir di depan toilet yang dijaga Ganes di lantai tiga. Kedua tangannya telah saling bertaut satu sama lain sebab gelisah.Kebiasaan yang tak akan pernah bisa dilepas begitu saja. Tangan kanan Faruk telah menggenggam tangan kirinya. Namun dari arah dalam, tangan kirinya keluar melalui celah yang tercipta di antara jempol dan telunjuk tangan kanan.Sesekali, Faruk akan berdecak kesal. Tepat saat terdengar bunyi langkah kaki dari toilet, ia langsung menghadang sang kawan dengan berdiri di tengah pintu dengan wajah garang."Apa yang kamu lakukan, Nes?"Melihat kecemasan dalam gurat wajah Faruk, Ganes pun menelan ludah susah payah. Ia menunduk, lantas menggigit bibir atasnya dengan pelan sebelum membela diri."Masih ingat apa yang kukatakan tempo hari? Tentang aku yang punya masalah pribadi dengan Dirut muda itu?"Alih-alih marah, Faruk memilih untuk menebak-nebak apa yang telah terjadi sebelumnya."Dia melihatmu? Dia mengenalimu? Itu sebabnya dia terlihat begitu ingi