Ingatan Ganes buyar bersamaan dengan tepukan pada bahunya yang lunglai. Ia tergeragap, sebelum akhirnya hendak melayangkan bogem mentah.
Dengan secepat kilat, Faruk yang memang telah mengenal Ganes cukup lama, langsung menghindar sembari menangkis kepalan tangan kanan Ganes yang mematikan.
"Mikir opo, Nes? Enggak bakal dipecat, enggak. Ojok dipikir jeru-jeru!"
Ganes langsung menghela napas sambil mengempas tangan. Dibawanya Faruk sedikit lebih jauh dari area pintu rumah sakit berada. Sesekali ia akan menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang yang bisa mendengar.
"Bukan gitu, Ruk. Aku dulu pernah punya masalah sama itu direktur!"
Sontak saja, Faruk langsung menepuk dahinya pelan. Sedang tangan lainnya berkacak pinggang.
"Enggak bisa ta, kamu menghindar dari masalah? Sejak di panti, kamu paling sukanya cari gara-gara, lo Nes. Bahkan sampek sekarang, pun? Keterlaluan kamu, Nes."
Ganes mendongak. Ia meraup wajah kasar dengan kedua tangan.
"Dengar, Ruk, ini enggak sesederhana itu. Masalah ini bukan karena aku. Tapi karena kesalahpahaman. Please, bantuin aku. Aku butuh kerjaan ini, Ruk. Gimana dong? Pindahin aku dari area itu bisa, enggak?"
Sayang, Faruk menggeleng sembari berdecak kesal."Anak baru ya cuma bisa dikasih tempat buat jagain toilet. Udah dari sananya, Nes, sorry. Dan satu-satunya toilet yang bisa terima orang baru ya cuma di situ. Kenapa? Karena direktur emang jarang lama-lama di rumah sakit. Menghindari kejadian kayak tadi. Fatal itu kalo kejadian di lantai satu pas banyak pasien nunggu."
Mendengar fakta baru, Ganes pun tak hilang harapan. Dengan cepat, ia menoleh pada Faruk sembari memohon dengan kedua tangan menyatu di depan wajah.
"Kalo gitu biarkan aku kerja pake masker, ya? Ini rumah sakit, lo. Penggunaan masker dilegalin, kan? Maksudku, enggak bakal dipertanyakan, kan?"
Faruk mengangguk, membenarkan. Telah ia berikan papan nama yang terjatuh pada sang empunya.
"Kupikir kamu lari gegara takut dipecat. Bapak sampek kaget liat kamu lari kenceng gitu. Padahal dia cuma mau balikin ini. Dia yang nemu.
Ternyata, kalian punya masalah pribadi. Jangan-jangan, dia mantanmu?"
Usai menerima papan namanya, Ganes pun menoyor kepala Faruk dengan gemas.
"Dijogo cangkemmu, Ruk! Mana ada direktur kayak dia maunya sama aku yang bulukan? Ceweknya pasti cuantik nan seksi!"
Anehnya, Faruk malah terbahak-bahak. "Dia itu direktur yang masih perjaka. Bahkan, Pak Presdir pernah bikin sayembara demi bisa bikin bapak punya pasangan. Sayangnya, bapak sendiri yang nolak. Itu sebabnya, banyak karyawan yang jadi mikir kalo dia agak sakit gitu."
Ganes kembali melayangkan toyoran pada kepala sang kawan. Teman masa kecil di panti itu memang tak bisa menjaga mulutnya barang sebentar.
"Jangan ngomong macem-macem, Ruk. Celaka kalo dia tiba-tiba datang dan nandain kamu buat dipecat! Bisa-bisa aku kena juga! Kalo udah gitu, aku enggak bakalan bisa dapetin uang lebih banyak dalam tiga bulan ke depan!"
Alih-alih marah, Faruk malah tertawa. Diacaknya rambut sebahu Ganes yang dikuncir kuda dengan gemas.
"Waktu emang cepat berubah, Yo? Tapi kepribadian enggak akan banyak berubah. Pulango, hati-hati di jalan."
Diperlakukan demikian, Ganes memerah wajahnya. Ditatapnya Faruk yang memilih untuk beranjak dari tempatnya berpijak. Lantas, Ganes mengulum senyum sebelum akhirnya mengepalkan tangan kanannya dengan erat.
"Liat, aja. Tiga bulan lagi, aku bakal datang ke hadapanmu! Ngasih slip gaji yang kamu tandatangani sendiri, Pak!"
Tawa jahat Ganes telah menggema hebat. Ia benar-benar merasa puas karena telah mendapatkan pekerjaan di tempat, di mana penguasa angkuh itu berkuasa.
"Gitu kemarenan, sok bilang enggak akan ada yang nerima aku. Anehnya, kita bakal ketemu tiap waktu dan kamu enggak bakal ngenalin aku. Ironi sekali, bukan?"
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"