Ganes tengah berlarian di lorong-lorong rumah sakit ternama sembari menutupi wajahnya dengan tangan kanan. Beberapa kali, ia harus menoleh ke belakang demi memastikan tak ada yang tengah mengejar atau bahkan mengenalinya.
Para perawat pun memperhatikan Ganes yang terlihat ketakutan. Tak jarang pula ada perawat yang mempertanyakan mengenai apa yang tengah terjadi padanya.
Sayang, Ganes hanya menggeleng sembari menjawab, "Enggak pa-pa kok, Mbak!"
Sadar ia sudah berada jauh dari sosok pongah yang sempat dilihatnya kemarin di rumah teater ternama, Ganes pun mencoba mengistirahatkan diri sejenak. Sembari bersandar pada dinding luar bangunan, ia menarik napas panjang demi menetralkan degup jantungnya yang meranyah.
Napasnya yang tersengal-sengal, menjawab semua kegelisahan hatinya sejak sebelum berangkat kerja. Diliriknya jam yang melingkar, lantas mencoba untuk tetap tenang.
"Tenang, Nes, tenang. Lagian, orang kayak dia enggak bakal inget sama kesalahannya sendiri. Tenang, Nes. Kamu masih bisa kerja pake masker. Aji mumpung banget kamu kerjanya di rumah sakit."
Ganes telah mengambil motornya di parkiran. Hari pertamanya bekerja sama sekali tak memberi kesan baik pada siapa pun juga. Terlebih, pada pria yang katanya masih perjaka di usia yang telah berada di atas tiga puluh tahunan.
Ia ingat betul, bagaimana insiden itu terjadi. Insiden yang kembali mempertemukan Ganes dengan pria pongah yang kemaren begitu lihai memaki.
Bunyi debuman terdengar setelah sebelumnya terdengar kecipak air yang tumpah. Benar saja, Ganes langsung menoleh ke belakang. Ia membeliak saat melihat seseorang terjengkang dan mendesis panjang.
Hanya butuh waktu sedetik bagi banyak pekerja rumah sakit untuk mengerubungi dan membantu pria yang terjatuh di depan toilet pria. Ganes mengernyit, ia menepuk dahinya dengan pelan.
"Mati, aku!"
Ganes mencoba mendekat. Ia hendak meminta maaf saat supervisor bagian sanitasi menegurnya dari belakang.
"Mbak Ganes, bukankah sudah saya katakan? Jika ingin moping, beri tanda lantai basah sebelumnya. Jangan ngepel dulu baru ditandai. Kebalik, Mbak."
Ganes menunduk, merasa begitu bersalah. "Maaf, Pak. Maaf. Karena jam operasional sudah hampir berakhir, saya kira enggak akan ada orang yang mau mampir ke toilet lagi."
Faruk menggeleng pelan. Ia mengintip sosok yang tengah ditolong beberapa orang. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang telah terjatuh akibat kecerobohan pegawai barunya.
"Mati, kamu! Itu direktur utama! Ayo, minta maaf!"
Ganes kembali membeliak. Ia menggeleng sebelum akhirnya maju beberapa langkah demi menuruti perintah sang atasan.
"Maaf, Pak, ni salah saya."
Hampir saja Ganes mendongak, saat ia memperhatikan pantulan bayangan sang direktur utama pada genangan air yang tercipta, yang telah berdiri dengan tegak. Ia kembali dikejutkan dengan fakta baru mengenai wajah yang dikenal, sekaligus gema suara yang begitu ia ingat.
"Anak baru?"
Suara pongah itu benar-benar dikenal baik oleh Ganes. Ia telah merutuki diri sebab mencari mati di kandang buaya yang telah ia injak dengan kedua kaki.
"Iya, Pak, maafkan kami," pungkas Faruk. Ia turut menunduk di samping Ganes.
"Siapa namanya?"
Ganes memejam. Dengan suara yang dibuat-buat, ia menjawab pelan.
"Ganes Gantari, Pak."
Faruk mengernyit. Ia melirik Ganes yang tampak begitu ketakutan.
"Dia baru kerja hari ini, Pak. Mohon maafkan dia. Saya yang memposisikan dia di sini. Katanya, karena jam operasional udah mau berakhir, dia kira enggak bakal ada yang bakal mampir. Makanya enggak dikasih papan peringatan. Maaf, Pak," aku Faruk.
"Enggak, enggak pa-pa. Kasih pengertian lagi, ya. Kapan pun, di mana pun harus tetap dikasih papan peringatan. Di sini ini pelayanan publik. Fatal jadinya jika ada pasien yang ingin ke kamar mandi tapi mengalami hal serupa seperti saya."
"Baik, Pak." Faruk telah menyikut lengan Ganes dengan cepat. "Balik sana. Biar aku yang handle."
Ganes yang masih mengangguk, pamit undur diri. Dengan cepat, ia berlalu dari tempat kejadian perkara. Namun pada detik berikutnya, tepat saat suara sang direktur utama kembali didengar, ia langsung lari terbirit-birit demi menyelamatkan diri sebelum kembali dimaki untuk yang kedua kalinya.
"Tunggu, hei!"
"Sumpah demi apa, dia inget aku?"
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"