“Pop, Kaila mana?” tanya seorang pemuda yang angkasa tidak tahu siapa.Pemuda itu berbarengan dengan dirinya masuk ke kafe ini tadi. Ia juga tampak mengenal orang-orang yang bekerja di sini. Mungkin pemiliknya, pikir Angkasa, atau paling tidak anak pemiliknya.“Barusan ke belakang,” jawab gadis itu, yang ternyata bernama Popi, teman kerjanya Kaila.Pemuda itu mengangguk dan segera menyusul Kaila ke belakang. Ia menghilang dari balik tirai. Angkasa mencoba untuk fokus dengan apa yang dikatakan Altar saat ini karena pemuda itu sedang menjelaskan rencana BEM yang akan datang, tapi Ketua BEM-nya malah tidak menyimak.“Lo beneran gue tonjok ya, Sa,” kesal Altar karena mata Angkasa hanya menunduk dan menatap kopinya yang sudah hampir dingin tapi belum disentuhnya.“Hah, kenapa?” balas Angkasa segera mendongak.Altar menghela napas pelan. “Lo lagi ada masalah?” tanyanya pada akhirnya, ia sudah ingin bertanya sejak tadi. Sejak Angkasa menanyakan pertanyaan yang aneh menurut Altar.Angkasa men
“Lho, Bang Asa bukan?”Bumi berdiri dan menunjuk Angkasa yang juga berdiri di belakangnya, tepatnya bertumpu pada meja kasir dan menatap Kaila yang sedang mengobati lukanya. Gadis itu juga mendongak karena mendengar Bumi menyebut nama Angkasa.Angkasa terlihat bingung. “Iya,” balasnya. “Kok bisa tau gue?” tanya Angkasa memuaskan rasa penasarannya, kenapa Bumi bisa mengenalnya sedangkan dirinya tidak mengenal Bumi?“Ketua BEM kampus siapa yang gak kenal sih,” balas Bumi tertawa.Ah, dia lupa kalau dirinya adalah ketua BEM kampus, wajar saja orang banyak mengenalnya. Hm, lama-lama Angkasa juga bisa sombong nih karena banyak yang kenal dengan dirinya.Angkasa tertawa menanggapi Bumi. “Oh haha, jurusan apa emang?” tanya Angkasa pada pemuda itu.“Manajemen bang, baru masuk,” jawab Bumi dan menarik perhatian Kaila.Kaila tidak tahu kalau Bumi adik tingkatnya, ia pikir mereka berdua sebaya tapi siapa yang mengira kalau ternyata Bumi lebih muda dari dirinya, dan merupakan adik tingkatnya.Ang
Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam.Kaila, Yansa, dan juga Popi berberes-beres kafe. Kafe tutup memang jam sepuluh, tapi bagi tiga pegawai ini, mereka tetap pulang jam sebelas karena harus membereskan ini-itu terlebih dahulu. Kaila harus mencuci piring, Popi akan mengelap meja dan mengepel lantai, Yansa akan menyiapkan kopi-kopi untuk besok serta membersihkan peralatan kopi mereka.Ketiganya masih saja sibuk, tapi ada satu orang yang hanya bersantai dan memainkan ponselnya di sana.Bumi.Pemuda itu masih belum pulang. Popi dan Yansa tahu, dia pasti akan mencoba untuk mengantar Kaila pulang. Mereka berdua juga tahu sepertinya keduanya mengenal satu sama lain sebelum bertemu di kafe ini.“Lo udah ngomong ke Kaila?” tanya Yansa mendekat.Bumi menggeleng. “Nanti aja deh, pas mau pulang,” jawabnya.“Kata gue mah pasti ditolak lagi,” sahut Popi yang memegang gagang pel. Ia tertawa mengejek.Ini bukan kali pertama Bumi mengajak Kaila pulang bareng, ini sudah kedua kalinya. Wakt
Angkasa tidak menjawab apa-apa. Pemuda itu hanya terdiam dan menatap Kaila yang memakan mie buatannya. Kemudian dia juga ikut memakan mie buatannya dan mengangguk perlahan. “Karena lo ngomong begitu, gue jadi pengen nanya,” balas Angkasa. Kaila menatap Angkasa dengan mulutnya yang penuh. “Ya!” balasnya tapi terdengar tidak begitu jelas karena mulutnya sangat penuh dengan mie. Angkasa tertawa lalu menggeleng.”Telen dulu itu,” ujarnya. “Gue cuma becanda,” lanjutnya dan terkekeh. Kaila mengunyah makanannya dan melihat ke luar jendela, tirai balkon mereka terbuka, begitu pula dengan pintu kacanya yang membuat angin malam ikut masuk. Udaranya dingin tapi Kaila tidak keberatan, dia sudah sangat terbiasa dengan udara malam seperti ini. Bukankah ada orang yang mengatakan kalau udara malam itu tidak sehat? Maka artinya Kaila tidak sehat. Dia sudah terlalu sering menghirup udara malam. “Ah, pintunya terbuka karena tadi gue ngerjain tugas di luar.” Angkasa melihat arah tatapan Kaila dan m
Cuaca hari ini cukup mendung.Kaila berjalan menyusuri jalanan dengan langkah santai. Ia melihat sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang, motor dan mobil juga. Burung berterbangan dari pohon satu ke pohon yang lain. Saat ini, Kaila sedang tidak punya tujuan. Sepuluh menit yang lalu ia masih berada di kelas, tapi dosen mereka baru mengabari kalau beliau tidak bisa datang karena suatu urusan. Akhirnya, Kaila memutuskan untuk berjalan-jalan saja. Lagi pula ini masih jam sepuluh, masih ada banyak waktu sebelum bekerja di kafe. Kaila juga sering berjalan sendirian di kampus seperti ini, tanpa tujuan yang jelas dan kadang berhenti untuk membeli makanan dari mamang-mamang gerobak. Kali ini ia berhenti di depan mamang gerobak yang menjual telur gulung. “Lima ya, Pak,” ujarnya. Bapaknya mengangguk dan mulai membuatkan telur gulung yang dipesan oleh Kaila. Melihat cara masak telur gulung selalu saja satisfying. Kaila memberikan uang lima ribu pada Bapaknya dan duduk di kursi yang a
Kaila masih duduk di sana sembari memakan telur gulungnya. Dia sepertinya menikmati pertengkaran yang terjadi antara Angkasa dan si gadis, tapi sekarang mereka tidak bertengkar lagi. Angkasa menepuk kepala gadis itu dengan pelan karena sang gadis sedang menangis. “Angkasa selalu seperti itu,” ujar Pak Burhan dengan mulut yang penuh telur gulung. Kaila dan Bapak penjual telur gulung menoleh, menunggu kelanjutan cerita yang akan diceritakan oleh Pak Burhan, selaku Satpam di Teknik yang pastinya lebih banyak mengetahui tentang Angkasa dan si gadis. “Dia selalu tidak bisa melihat seseorang menangis,” lanjut Pak Burhan. Kaila kembali menatap Angkasa yang berusaha keras untuk menahan emosinya dan memilih untuk mengelus kepala gadis itu. Dia menatap ke segala arah dan menyadari banyak pasang mata yang melihatnya, namun dia belum melihat kalau Kaila juga ada di sana. “Seharusnya anak itu jangan begitu, kalau perempuan itu nangis ya biarin aja,” ujar Bapak penjual telur gulung. “Bu
“Lo gak butuh orang lain?” ulang Bumi. Kaila tidak menanggapi. Ia hendak berjalan ke depan karena cuciannya juga sudah selesai, dia hendak melihat apakah ada piring dan gelas yang lain di depan karena Popi tidak ke belakang sejak Bumi ada di sini. Namun langkahnya dihentikan oleh Bumi. Pemuda itu memblokir satu-satunya jalan Kaila menuju bagian depan. Kaila menatap Bumi tidak senang. “Minggir,” suruh Kaila. Bumi tidak bergeming. Ia masih berdiri di sana dan menatap gadis itu. “Bumi, gue minta baik-baik,” ujar Kaila sembari menghela napas pelan. “Minggir,” ujarnya sekali lagi. “Lo gak butuh orang lain?” tanya Bumi sekali lagi karena pertanyaannya belum dijawab oleh Kaila. Kaila menatap Bumi dengan jengah. Ia masih punya banyak pekerjaan selain membicarakan hal yang tidak perlu seperti ini. Beberapa hari terakhir ini menurutnya dia sudah terlalu banyak bicara dengan orang lain. Ia tidak ingin itu semua. Ia tidak ingin perasaan nyamannya mulai tumbuh, dan mereka akan mening
"Ini kita ngapain belum pulang sih?”Altar menatap Angkasa dengan heran, pasalnya mereka di sini sudah hampir tiga jam dan tidak melakukan apa-apa selain minum kopi dan bicara tentang program kerja BEM selanjutnya. Bahkan Bumi saja sudah pulang sejak satu jam yang lalu, tapi mereka masih saja di sini.“Bentar lagi,” jawab Angkasa dan menyesap kopinya. Ini sudah gelas keduanya selama tiga jam ini, dan Altar sudah menghabiskan tiga gelas, karena memang mereka tidak melakukan apa-apa dan hanya berbicara tentang proker makanya Altar kehausan. “Mas, americano satu lagi ya.” Angkasa mengangkat tangannya dan berujar pada Yansa. “Gila lo?” seru Altar. “Lo dari tadi mesen americano ya,” lanjutnya. Sedari tadi Angkasa memang hanya memesan es americano, sedangkan Altar berganti-ganti. Pertama kali ia memesan es americano, setelah itu latte, dan terakhir es jeruk. “Bisa-bisa lo baru tidur besok siang,” lanjut Altar dan menatap heran temannya satu itu. “Gak papa,” balas Angkasa dan masih ing