Share

Permulaan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-02 22:35:14

Jakarta, 31 Juli 2021

06:00 WIB

 

Suasana kota Jakarta tengah tak begitu ramai. Kota itu berbeda dengan kondisinya yang dulu, yaitu padat dan penuh dengan polusi. Kini, rasanya sangat bersih dan maju. Jika dilihat dalam sekali pandang, maka pesona kota modern yang ditimbulkannya pasti mampu menarik hati banyak orang.

 

Berbeda dengan suasana menyejukkan yang Jakarta timbulkan. Seorang gadis berparas manis dengan tubuhnya yang gemetaran tengah menangis begitu tersedu di pojok kasur queen sized-nya. Seragam SMA yang ia kenakan tertutup penuh dengan selimut tebal yang menyentuh hingga daerah leher. Matanya menyipit, sembari pandangannya terjatuh ke arah jendela, memperhatikan luasnya cakrawala yang membentang di pagi hari nan sejuk.

 

Hati gadis itu sangat gundah. Sepotong roti yang sudah dirinya olesi selai pun menganggur hingga entah akan sampai kapan akan akhirnya ia sentuh untuk dimakan. Kian waktu menipis, kian tangisnya mengucur keluar, makin deras, menyaingi derasnya Grojogan Sewu, dekat tempatnya tinggal dulu.

 

Ia ketakutan. Pikirannya terbang begitu jauh, berkelana, bergabung dan menyamakan diri dengan kecepatan seekor burung garuda, tatkala ia unjuk diri untuk dijadikan lambang negara tempatnya bernaung sekarang. Mengenai resiko akan wujud dirinya saat tampil di tengah umum nanti, gadis itu tak mampu berpikir sampai ke arah sana. Hanya perihal lingkungan sosial yang mengerikanlah yang saat ini tengah menguasai nyalinya.

 

Liburan semester nanti, kamu boleh pulang ke Solo lagi.

 

Gadis itu terus saja mengasihani diri akan fakta dimana ia harus menghadapi lingkungan asing yang baginya super mengerikan hingga jangka waktu yang lama. Beberapa kali ia katakan pada orang tuanya kalau dirinya sangat mustahil bisa beradaptasi nantinya. Tapi percuma, kedua orang tuanya tak mau mendengarkan dirinya. Mereka bilang, semuanya demi kebaikannya. Tidak, tidak ada hal baik yang akan terjadi. Gadis itu tahu dengan jelas. 

 

Di tengah batinnya yang tengah merintih tak terperikan, matanya yang basah mengucap sebuah harapan pada langit pagi yang indah, tentang kiranya cepatlah berganti warna. Ia sungguh tak kuat, bahkan sebelum segalanya dimulai. Ceritanya dalam kota yang baginya terkutuk itu akan membawa sebuah kutukan pula pada kehidupannya nanti, begitulah perkiraannya. Jika saja ia memiliki kekuatan super, ia mungkin akan menghilang sekarang juga. Semuanya terasa terlalu berat untuk dijalani.

 

Jika ada yang bertanya, ada apa dengan gadis yang masih menangis itu, maka jawabannya ia tengah ketakutan luar biasa kini. Seharusnya pukul setengah tujuh nanti ia sudah sampai di lingkungan kampus barunya. Namun, pada kenyataannya ia masih mendekam tak rela di atas kasur apartemennya yang empuk.

 

Ia terus saja menghitung waktu, berharap kalau-kalau perhitungannya mungkin saja salah. Kegiatannya di kampus barunya, yaitu ospek akan dimulai tepat pada pukul tujuh pagi. Kemudian semuanya akan selesai pukul lima sore. Itu berarti selama kira-kira sepuluh jam lamanya, ia harus menghadapi lingkungan asing yang sangat mengerikan dalam bayangannya. Ia tak punya pandangan masa depan tentang bagaimana hancurnya dirinya saat kembali lagi ke apartemennya nanti. Mungkinkah akan terlihat kacau balau dan penuh dengan tangis? Yah, itu kemungkinan terbesar. Bukan hanya mungkin, tapi pasti.

 

“Hiks…” Gadis itu terus sesenggukan. Kini, ia menenggelamkan wajahnya pada lutut halusnya yang masih tertutup oleh selimut tebalnya. Ia tidak tahu harus bagaimana dalam menenangkan diri dari pikiran-pikiran negatif yang sesungguhnya sangat ia benci. Ia tak ingin punya pikiran yang sebegitu buruknya, yang bahkan mampu membuatnya tak bisa bergerak. Bagaimana caranya keluar? Gadis itu selalu menantikan bintang jatuh, namun tak kunjung datang. Padahal, ia ingin sekali mengucap permohonan padanya.

 

Kalau nanti kamu tidak berhasil, kami akan kirim kamu ke tempat yang lebih jauh lagi.

 

Tubuh gadis itu bergetar hebat ketika suara ancaman dari mulut kedua orang tuanya beberapa waktu lalu melintas di kepalanya. Dalam hitungan waktu angin, paru-parunya terasa mengempis, dadanya terasa dihimpit oleh truk besar yang kuat. Di tengah sesenggukannya itu, sesak napas mulai menyerangnya. Pening yang hebat pun mulai melanda. Ia selalu merasa seolah ia tengah berada dalam ruangan minim oksigen setiap kali ia menghadapi situasi seperti sekarang.

 

Jangan jatuh, kalo jatuh nanti ke tempat yang lebih jauh.

 

Dengan segala kemampuannya yang terbatas, gadis itu mengangkat kepalanya cepat. Ditariknya oksigen yang berkeliaran bebas di sekitarnya dengan paksa. Buliran bening yang terus mengalir pada wajahnya itu membuat matanya terlihat sembab kini. Cahayanya bening nan polosnya bahkan berganti, menyerupai rawa yang begitu gelap dan dalam. Seragam putihnya yang bersih pun sudah basah pada bagian dada dan lengannya. Kalau begitu ceritanya, maka hari perdananya di kampus baru nanti sangat dipastikan akan berjalan tak baik. Jangankan menunggu nanti, sekarang pun sudah tak baik-baik saja.

 

Selagi dirinya tengah menetralisir keadaan, nurani terdalamnya kini menaikkan permohonan tertingginya pada Sang Kuasa, bahwa kiranya jika hari ini berjalan buruk, maka ada baiknya jika ia dihilingkankan saja dari peradaban bumi nanti.

__

 

Jakarta University

 

6:50 WIB

 

Seperti lingkungan kampus pada umumnya saat masa ospek datang, kini kampus yang terletak di tengah Kota Jakarta itu tampak sangat ramai dengan wajah-wajah baru yang tengah saling mengobrol, mencari kenalan untuk diajak bermain selama masa yang katanya masa sial berlangsung nanti.

 

Para wajah baru itu memakai seragam-seragam SMA yang berbeda-beda, dengan name tag yang menggantung di leher masing-masing dari mereka. Sungguh saja, mereka semua masih sangat kental aura anak sekolahnya, hingga para senior yang akan bertugas sebagai panitia pun sesekali cekikikan gemas dengan penampakan para calon mahasiswa baru yang bertebaran di halaman sekitaran kampus.

 

Dari mereka semua, ada yang memakai ransel pink putihnya dengan gantungan boneka pada resleting depannya. Kemudian ada pula yang membawa botol minum ungu besarnya berukuran kira-kira 1,5 liter di tangannya. Mereka sungguh terlihat menggemaskan, terutama bagi para senior yang sudah hampir menginjakkan kaki pada tahun terakhir masa perkuliahannya.

 

“Ada cewek yang dikuncir dua rambutnya, cute banget, gimana, dong?! Ih, pengen gue angkat jadi adek, deh!” seru seorang wanita dengan senyumnya yang merekah lebar. Ia tampak sangat bersemangat dengan jaket almamater hitamnya dan rambut abu-abunya yang digerai bebas. Wanita itu bernama Lisa, salah satu panitia ospek yang memegang tugas sebagai seksi keamanan, atau kasarnya sebut saja satpam sementara.

 

“Terus aja jingkrak-jingkrak, lo bukannya jaga biar kondisi aman, nanti malah nabrak camabanya,” tanggap rekan panitianya sembari terkekeh kecil. Kali ini seorang lelaki, namanya Galih. Laki-laki itu memiliki tampang yang sangat manis. Ia merupakan ras Jawa dengan kulit sawo matangnya. Jika tertawa, matanya menyipit. Kepribadiannya pun merupakan kepribadian yang begitu mudah beradaptasi, hingga orang-orang cenderung nyaman berada di sekitarnya, tanpa khawatir kecanggungan akan melanda.

 

Oh, omong-omong, Lisa dan Galih saat ini sudah mengijakkan kaki pada semester 5. Hitungannya sudah cukup senior, karena tinggal satu semester lagi, keduanya sudah akan disibukkan dengan tugas skripsi.

 

“Kak Lisa, Bang Galih, ayo ke gerbang depan. 10 menit lagi jam 7, yang telat gak boleh masuk.” Kini seorang lelaki lain datang dengan larian kecilnya. Lelaki itu memiliki kaki yang jenjang. Kulitnya tampak putih bersih. Rambutnya hitam lebat, poninya membelah samping, menyentuh ekor matanya. Lelaki itu juga mengenakan jaket almamater hitamnya.

 

“Widih, semangat banget lo,” canda Galih sembari tertawa ringan. Si lelaki berkulit putih itu pun ikut tertawa. Matanya kelihatan menyipit jika tengah tertawa. Yah, ia ras Tionghoa.

 

“Yoi, dong! Demi SKP, nih, bang!” candanya balik. Hal itu sontak mengundang tawa dari sosok Lisa yang sedari tadi hanya diam seraya tersenyum memperhatikan. Wanita yang lebih tua dari si lelaki itu tertawa tanpa suara.

 

“Mantap, tingkatkan semangatmu! Mari kita junjung tinggi ikut kegiatan demi SKP!” – Galih

 

“Siap, bang! Biar cepet lulus!” Tawa kini terdengar riuh, pasalnya Galih dan si lelaki bertingkah seolah keduanya merupakan anggota pasukan khusus milik negara. Keduanya saling memberi hormat dengan wajah yang terkesan tegas. Setidaknya bagi ketiganya, yaitu Lisa, Galih dan si lelaki sendiri, itu sudah cukup menggelikan untuk ditertawakan.

 

“Udah, ayo ke gerbang depan. Ini waktunya makin tipis!” tegur Lisa sesaat setelah tawa tanpa suaranya mereda. Mendengarnya, Galih dan si lelaki pun mengangguk setuju. Tak lama setelahnya, ketiganya berjalan beriringan menuju ke gerbang depan, akses dimana para calon mahasiswa dan mahasiswi baru masuk ke dalam lingkungan kampus.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

  • Berbagi Luka   Cerita dengan Leon

    Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,

  • Berbagi Luka   Leon dan Ceritanya

    12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon

  • Berbagi Luka   Tidak Terduga

    Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status