Share

Permulaan

Jakarta, 31 Juli 2021

06:00 WIB

 

Suasana kota Jakarta tengah tak begitu ramai. Kota itu berbeda dengan kondisinya yang dulu, yaitu padat dan penuh dengan polusi. Kini, rasanya sangat bersih dan maju. Jika dilihat dalam sekali pandang, maka pesona kota modern yang ditimbulkannya pasti mampu menarik hati banyak orang.

 

Berbeda dengan suasana menyejukkan yang Jakarta timbulkan. Seorang gadis berparas manis dengan tubuhnya yang gemetaran tengah menangis begitu tersedu di pojok kasur queen sized-nya. Seragam SMA yang ia kenakan tertutup penuh dengan selimut tebal yang menyentuh hingga daerah leher. Matanya menyipit, sembari pandangannya terjatuh ke arah jendela, memperhatikan luasnya cakrawala yang membentang di pagi hari nan sejuk.

 

Hati gadis itu sangat gundah. Sepotong roti yang sudah dirinya olesi selai pun menganggur hingga entah akan sampai kapan akan akhirnya ia sentuh untuk dimakan. Kian waktu menipis, kian tangisnya mengucur keluar, makin deras, menyaingi derasnya Grojogan Sewu, dekat tempatnya tinggal dulu.

 

Ia ketakutan. Pikirannya terbang begitu jauh, berkelana, bergabung dan menyamakan diri dengan kecepatan seekor burung garuda, tatkala ia unjuk diri untuk dijadikan lambang negara tempatnya bernaung sekarang. Mengenai resiko akan wujud dirinya saat tampil di tengah umum nanti, gadis itu tak mampu berpikir sampai ke arah sana. Hanya perihal lingkungan sosial yang mengerikanlah yang saat ini tengah menguasai nyalinya.

 

Liburan semester nanti, kamu boleh pulang ke Solo lagi.

 

Gadis itu terus saja mengasihani diri akan fakta dimana ia harus menghadapi lingkungan asing yang baginya super mengerikan hingga jangka waktu yang lama. Beberapa kali ia katakan pada orang tuanya kalau dirinya sangat mustahil bisa beradaptasi nantinya. Tapi percuma, kedua orang tuanya tak mau mendengarkan dirinya. Mereka bilang, semuanya demi kebaikannya. Tidak, tidak ada hal baik yang akan terjadi. Gadis itu tahu dengan jelas. 

 

Di tengah batinnya yang tengah merintih tak terperikan, matanya yang basah mengucap sebuah harapan pada langit pagi yang indah, tentang kiranya cepatlah berganti warna. Ia sungguh tak kuat, bahkan sebelum segalanya dimulai. Ceritanya dalam kota yang baginya terkutuk itu akan membawa sebuah kutukan pula pada kehidupannya nanti, begitulah perkiraannya. Jika saja ia memiliki kekuatan super, ia mungkin akan menghilang sekarang juga. Semuanya terasa terlalu berat untuk dijalani.

 

Jika ada yang bertanya, ada apa dengan gadis yang masih menangis itu, maka jawabannya ia tengah ketakutan luar biasa kini. Seharusnya pukul setengah tujuh nanti ia sudah sampai di lingkungan kampus barunya. Namun, pada kenyataannya ia masih mendekam tak rela di atas kasur apartemennya yang empuk.

 

Ia terus saja menghitung waktu, berharap kalau-kalau perhitungannya mungkin saja salah. Kegiatannya di kampus barunya, yaitu ospek akan dimulai tepat pada pukul tujuh pagi. Kemudian semuanya akan selesai pukul lima sore. Itu berarti selama kira-kira sepuluh jam lamanya, ia harus menghadapi lingkungan asing yang sangat mengerikan dalam bayangannya. Ia tak punya pandangan masa depan tentang bagaimana hancurnya dirinya saat kembali lagi ke apartemennya nanti. Mungkinkah akan terlihat kacau balau dan penuh dengan tangis? Yah, itu kemungkinan terbesar. Bukan hanya mungkin, tapi pasti.

 

“Hiks…” Gadis itu terus sesenggukan. Kini, ia menenggelamkan wajahnya pada lutut halusnya yang masih tertutup oleh selimut tebalnya. Ia tidak tahu harus bagaimana dalam menenangkan diri dari pikiran-pikiran negatif yang sesungguhnya sangat ia benci. Ia tak ingin punya pikiran yang sebegitu buruknya, yang bahkan mampu membuatnya tak bisa bergerak. Bagaimana caranya keluar? Gadis itu selalu menantikan bintang jatuh, namun tak kunjung datang. Padahal, ia ingin sekali mengucap permohonan padanya.

 

Kalau nanti kamu tidak berhasil, kami akan kirim kamu ke tempat yang lebih jauh lagi.

 

Tubuh gadis itu bergetar hebat ketika suara ancaman dari mulut kedua orang tuanya beberapa waktu lalu melintas di kepalanya. Dalam hitungan waktu angin, paru-parunya terasa mengempis, dadanya terasa dihimpit oleh truk besar yang kuat. Di tengah sesenggukannya itu, sesak napas mulai menyerangnya. Pening yang hebat pun mulai melanda. Ia selalu merasa seolah ia tengah berada dalam ruangan minim oksigen setiap kali ia menghadapi situasi seperti sekarang.

 

Jangan jatuh, kalo jatuh nanti ke tempat yang lebih jauh.

 

Dengan segala kemampuannya yang terbatas, gadis itu mengangkat kepalanya cepat. Ditariknya oksigen yang berkeliaran bebas di sekitarnya dengan paksa. Buliran bening yang terus mengalir pada wajahnya itu membuat matanya terlihat sembab kini. Cahayanya bening nan polosnya bahkan berganti, menyerupai rawa yang begitu gelap dan dalam. Seragam putihnya yang bersih pun sudah basah pada bagian dada dan lengannya. Kalau begitu ceritanya, maka hari perdananya di kampus baru nanti sangat dipastikan akan berjalan tak baik. Jangankan menunggu nanti, sekarang pun sudah tak baik-baik saja.

 

Selagi dirinya tengah menetralisir keadaan, nurani terdalamnya kini menaikkan permohonan tertingginya pada Sang Kuasa, bahwa kiranya jika hari ini berjalan buruk, maka ada baiknya jika ia dihilingkankan saja dari peradaban bumi nanti.

__

 

Jakarta University

 

6:50 WIB

 

Seperti lingkungan kampus pada umumnya saat masa ospek datang, kini kampus yang terletak di tengah Kota Jakarta itu tampak sangat ramai dengan wajah-wajah baru yang tengah saling mengobrol, mencari kenalan untuk diajak bermain selama masa yang katanya masa sial berlangsung nanti.

 

Para wajah baru itu memakai seragam-seragam SMA yang berbeda-beda, dengan name tag yang menggantung di leher masing-masing dari mereka. Sungguh saja, mereka semua masih sangat kental aura anak sekolahnya, hingga para senior yang akan bertugas sebagai panitia pun sesekali cekikikan gemas dengan penampakan para calon mahasiswa baru yang bertebaran di halaman sekitaran kampus.

 

Dari mereka semua, ada yang memakai ransel pink putihnya dengan gantungan boneka pada resleting depannya. Kemudian ada pula yang membawa botol minum ungu besarnya berukuran kira-kira 1,5 liter di tangannya. Mereka sungguh terlihat menggemaskan, terutama bagi para senior yang sudah hampir menginjakkan kaki pada tahun terakhir masa perkuliahannya.

 

“Ada cewek yang dikuncir dua rambutnya, cute banget, gimana, dong?! Ih, pengen gue angkat jadi adek, deh!” seru seorang wanita dengan senyumnya yang merekah lebar. Ia tampak sangat bersemangat dengan jaket almamater hitamnya dan rambut abu-abunya yang digerai bebas. Wanita itu bernama Lisa, salah satu panitia ospek yang memegang tugas sebagai seksi keamanan, atau kasarnya sebut saja satpam sementara.

 

“Terus aja jingkrak-jingkrak, lo bukannya jaga biar kondisi aman, nanti malah nabrak camabanya,” tanggap rekan panitianya sembari terkekeh kecil. Kali ini seorang lelaki, namanya Galih. Laki-laki itu memiliki tampang yang sangat manis. Ia merupakan ras Jawa dengan kulit sawo matangnya. Jika tertawa, matanya menyipit. Kepribadiannya pun merupakan kepribadian yang begitu mudah beradaptasi, hingga orang-orang cenderung nyaman berada di sekitarnya, tanpa khawatir kecanggungan akan melanda.

 

Oh, omong-omong, Lisa dan Galih saat ini sudah mengijakkan kaki pada semester 5. Hitungannya sudah cukup senior, karena tinggal satu semester lagi, keduanya sudah akan disibukkan dengan tugas skripsi.

 

“Kak Lisa, Bang Galih, ayo ke gerbang depan. 10 menit lagi jam 7, yang telat gak boleh masuk.” Kini seorang lelaki lain datang dengan larian kecilnya. Lelaki itu memiliki kaki yang jenjang. Kulitnya tampak putih bersih. Rambutnya hitam lebat, poninya membelah samping, menyentuh ekor matanya. Lelaki itu juga mengenakan jaket almamater hitamnya.

 

“Widih, semangat banget lo,” canda Galih sembari tertawa ringan. Si lelaki berkulit putih itu pun ikut tertawa. Matanya kelihatan menyipit jika tengah tertawa. Yah, ia ras Tionghoa.

 

“Yoi, dong! Demi SKP, nih, bang!” candanya balik. Hal itu sontak mengundang tawa dari sosok Lisa yang sedari tadi hanya diam seraya tersenyum memperhatikan. Wanita yang lebih tua dari si lelaki itu tertawa tanpa suara.

 

“Mantap, tingkatkan semangatmu! Mari kita junjung tinggi ikut kegiatan demi SKP!” – Galih

 

“Siap, bang! Biar cepet lulus!” Tawa kini terdengar riuh, pasalnya Galih dan si lelaki bertingkah seolah keduanya merupakan anggota pasukan khusus milik negara. Keduanya saling memberi hormat dengan wajah yang terkesan tegas. Setidaknya bagi ketiganya, yaitu Lisa, Galih dan si lelaki sendiri, itu sudah cukup menggelikan untuk ditertawakan.

 

“Udah, ayo ke gerbang depan. Ini waktunya makin tipis!” tegur Lisa sesaat setelah tawa tanpa suaranya mereda. Mendengarnya, Galih dan si lelaki pun mengangguk setuju. Tak lama setelahnya, ketiganya berjalan beriringan menuju ke gerbang depan, akses dimana para calon mahasiswa dan mahasiswi baru masuk ke dalam lingkungan kampus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status