Share

Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri
Berbagi Suami dengan Sahabat Sendiri
Penulis: Elmietaka

Lima Menit Penentu

     

    Papan tulis hitam yang semakin memudar. Dilapisi sisa kapur putih yang bergelut dengan debu. Membuat bangunan tua nan usang, terasa pengap. Napas wanita itu tersendat. Gegas berlari kecil ke arah luar. Tangan kiri menutup hidungnya dengan bantuan ujung jilbab lebar warna kuning keemasan. Sementara tangan lain sibuk menggenggam sapu ijuk yang menyisakan separuh rambutnya. 



   Kedua netra masih terpejam. Usai bersin-bersin akibat butiran debu yang menggelitik dua lubang hidungnya. Sembari menanti ruang sempit itu kembali berudara segar. Rizquna berpindah pada kelas lain. Sebelum senja menghilang dari awang cakrawala. 



   Kertas-kertas bekas membentuk origami pesawat terbang, terlihat berserakan di lantai tanpa keramik. Hanya campuran pasir lembut dan semen yang diratakan di atas tanah. Wanita bergamis hitam itu bergegas menyapunya dengan sukarela. 



   Srek! 



   Meja paling depan bergeser tanpa sepengetahuan Una—panggilannya. Sontak ia menjerit kaget. Sapu terlempar dengan sendirinya ke arah sembarangan. 



   "Astaghfirullah, Pak Fajrul!" 



   Untuk kedua kalinya, Una terjingkat. Kini kedua pipinya makin memerah bak buah ceri yang sudah matang. Malu tak bisa disembunyikan. Di hadapan lelaki yang menjadi rekan perjuangannya selama tiga tahun terakhir. 



   Bukan hanya Una, lelaki itu tak menyangka ada orang di kelas paling ujung. Sontak keduanya membuang pandang. Canggung menguasai suasana sore ini. 



   "Maaf, Bu. Saya tidak tahu kalau Bu Una sedang menyapu di kelas ini. Saya hanya ingin mengambil kamus yang ketinggalan," tutur pria itu sembari mendekap kamus tebal bersampul biru tua. 



   Anggukan pelan memberi jawaban bahwa Una paham dengan perkataan Fajrul. Masih membelakangi pria itu dengan kesepuluh jari tangan saling memaut rapat. Peluh kecil menampakkan wujud di kening Una dengan sendirinya. Dilanda rasa grogi yang tak kunjung pergi dari sana. 



   Pria berpeci hitam memutar badan. Segera enyah dari ruang serba guna bagi penduduk desa. Namun, saat ia mulai melangkah keluar, seorang pria dengan tongkat kayu yang mulus, tengah berdiri di ambang pintu dengan kondisi membungkuk. 



   Tatapan tak suka, tepat mengenai kedua manik mata Fajrul. Suasana canggung disulap menjadi tegang dalam sekejap. Tanpa basa-basi, pria muda dengan balutan koko warna abu muda mengulurkan tangan untuk berjabat. 



   Sekian detik berlalu tanpa suara. Pria renta itu tak menerima uluran tangan Fajrul. Beliau masih diam dengan tatapan yang sama. 



   Pria muda menurunkan tangannya kembali. Sedikit rasa kecewa karena tak biasanya kakek itu bertindak demikian. 



    "Kakek tak habis pikir dengan kalian berdua. Jadi ini perbuatan tercela yang kalian sembunyikan selama ini. Berduaan di dalam kelas setelah semua murid pulang. Apa kalian sudah tak mengerti batasan!?" 



   Nada tegas penuh tekanan itu berhasil menggetarkan batin Una. Ia mendongak ke arah sang kakek dengan raut bingung. Sementara dirinya tak melakukan apapun kecuali membersihkan sampah di dalam ruangan itu. 



   Mempercepat langkah saat menghampiri kakek. Dengan hati-hati wanita itu meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. Panjang lebar Una membeberkan kebenaran, namun pria renta itu tetap tak percaya. 



   "Fajrul ikut ke rumah, kita selesaikan masalah ini secepatnya!" titah kakek tua yang tak lain adalah bapak kandung dari mendiang ayah Rizquna Salsabila. 



   Alang-alang menari dengan lunglai. Terkibas angin senja yang menyejukkan. Menjadi saksi bisu atas perjalanan empat manusia menuju gubuk yang selama ini disinggahi kakek dan Una. Tak terlalu jauh, namun terasa lelah jika ditempuh dengan jalan kaki. 



   Dua sepeda motor membuntuti sepeda butut warna merah pudar. Una memimpin di depan. Diikuti motor Fajrul juga satu motor tetangga kakek yang setia mengantar pria renta ke manapun yang beliau kehendaki  



   Pikiran Una berjelajah tanpa arah. Ia harus berasalan apalagi agar kakeknya percaya. Sungguh nasib malang memihak gadis yang terus mengayuh sepeda di bawah kendali kegundahan berlebih. 



   Istana sederhana yang setia meneduhkan hari-hari Una, telah terlihat dengan sempurna. Bangunan dengan dua kamar tidur, ruang tamu, juga dapur super mini yang dimanfaatkan sebisa mungkin. Tak membuat gadis cantik itu berkecil hati atas kehidupan yang tak semulus orang lain. 



   Berhenti sejenak sebelum kaki kanannya melangkah masuk lewat pintu depan. Mengatur napas lalu membuangnya secara perlahan. Hanya kata pasrah yang bisa diandalkan saat ini. 



   "Panggil Pak RT!" titah kakek pada pria yang baru saja mematikan mesin motornya. 



   Netra Fajrul tak bisa berbohong. Terus saja membola setiap kali mendengar kalimat-kalimat kakek yang salah menafsirkan keadaan. Langkah tanpa kebebasan memberontak, membawanya masuk dalam rumah yang akan menjadi saksi takdir untuknya hari ini. 



   Kedatangan Pak RT membuat suasana terasa hangat. Bak di dalam ruang sidang lengkap dengan palu yang siap diketuk. 



   "Tak perlu basa-basi lagi, kita akan melangsungkan akad nikah secara agama hari ini juga!" tutur kakek dengan kemantapan hati. 



   Pria yang kini duduk berseberangan dengan kakek itu, sontak mendongak kaget. Dugaannya meleset jauh. Ia mengira akan diusir dari kampung yang telah ditumpanginya selama tiga tahun. 



   Tek! 



   Tek! 



   Tek! 



   Gelas-gelas berisi teh manis buatan Una, tak mau berdiam diri di atas nampan. Gemetar hebat pada tubuh gadis itu, membuat gelas-gelas menari kikuk. Hingga menimbulkan suara yang berhasil membuat semua kepala menoleh ke arahnya. 



   "Akad? Maksud Kakek apa?!" sambarnya, setelah menyuguhkan teh manis yang masih berkepul asap. 



   Tak mau membuang waktu. Sang kakek enggan merespon cucu kesayangannya tersebut. Malah sibuk menatap wajah Fajrul yang sangat merah. 



   "Mohon maaf jika saya lancang, Kek. Tapi  apakah semua ini bisa dikatakan sebuah pemaksaan? Sedangkan dalam aturan agama dan negara, tidak boleh ada paksaan di antara dua belah pihak," sergah Fajrul mencoba meloloskan diri. 



   Dua manusia tengah beradu pandang dalam suasana yang menegangkan. Sementara Una meratap di sudut ruang tamu. Ia tak habis pikir dengan keputusan sang kakek yang dianggap berlebihan. 



   "Una, duduklah di samping calon suamimu!" 



   Deg! Calon suami? Telinga Una terasa digelitik mendengarnya. Diikuti getaran batin yang mengiris perasaannya. Tanpa sepatah kata, Una tunduk dengan perintah sang kakek. 



   Sepasang calon pengantin kini duduk dengan jarak satu meter saja. Tanpa saling pandang atau melirik sekalipun. Dua kepala makin tertunduk dalam. Bak seorang murid yang tengah menghadap guru BK untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. 



   "Kakek beri waktu lima menit. Silakan kalian saling menatap, tanpa percakapan sedikitpun. Tatap dengan saksama. Kerahkan hati kalian untuk ikut serta dalam waktu lima menit ini!" tegas kakek, sekali lagi. 



   Ketiga lelaki beranjak dari duduknya. Meninggalkan sepasang calon mempelai dalam ruang tamu yang semakin panas. Bak terjebak dalam suasana, Una ingin sekali mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, satu menit pertama telah berjalan tanpa rasa. 



   Dentuman jarum jam terus terdengar. Memasuki menit kedua yang menggerakkan hati tanpa mereka sadari. Beralih dari manik mata satu ke manik yang lain. Hingga melempar pikiran mereka pada kenangan indah yang telah terukir selama mereka mengabdi untuk agama. 



   "Sudah cukup! Lima menit telah berlalu. Sekali lagi, apakah masih ada keterpaksaan di hati kalian?" 



   Dua pasang mata dengan segera mengalihkan wajah mereka. Kembali menghadap sang kakek dan dua lelaki yang duduk di sebelah kanan kirinya. 



   Sedetik kemudian, Fajrul menoleh ke arah Una. Sebelum ia menjawab pertanyaan kakek yang harus segera mendapat kepastian. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status