Share

Mendadak Akad

     

   Bukan saat yang tepat untuk berpikir lama. Sementara harus ada kemantapan hati yang segera diutarakan. Dengan suara bariton yang tegas, pria itu telah menentukan sebuah keputusan besar. 



   Menatap wajah-wajah yang menunggu jawabannya, secara bergantian. Hingga tatapan Fajrul berhenti pada pria tua dengan kumis juga jenggot tipis yang memutih. 



   "Baiklah, saya bersedia menikahi Rizquna saat ini juga. Bukan karena paksaan atau desakan dari siapapun." 



   Ujung netra Una memanas seketika. Ada cairan yang memberontak ingin meloloskan diri dari sana. Membuat pandangan semakin buram disertai rasa perih. Setetes air asin telah meluncur bebas mengenai kedua pipi Una yang memerah. Gegas wanita itu mengusapnya. 



   Tak pernah terbesit tentang persoalan asmara. Selama ini, Una belum pernah merasakan jatuh cinta. Kecuali, rasa cintanya pada lelaki yang kini menatapnya dalam. Beban tanggungan akan segera diserahkan pada pria yang sudah siap mengikrarkan akad untuk cucu kesayangannya. 



   "Sebentar, bolehkah saya bicara denganmu, Una?" potong Pak RT di tengah-tengah suasana yang canggung. 



   Beberapa pertanyaan dari Pak RT, menggertak batin Una hingga harus berpikir dua kali. Di satu sisi, usia kakek yang tak lagi muda, bisa saja beliau mulai mengalami pikun ringan. 



   Lima belas menit berlalu, perbincangan Una dengan RT tempat tinggalnya tak membuahkan hasil yang bisa dijadikan kunci penyelesaian masalah. Berkali-kali kakek memanggil Una untuk segera kembali. Hingga beliau naik darah karena tak ada sahutan dari cucunya. 



   "Baiklah, saya siap," lirih Una tanpa menatap siapapun. 



   Senyum simpul dari pria tua yang kerap di panggil Mbah Aab itu, terlihat bahagia. Beliau sendiri yang akan menikahkan cucu kandungnya—Rizquna. 



   Dua mempelai pengantin, dua orang saksi, ditambah wali dari pihak mempelai wanita yang tengah bersiap untuk menyerukan ijab untuk Una. 



   Ada satu hal yang hampir lupa. Mahar yang wajib ditunaikan belum dipertanyakan. Mbah Aab memastikan apa yang akan diberikan oleh calon cucu menantunya dengan lembut. 



   Tampak pria itu kebingungan. Sementara ia memang tak menyiapkan apapun karena pernikahan itu tidak direncanakan. Merogoh saku baju kokonya, hanya ada sebuah bolpoin dengan tinta hitam. Ia tak membawa apapun kecuali seperangkat baju yang dikenakan hari ini. 



   "Berikan apapun, semampunya. Untuk menggugurkan syarat yang harus dipenuhi," tukas Pak RT selaku saksi. 



   Hanya bisa celingukan, karena ia ingat bahwa tak membawa uang sepeserpun hari ini. Walau sebenarnya, mahar tak harus berupa harta benda yang berharga. Namun, Fajrul tak enak hati jika tak memberi apapun untuk seorang wanita cantik nan salehah itu. 



   Peluh mulai menampakkan diri di kening pria itu. Membasahi pangkal songkok hitam yang melingkar di kepala. Sesekali ia merapikan benda yang setia menutup rambut hitam berponi tipis. 



   Jari telunjuk Fajrul tak sengaja menyentuh bagian dalam di tepi songkok yang bersekat. Merasakan benda kasar yang tak asing lagi baginya. Jemarinya mulai menjamah lebih dalam, hingga ia berhasil mendapatkan sesuatu dari sana. 



   "Alhamdulillah, masih ada mahar walaupun nilainya tak seberapa. Tak masalah kan, Dek?" 



   Seulas senyum dengan tarikan sembir manis nan mungil dari Fajrul. Mengarah tepat pada indra yang berbinar. Una membalasnya dengan anggukan lembut. Juga senyum malu yang berusaha disembunyikan dari mata yang masih menatapnya dengan awas. 



   Untuk kali pertama dalam tiga tahun terakhir. Panggilan itu berhasil mengguncang kalbu wanita yang biasa dipanggil "Bu Una". Bak digelitik hingga menghasilkan getaran cinta di balik dada. Una tak bisa menahan salah tingkah di tempat duduknya saat ini. 



   "Ehem, bisa kita mulai?!" sambar Mbah Aab membuyarkan suasana romantis yang tengah berlangsung. 



   Terlihat kedua mempelai gelagapan, grogi. Keduanya berdeham secara bergantian. Entah mengapa, tenggorokan terasa kering. Tak ada pilihan, selain menelan saliva untuk membasahi kerongkongan masing-masing. 



   Embusan angin mengiringi suasana yang berhasil disulap menjadi sakral. Waktu dimana tak ada yang bersuara. Degup jantung mereka bak akan perpacu dalam lapangan tanding. Bersiap di belakang garis start. Dan Fajrul adalah pemain paling bersitegang karena menjadi pemeran utama. 



   Kakek membukanya dengan pendahuluan formal. Juga tak lupa menyerukan kalimah syahadat dalam tiga putaran. Tak terlewat hadiah Al-Fatihah dilambungkan pada Rasul sang pembawa ajaran kemuliaan. Sebagai wujud ketakziman sebagai umat pengharap syafaatnya. Sebelum melangsungkan salah satu sunah dari baginda. 



     "Qobiltu nikâhahâ watazwîjahâ bil mahril madzkûr." 



   Dengan lantang nan tegas, Fajrul berhasil mengikrarkan kabulnya dalam satu napas. Ditambah hentakan kata "sah" dari kedua saksi. Membuat buliran bening jatuh mengenai kedua pipi Rizquna yang merah jambu. 



   Suasana haru nan bahagia tanpa rencana. Diluar bayangan yang selama ini tak pernah diimpikan. Hidup wanita yang kini telah resmi menjadi istri Fajrul secara agama. Bukan tanpa alasan, karena situasi mendesak juga permintaan Una untuk merahasiakan pernikahan ini. 



   Masih ada kakak kandung perempuan Una yang tengah merantau di negeri orang. Mengabdikan diri sebagai relawan pendidikan tanpa bayaran. Sementara Una harus menjaga sang kakek di sebuah kampung yang mayoritas penduduknya menganut ajaran yang berbeda. 



   Itulah yang menggerakkan hati Fajrul, untuk mendirikan sebuah madrasah sederhana dari bekas pabrik gula merah yang telah lama terbengkalai. Ditemani Una dan dua orang yang sudi membagikan ilmu agama secara cuma-cuma. 

   

   

   Di sanalah kedua insan dipertemukan. Kini keduanya saling berjabat untuk pertama kalinya. Masih dengan pipi basah, Una menundukkan kepala di hadapan suaminya. Berakhir dengan tiupan lembut dari Fajrul setelah membacakan doa tepat di atas kepala istrinya. 



   Getaran hebat dirasakan Una. Saat kulit mulusnya bersentuhan langsung  dengan lelaki lain selain Mbah Aab sebagai mahram. Dengan ragu, perlahan tangan kanan pria itu menghampiri pipi sang istri. Mengusap cairan asin yang belum kering. 



   "Alhamdulillah, akhirnya kalian telah sah menjadi pasangan suami istri. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, aamiin," harap Pak RT tampak bahagia  



   Tak lupa bersalaman dengan Fajrul selaku pengantin baru. "Em, walaupun pernikahan masih siri, tapi alangkah baiknya jika masyarakat di sini tahu tentang hubungan kalian. Supaya tak ada fitnah di kemudian hari," imbuhnya, penuh wibawa. 

   Pendapat Pak Rt menggetarkan hati Una. Ia belum siap jika suatu saat status pernikahan tersebar. Bukan kebahagiaan yang dirasa. Namun rasa was-was atas nasibnya ke depan. 

   Bukan sekadar permainan singkat, menikah adalah untuk selamanya. Sampai maut memisahkan atau ada hal lain yang memang bisa mengakhiri hubungan mereka. Mustahil memang, pernikahan karena masalah yang tak begitu parah. 

   Sayangnya, Una gagal meluluhkan hati sang kakek dengan berbagai alasan. Sampai detik ini, yang ia rasakan masih sama. Layaknya gadis yang hidupnya masih ditanggung oleh kakek kandungnya. Bukan lelaki lain yang disebut suami untuknya. 

   "Maaf jika kakek bertindak ceroboh. Keinginan kakek untuk segera menikahkan kamu sudah terwujud, Nduk. Kakek takut, jika besok atau bahkan setelah ini, malaikat maut menghampiri. Usia kakek sudah tua, tak bisa menunda-nunda niat yang sudah ada sejak lama," papar pria tua dengan tatapan sayu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status