Home / Rumah Tangga / Berbagi Suami / 4. Pernikahan Penuh Duka

Share

4. Pernikahan Penuh Duka

Author: Rahmani Rima
last update Last Updated: 2024-11-07 21:47:54

Tania tak berhenti menangis di kamar. Sedari ijab kabul, ia tak menemui siapapun diluar. Ia bahkan belum bertemu suaminya sendiri.

Adrian Kiehl, pria beristri yang Tania kenal karena sering bertemu dalam pertemuan bisnis papa, sudah meminta waktu sebelum akad untuk bertemu dengannya.

Tapi ia menolak mentah-mentah. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajah pada suaminya yang adalah suami orang.

Pintu terbuka, mama berjalan resah mendekati ranjang, “Tan, papa minta kamu keluar.”

“Ma,” Tania menggeleng, air matanya terus berderai, “Aku gak mau.”

“Tan, banyak orang yang menanyakan kamu. Papa juga marah karena kamu tidak mau menemui tamu.”

“Mama bilang ‘kan sama orang-orang kalau aku—sakit?”

“Iya, tapi kamu tahu papamu seperti apa ‘kan?”

Tania membuang mukanya. Ia jelas tahu sifat papa seperti apa. Mau dilawan bagaimana pun, papa akan tetap menguasai siapapun.

“Kita sebentar saja disana. Nanti kamu bisa kembali kesini.”

Tania terpaksa bangkit. Ia menuntun mama yang memiliki perasaan yang sama : malu. Mereka terus menarik nafas begitu menuruni tangga.

Karena di adakan mendadak, pesta pernikahan di gelar ala kadarnya di rumah. Papa hanya ingin anaknya menikah segera sebelum perutnya membesar.

Dibawah tangga, ternyata sudah banyak yang menunggu turunnya Tania, si pengantin yang memakai dress brukat sederhana. Ada Adrian juga, bersama istrinya yang selalu setia tersenyum, Wini.

“Tania, kamu sudah gak terlalu pusing?” Wini bertanya dengan lembut. Tania memang sering mendengar mengenai perempuan yang kini menjadi madunya itu adalah seorang yang ramah.

“Lumayan.” Tania menjawab singkat. Matanya yang sembab berpindah melirik Adrian yang tersenyum menyambutnya.

“Kalau kamu masih pusing, kamu bisa duduk.” Adrian tak kalah ramah padanya.

Tania tak bisa lama-lama berdiri berhadapan dengan mereka. Ia harus mendekati papa yang sedang berbincang bersama kolega bisnisnya.

Papa tertawa seolah pernikahan ini terjadi sewajarnya, bukan pernikahan penuh duka seperti yang anak bungsunya rasakan.

“Nah ini mantennya baru turun.”

“Halo, om-tante, terima kasih ya, sudah menyempatkan datang.”

Perempuan usia mama itu mengusap lengan Tania, “Harus dong, tante datang. Ini ‘kan pernikahan yang kami tunggu-tunggu. Tapi sayang, kamu—malah menikah sama pria beristri.”

Senyum yang sedari tadi dipaksakan, kini luntur dengan cepat, berubah dengan raut penuh amarah yang harus ditahan entah sampai kapan. Tania dan mama sama-sama tidak nyaman ada di situasi ini.

“Tidak masalah mau jadi istri ke berapa pun, mungkin sudah jodohnya seperti ini. Yang penting Tania dan Adrian bisa bahagia.” Papa membela diri, melindungi anaknya yang sudah kehilangan minat sama sekali untuk berbasa-basi pada tamu.

“Om, tante, saya permisi.” Tania berjalan cepat meninggalkan mama yang terpaksa harus tetap tinggal disamping papa.

Tanpa menghiraukan sapaan keluarga lainnya, Tania menaiki tangga menahan tangis. Apalagi ia mendengar dengan jelas hinaan dan kalimat simpati palsu yang dilontarkan para tamu.

“Cantik, sukses, tapi sayang, suaminya harus ambil punya orang.”

“Gak nyangka ya, padahal dia dikenal baik, tapi tega menikahi suami orang.”

“Hidup memang tidak ada yang tahu. Anak dari keluarga terpandang saja rela jadi madu. Kalau kita sih, mending jadi orang biasa, tapi punya harga diri dengan menikahi pria single.”

Tania berang. Ia kembali menuruni tangga, berniat menghadapi mulut para tamu yang sebagian besar adalah keluarga dari pihak papa. Adrian menahannya.

“Aku pikir kamu masih terlalu pusing untuk ikut bergabung. Aku antarkan ke kamar.”

“Jangan halangi aku.” mata Tania menatap penuh intimidasi ke arah Adrian.

“Kamu mau semakin dicaci? Mereka senang kalau kamu tersulut emosi. Tinggalkan, dan kamu tidak perlu mendengar ucapan mereka lagi.”

Tania tak bereaksi. Benar juga ucapan Adrian.

“Aku antarkan ke kamar.” Adrian menuntun lengan istrinya menaiki tangga.

Di ujung tangga atas, Tania melepaskan lengan Adrian, “Kamu puas melihat umpatan semua orang padaku?”

“Aku tidak bilang begitu. Apa untungnya untukku senang melihat kamu direndahkan?”

“Kalau kamu menolak menikahiku, aku tidak akan jadi bahan gunjingan orang-orang!” suara Tania meninggi, mengalahkan alunan instrumen musik yang diputar dibawah.

Adrian melipat kedua tangannya. Meski begitu wajahnya tidak terlihat ingin mengintimidasi sama sekali. Ekspresinya malah menunjukkan kalau ia siap mendengarkan semua keluh kesah Tania.

“Tania, kamu dengar, kita menjalin simbiosis mutualisme disini. Kita sama-sama di untungkan.”

“Aku tahu, tapi hanya aku disini yang di hina. Sedangkan nama baik kamu tetap terjaga.”

“Jadi kamu mau namaku juga jelek karena memiliki dua istri?”

Tania melengos pergi. Tidak ada gunanya beradu argumen dengan pria yang tidak tahu sifatnya seperti apa. Kini, baru lima menit bersama, ia bisa menilai bahwa Adrian Kiehl bukanlah pria sembarangan.

Selain memiliki paras yang rupawan, ia juga memiliki otak yang brilian. Tidak heran, perusahaan semakin pesat berada dalam kendalinya.

Tania akui, berargumen dengan Adrian membuatnya kalah telak. Apalagi emosinya terjaga dengan baik. Tutur katanya berirama, seolah sudah diatur sedemikian rupa.

“Tania.” Adrian menarik lengan Tania.

Tania membalikkan badannya, “Apa lagi? Tadi kamu minta aku istirahat, tapi sekarang malah menggangguku seperti ini.”

“Aku hanya ingin mengingatkan, sore ini kamu harus ikut ke rumahku.”

“Untuk apa?”

Adrian melepaskan genggaman tangannya dilengan Tania, “Itu lah pentingnya kamu menyaksikan ijab qabul pernikahan sendiri. Kamu lupa sekarang kita sudah sah menjadi suami istri?”

Tania diam untuk mencerna ucapan Adrian. Ia tentu tahu ini adalah hari pernikahannya dengan pria beristri. Tapi ia lupa jika statusnya sudah berubah menjadi istri Adrian. Istri keduanya.

“Aku ingat.”

“Oh, begitukah? Terus kenapa kamu bertanya untuk apa kamu ikut ke rumahku?”

Tania gelagapan. Ia tidak tahu apakah Adrian bisa ia ajak bercanda atau tidak, “Aku... sepertinya kurang minum.”

“Kalau begitu, minum yang cukup. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada anakku.”

Kedua mata Tania membelalak, “A-nak?”

“Terhitung hari ini kamu jadi istriku. Dan aku harap kamu tidak lupa, bahwa kesepakatan kita menikah adalah anakmu akan menjadi anakku, pewaris perusahaan keluarga Kiehl.”

“Oh. Tentu, aku ingat itu. Aku hanya—”

“Minumlah yang banyak, aku ambilkan.” Adrian bergegas mengambil air mineral. Ia kembali ketika membawa satu botol air, “Duduk. Kamu harus dalam keadaan rileks ketika minum, agar anakku tidak mendengar cegukan dari dalam perut.”

Tania tidak tahu itu adalah sebuah guyonan atau apa. Ia menyambar botol minum yang Adrian bawakan dan minum dengan perlahan.

“Aku boleh bertanya?” tanya Adrian ketika Tania masih meneguk air mineral.

“Hm.”

“Kamu bahagia menikah denganku hari ini?”

Tania tersedak. Ia cepat-cepat menurunkan botol minum dan menenangkan dirinya.

“Kamu tidak papa?”

Tania mengangguk.

Ia melirik wajah Adrian yang duduk disampingnya. Jika ia menjawab pertanyaan Adrian dengan jujur, bahwa hari ini adalah salah satu hari terburuk yang pernah ia jalani, apakah Adrian akan marah dan menyebutnya perempuan tidak tahu diri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berbagi Suami   105. Derita Istri Kedua

    Tania menyiapkan makan malam saat Adrian sibuk bermain dengan Noah dan Seraphina di ruang keluarga. “Non, bagaimana kondisi non Wini?” tanya mbok Sayem sambil menata meja. “Dokter bilang ada perkembangan baik. Kita doakan saja, mbok.” “Tentu, non. Mbok selalu mendoakan yang terbaik untuk non Wini.” “Meja siap, saya panggil mas Adrian dan anak-anak dulu.” “Iya, non.” Tania melenggang mendekati ruang keluarga. Noah sedang menghujami Adrian dengan banyak pertanyaan. Ia tertawa mendengar setiap pertanyaan polos anak sulungnya, membuat Adrian harus putar otak untuk menjawabnya. “..pa, kalo mama Wini bangun terus karena tidur terlalu lama, perasaannya jadi tidak bagus, bagaimana?” “Bagaimana mungkin sebuah perasaan berubah begitu saja hanya karena terlalu lama tidur?” “Aku lihat di tivi begitu. Ketika orang tidur terlalu lama perasaannya jadi buruk. Aku hanya takut mama Wini tidak suka aku dan adik Sera.” “Maksudmu?” “Aku memiliki dua ibu, aku lahir dari rahim mama Tan

  • Berbagi Suami   104. Belum Ada Titik Terang

    Tiga tahun kemudian.... “Mama! Aku mau liat mama Wini ke rumah sakit!” teriak Noah sambil berlari-lari membawa selembar kertas yang sudah ia gambar. “Iya, tapi adek harus mandi dulu.” tutur Tania sambil membuka baju Seraphina, adik Noah. “Memang adek boleh ikut?” “Nggak, adek di rumah sama nenek. Tapi adek harus mandi dulu. Kakak Noah tunggu di depan ya, sama pak Udin.” “Oke.” Noah berlari ke depan, memamerkan gambarnya berisi dua mama, satu ayah, dirinya dan Seraphina. “Sayang...” “Aku di kamar bawah, mas!” Adrian menghampiri Tania. Ia mengecup pucuk kepala istrinya dari belakang, “Noah mana?” “Dia di depan. Dia begitu tidak sabar bertemu Wini.” Adrian tertawa. “Dia begitu tidak sabaran mirip kamu.” “Apa yang kamu katakan? Bukankah itu kamu?” Tania mendelik kesal, “Kalau kita tidak sabaran, Seraphina tidak akan ada di dunia ini.” “Mau aku tolong mandikan Sera?” “Tidak. Kamu temani Noah saja. Dia membawa oleh-oleh untuk Wini.” “Baiklah. Aku tunggu di de

  • Berbagi Suami   103. Hidup yang Berubah

    Sudah satu minggu semua masih sama. Wini masih di ICU setelah dilakukan operasi untuk mengeluarkan pendarahan dalam jaringan otaknya. Ia terus berada di kesadaran koma, membuat Adrian dan Tania kehilangan minat hidup seperti semestinya. Mereka sama-sama tidak bicara dengan siapapun. Baik Adrian maupun Tania, merasa apa yang menimpa Wini belum bisa mereka terima. “Tania, Adrian, lebih baik kalian pulang. Mama yakin Wini akan segera bangun.” “Betul. Kita tidak pernah putus mendoakannya disini. Pulanglah, demi Noah.” Adrian melirik mama dan papa. Mereka terus menemaninya dan Tania di rumah sakit. Sedang ayah dan ibu belum bisa datang karena masih harus menyelesaikan urusan mereka di luar negeri. “Mama tahu kalian terpukul. Tapi Wini tidak akan pernah mau kalian begini. Sudah satu minggu kalian tidak pulang. Kasihan Noah.” Adrian menggenggam tangan Tania, “Mama dan papa ada benarnya. Kita pulang. Kita masih memiliki tanggung jawab pada Noah.” “Wini...” “Iya, aku tahu kamu

  • Berbagi Suami   102. Salah Korban

    Tania tidak bisa tidur mengingat ancaman mama Wini. Tadi begitu ia jatuh, ia langsung bangkit dan pergi. Ia menahan rasa nyeri dan takut pada Wini dan Adrian. Ia tidak mau merusak momen. Ceklek. “Kamu belum tidur?” Adrian mendekati ranjang. “Mas? Kenapa kesini? Ini jadwalmu bersama Wini.” Adrian tersenyum, “Kami sudah selesai.” “Lalu?” Tania takut Adrian akan minta jatah saat pikirannya sedang kalut. Adrian mengelus lengan Tania, “Tidak, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin tidur disini, memelukmu sampai pagi.” “Mas, lebih baik kamu tidur bersama Wini. Kamu bisa memeluknya sampai pagi.” “Dia memintaku kesini. Dia kelelahan dan tidak ingin diganggu.” “Hm begitu. Tidurlah disini.” Adrian benar-benar memeluk Tania sampai pagi. Malam ini Noah tidak terbangun untuk minum susu. Ketika di cek popoknya di pagi hari, tidak begitu penuh. Suaminya masih tidur. Tania yang terjaga semalaman enggan membangunkannya. Pintu terbuka. Wini tampak berbeda hari ini. Rambutn

  • Berbagi Suami   101. Ancaman Nyata

    Tania mengumumkan ia dan Adrian tidak jadi bercerai pada semua orang di rumah, juga pada mama-papa. Mereka menyambut berita dengan penuh suka cita. “Bagaimana untuk merayakan ini kita semua makan diluar?” Adrian menawari. “Aku setuju, mas. Aku rasa sedang malas masak. Jadi idemu sangatlah bagus.” “Aku juga setuju. Sepertinya kita perlu menunjukkan pada orang-orang, kalau memiliki dua istri dan berbagi suami tidak selamanya buruk.” Adrian tersenyum. Ia merentangkan kedua tangannya siap dipeluk kedua istrinya. Wini dan Tania memeluk Adrian. “Aku harap hubungan kita terus seperti ini, mas.” Wini menuturkan doanya. “Aku juga. Masalah pasti ada, tapi aku percaya kalau kita pasti selalu bisa melalui semuanya dengan baik.” Tania juga menuturkan doanya. “Pasti. Kita hanya perlu bersabar. Ayo bersiap. Aku tunggu istri-istri cantikku bersama tuan muda, Noah.” Semua tertawa. Wini dan Tania sudah siap. Mereka mengenakan gaun yang sudah dipesan Adrian secara khusus. Semua asi

  • Berbagi Suami   100. Satu Malam dengan Noah

    Tania melirik Adrian, “Mas Adrian bilang, Noah—sakit.” Wini tersenyum, “Noah sehat. Mas Adrian yang sakit.” Tania lagi-lagi melirik Adrian, “Kamu tega membohongiku?” “Aku pikir kamu tidak akan datang, jika aku tidak bilang Noah sakit.” “Kamu tidak perlu bohong!” “Gendonglah Noah. Kamu berikan asi langsung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa jika dia bertanya ketika besar, siapakah yang mengurusnya saat ia masih bayi.” Tania menatap Noah. Ia menerimanya dari Wini, “Jaket ini...” “Noah selalu menangis jika baumu hilang, Tan. Mamamu sering datang kesini membawa baju-baju bekasmu untuk menemani Noah dan—mas Adrian tidur.” Wajah Adrian merah padam. “Jadi sekarang yang merindukanku ada dua orang?” pancing Tania. Wini tertawa, “Aku tinggal, aku akan buatkan kamu masakan yang enak. Berbincanglah dengan mas Adrian.” Tania dan Adrian diam saja setelah Wini pergi. Masing-masing dari mereka tidak tahu harus membicarakan apa. “Kamu tidak perlu memberikanku bodyguard lagi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status