Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari balik kelopak, membasahi pipinya yang kian putih bersih, lalu segera dia hapus menggunakan punggung tangan.“Ya Allah, Sayang. Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Velly seraya mengusap kepala adiknya dengan perasaan prihatin.“Pasien mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara memotong urat nadi di pergelangan tangan. Beruntung nyawa beliau dan juga bayi dalam kandungannya masih bisa diselamatkan,” terang suster sembari memeriksa selang infus.“Terus, bagaimana keadaan adik saya sekarang, Sus?”“Alhamdulillah Bu Imelda sudah melewati masa kritisnya. Insyaallah beliau tidak apa-apa, Bu. Untuk lebih jelasnya biar nanti dokter yang menerangkannya kepada Ibu.”“Terima kasih, Suster.”“Sama-sama, Ibu. Yasudah. Kalau begitu saya permisi dulu mau memeriksa pasien yang lainnya.”“Baik, Sus.”Velly
“Memangnya kriteria calon suami yang kamu impikan itu seperti apa, Vel?” tanya Bahrudin kemudian.“Belum terpikirkan, Pak. Masih ingin fokus mengurus anak-anak. Belum berani juga, karena takut kembali dikecewakan juga dikhianati. Sakit tahu, Pak. Bikin trauma untuk menikah lagi!” Kini mata Velly sudah dipenuhi kabut, dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening meluncur begitu saja melewati pipinya.Bahrudin ingin sekali menghapus air mata itu, juga mengatakan kepada Velly kalau jika ia diberi kesempatan untuk menjadi pendamping hidupnya, akan ia jadikan Velly sebagai ratu di hatinya, juga permata paling berharga yang akan selalu dia jaga.Namun, lagi-lagi kata-kata itu hanya tertahan di bibir. Umurnya yang sudah kepala empat dan hampir mendekati kepala lima membuat pria itu tidak memiliki keberanian mengungkapkan perasaan.Takut ditolak, itu yang selalu dia khawatirkan.“Bapak sendiri, kapan Bapak akan mengakhiri masa duda Bapak? Memangnya nggak kepengen apa punya pendamping hi
Setelah mobil Ramon meninggalkan parkiran rumah sakit, ia bergerak mengikuti mobil tersebut, ingin tahu ada hubungan apakah antara Velly dan rekan bisnisnya itu.Karena tidak sanggup menunggu, sang pemilik hidung mancung akhirnya menghubungi nomer sekretarisnya, berpura-pura mengabari ingin menjemput ingin tahu reaksi Velly.“Maaf, Pak. Saya sudah otewe pulang diantar Pak Ramon. Tadi kebetulan kami bertemu di lobby. Saya pesen taksi juga nggak dapet-dapet. Jadi sekarang beliau yang mengantar saya pulang,” jawab sang sekretaris membuat hati Bahrudin sedikit merasa lega.“Kan sudah saya bilang. Kabari saya kalau sudah mau pulang. Biar nggak usah merepotkan orang lain, Vell!” protes Bahrudin.“Iya, Pak. Sebenarnya saya juga tidak mau terus menerus merepotkan Bapak.”“Tapi saya suka direpotkan dan dilibatkan dalam segala hal yang menyangkut diri kamu. Sekarang tolong bilang sama Pak Ramon suruh dia berhenti di halte. Kamu pindah ke
“Maaf, Pak. Untuk saat ini saya belum siap menikah lagi. Saya masih trauma dan takut gagal. Saya tidak mau menjadi janda untuk yang ke dua kalinya.” Mendadak mata Velly terasa menghangat. Pandangannya mengabur terhalang oleh genangan air mata.“Insyaallah saya akan menjadi suami yang baik juga setia.”“Kalau Bapak memang mencintai saya, tunggulah setidaknya sampai satu tahun saya menjadi janda. Supaya Bapak bisa menimbang-nimbang juga meyakinkan diri Bapak kalau saya ini memang wanita yang pas buat bapak.”“Satu tahun? Itu terlalu lama Vel. Aku tidak mau terus menerus memetik dosa setiap kali menatap wajah kamu juga mengaguminya. Aku ingin segera menghalalkan kamu, supaya kapan pun saya menatap kamu tidak menjadi ladang dosa buat aku.” Kini Bahrudin mulai menggunakan kata aku kamu kepada Velly.“Aku pikir-pikir dulu, Pak.” Pria berhidung mancung itu menghela napas. Kini dia harap-harap cemas, takut Velly menolak dirinya, dan ya
Pulang kerja Velly terlebih dahulu mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Imelda. Tentu saja ditemani oleh Bahrudin yang semakin tidak berani mengizinkan Velly jalan sendiri. Pokoknya ke mana-mana harus diantar, sebab dia takut ada yang mengganggu sang kekasih hati.“Nggak usah dibukain pintu kaya Cinderella juga kali, Mas,” ucap Velly saat Bahrudin membukakan pintu mobil untuknya.“Kamu lebih dari itu, Vel. Cinderella mah lewat!” jawab Bahrudin sembari tersenyum.“Gombal!”Lagi, Bahrudin melekuk senyum menatap wanita yang teramat dicintainya.Mereka kemudian berjalan beriringan masuk ke rumah sakit, menyusuri lorong menuju kamar Imelda dan segera mengetuk pintunya secara perlahan.Bibir Velly melekuk senyum ketika melihat sang adik tengah duduk di atas ranjang sambil menikmati semangkuk bubur yang disediakan oleh perawat.“Mbak Velly, Pak Rudi?” sapa Imelda tanpa berani menatap wajah kakak juga lelaki yang
“Aku tidak boleh menjadi budak cinta. Aku harus melangkah ke depan. Melupakan Mas Bima dan menata hidup yang baru. Demi calon buah hatiku yang teramat berharga,” gumamnya dalam hati. Ia lalu meletakkan kembali gawai miliknya di atas tempat tidur, mengobrol panjang lebar dengan Velly hingga tanpa terasa hari telah menjelma menjadi petang.Velly pun pamit pulang dan berjanji akan datang menjenguk dia di akhir pekan nanti bersama anak-anaknya.Di tempat lain.“Mas, tolong ambilkan sepatu aku dong?” perintah Arzeti sembari menunjuk rak sepatu, sementara tangannya terus saja bergulir di layar ponsel.“Masa ambil sepatu aja kamu nyuruh aku, Yang,” protes Bima tidak terima.“Memangnya kenapa kalau aku nyuruh kamu? Nggak terima?!” bentak Arzeti sambil berkacak pinggang dan menatap kesal ke arah Bima.“Aku ini suami kamu, bukan budak kamu!”“Sudah deh, nggak usah banyak protes. Kalau tidak terima y
“Tapi, Pak? Kenapa uang gaji saya ditransfer ke nomer rekening istri saya?” protes Bima tidak terima.“Bukannya kamu sudah menyetujuinya sebelum kalian menikah, bahkan ketika kamu baru masuk ke perusahaan ini?”“Saya tidak mungkin menyetujui hal sekonyol itu, Pak.”Ramlan membuka laci, mencari-cari map di dalamnya lalu menyodorkannya kepada Bima. Laki-laki mata keranjang itu menelan saliva dengan susah payah membaca surat perjanjian yang sudah ia tanda tangani beberapa bulan yang lalu, ketika ia baru saja masuk dan bergabung di perusahaan milik paman Arzeti. Di situ jelas tertulis kalau dia akan menyerahkan semua gajinya kepada Arzeti yang kebetulan bekerja di perusahaan yang sama namun beda divisi.“Sekarang sebaiknya kamu lanjutkan pekerjaan kamu. Saya sedang sibuk dan tidak mau mengurusi masalah seperti itu!” Ramlan mengibas-ngibaskan tangan, tanda mengusir Bima dari ruangan.Dengan l
“Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu, Arzerti?” Bima mencengkram erat rahang istrinya.“Letoy!!” seru Arzeti sambil tertawa mengejek.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan yang tengah dipengaruhi minuman beralkohol itu. Ini kali pertamanya Bima berbuat kasar kepada Arzeti, sebab ia merasa kalau istri barunya telah menginjak-injak harga dirinya.Imelda memang bar-bar. Tetapi dulu ketika dia masih hidup bersama, istri sirinya itu tidak pernah sekali pun menghina dia, apalagi sampai menjatuhkan harga dirinya seperti itu.Terlebih lagi Velly yang selalu menghormati dia juga memperlakukan ia dengan teramat baik hampir tanpa cela. Hanya saja karena sifat serakah juga tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki Bima akhirnya mengkhianati cinta wanita yang telah memberi dia dua orang jagoan itu.Pun ketika sudah bersama Imelda yang sekarang sedang mengandung benih cintanya. Bima merasa bosan karena semakin hari istr