Hari ini hari terakhir mereka berada di Bandung, Alvin serta keluarganya menyempatkan diri mampir ke rumah serta kantor milik Pandu. Showroom mobil yang besar dan cukup terkenal di kota itu, bisa dikatakan Pandu sukses membangun kerajaan bisnisnya.
"Nggak ada niatan pindah ke Jakarta, Mas Pandu?" tanya Shesa melirik Anggi yang sedang menggendong Naima.
"Kalo niatan belum lah, Anggi juga masih mengajarkan, tapi kalo untuk buka satu showroom di sana mungkin, tapi aku belum ada kepikiran untuk tempatnya, kamu ada ide Vin?"
"Gampang kalo di Jakarta, Mas. Kamu kan sudah jadi salah satu pengusaha muda se Indonesia, tinggal deketin aja pejabat, artis dan para Sultan-Sultan itu, customer pasti akan datang tanpa melihat mau buka showroom dimana."
"Endorse?" tanya Pandu.
"Iya, kasih diskon atau kasih satu mobil yang sedang di gandrungi sekarang ini."
"Satu mobil?" Mata Pandu membulat lalu melemparkan penanya ke arah Alvin. "Lo kata itu mob
Enjoy reading 😘
Alvin dan Shesa masih terdiam di dalam mobil. Kepergian Ririn tadi membuat mereka lama terdiam, seolah satu sama lain enggan untuk membahasnya. "Kamu mau kita bahas ini?" tanya Alvin takut menyinggung perasaan Shesa. "Nggak usah, semua udah jelas. Kesalahpahaman yang harusnya sudah sejak dulu kami selesaikan." Shesa menarik sabuk pengamannya. "Naima sudah nungguin, kita pulang." Shesa tetap memandang lurus ke depan. "Tapi benar kamu nggak marah?" Alvin belum juga menyalakan mesin mobilnya. "Jujur aku kecewa, tapi sudahlah masa lalu tidak usah lagi di bahas, sama halnya jika kamu di hadapkan dengan masa lalu aku yang luar biasa itu." Shesa kali ini tersenyum. "Kita memang harus terus mencoba saling memahami, Sayang. Karena masa lalu kita yang luar biasa ini." "Makasih, Sha. Kehadiran kamu di hidup aku membuat aku hingga seperti sekarang ini, harus banyak sabar, ya kan?" Alvin tersenyum lalu menuntun kepala Shesa bersandar di bahunya. "A
Sore di teras rumah berdesain minimalis, menghadap sebuah taman mungil, Soraya mengupas kulit buah apel untuk sang Ibu. Tatapan mata wanita paruh baya itu masih nampak kosong. Berlalunya waktu tidak dapat membuatnya melupakan apa yang terjadi di masa lalu. "Ma, di makan ya. Kata bibik, Mama makan sedikit sekali. Bukan berarti Aya keluar kota Mama jadi mogok makan," ujar Soraya. Citra hanya menoleh sebentar ke arah Soraya lalu tetap kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gimana Mama mau sehat, kalo Mama sendiri nggak ada kemauan untuk sembuh." Soraya memberikan satu potong apel pada Citra. "Aku ikhlas merawat Mama, tapi tolong kita saling bahu membahu, Ma. Aku juga harus kerja demi hidup aku, Mama, dan perusahaan." Lama terdiam, ekspresi dari wanita tua itu pun tidak ada, hanya matanya saja yang kembali berembun. "Nggak ada yang harus Mama sesali, Mama masih punya aku. Mama jangan pernah merasa bersalah, sekarang aku sudah baha
"Halo, Ya," sapa Shesa di sambungan telepon pagi itu. Shesa baru saja memandikan Naima, bayi kecil itu sudah bisa membolak-balikkan tubuhnya serta berusaha mengangkat tegak kepalanya. "Aku ganggu nggak, Sha?" tanya Soraya di seberang sana. "Nggak, biasalah kalo pagi emang rempong harus ngurus bayi besar dan bayi kecil," kekeh Shesa. Alvin yangbaru saja keluar dari kamar mandi mengernyitkan keningnya. "Kenapa, Ya?" "Ada waktu hari ini ketemu di butik kamu?" "Ada dong. Sebentar, Ya ...." Shesa meletakkan teleponnya lalu memasukkan tangan Naima pada pakaian yang bayi itu kenakan. "Gimana, Ya?" "Iya, pagi ini ketemu di butik. Aku mau minta kamu desain kan aku gaun," ujar Soraya malu-malu. "Gaun? Untuk acara apa? Dinner romantis nih, ya kan?" Shesa terkekeh lalu mencium Naima yang sudah selesai dia dandani, kemudian beralih pada Alvin yang menunggunya mencarikan kemeja untuknya bekerja. "Bukan dinner, tapi—" "Oh, pas
"Siapa?" tanya Soraya lagi. "Kalo marah kamu makin cantik," ujar Windu menggoda. "Nggak usa ngerayu!' "Aku ngga ngerayu, bahkan kamu memang lebih cantik dengan wanita tadi," ucap Windu mengendusi parfum di leher kekasihnya. "Jadi pengen." Tangan Windu sudah berada di bokong Soraya. "Nggak usah macem-macem, aku masih marah." "Kalo marah malah lebih hot," bisik Windu di telinga Soraya, yang membuat tubuh Soraya menegang. "Lepas nggak! Aku mau tau siapa perempuan tadi!" Soraya berusaha melepaskan dirinya dari Windu. "Kalo aku kasih tau, janji jangan marah ya?" Windu semakin menempelkan tubuhnya. "Hhmm." "Cium dulu tapi." "Win!" "Cium dulu," rengek Windu. Mau tidak mau, Soraya pun memberikan kecupan sekilas di bibir calon suaminya yang entah mengapa semakin hari semakin manja dan harus siap di layani. "Udah," ujar Soraya kesal. "Jadi siapa dia?" "Dia itu ... wedding organizer
Soraya memandangi tubuhnya di depan kaca besar di dalam kamar hotel. Tubuh langsing, tinggi dan cantik, siapa yang tidak ingin bersanding dengannya. Hubungannya dengan Windu yang sempat terputus akhirnya membawanya kembali kedalam pelukan lelaki itu. Windu yang selalu ada di saat-saat susahnya, di saat-saat terpuruknya. Windu yang selalu menyemangati hidupnya, Windu yang meredamkan amarah kesalahpahaman yang terjadi selama ini, dan Windu juga yang menguatkan dia dan ibunya. Sebegitu yakinnya Soraya jika Windu adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Ketukan di pintu kamar menyadarkannya untuk bergegas merapikan penampilannya. Shesa masuk ke dalam kamar Soraya, dia tertegun dengan penampilan wanita yang sempat menjadi saingannya itu. "Ya ampun, cantik banget," ujar Shesa terpana. "Siapa yang bikin gaunnya," kekeh Soraya mengulurkan tangannya pada Shesa. "Makasih ya, ini luar biasa." Gaun pengantin dengan potongan tanpa lengan, dengan bagian da
"Kamu mau coba gaya yang gimana?" tanya Windu mendesah di telinga Soraya. Soraya mendekat dengan seluruh tubuh yang tidak terhalang sehelai benangpun. Masih menggunakan heelsnya, Soraya mendorong pelan tubuh suaminya hingga ke sisi tempat tidur. Windu terjatuh pelan ke atas tempat, membuat senyuman kecil kala melihat kelakuan istrinya. Dia memundurkan dirinya tepat ke tengah-tengah, Soraya merangkak erotis menggerakkan tubuhnya meliuk di atas tubuh Windu. "Kamu punya gaya baru?" goda Windu. "Khusus malam ini," ujar Soraya menarik turun boxer suaminya dan membuangnya ke sembarang tempat. Kelakian Windu sudah menegang sejak awal mereka melakukan cumbuan tadi. Tangan Soraya dengan cepatnya meraih milik Windu, Soraya sedikit turun menghadap pada milik Windu, lalu menatap mata Windu. Windu mengangkat sedikit kepalanya, rasa ingin tahu yang besar atas apa yang akan dilakukan Soraya padanya. "Hhmm." Windu mengerang saat So
Usia Naima menginjak enam bulan, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan makanan pendamping ASI. Pagi sekali Shesa sudah sibuk di dapur, dia begitu bersemangat memberikan makanan pendamping pertama untuk Naima. "Mau dibikinin apa?" tanya Wulan yang sudah satu bulan ini tinggal bersama mereka. "Ada hati ayam, telur ayam kampung, wortel, brokoli," jawab Shesa. "Kaldu ayam yang Mama bikin kemarin jangan lupa, Sha." Wulan membalik telur dadar yang di buat untuk tambahan sarapan nasi goreng kegemaran Alvin. "Buburnya kamu saring, kan?" "Iya, Ma. Kalo di blender emang kenapa, Ma?" tanya Shesa. "Ya nggak kenapa-kenapa. Cuma kayaknya nggak sreg aja sih, kalo Mama ya." "Ya udah, nanti Shesa saring aja," ujar Shesa yang mencampur semua bahan menjadi satu. "Bik," panggilnya pada pembantu rumah tangganya. "Tolong di aduk ya, aku mau lihat Nay sama papi nya udah pada bangun belum." Yang di serahkan tanggungjawab pun hanya mengangguk. S
Perut itu semakin membuncit, bukan hal biasa jika mengandung dua janin sekaligus apalagi dengan tubuh mungil seperti tubuh Anggi. Dengan susah payah, wanita yang mengenakan denim jumper dress itu berjalan menuju ruang makan VVIP di sebuah restoran di Bandung. "Kenapa sih nggak di rumah aja?" tanyanya namun dengan mendumel. "Perutnya gede banget," kekeh Shesa yang sedang menyuapi Naima. "Iyalah Kak, kan di kasih makan sama bapaknya," ujar Anggi sebal lalu dia menoleh ke kanan ke kiri. "Mas Pandu mana?" "Dih, mana tau," jawab Alvin mengangkat kedua bahunya. "Suami situ," kekeh Alvin di balas tepukan di bahu oleh Shesa. "Kakaknya situ," balas Shesa. "Iya juga, ya." Alvin lalu tertawa lagi. "Dia belum dateng?" Anggi mendelik, lalu merogoh tasnya mengambil ponsel. "Suami isrti yang aneh," ujar Wulan mengusap bibir Naima yang sudah belepotan dengan biskuitnya. "Ya udah, ini udah di tungguin," ujar Anggi yang ber