Share

Tumbal Agensi

Demian merasakan sesuatu yang kokoh menyentak kepalanya. Disertai dengan bunyi khas yang sudah ia kenal baik selama hidup. Bunyi pelatuk.

"Sial, Harry!" serta-merta ia membelalakkan kedua bola mata ketika sadar pistol milik Harry sudah menempel disisi kepalanya. Membuatnya refleks mengangkat kedua tangannya keatas.

"Kubilang kan pagi ini kau sudah akan ada di neraka." kata Harry santai. Pria itu memiliki tatanan rambut klimis yang anak rambutnya selalu menuruni dahi. Sehingga jika kepalanya tertunduk, Harry harus sibuk meniupi anak rambut sialan itu agar tidak menutupi mata. Seperti sekarang.

"Relax oke? Aku benar-benar terdesak tadi malam!"

"Bisakah kau tidak melibatkanku terus dalam masalahmu? Alex jadi mencecarku semalaman karena kau bilang padanya kalau aku tidak becus menghilangkan bukti!"

Sebenarnya ini bukan yang pertama kali Demian melakukan hal semacam kemarin, tetapi Harry tak juga mengerti wataknya. Lantas ia mengurut pelipis sambil memejamkan matanya sebentar, "kau tidak mau setengah dari bayaranku?"

Harry menggerakkan kepalanya sedikit, memindahkan pandangannya dari dalam aperture pistol untuk menatap Demian lebih jelas, "bajingan, kau tidak bisa mengukur segalanya dengan uang!"

"Jadi kuasumsikan kau tidak tertarik?"

Harry terdiam, tapi lalu menurunkan pistolnya. Sepertinya strategi Demian berhasil lagi sehingga pria itu juga menurunkan tangan dan tersenyum penuh kemenangan.

Oh—tapi—dia menodongkan pistolnya lagi pada Demian.

"Sekali lagi kau memfitnahku didepan Alex, aku tak segan menembakmu kawan!"

Kadar kewaspadaan Demian sudah menurun sepersekian sekon yang lalu sehingga ia merebut pistol dari Harry dan melemparnya keatas ranjang.

"Fine, Mr.President." katanya tak peduli sambil beranjak turun dari ranjang. Sementara Harry yang memutuskan untuk membuat pikirannya lebih segar segera berjalan kearah balkon dan membukanya agar udara pagi bisa masuk.

"Carilah wanita lain." usul Harry seraya menyalakan sebatang rokok. Ia bosan menjadi penyebab Demian mengambinghitamkannya ketika ada masalah. Dan ia juga tahu masalahnya tidak pernah berbeda.

"Apa?!"

"Bos, kau itu sempurna. Melihatmu seperti ini sangat menyakiti hatiku tahu!"

Agaknya penuturan Harry barusan mengundang sedikit amarah sehingga Demian berjalan menghampirinya dan berdiri didepan balkon sambil menopang satu tangannya pada pintu, "kau mau kugorok juga?"

Harry buru-buru menaruh rokok diatas asbak ketika menyadari situasinya berubah,"maaf, maaf. Tapi maksudku, ini sudah satu tahun Demian. Apa kau tidak lelah jadi bayang-bayang terus?"

“Aku hanya belum bosan." Demian nampaknya sedang tak berselera untuk membela diri. Harry praktis terperangah tak percaya. Memang ada beberapa orang yang hobinya aneh dan diluar akal, tapi satu tahun menjadi seorang penggemar fanatik sementara hidupnya dikelilingi wanita?

Mungkin Demian sakit jiwa.

"Mengenai Robert Downey, dia minta kau menelepon secepatnya. Sepertinya dia sangat kesulitan saat ini. Aku sudah mengirimkan kontaknya padamu barusan." Harry memilih untuk tidak meneruskan bahasan lagi sebab kepalanya terlalu pusing untuk mengikuti cara berpikir partner-nya itu.

"Aku akan membantunya Harry," kata Demian meyakinkan pria itu dari dalam kamar mandi yang pintunya terbuka, “kau tidak tahu kalau aku sudah merencanakan semua ini secara matang.”

"Bagaimana kau tahu dia akan menyanggupi harga yang kau tawarkan?"

Demian tidak langsung menjawab. Tentu saja, dia sedang menyikat gigi. Tetapi juga memang tidak berniat memberitahukan yang sebenarnya pada rekan dekatnya itu. Memilih menjawabnya dengan mengetuk dua kali sisi kiri kepalanya sebagai jawaban setelah ia keluar dari kamar mandi.

"Ya,ya, aku tahu kau jenius. Tapi aku tidak bisa membaca telepati." 

"Hari ini aku akan sangat sibuk." 

Sementara Harry sedang membuang puntung rokoknya ketempat sampah saat Demian meninggalkannya kekamar mandi, perhatiannya teralihkan pada sebuah kamera besar yang tergeletak disamping meja nakas. Lalu Harry segera mengambil benda tersebut dan menyalakannya.

"Si bodoh itu harusnya menjadi ketua penguntit se-New York. Ck ck!" Harry mengembalikan kamera pada tempatnya setelah ia memeriksa beberapa hasil jepretan Demian dan mengetuk pintu kamar mandi, "bos, aku pergi! Lain kali ambillah foto yang berkualitas sedikit, tidak ada satupun foto telanjangnya yang kau ambil!"

Harry mendengar suara shower itu berhenti dan kemudian--

"HARRY CANON AKAN KUCABUTI SEMUA BULU HIDUNGMU DENGAN TANG!"

                                                                                                                      **

Sinar matahari pagi yang menyusup kedalam kamar naik semakin tinggi, menerpa kulit wajah halus yang sedari tadi masih berada diatas tempat tidurnya. Seakan memaksanya untuk terjaga.

Lalu kelopak mata itu bergerak-gerak dan membuka perlahan. Dan--

"Argh!"

Sebuah kotak kado merah tersodor didepan Anna.

"Selamat pagi Anna Stevenfield yang kecantikannya menyaingi Marylin Monroe." Tom muncul dari balik kado berukuran cukup besar itu. Anna terduduk diranjang dan Tom meletakkan kado tersebut diatas pangkuannya.

"Jam berapa ini? Sejak kapan kau disini, Tom?"

"Aku baru saja datang dan, yeah.. Seperti biasa, petugas kemanan dibawah memberimu titipan kado lagi," Tom ikut duduk disamping ranjang, “bukalah. Aku penasaran."

Sebagai persiapan kecil, Anna merapikan rambutnya yang berantakan dan membenarkan posisi duduk sebelum menarik napas panjang. Hatinya mendadak berdebar sangat kencang.

"Kenapa kau yang penasaran? Harusnya kan aku. Bagaimana kalau ini tikus mati seperti waktu itu?"

Tom mengerutkan dahinya, "tapi tikus mati itu bukan dibungkus kotak kado warna merah. Kau tahu kan kalau kotak kado warna merah itu dari siapa?"

Mr. DC. Atau sebutan yang Tom berikan untuk orang itu, si kakek gila penunggu neraka.

"Nah, sekarang bukalah!" seolah mendengar kata hati Anna--Tom memfokuskan pandangannya pada kado itu lagi--tidak sabar melihat kejutan apalagi yang akan mereka dapatkan.

Lalu ketika Anna membuka kotak itu, semerbak bunga mawar menyeruak dari dalamnya.

"Apa isinya?”

Anna mengintip pelan-pelan, “sebuah surat lagi? Dengan hm.. bunga mawar?"

"Apa suratnya bertintakan darah lagi?"

"Iya." Anna bergidik. Ya Tuhan. Pria romantis mana yang memberikan setangkai mawar merah dengan tulisan tangan dari darah manusia?

"Berikan padaku suratnya!" Tom merebut surat itu darinya dan membacanya perlahan-lahan. Sementara Anna terdiam sembari mengambil bunga mawar itu dari dalam kotak. Kakek gila itu tak pernah mengiriminya bunga. Ia akan mengirimi surat bertintakan darah, arak ular kobra, peluru, tapi ia tak pernah mengirim bunga sama sekali.

"Anna.." suara Tom terdengar agak bergetar, "dia bilang ini terakhir kalinya dia mengirimmu kado."

Anna tertegun sebentar,"ah, berarti bagus kan? Kenapa kau terlihat takut?"

Sedikit ragu Tom memperlihatkan surat tersebut agar Anna membacanya.

Ini kado terakhir untukmu. Kuharap kau jadi anak baik sampai saatnya bertemu denganku. Berhentilah membuatku kesal.

See you soon, sweetheart.

"See you soon?" Anna mengulangi kalimat terakhir dalam surat itu, "apakah ini berarti aku akan bertemu dengannya, Tom?"

Hening tecipta sebab Tom melongo dengan muka yang tampak bodoh, "yaampun.. Tidak, tidak! Kita harus melaporkannya pada Robert! Ini sudah keterlaluan, Anna!"

Anna jadi ikut panik karena melihat Tom berdiri dengan wajah yang semrawut. Ia melirik jam mejanya di nakas samping dan bangkit berdiri, "a-apa jadwalku hari ini?"

"Kau ada pemotretan setelah makan siang nanti untuk majalah Giselle. Setelah itu free."

Lalu ia mengambil baju handuknya dari dalam lemari, “baiklah. Setelah pemotretan kita langsung ke kantor agensi. Aku akan memberitahu masalah ini pada Robert!"

                                                                                                                      **

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status