Share

Apakah aku bisa melarikan diri?

Demian telah selesai berkutat didalam ruang kerjanya. Butuh waktu semalaman untuk menghasilkan berpuluh-puluh kertas penuh angka dan rangkuman analisa yang siap ia bawa ke rekan rahasianya di bursa efek. Kali ketiga ia menghabiskan americano-nya, Demian bangkit dari tempat duduknya dengan mantap, melepaskan kacamata versace-nya dan melemparnya keatas meja begitu saja.

Ia selalu emosional setiap mengerjakan kasus semacam ini. Tak heran. Memanipulasi harga saham adalah pekerjaan yang kelewat berat dan mengancam identitas. Walaupun nyatanya, Demian selalu berhasil melakukan hal itu tanpa kesalahan. Akan tetapi pekerjaannya kali ini membutuhkan double checked, triple checked kalau perlu. Ia merencanakan sesuatu yang sudah lama ia prediksi.

"Apa kau gila! Aku sudah membayarmu sangat mahal dan sekarang kau meminta imbalan tambahan!"

"Well.. Resikomu bukan hanya uang, tapi juga reputasi dan kepercayaan diri. Jadi imbalannya juga harus mencakup itu semua. Laporan ini sudah selesai dan tinggal kuterbitkan di bursa saham dalam sekali jentikan jari. Semua tergantung pada keputusanmu."

Diantara sela-sela kegelutannya dengan berbagai macam email untuk kesekian kali, pikiran Demian melayang-layang mengingat percakapannya dengan Robert Downey kemarin pagi. Hampir saja ia kehilangan kesempatan satu itu. Tapi bukan Demian namanya jika ia gagal mempersuasi lawan bicaranya. Jadi, Demian sekarang berada didepan layar laptop untuk terakhir kalinya hari ini, sedang menahan napas sebelum menekan tombol Enter pada keyboard itu dan--

"Selesai!"

                                                                                                                           **

Biasanya Anna tak pernah mendapat perhatian semanis sekarang dari CEO agensinya. 

Tapi hari ini, ditemani oleh Tom, pria gempal itu mengajaknya ke restoran dan membiarkan Anna makan apapun yang diinginkannya tanpa memikirkan kalori. Bagi Anna itu sangat aneh. Hingga ketika terjadi keheningan cukup panjang diantara mereka bertiga, Robert meminta perhatiannya dengan mengeluarkan satu dehaman.

"Anna sayang, lili kecilku yang manis," Robert membenarkan posisi duduknya dan menatap Tom sebentar sebelum mengalihkan pandangannya lagi pada Anna, "kumohon kau tidak berpikir terlalu jauh tentang apa yang akan kusampaikan hari ini. Aku adalah orang yang sangat mengagumimu atas kerjakerasmu selama ini.. Dan untuk itu, aku ingin memintamu sekali lagi untuk membuktikannya. Ah tidak,tidak.. Kau memang selalu terbukti loyal pada setiap orang yang bekerja denganmu kan?"

Anna memiringkan kepalanya lucu karena tidak paham apa yang sedang pria itu bicarakan, “iya, aku senang kau menyadari hal itu."

"Baiklah hm.. Aku sedang kesulitan mempertahankan agensi ini kau tahu kan? Kita kekurangan banyak modal karena tahun lalu aku mengakuisisi beberapa management."

Ya, sampai situ Anna mengerti.

"Maka dari itu aku meminta tolong pada sebuah organisasi, dan mereka menyanggupinya. Salah seorang dari mereka menyanggupinya, padahal itu adalah hal yang hampir mustahil menurutku! Ini mukjizat bukan?"

Anna mengangguk-anggukkan kepalanya mulai antusias, "benarkah kau sudah menemukan investor baru? Wah, itu bagus!"

"Err.. Bukan investor tapi.. hm.. Aku melakukannya secara ilegal."

Baiklah. Ini mulai tidak bagus.

"Kau pernah mendengar tentang Vahznyy Okhrannik?"

Anna menggelengkan kepala. Kata-kata itu terdengar seperti jenis pelembab baru dengan kandungan seratus persen organik tumbuhan dikedua rungu Anna.

"Mereka adalah mafia dari segala mafia. Kekuasaan mereka lintas wilayah dan sangat ditakuti bahkan oleh beberapa aparat negara. Aku mengikuti pelelangan kasus yang diadakan setiap bulan. Salah seorang dari mereka akhirnya menerima tawaranku untuk menaikkan harga saham kita dengan imbalan yang sangat, sangat mahal. Dan aku tidak mengerti kenapa dia sampai pada keinginannya ini sementara hidupnya bergelimang harta! Maksudku--dengan hartanya itu dia bisa membeli apa saja yang dia inginkan kan, termasuk wanita."

Anna berusaha menerka-nerka tujuan pembicaraan itu, “oh Tuhan.. Semahal apakah bayarannya kalau aku boleh tahu?"

Robert tidak mempersoalkan nominal uang. Harga yang ia bayarkan tentu tidak seberapa dengan jumlah kenaikan saham berlipat-lipat yang akan ia dapatkan secara singkat dalam minggu ini. Alasan dia mengatakan imbalannya sangat mahal adalah karena--

"Orang itu menginginkan dirimu sebagai imbalannya," kata Robert menyentuh buket bunga yang tergeletak cantik didepan Anna," dan bunga mawar ini adalah hadiah darinya sebelum kalian bertemu."

"Ini sih gila! Robert Downey kau sudah gila!" Tom mencak-mencak sehingga Robert terperangah didepannya. Sementara Anna menoleh keduanya penuh kebingungan dan dirinya dilanda rasa panik seketika.

"Buket mawar merah itu.. Dan pesan dalam kado terakhir yang dia kirim buatmu tempo hari.. Anna, aku yakin dia adalah Mr.DC! Aku tidak percaya selama ini salah satu penggemar sekaligus penguntitmu adalah seorang mafia!"

"Mr.DC siapa?" tanya Robert tanpa rasa bersalah. Tom sangat malas menjawabnya sehingga ia hanya menengadahkan kepala sebagai rasa jengah terhadap sang CEO agensi yang sudah berlaku semena-mena itu. Sementara rasa penasaran Robert menjadi semakin tinggi ketika Tom tak juga menjawab pertanyaannya sehingga ia baru saja akan memarahi pria berwajah cekung tersebut ketika suara isakan terdengar diantara mereka.

"Jangan menangis Oh Tuhan, aku paling tidak kuat melihatmu mengeluarkan air mata!" Tom memutar tubuh dan memeluk Anna erat-erat. Lebih bingung lagi Robert melihat reaksi dan interaksi dua orang dihadapannya sekarang.

"Sial, si kakek gila itu! Tidak pernah kuduga perkataanku akan jadi kenyataan! Kau benar-benar akan dimiliki oleh seorang mafia," lalu Tom menggeser pandangan kearah Robert, "apakah si brengsek itu mengatakan detailnya padamu kapan dia akan bertemu dengan Anna dan apa yang akan mereka lakukan? Seperti, mereka harus berkencan, atau Anna harus menyediakan tubuhnya setiap saat untuk--sial! Kenapa aku jijik sekali mendengar perkataanku sendiri! Kenapa sih satu-satunya yang bisa dibanggakan darimu adalah namamu yang mirip dengan merk pelembut baju!” Tom mengacak-acak rambutnya sendiri sementara Anna akhirnya mengistirahatkan kepala pada penyangga sofa.

Jelas Robert menatap Tom garang, "asal kau tahu pelembut baju yang merk-nya sama dengan namaku itu jadi nomor satu di pasaran dunia! Lagipula ada apa dengan kalian? Apa ada berita yang tidak aku ketahui selama ini? Kau diuntit oleh seseorang, Anna?"

Tidak ada jawaban dari Anna karena tangisnya semakin sulit diredam.

"Anna dengar. Kau harus bertemu dengannya besok lusa, dia minta kau bertemu dirumahnya."

"Wow sebentar," sela Tom diselingi tawa, "kau tidak bisa lihat lili kecilmu yang manis ini sedang bersedih? Dimana rasa prihatin dan kemanusiaanmu??"

Sesungguhnya Robert memiliki sedikit pergolakan batin setelah mendengar kalimat dari Tom barusan. Tetapi ia telah mengambil langkah penuh resiko sehingga tak ada yang bisa ia lakukan selain menepati kesepakatan yang telah dibuat. Kalau saja ia tahu resikonya akan separah ini, tentu Robert tak akan mengambil tawaran yang ia miliki sedari awal.

"Berikan aku waktu," kata Anna berbicara sebelum Robert membela diri, "jika aku memang benar-benar harus melaksanakan permintaanmu ini, aku akan mengundurkan diri dari agensi."

                                                                                                                         **

Jika ada hari malas sedunia, maka Tom yakin hari inilah hari yang tepat untuk merayakannya.

Ia membuka selimutnya tanpa semangat. Ini hari ketiga ia menunggu kabar dari Anna. Dan kemarin malam ia sudah mengirimi pesan padanya sebelum pria itu angkat kaki dari agensi hari ini.

"Hei Tom! Ayo ke kantor agensi lagi.. Kutemani!" Louie bangkit dari sofa. Sudah dua hari juga mereka menginap di apartment Anna untuk berjaga-jaga agar Anna tidak melakukan hal yang nekat.

Tom menggelengkan kepalanya, "ini sudah final, Lu. Robert sangat marah padaku karena aku tidak becus menjaganya. Katanya dia kehilangan lili kesayangannya yang sudah menaikkan harga saham atau apalah, aku tidak begitu mengerti."

Louie mendecak kesal. Apa ia perlu melibatkan kekuasaan ayahnya saat situasi genting seperti ini?

"Atau kita susul saja kerumahnya, ya. Masih ada waktu sebelum matahari terbenam! Aku yakin Robert akan memaafkanmu kalau kau membawanya di detik-detik terakhir."

Tom menggeleng lagi, "dia bilang dia tidak disana. Dan aku tahu persis dia tak pernah berbohong padaku. Nanti malam seharusnya dia bertemu dengan si kakek gila itu. Kalau dia hanya ingin menenangkan diri maka pada detik ini harusnya ia sudah kembali."

"Aku yakin Anna tidak sebodoh itu sampai harus meninggalkan semuanya disini." Louie meraih sebotol air dingin dari lemari es.

"Aku sudah berpamitan padanya tadi malam, Lu. Kau jaga dia baik-baik ya setelah aku pergi." Tom akhirnya memaksa diri untuk bangun dan mengambil handuk bersih dari dalam lemari.

Pada detik ini, ia tidak marah pada Anna, sungguh. Tom hanya menyesalkan kenapa Robert harus melakukan hal yang diluar dugaan mereka. Kalau Tom jadi Anna, iapun mungkin akan melakukan hal yang sama. Mungkin lebih nekat lagi. Tidak ada yang menjamin seperti apa makhluk yang akan ia temui demi mempertahankan agensi itu berdiri. Sementara Louie pindah keatas ranjang dan menyalakan televisi dengan malas. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Apalagi kalau sudah menyangkut sahabatnya itu yang selalu tidak pernah bisa ia tebak.

Kemudian ponselnya berdering saat ia hendak mengganti siaran. Setelah melihat layar panggilan, Louie berlari tergesa-gesa mengetuk pintu kamar mandi dan menggedornya.

"Tom, hey lelet! Buka pintunya! Dia meneleponku!"

Tom secepat kilat membuka kamar mandi sementara Louie sudah mengangkat telepon itu.

"Anna, kau dimana sekarang? Demi Tom, kembalilah! Ia harus hengkang darisini hari ini jika kau--"

"Buka pintunya bodoh. Aku daritadi diluar menekan bel."

Membuat Louie dan Tom berpandangan dalam hening yang cukup panjang, lantas dalam hitungan detik mereka sudah membuka pintu.

"Anna," pekik Tom panik saat pintu itu terbuka, "kau darimana saja! Kami merindukanmu!"

Louie ikut memeluk Anna histeris sebelum mereka masuk kedalam.

Baiklah, penampilan Anna cukup.. berantakan.

"Apa kau tidak tidur? Kau menginap dimana? Kantung matamu besar sekali.." Louie memberikan segelas air dingin pada sahabatnya yang sekarang persis mayat hidup.

"Aku hanya ingin menenangkan diri sambil berpikir."

Tom ada disebelahnya. Ia sudah siap dengan apapun yang akan menjadi keputusan Anna.

"Katakanlah pada kami. Aku tidak akan marah padamu karena keputusan yang sudah kau tetapkan."

Anna menoleh perlahan. Ditatapnya Tom yang kantung matanya hampir sama hitamnya dengan dirinya. Lekuk wajah yang biasa ia lihat setiap hari selama dua tahun ini. Mulut cerewet dan perhatian yang Tom berikan padanya. Semburat kekecewaan yang tersirat dari sorot matanya. Sesungguhnya ia tidak sampai hati membuat Tom dipecat. Mungkin kalau terkena masalah nantinya, Anna akan menarik pria itu dan Louie lagi kedalamnya. Seperti yang biasa ia lakukan.

"Aku tidak akan lari lagi dari si kakek gila itu seperti yang selama ini kulakukan," Anna menyentuh jemari Tom dan Louie lembut secara bersamaan, "apakah dia begitu berbahaya? Kalau iya, maka aku sangat membutuhkan pertolongan kalian berdua. Kumohon, jangan pernah tinggalkan aku."

                                                                                                                           **

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status