Baru saja Latu ingin berjalan ke sungai untuk menemui Bratindra suara ibu berteriak terdengar begitu cari dari kejauhan. “Latu! Nak!” teriaknya sambil berlari. “Latu!” Aku sontak saja menemui ibu. Dari raut wajahnya dia terlihat begitu ketakutan. Entah hantu apa yang mengejarnya, padahal masih sore. Sesampai di halaman ibu langsung memelukku. Matanya sembab dan merah. Ia menangis, meraung. Beberapa orang terlihat mengikuti ibu dari belakang. Mereka juga memasang wajah yang sama menyedihkannya dengan ibu. Mata mereka memandangku dengan tatapan kasihan. “Ibu kenapa?” tanyaku dengan suara gemetar. Aku bahkan tidak memikirkan tentang diri sendiri, aku mengira ibu sakit atau dia berbuat kesalahan. Namun, bukan ibu yang harus kukhawatirkan. “Nak, bagaimana ini. Bagaimana ini!” “Bagaimana gimana, Bu?” tanyaku sedikit emosi. Kenapa tak ada satu pun yang menjelaskan kejadian ini padaku? Setelah beberapa saat ibu terus menangis tanpa penjelasan para tetua pulau datang. Kali ini tak han
“Kak, kita bisa ketahuan!” bisikku ketika Bratindra membuka kain yang menutup tubuhku. “Kak, pintu terbuka. Seseorang bisa saja masuk!” kataku mendorong Bratindra. Aku memperbaiki kain yang tadi hampir terlepas. Aku bingung apakah laki-laki ini tulus mencintaiku sehingga dia mau melakukan segala hal untuk menyelamatkanku dan pulau Tannin. Atau dia punya agenda lain. Bratindra mengedap-endap ke depan. Ia menutup pintu tanpa dilihat oleh orang yang berjaga di depan. Kayu panjang penghalang pintu pun dipasang sehingga orang tak bisa membuka dari depan. “Kau tahu, kau harus menjadi milikku, kau tak bisa diberikan begitu saja kepada makhluk-makhluk kejam itu!” Bratindra melepas kain itu dengan begitu mudah. Hanya sedetik tak ada lagi yang menghalangi pemandangan pemuda itu. Cahaya remang dari obor di luar rumah membuat suasana semakin erotis. “Aku malu,” “Apa kau tak mau membuka matamu, Latu?” Latu tak tahu hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah semua sama nikmatny
☆Sudut pandang orang ketiga serba tahu _____Warga berkumpul di depan rumah Latu dengan obor di tangan. Bratindra sudah keluar dari kamar Latu. Ia berjanji akan membatalkan ritual itu dengan segala cara. “Aku akan menyelamatkanmu,” katanya pada Latu dan segera keluar dari jendela kamar Latu. Meninggalkan Latu, gadis yang baru saja bercumbu dengannya menghadapi hari yang mungkin saja menjadi hari terakhirnya. Latu membuka pintu dan membiarkan para tetua masuk ke rumah. Dari belakang ibunya berjalan dengan kepala yang tertunduk lesu. Latu berjalan dengan janggal karena baru saja tubuhnya sangat lelah dibuat Bratindra. “Dengar, Nak. Tak ada dari kami menginginkan hal buruk terjadi padamu. Seharian kami berdoa agar engkau masih memiliki nafas kehidupan setelah ritual ini dilakukan. Para tetua percaya jika Naga memiliki cara bijaksana untuk menerima persembahan ini.” Latu mengangguk, ia tak mendengar nasihat itu, bahkan sedikit pun. Mereka mulai membersihkan tubuh Latu d
“Latu, bangun, bangun,” bisik Bratindra. Ia muncul dari bebatuan di pinggir gua. Sejak semua penduduk pulau sibuk menyiapkan ritual dia bersiap dengan rencana membatalkan ritual itu. Ia membawa kebutuhannya untuk bertahan di gua dan berniat membawa Latu pergi dari tempat itu. Namun, yang tidak ia duga adalah bahwa gua akan ditutup dengan kayu-kayu besar yang begitu rapat. Di depan kayu itu mereka juga menumpuk bebatuan sehingga akan sulit atau bahkan mustahil baginya melewati pintu itu. Bratindra juga tahu jika gua itu hanya memiliki satu jalan keluar. Satu-satunya hal yang dilakukan Bratindra adalah membangunkan Latu dari tidurnya. Membuatnya terbangun, tetapi hal itu juga mustahil. Bratindra mengangkat Latu dari baru besar dan membaringkannya di pinggir gua yang sudah ia lapisi dengan kain yang dibawanya. Bratindra menjambak dan menggarut rambunya yang tak gatal. Ia tak mungkin membawa Latu, apa yang harus dia lakukan? Ia sendiri tak tahu. Semakin malam suhu gua semak
“Oh, tidak mungkin!” kata Latu saat mendengar pengakuan pemuda itu. Bagaimana mungkin pemuda yang selama ini hidup dalam mimpinya adalah naga biru, naga yang dipuja-puja oleh penduduk pulau Tannin. Naga yang sama sekali tak ia percayai. “Aku kira kau sudah tahu,” katanya menggoda. “Dari mana aku tahu?” balas Latu pendek. “Bagaimana mungkin manusia bisa memberimu kenikmatan seperti yang aku berikan?” tatap pemuda itu. Ia menatap Latu begitu lekat sampai Latu tak berani membalasnya. “Aku tak merasa kau memberikan sesuatu padaku,” “Kenikmatan yang kuberikan padamu, ah tentu saja kau masih mengingatnya. Walaupun pemuda itu memberikan hal itu padamu tapi kau pasti sadar jika ia tak mampu membuatmu merasakan apa yang kau rasakan saat bersamaku,” “Dari mana kau tahu aku dan kak Bratindra,” kata Latu keceplosan. Ia tak melanjutkan kalimatnya. “Oh, tentu saja aku tahu. Aku bisa melihat semua yang terjadi di pulau Tannin, hanya saja tubuhku masih belum terlalu kuat untuk data
Bratindra memeluk erat tubuh Latu, ia berusaha membangunkan perempuan itu. Sesekali kelopak mata Latu terlihat bergerak seperti hendak terbuka. Namun, hanya dalam hitungan detik kembali diam bak patung. Malam ini akan sangat panjang dan dingin. Ia tak pernah membayangkan akan tidur di gua yang disucikan ini. Benar jika semua penduduk desa tak pernah masuk ke dalam gua ini, tetapi Bratindra sudah berulang kali masuk ke dalamnya. Bratindra tahu betul kondisi gua ini dan sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjalani kejadian ini. Untung saja dia sudah mempersiapkan banyak hal. Bratindra sudah tahu jika cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Dia menumpuk kayu kering dekat dinding gua. Dengan bantuan batu ia menyalakan api kecil untuk menghangatkan mereka berdua. Dengan bantuan ibunya dia mengebas buah dan makanan. Memang tak terlalu banyak karena awalnya mereka tak menduga mulut gua akan ditutup. Namun, hal itu tak terlalu dipusingkan Bratindra. Ternyata penduduk membawa persembahan
Sudut Pandang LatuSaat bulan purnama menyinari pulau Tannin terdengarlah tangisan anak yang baru saja lahir. Seluruh warga pulau merayakan anggota baru dengan sukacita. Mereka bernyanyi dengan girang serta menari tanpa lelah. Sudah menjadi tradisi di pulau Tannin jika kelahiran dan kematian harus dirayakan dengan meriah. Mereka bersyukur atas kedatangan dan berbahagia mengenang sejarah yang pergi. Setiap penduduk percaya jika kelahiran dan kematian adalah berkah dari semesta yang patut untuk dirayakan. Anak perempuan itu dibawa keluar rumah menuju tepi pantai. Semua orang menyaksikan ritual yang dilakukan oleh para tetua pulau dengan khusyuk. Penduduk pulau Tannin memiliki kepercayaan bahwa anak yang dilahirkan saat bulan purnama adalah istimewa. Tradisi ini berawal dari kepercayaan bahwa nenek moyang mereka menikah di bawah bulan pertama dan diberkahi oleh air mata suci naga biru ajaib. Beberapa buku yang diturunkan dari generasi ke generasi masih menyimpan kisah nenek moyang pulau
Sebenarnya aku tidak merasa begitu istimewa hanya karena lahir tepat di bawah sinar bulan purnama. Keistimewaan yang hanya dikarenakan legenda yang mengisahkan kehidupan nenek moyang pulau Tannin di masa yang lalu. Tidak lebih dan tidak kurang. Tertulis jika dahulu pulau ini adalah tempat suci yang hanya dihuni oleh seekor naga biru suci. Beribu tahun kemudian tiba-tiba sebuah kapal terombang-ambing di lautan dekat pulau. Naga yang melihat kapal itu memutuskan untuk menariknya ke daratan. Di dalam kapal terlihat banyak sekali tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi dengan kapal itu namun, yang jelas ada dua anak yang selamat dan bertahan hidup. Seorang anak perempuan dan laki-laki. Ketika mereka mendengar suara aneh dari luar, kedua anak itu memberanikan diri untuk beranjak dari tempat masing-masing. Si anak perempuan yang melihat anak laki-laki itu segera berlari memeluknya. Begitu juga dengan anak laki-laki yang juga selamat. Dia memeluk