Pagi hari, Melody bangun lebih awal sementara Leo masih terlelap di sampingnya. Mereka baru tertidur pada pukul tiga dini hari setelah melewatkan malam penuh gairah sebagaimana pasangan suami istri. Dan sama seperti sebelumnya, Leo juga menyiapkan pil kontrasepsi di nakas. Dia berpesan pada Melody untuk mengkonsumsi pil itu di pagi hari.Sebelum Leo bangun, Melody buru-buru membuang pil itu ke dalam tempat sampah kecil di samping ranjang. Tepat setelah Melody melakukannya, Leo menggeliat pelan lalu membuka mata secara perlahan."Jam berapa, Mel?" tanya Leo dengan suara serak."Jam tujuh. Ini hari Sabtu. Kamu bakal stay di rumah kan?"Leo duduk seraya menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. "Maunya sih gitu. Tapi aku harus ketemu ibuku hari ini.""Ada apa memangnya?""Aku mau coba pinjam dana ke Ibu untuk modal awal. Ibu gak akan bisa bantu banyak sih, tapi bantuan sesedikit apapun pasti bakal sangat berguna."Melody ikut menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. Tubuhnya han
Sambil menikmati makanannya, Melody masih memikirkan tentang pamannya--Hardi. Setahu Melody, hubungan Hardi dengan ayahnya tidak begitu dekat meski mereka adalah saudara kandung. Sejak kecil, Melody hanya dua kali bertemu dengan pamannya itu yaitu saat pemakaman neneknya dan pemakaman ayahnya. Di pemakaman ayahnya pun, terlihat jelas bahwa Hardi hanya datang sebagai bentuk formalitas karena mereka adalah saudara. Melody melirik ke arah Bu Nani yang sedang berjalan dari arah dapur dengan membawa segelas air lemon hangat. Bu Nani meletakkan gelas tersebut di meja makan. "Ada lagi yang Nona butuhkan?" tanya Bu Nani. "Bu Nani duduk dulu. Aku ingin obrolin beberapa hal." Bu Nani menatap ragu ke arah kursi kosong yang ditunjuk Melody. Dengan pengalaman bekerja sebagai pelayan senior di rumah Kusuma, Bu Nani tentunya tahu tentang aturan-aturan tidak tertulis tentang bagaimana dia harus bersikap. Duduk sejajar majikan yang sedang makan adalah hal yang tidak seharusnya dia lakukan. "
Melody tetap tak menggubris Shane yang masih berdiri di sampingnya. Dia lebih memilih memperhatikan derasnya hujan sembari berharap agar hujan lekas berhenti agar dia bisa pulang. Tubuhnya lelah pasca aktivitasnya tadi.Melihat Melody kembali diam, Shane berucap lagi. "Leo kemana? Kenapa kamu sendiri di sini?""Kerja," jawab Melody singkat.Shane mengerutkan kening. "Jam segini?""Kayak Mas gak pernah kerja jam segini aja," balas Melody ketus."Iya. Aku tahu aku sering lembur sampai jam segini, tapi itu gak membuat aku meninggalkan kamu sendiri di hotel."Akhirnya, Melody mulai terpancing. Dia menatap tajam pada Shane."Terus kenapa? Toh, aku bukan anak kecil yang harus ditemani setiap saat."Shane menghela nafas lalu kembali berucap. "Kalau mau pulang, aku antar.""Gak perlu. Aku nginap di sini saja," sahut Melody dingin.Tidak mau berlama-lama mengobrol dengan Shane, Melody berbalik dan berjalan kembali memasuki hotel. Dengan menggunakan lift, dia kembali ke kamar yang tadi ia tempa
Melody meringis begitu penyatuannya dengan Leo dimulai. Dia pernah berhubungan badan satu kali dengan Shane kala itu. Dia ingat, momen pertamanya bahkan tidak terasa sesakit ini. Barangkali karena dia hanya pernah melakukannya sekali, sehingga kali keduanya setelah sekian lama rasanya sangat perih.Sembari meringis sekaligus berpegangan pada kedua bahu Leo, Melody mencoba mengingat-ingat apakah ada yang salah dengan posisinya saat ini, akan tetapi posisi ini adalah yang paling normal. Satu-satunya yang berbeda dengan kali pertamanya adalah, Leo tidak benar-benar mempersiapkan Melody. Begitu ia menanggalkan pakaian Melody dan juga pakaiannya, Leo langsung menautkan tubuh mereka begitu saja.Nafas Leo sedikit tersengal selagi ia menggerakkan pinggulnya. "Hah... Mel..."Melody menggigit bibir bawahnya. Matanya berkaca-kaca karena menahan rasa perih, namun Leo seolah tidak peduli dan terus bergerak dengan kasar seakan-akan ia sama sekali tidak menikmati momen ini, melainkan hanya terburu-
Melody tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya. Semenjak ibunya tiba-tiba pergi bersama si pria selingkuhan lalu disusul dengan kematian ayahnya, Melody merasa hidupnya hampa dan tidak memiliki makna lagi. Seakan perceraiannya dengan Shane kala itu belum cukup menyakitkan, dia harus dihadapkan dengan berbagai kejadian yang tak kalah menyakitkan.Oleh karena itu ketika Leo bertingkah tidak sesuai dengan nalar Melody, Melody tidak bisa mengekspresikan ketidaksetujuannya dengan baik. Normalnya, dia akan mengamuk ketika Leo tiba-tiba mengiriminya tagihan biaya bulanan dan meminta Melody untuk mengganti tujuh puluh persen. Dulu saja, Shane dibuat kewalahan dengan sikap Melody yang mudah tantrum ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.Kali ini, Melody sendiri tak percaya dia bisa memendam semua ketidak tenangan yang tengah ia rasakan. Setelah menghabiskan waktu di cafe bersama Jena, Melody bahkan masih sempat menemani Jena latihan di studio kemudian mereka perg
Setelah kelas selesai, Melody berjalan gontai keluar gedung fakultas. Di koridor, ia berpas-pasan dengan Giselle yang sepertinya tengah berjalan ke arah ruang bimbingan. Melihat Giselle tersenyum padanya, Melody juga balas tersenyum dan mengangguk sopan. Giselle memperlambat langkahnya dan berhenti sejenak di dekat Melody. "Abis kelas, Mel?" Melody mengangguk. "Iya. Kak Giselle mau bimbingan?" Giselle melirik jam tangannya dan mengangguk. "Iya nih. Tadi udah janjian sama Pak Edi sejak jam sembilan, eh beliaunya baru datang sekarang. Jadi aku ke kantin dulu tadi." Melody tidak begitu fokus pada kata-kata Giselle, melainkan ke arah jam tangan bermerk Cartier yang melingkar manis di pergelangan tangan Giselle yang ramping. Sebelum ini, Melody tidak pernah sekalipun memperhatikan apapun yang dikenakan orang lain. Meski bukan penggila fashion, Melody tahu harga barang-barang itu. Dia memiliki satu yang dulu dibelikan oleh ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke delapan bela