Share

7

Penulis: Elysian
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-02 23:31:14

Beberapa hari belakangan, Shane terlihat sangat tertekan dan murung. Itu pasti karena tuntutan orang tua kami. Shane tidak pernah seperti ini jika hanya karena masalah pekerjaan. Shane yang aslinya selalu irit bicara di rumah, kini hampir tidak pernah mengeluarkan suara.

Malam ini aku tidur lebih awal. Shane belum pulang saat aku sudah tertidur. Harus kuakui, tuntutan orang tua kami benar-benar membebaniku juga. Aku selalu mengalihkan pikiranku dengan belajar memasak dan bersih-bersih penthouse ini ketika Shane sedang tidak ada. Dapur menjadi bak kapal pecah setiap kali aku selesai melakukan eksperimen. Karena sibur membersihkan banyak hal, aku jadi kelelahan dan lebih mudah tidur.

Di tengah malam, aku terbangun. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit. Kerongkonganku terasa kering sehingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih.

Saat aku hendak melintasi ruang tengah, kulihat Shane masih terjaga. Pria itu duduk di ruang tengah dengan tatapan kosong. Aku ragu apakah aku harus mendekatinya atau tidak. Kalaupun aku menghampirinya, apa yang aku lakukan? Kami tidak sedekat itu untuk bercengkerama pada malam hari seperti ini.

Aku memutuskan untuk melangkah ke dapur dan minum. Setelah itu, aku kembali ke ruang tengah dengan membawa jelly kemasan kecil di tanganku.

Shane menatapku begitu aku berdiri di sampingnya. "Kenapa belum tidur?" tanyaku.

"Belum ngantuk."

Aku menyodorkan jelly itu padanya. "Nih. Sisa satu. Untuk kamu aja."

Shane memandangi jelly pemberianku sesaat sebelum akhirnya mengambil jelly itu dari tanganku. Ia membuka kemasan jelly itu kemudian memasukkan isinya ke dalam mulut.

"Mas..." panggilku pelan setelah ia menelan jelly pemberianku.

"Hm?" Shane bergumam seraya memejamkan matanya. "Kamu mending tidur. Aku lagi gak ingin diganggu."

"Kamu bisa jamin kalau kita punya anak, anak kita bakal bahagia?"

Shane membuka matanya dan menatapku tak percaya. "Ap--apa maksud kamu?" tanyanya sedikit gelagapan.

Aku memperhatikan gurat lelah pada wajah Shane. Kulit wajahnya yang biasanya selalu mulus terawat kini terdapat lingkaran gelap samar di bawah matanya.

Meski pernikahan ini tidak dilandasi cinta, banyak perlakuan Shane yang tergolong baik padaku. Meski aku kerap kali tersakiti, tapi Shane pun demikian. Sejak awal kami dijodohkan, Shane sudah sangat tersakiti dengan harus melepaskan wanita yang ia cintai.

Aku tahu keputusanku ini beresiko, tapi aku sudah punya rencana. Pewaris adalah hal yang paling didambakan oleh orang tua kami. Begitu kami memiliki anak, tidak akan ada lagi tuntutan besar dari orang tua kami. Aku tidak mau terus-terusan hidup dalam tekanan, dan aku tidak mau membiarkan Shane selalu terbebani setelah semua yang telah ia lalui.

"Aku mau punya anak," ucapku tanpa ragu.

Shane memandangiku cukup lama hingga ia akhirnya menggeleng. "Aku sudah bilang aku gak mau memaksakan kamu untuk melakukan hal yang tidak ingin kamu lakukan. Yang akan hamil itu kamu. Kamu yang berhak atas tubuh kamu. Bukan aku, orang tuamu, atau orang tuaku."

"Terus sampai kapan kita akan menghindar? Lingkaran hitam di bawah matamu itu bukti kalau semua ini membebani kamu, bahkan juga aku. Aku yakin ini adalah tuntutan terakhir orang tua kita. Jadi, ayo kita selesaikan."

"Kamu yakin?" tanya Shane.

Aku mengangguk. "Yakin."

Shane juga mengangguk. "Ya sudah. Kita coba kalau kamu sudah siap."

"Aku siap malam ini," sahutku cepat.

Mata Shane melebar. Aku bisa melihat semburat merah di pipinya.

"Gak malam ini juga. Ini sudah setengah tiga. Kamu butuh menyiapkan mental."

"Lebih cepat lebih baik, Mas. Aku gak mau Mama tiba-tiba datang dan bawa kita ke dokter. Kalau sampai Mama tahu gimana kondisi pernikahan kita..." aku menggigit bibir bawahku. "Bisa-bisa mereka nyuruh kita cerai. Aku gak mau pulang ke rumah orang tuaku dalam keadaan seperti ini."

Shane tampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk. "Di mana? Kamar aku atau kamar kamu?"

Kali ini giliran aku yang merasakan pipiku memanas. Aku hendak menjawab kamarku, tapi mengingat betapa banyaknya pernak pernik dan mainan yang kutaruh di kamarku, kurasa itu bukan ide bagus. Meski aku tidak pernah tidur di kamar Shane, tapi aku tahu untuk melakukan hal seperti itu, kamar Shane adalah pilihan yang lebih baik.

"Kamar Mas aja."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   55

    Perjalananan dari resort menuju rumah sakit membutuhkan waktu selama hampir satu jam lamanya. Selama di dalam taksi, aku tidak bisa tenang sama sekali. Semua kemungkinan-kemungkinan terburuk hilir mudik di kepalaku. Ponselku di dalam tas terus bergetar, namun aku tak berani membukanya. Aku takut kalau itu adalah kabar buruk. Aku tidak ingin mendengar kabar buruk sementara aku masih dalam perjalanan. Kalaupun ada hal tak diinginkan yang terjadi, lebih baik aku tahu setelah tiba di sana. Aku yakin Papa akan baik-baik saja. Mana mungkin Papa meninggalkanku sendiri 'kan? Papa sangat menyayangiku. Setelah perceraianku dengan Shane, dan kini Mama juga pergi, aku hanya memiliki Papa. Tuhan, aku tidak meminta banyak. Ketika Shane tidak menginginkanku, aku rela mundur dari kehidupannya tanpa menuntut padaMu untuk membuat Shane mencintaiku. Lalu ibuku sendiri memilih untuk pergi bersama laki-laki pilihannya. Aku ikhlaskan dia jika itu adalah kebahagiaannya. Tapi tolong, jangan ambil Papa.

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   54

    Tepat setelah lima hari Papa dirawat di rumah sakit, Mama kembali ke kota ini. Aku tidak mengizinkan Mama untuk datang ke rumah sakit, melainkan aku meminta untuk bertemu di tempat lain. Aku tidak mau kondisi Papa memburuk karena bertemu Mama yang merupakan pemicu utama sakitnya Papa. Kami memutuskan untuk bertemu di resort Pantai Putih. Aku tiba lebih dulu dan memutuskan untuk duduk di teras resort sambil menunggu Mama. Sepuluh menit kemudian, Lita datang mengantar Mama. Begitu melihatku, Mama langsung memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku hanya terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa. Aku merindukan Mama, namun di sisi lain, rasa kecewaku lebih besar. Aku memberi isyarat pada Lita untuk meninggalkan kami. Perlahan, aku melepaskan pelukan Mama. Aku berpindah tempat duduk hingga kini aku duduk di seberang meja. Ekspresi Mama terlihat semakin sedih karena aku terang-terangan menjauhinya. "Kenapa Mama melakukan ini semua?" tanyaku tanpa ekspresi. Mama mengusap air matan

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   53

    Sudah tiga hari semenjak Papa dirawat di rumah sakit. Keadaan Papa berangsur-angsur membaik. Setidaknya menurutku begitu karena Papa kini sudah bisa membuka mata dan merespon tiap kali kuajak bicara. Papa juga mulai berusaha untuk berbicara meski aku berkali-kali melarangnya untuk memaksakan diri. Aku tidak mau Papa semakin tertekan dan merasa harus dituntut sembuh secepatnya. Dokter bilang, Papa harus menjalani terapi nantinya agar dapat berbicara dan beraktivitas lagi. Sambil mengurus Papa di rumah sakit, aku tetap pergi ke kampus. Jena banyak membantuku dengan membuatkan daftar tugas-tugas dan mengurutkannya sesuai deadline. Jena juga berbaik hati mencatat semua materi yang disampaikan dosen untukku ketika aku kelelahan dan tertidur di kelas atau saat aku harus melewatkan kelas karena mengurusi Papa. Sepulang dari kampus, Pak Arman lah yang selalu menjemputku dan mengantarkanku ke rumah sakit. Aku tidak pernah pulang ke rumah selama tiga hari belakangan. Aku mempercayakan rumah

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   52

    Aku pulang ke rumah naik taksi setelah menolak penawaran Shane untuk mengantarku pulang. Bisa-bisa Papa marah lagi padaku kalau sampai Papa tahu aku semalaman tidak pulang karena menginap di tempat Shane. Saat aku berjalan mendekati gerbang mansion, dua satpam yang sedang berjaga segera berlari ke arahku. "Nona Melody akhirnya pulang." Aku berhenti dan menatap mereka bingung. "Ada apa?" tanyaku. "Tuan masuk rumah sakit, Nona." Kakiku terasa lemas seketika. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap berdiri meskipun tubuhku mulai bergetar. "Kapan? Papa kenapa?" "Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Nona. Pagi tadi Bu Nani menemukan Tuan terjatuh di halaman belakang." Aku menyentuh kepalaku. "Kenapa gak ada yang hubungi saya?" "Tuan melarang kami, Nona. Tuan bilang barangkali Nona menginap di hotel tempat pesta Tuan James diselenggarakan. Tuan berpesan agar kami cukup memberitahu Nona saat Nona tiba." Tidak ada gunanya aku marah sekarang. Aku harus segera tiba di rumah sa

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   51 (Chaos)

    Aku terbangun dengan pening luar biasa. Untuk duduk pun rasanya tak sanggup. Dengan mata masih tertutup, aku menyentuh kepalaku. Aku menggeliat tak nyaman di atas ranjang yang begitu empuk. Bayang-bayang mimpi tadi malam terasa begitu nyata. Mulai saat ini aku harus lebih berhati-hati dengan alkohol. Aku tidak mau berhalusinasi liar lagi terutama tentang Shane. Perlahan, kubuka mataku. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang masuk melalui dinding kaca yang menampilkan pemandangan langit biru di pagi hari. Tunggu... Dinding kaca? Langit biru? Mansion milik keluargaku hanya terdiri dari dua lantai. Kamarku berada di lantai dua dan tidak menggunakan dinding kaca, melainkan hanya sebuah jendela besar yang tirainya selalu tertutup rapat jika aku masih tidur. Tidak akan ada pelayan yang berani masuk ke kamarku tanpa seizinku. Aku mengedarkan pandanganku. Seiring pengelihatanku semakin jelas, aku kini yakin bahwa ini bukan kamarku dan ini j

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   50 (Ilusi?)

    Suaraku sedikit bergetar di awal lagu karena aku masih merasa gugup. Untungnya aku mulai bisa mengendalikan diriku hingga perlahan, suaraku menjadi stabil. Sudah lama aku tidak bernyanyi, terutama di depan banyak orang seperti ini. Aku rindu saat di mana aku selalu tampil percaya diri di depan teman-teman sekolahku. Aku rindu dengan ekspresi kagum dan tepuk tangan dari mereka. Aku merindukan kehidupanku yang dulu. "I wish I could lay down beside you, when the day is done... and wake up to your face against the morning sun..." Tatapanku bertemu dengan mata Shane tanpa sengaja. Biasanya aku tidak pernah benar-benar menatap mata orang ketika aku sedang berada di panggung karena itu hanya akan membuatku gugup. Ajaibnya ketika melihat Shane, aku malah merasa tenang. Erina masih duduk di sisinya, namun aku merasa Shane seolah sedang sendiri. Ia hanya memperhatikan aku dan bukannya Erina yang menjadi pendampingnya malam ini. Pernikahan kami tidak dibangun di atas lahan yang rata,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status