Share

4. Perasaan Apa Ini

"Aruna...."

Terdengar suara mbak Alya di luar kamar, aku malas menjawab. Terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali.

"Aruna .... Apa kamu tidur?"

Kembali mbak Alya memanggilku disertai pertanyaan yang tidak masuk akal, masa iya orang tidur ditanyai.

"Aruna, ayo makan. Tadi aku beli lauk dari rumah makan kesukaanmu."

Nah, kan. Aku tidak menyahut masih saja dipanggil, tapi tawaran mbak Alya meluluhkan rasa malasku berinteraksi dengannya.

"iya, Mbak."

Masih dengan keadaan yang berantakan aku bukakan pintu untuk mbak Alya.

"Kamu ini tidur apa nggak sih, aku panggil dari tadi diam saja." Protes mbak Alya. Aku nyengir kuda.

"Mau tidur, tapi nggak jadi. Ayo kita makan saja Mbak."

"Ya, ayo tapi benerin dulu itu pakaianmu. Itu, tu .... kancingnya ada yang belum betul."

Mbak Alya menunjuk ke arah bajuku yang memang tidak benar aku memakainya tadi.

"Hehehehe."

Aku tertawa sembari mengancingkan bajuku dan membenarkan posisi celanaku yang agak melorot.

"Rambutnya ditali, jangan seperti itu, nanti masuk kuah. Aku tunggu di ruang makan ya?"

Haduh, baru beberapa hari menikah mbak Alya sudah mengaturku seperti ibu.

Beberapa saat kemudian aku menyusul mbak Alya yang saat aku sampai di meja makan sedang menambahkan sayur ke piring mas Bara yang sudah terisi nasi dan ayam bumbu.

"Aku ambil yang dada ya Mbak," kataku sambil menyendok nasi.

"Iya, ambil saja."

Mbak Alya masih saja sibuk melayani suaminya makan siang, dia sepertinya tidak mempedulikan ku. Tak apalah, yang penting aku kenyang dan puas makan hidangan dari rumah makan favoritku.

Sesekali ada rasa tidak nyaman ikut makan semeja dengan pasangan yang sedang mesra-mesranya ini. Bagaiman tidak, mereka suap-suapan, saling mencicip makanan yang ada di piring masing-masing, ah! ada-ada saja. Sudah tahu menunya sama masih tukeran. Ada kuah yang menempel sedikit saja di ujung bibir mbak Aliya, mas Bara langsung membersihkannya dengan tisu.

Dasar, seperti tidak pernah pacaran saja. Sudah menikah pun gayanya masih seperti baru pacaran. Aku terus saja mengomel dalam hati, sementara mulutku terus saja mengunyah nasi dan lauk yang mempunyai cita rasa amat sedap.

"Aku sudah selesai, mbak. Mau ke kamar dulu, ngerjain PR."

Aku pamit seraya meninggalkan tempat. Mbak Alya dan mas Bara sama-sama menyahut "iya".

Sesuai dengan yang kukatakan tadi, aku mulai berkutat dengan tugas sekolahku. Walau pun aku tidak mempunyai prestasi istimewa tapi setidaknya aku tidak mau menjadi siswa paling bodoh di kelas.

Terdengar suara ketukan di pintu kamarku, kok tanpa memanggil. Siapa ya?.

Dengan malas aku beranjak dari kursi, ternyata ibu.

"Kau sedang apa?"

"Ngerjain tugas sekolah, Bu. Ada apa ya Bu, ayo masuk ke dalam..

"Tidak usah, Ibu hanya mau memberikan ini, uang bayaran sekolahmu. Besok cepat kamu bayarkan ya, mumpung ibu ada uang ini sekalian untuk tiga bulan ke depan."

Tumben sekali ibu memberikanku uang sebanyak ini, o .... mungkin ibu punya simpanan uang dari uang amplop tamu undangan pernikahan Mbak Alya. Aku menerima uang yang diberikan ibu.

"Terima kasih, Bu. Ayo kita mengobrol di dalam Bu. PR-ku tinggal sedikit lagi kok."

"Tidak usah, Ibu mau makan. Lapar. Mbakmu apa masih ada di ruang makan?"

"Tadi aku duluan, Bu. Mbak Alya sama mas Bara masih di sana tapi entah kalau sekarang."

"Ya, sudah. Tutuplah kembali pintumu."

Aku tersenyum dan mengangguk. Ibu sudah memunggungi aku, kulihat tubuhnya yang tidak lagi tegap. Iya, ibuku sudah mulai tua. Tapi semangatnya untuk mengurus anak-anaknya masih tetap membara. Dan satu lagi sikap ibu yang belum bisa kupahami sampai saat ini, ibu tetap saja merasa segan walaupun kepada anak-anaknya sendiri.

Seperti tadi yang ditanyakan padaku, ibu pasti tidak jadi makan kalau masih ada mas Bara dan mbak Alya yang sedang bersikap mesra di sana. Begitu pun dulu sewaktu mbak Alifia masih tinggal di sini, ibu selalu menghindar saat mbak Alifia sedang berduaan dengan mas Bilal.

Kututup semua buku dan kususun rapi di atas meja belajarku, tugas sudah selesai. Kuraih botol minum karena rasa haus yang kurasa, ah enteng! ternyata kosong. Aku beranjak pergi ke dapur untuk mengisinya.

Tanpa sengaja aku melihat mbak Alya yang sedang berpelukan dengan mas Bara di kamar, pintu kamar mereka terbuka sedikit saat aku melaluinya tadi. Mereka tampak sekali sedang menikmati saat bahagia mereka. Sial, tiba-tiba aku ingin sekali menikah dan seperti mbak Alya.

Kehidupan yang kulalui selama ini seperti tidak ada bahagia-bahagianya sama sekali. Mana tahu setelah menikah nanti, aku akan merasakan hidup yang berbeda, hidup yang lebih menyenangkan. Tapi aku masih sekolah, dan dengan siapa juga aku akan menikah? Itulah aku yang cepat sekali baper, kadang ingin cepat menikah, kadang ingin bekerja mencari uang biar bisa beli apa-apa sendiri, kadang juga ingin sekolah tinggi dan memperoleh gelar yang akan mengangkat namaku menjadi lebih baik dari kakak-kakakku.

Setelah minum air dari gelas kemudian mengisi botol minumku dengan penuh, aku pun kembali ke kamar.

"Kamu cantik Alya, aku sangat mencintaimu. Jangan pernah berpaling dariku ya Sayang."

Aku mendengar suara mas Bara yang begitu mesra sedang merayu mbak Alya, aku menghentikan langkahku.

Cantik apanya mbak Alya, tentu saja lebih cantik aku. Bodoh sekali mas Bara dalam menilai seorang wanita.

"Besok sudah mulai kerja, awas saja kalau kamu melirik wanita lain di luar."

Bha hahaha, aku ingin sekali meledakkan tawaku saat mendengar ucapan mbak Alya pada mas Bara. Tidak mungkin mas Bara tidak akan melirik wanita lain kalau penampilan mbak Alia hanya seperti itu, sangat tidak seimbang dengan mas Bara yang super keren.

"Tidak akan Sayang, cup .... cup ....cup"

Buset, apa yang kudengar ini. Apa yang sedang dilakukan mereka setelah saling merayu. Aku melanjutkan langkahku dengan tergesa-gesa.

Kututup pintu kamarku dengan kasar, dan kuhempaskan badanku di kasur dengan kesal.

Apa aku merasa iri dengan mbak Alya? Entahlah, aku sangat tidak suka melihat kemesraan mereka.

Mbak Alya adalah saudara kandungku, dia baik dan perhatian padaku. Selama kerja dia sering memberiku uang jajan, membelikan baju atau sepatu, bahkan alat kecantikan dan pulsa hapeku, semua dia yang menanggung. Kini dia sudah menikah, aku tidak boleh berburuk sangka kalau mbak Alya akan berubah dan mengabaikanku. Tidak, mbak Alya tidak seperti itu tapi entahlah .... aku tidak suka saja melihat kebahagiaan mbak Alya dengan mas Bara.

Seharusnya kalau mereka bahagia, aku juga bahagia dong. Lha ini, aku hanya bisa merasakan hati yang merasa sebal dan tidak suka melihat kemesraan saudaraku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status