Share

5. Pindah Rumah

Author: Tutyas
last update Last Updated: 2023-10-09 20:25:59

Hari ini mas Bara mulai bekerja kembali, ia terlihat semakin tampan dengan pakaian resminya. Aku menelan ludah saat mencuri pandang ke arah iparku yang terasa istimewa ini. Mbak Alya tampak sibuk membantu mas Bara bersiap.

"Apa kamu mau berangkat bersama Mas Bara, Aruna?"

Tanya mbak Alya saat kami berada dalam satu meja makan, menikmati sarapan buatan ibu. Ibu sengaja memasak pagi-pagi supaya semua bisa sarapan. Ibu sendiri sudah sarapan bersama bapak tadi, untuk kemudian berangkat berjualan.

Sebenarnya aku senang sekali dengan penawaran ini, tapi aku tidak ingin terlihat murahan dengan menumpang kendaraan mas Bara.

"Mbak Alya bisa saja, tujuan kami beda Mbak. Nanti Mas Bara bisa terlambat kalau harus mengantarku dulu."

"Tidak apa-apa, cuma sedikit masuk gang saja, mungkin cuma butuh waktu tujuh menit."

Aku tidak menyangka mas Bara bicara seperti itu, berarti mas Bara mau mengantarku ke sekolah, yess!

"Baiklah, kalau tidak merepotkan."

Jawabku dengan rasa girang di dalam hati. Kali ini pasti Mbak Alya tidak akan ikut karena dia masih memakai daster. Mbak Alya juga tampak santai tidak ikut sibuk mau pergi juga. Aku bisa duduk di depan, di samping mas Bara nanti.

"Mbak Alya ikut nggak nanti?"

Tanyaku memastikan.

"Ya nggak lah, Mas Bara kan mau kerja. Lagian cucian baju mbak sudah masuk rendaman itu, mau beres-beres rumah juga."

Jawaban mbak Alya membuatku senang sekali. Dengan langkah ringan, aku menuju kamarku untuk bersiap.

Aku menunggu mas Bara di teras depan, tampak olehku mbak Alya mencium punggung tangan mas Bara sebelum mas Bara melangkah keluar. Mas Bara pun mencium kening kakakku, aku memalingkan muka. Dalam hati aku menggerutu, cuma mau kerja saja, pamitnya lama minta ampun.

"Arunaaaa."

Terdengar suara seseorang memanggilku, kami bertiga serentak menoleh ke sumber suara.

Ternyata Arum yang datang, tidak biasanya dia ke sini pagi-pagi. Arum membawa sepeda motornya masuk ke halaman dan berhenti tepat di dekat kami bertiga.

"Ada apa, Rum?"

Tanyaku.

"Kita berangkat bareng ya, ada yang mau kubeli. Itu tugas dari Miss Reni. Kalau aku bawa motor sendiri tidak ada yang pegang nanti."

Aku ingat memang ada tugas dari guru bahasa inggris. Tapi mengapa juga Arum membeli bingkai kaca itu hari ini, seperti tidak ada hari lain saja. Dasar bikin kacau saja nih bocah.

"Tidak harus hari ini kan, Rum?"

"Aku takut duit kelompok hilang, hari ini sudah ngumpul semua, lebih baik langsung dibelanjakan bukan?"

Dasar Arum pandai sekali beralasan, aku berdecak kesal.

Mbak Alya melirikku.

"Ya sudah, Aruna. Kamu berangkat bareng Arum saja. Arum butuh bantuanmu, mana tahu lain kali kamu yang butuh bantuan Arum."

Saat ibu kedua sudah bicara, aku pun tiada berdaya. Mengumpat dalam hati, itu saja yang bisa kulakukan.

________

Malam ini aku merasa sangat gerah, memang sial sekali nasibku. Kipas angin yang ada di kamarku sudah dua hari ini rusak dan ayah belum sempat membawanya ke tukang servis.

Dengan kesal aku ke luar kamar, duduk termangu di sofa ruang tengah sambil menikmati minuman dingin yang kubeli siang tadi dan kusimpan dalam kulkas. Segar rasanya, sedikit memberi efek tenang di otakku.

Ceklek!

Lampu kamar mbak Alya padam, maksudnya memang sengaja dimatikan. Suasana malam memang sudah mencekam, ayah dan ibu pasti juga sudah bermimpi. Telingaku menangkap suara-suara yang membuatku risih dari arah kamar mbak Alya.

Aku tahu mereka sedang apa. Aku menggeram dengan amarah dalam hatiku. Seketika aku ingin memaki, dasar pasangan lebai. Apa mbak Alya tidak merasa kasihan pada mas Bara yang baru saja memulai kerjanya hari ini, setelah cuti menikah pasti banyak sekali pekerjaan yang tertunda dan harus cepat diselesaikan. Gitu malamnya kok ya masih main. Tanpa sengaja aku menjatuhkan kaleng minumanku, suara berisik pun terdengar. Kalau ibu dan ayah pasti tidak dengar karena kamar mereka berada di belakang dekat dapur. Mbak Alya dan mas Bara yang pasti mendengar, aku menutup mulutku dan menyesali insiden ini.

Aku mau kabur ke kamar tapi sudah terlambat, pintu kamar mbak Alya sudah terbuka dan mas Bara-lah yang mendapatiku sedang berada di ruang tengah.

"Sedang apa di sini, Aruna. Apa kamu belum tidur dari tadi?"

Mas Bara menanyaiku sambil berjalan mendekatiku. Aku tidak segera menjawab, aku sedang merasa takjub dengan pemandangan di depan mataku. Tubuh mas Bara yang bertelanjang dada dengan keringat yang tampak mengkilat di kulit putihnya, sanggup menyita perhatianku. Tiba-tiba ada desir aneh di dadaku.

"Ta-tadi aku sudah tidur dan terbangun karena gerah, aku sedang minum di sini."

Jawabku terbata-bata seraya menunjukkan kaleng bekas minumku yang terjatuh tadi.

"Kenapa kamu tidak kembali ke kamarmu, kamu bisa membawa minumanmu ke kamar bukan?"

Mbak Alya pun muncul dan berdiri di belakang tubuh suaminya. Ia memakai baju tidur tipis yang menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas, aku melihat dengan jelas mbak Alya tidak memakai dalaman. Rambutnya tergerai dengan tidak rapi, oh tentu saja, mereka kan ....

"Iya, Mbak. Ini juga mau tidur lagi. Kaleng ini pakai jatuh dan mengganggu tidur kalian. Kalau begitu aku permisi ya Mbak, Mas ...."

Rasanya aku tidak tahan dengan pemandangan yang tersaji dihadapanku ini, aku buru-buru pamit dan pergi tanpa menunggu jawaban dari mbak Alya atau pun mas Bara.

Bukannya aku menjadi tenang ketika sudah berada di kamarku sendiri, pikiranku semakin kacau saja karena peristiwa tadi. Mengapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan mas Bara dalam sedetik pun.

Dadaku tersengal menahan gejolak jiwa yang tiada menentu. Ada apa denganku ini. Aku menjadi sangat terpesona dengan kakak iparku.

Aku sadar, pikiranku ini kotor dan tidak selayaknya. Tapi sumpah, aku tidak bisa menolak rasa yang datang dengan sendirinya ini. Aku menjambak rambutku kuat-kuat agar kepalaku terasa sakit dan tidak bisa membayangkan mas Bara lagi. Berulang kali kutarik rambutku sekuat tenaga, yang ada hanya rasa sakit. Dan bayangan mas Bara semakin menggodaku.

Hari ini semua kesiangan, tidak ada yang sempat memasak untuk sarapan. Akhirnya kami berlima hanya sarapan roti dan minuman hangat pilihan masing-masing. Mbak Alya sibuk melayani mas Bara dan ibu sibuk melayaniku dan ayah. Aku ingin sekali bertanya apa hari ini aku akan diantar mas Bara ke sekolah, tetapi belum sempat pertanyaan itu keluar dari mulutku, mbak Alya sudah mendahuluiku.

"Kami tidak bisa mengantarmu ke sekolah, Aruna. Hari ini aku dan Mas Bara mau melihat rumah yang rencananya mau kami beli. Aku belum bersiap-siap, kamu bisa terlambat kalau menungguku."

Apa? Mbak Alya dan mas Bara mau membeli rumah, berarti sebentar lagi mereka sudah tidak tinggal di sini lagi.

"Tidak mengapa Mbak, aku naik angkot saja."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   125. Biarkan Semua Berlalu

    "Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   124. Aku Bukan Aruna yang Dulu

    Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   123. Pilihan Hidup

    Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status