Share

3.Abid

Author: Tutyas
last update Last Updated: 2023-10-09 20:25:46

"Hai Aruna, siapa yang mengantarmu?"

Abid menyambut kedatanganku di depan pagar sekolah dengan pertanyaannya, aku melengos.

"Mbak Alya dan suaminya."

Jawabku sambil terus melangkah dan tanpa menoleh sedikit pun. Abid berjalan sejajar denganku, menyamai langkahku.

"Mbak Alya yang kemarin menikah ya?"

Tanyanya lagi, aku mengangguk. Aku sudah cuek pada Abid tapi terus saja dia bicara di sampingku. Dan kurasa pembicaraannya sangat tidak penting dan menggangguku.

"Bisa nggak sih kamu diam?"

Terlontar juga akhirnya kata yang kusimpan sejak tadi untuk Abid. Aku sebenarnya sudah jengkel, tapi aku hanya diam. Berharap Abid akan mengerti dan menjauhiku. Ternyata tidak, dia terus saja berceloteh sambil mengiringi langkahku. Abid berhenti, aku melihat ke arahnya. Walaupun hanya sekilas aku bisa melihat kekecewaan di raut wajahnya.

"Maaf Bid, Aku buru-buru mau piket."

Kataku kemudian, aku hendak melanjutkan langkahku yang terhenti.

"Aku akan membantumu."

Tak bisa lagi aku berkata-kata, membiarkan Abid terus mengikuti dan membantuku piket kelas.

Entah dengan apa aku bisa membuatnya jera untuk mendekatiku, sepertinya Abid tipe manusia pantang menyerah. Aku sudah terang-terangan menolak cintanya tapi dia terus berusaha untuk dekat denganku. Pernah aku pergunakan Alvin untuk menjadi pacar pura-puraku, tetap saja Abid tak mengurungkan niatnya.

Selama ini aku memang belum merasa tertarik pada salah satu teman lelakiku. Banyak yang mendekatiku bahkan menyatakan cintanya padaku, tapi tidak ada satu pun yang kuterima. Ada yang langsung kutolak ada juga yang kubiarkan terkatung-katung dalam harapan. Diantaranya ada yang langsung mundur, ada juga yang terus berjuang. Yang berjuang tanpa kenal lelah salah satunya adalah Abid.

Apa yang bisa kuharapkan dari seorang Abid? Dia hanya anak dari penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan dari Maghrib sampai tengah malam.

Walaupun dia anak tunggal tetap saja hidupnya banyak susah sepertiku. Bedanya dia lebih diperhatikan oleh orang tuanya karena dia anak semata wayang. Beda dengan aku yang harus berbagi dengan kedua saudaraku. Perhatian macam apa yang aku maksud, aku sendiri tidak tahu. Kenyataannya Abid juga ke sekolah hanya menggunakan sepeda motor keluaran tahun tua dan uang saku yang pas-pasan juga. Cuma dalam persoalan uang sekolah Abid tidak pernah menunggak, bahkan selalu membayar lebih awal. Peralatan sekolahnya pun lengkap, tidak ada yang perlu meminjam dari teman. Tidak seperti aku yang suka menunggak membayar uang sekolah dan meminjam alat sekolah ke mana-mana.

Hah, keadaanku memang lebih buruk dari Abid tapi setidaknya aku bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dari Abid.

Tiba-tiba aku teringat pada mbak Alya dan mbak Alifia. Bagaimana jadinya kalau kelak suamiku adalah Abid yang pasti akan meneruskan usaha menjual nasi goreng? Sementara mas Bilal punya kebun sawit yang luas dan pemimpin pondok pesantren. Mas Bara adalah seorang bos yang memiliki banyak toko. Tidak, tidak. Aku tidak mau menjalin hubungan dengan Abid. Aku tidak mau terjerat cinta hanya karena ketampanan dan kebaikan hati seorang Abid.

Entah kenapa siang ini terasa panas sekali, dan tujuh menit sudah kutunggu angkot yang menuju rumahku belum kunjung datang. Aku merutuk dalam hati.

"Maukah kau kuantar pulang, Aruna?"

Lagi-lagi Abid yang datang. Menghampiriku yang berdiri di pinggir jalan. Ia mematikan motornya dan menatap penuh harap padaku.

"Tidak usah, Bid. Nanti Ayahmu sudah menunggu sepeda motormu untuk belanja."

Tolakku halus. Meskipun aku tidak menyukai Abid tapi aku tidak mau menyakitinya. Aku takut cerita tentang pelet, yang katanya bisa membuat orang bisa tergila-gila pada orang yang sebelumnya dibenci atau tidak disukai. Arum teman sebangkuku yang cerita padaku.

"Hari ini ayahku tidak belanja, persediaan masih banyak. Ayolah, rumahmu juga tidak terlalu jauh. Tidak akan memakan waktu terlalu lama."

Jemari tanganku mengepal, jengkel sekali aku. Kuhembuskan napas berat.

"Tidak usah, Abiiiid ...."

Aku tersenyum kecut dengan bola mata yang berputar, sudah pusing aku menghadapi Abid yang kunilai semakin tidak tahu diri ini.

"Panas sekali hari ini, lebih ba ...."

"Itu angkotnya sudah datang, bye Abid ...."

Untung saja angkot penyelamat datang, aku langsung memotong kalimat Abid dan meninggalnya dalam diam.

Abid memang baik sekali orangnya, banyak yang bilang seperti itu. Suka membantu dan menolong, wajahnya juga tampan dan penampilannya selalu bersih dan rapi. Dia menjadi ketua kelas dan juga anggota OSIS, selalu aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sayangnya, menurutku Abid kurang keren dan tidak tajir, mungkin banyak faktor tersembunyi yang menyebabkan dia seperti itu.

Andai saja Abid sempurna di mataku, aku akan dengan senang hati menerima cintanya. Ah, bodoh sekali aku ini. Memikirkan Abid yang tidak ada gunanya untukku. Tidak mungkin anak penjual nasi goreng akan memenuhi kriteria lelaki idaman versiku.

Mas Bara-lah lelaki idaman versiku, sudah tampan, kaya dan baik hati juga. Senangnya hati mbak Alya menjadi pendampingnya, seperti yang kulihat kemarin, mas Bara membantu mbak Alya mencuci piring. Padahal belum tentu di rumahnya ia mau, pasti semua dikerjakan oleh pembantu.

Mas Bara juga sepertinya sangat menyayangi mbak Alya, padahal mbak Alya tidak cantik dan kurang menarik. Diantara tiga bersaudara akulah yang paling cantik menurutku, juga menurut orang di sekitar rumah kami. Aku lah si bungsu yang sempurna.

Mbak Alya itu tidak mau berdandan, ke mana-mana memakai jilbab dan baju yang longgar. Tidak pernah berpenampilan seksi, atau menggerai rambutnya yang sebenarnya indah dan tebal. Mbak Alya juga sedikit kuper, sosial medianya hanya W******p dan F******k, itu pun dulu aku yang membuatkan akunnya. Sekarang kalau aku kasih saran untuk buat akun ini atau itu selalu dia tolak dengan alasan itu saja sudah cukup yang penting bisa digunakan untuk komunikasi katanya.

Sebenarnya mas Bara itu bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, lebih modern, lebih sepadan dengannya dari mbak Alya, tapi entah mengapa malah pilihannya jatuh pada kakakku yang apa-apa nilainya di bawahku itu. Mungkin selera mas Bara yang rendahan.

Coba selera mas Bara seperti Abid, yaitu aku. Pasti akan lebih pas. Entah mengapa Tuhan mengatur demikian, biar sajalah. Mungkin sudah rezekinya mbak Alya mendapat suami mas Bara. Yang penting, mudah-mudahan aku mendapat rezeki seperti mbak Alya. Mendapat jodoh seperti mas Bara, tampan dan kaya. Aamiin.

Kulangkahkan kaki menuju rumah, angkot yang tadi membawaku pulang sudah melanjutkan perjalanannya. Tampak olehku mobil mas Bara terparkir, berarti mereka ada dirumah. Terdengar suara cekikan dari arah dapur, apa lagi ini? Suasana panas begini pun mereka bermesraan, di dapur lagi. Aku coba mengabaikan suara yang membuatku risih, melanjutkan langkah menuju kamar untuk melepas lelah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   131. Kau Putraku, Afnan.

    "Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   130. Tenangkan aku

    "Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   129. Kubawa Pada Siapa Luka ini

    "Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   128. Maafkan Ibu

    Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   127. Bersiap Untuk Berpisah

    Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   126. Permintaan yang Berat

    Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   125. Biarkan Semua Berlalu

    "Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   124. Aku Bukan Aruna yang Dulu

    Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c

  • Berikan Suamimu Untukku, Mbak   123. Pilihan Hidup

    Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status