"Hai Aruna, siapa yang mengantarmu?"
Abid menyambut kedatanganku di depan pagar sekolah dengan pertanyaannya, aku melengos."Mbak Alya dan suaminya."Jawabku sambil terus melangkah dan tanpa menoleh sedikit pun. Abid berjalan sejajar denganku, menyamai langkahku."Mbak Alya yang kemarin menikah ya?"Tanyanya lagi, aku mengangguk. Aku sudah cuek pada Abid tapi terus saja dia bicara di sampingku. Dan kurasa pembicaraannya sangat tidak penting dan menggangguku."Bisa nggak sih kamu diam?"Terlontar juga akhirnya kata yang kusimpan sejak tadi untuk Abid. Aku sebenarnya sudah jengkel, tapi aku hanya diam. Berharap Abid akan mengerti dan menjauhiku. Ternyata tidak, dia terus saja berceloteh sambil mengiringi langkahku. Abid berhenti, aku melihat ke arahnya. Walaupun hanya sekilas aku bisa melihat kekecewaan di raut wajahnya."Maaf Bid, Aku buru-buru mau piket."Kataku kemudian, aku hendak melanjutkan langkahku yang terhenti."Aku akan membantumu."Tak bisa lagi aku berkata-kata, membiarkan Abid terus mengikuti dan membantuku piket kelas.Entah dengan apa aku bisa membuatnya jera untuk mendekatiku, sepertinya Abid tipe manusia pantang menyerah. Aku sudah terang-terangan menolak cintanya tapi dia terus berusaha untuk dekat denganku. Pernah aku pergunakan Alvin untuk menjadi pacar pura-puraku, tetap saja Abid tak mengurungkan niatnya.Selama ini aku memang belum merasa tertarik pada salah satu teman lelakiku. Banyak yang mendekatiku bahkan menyatakan cintanya padaku, tapi tidak ada satu pun yang kuterima. Ada yang langsung kutolak ada juga yang kubiarkan terkatung-katung dalam harapan. Diantaranya ada yang langsung mundur, ada juga yang terus berjuang. Yang berjuang tanpa kenal lelah salah satunya adalah Abid.Apa yang bisa kuharapkan dari seorang Abid? Dia hanya anak dari penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan dari Maghrib sampai tengah malam.Walaupun dia anak tunggal tetap saja hidupnya banyak susah sepertiku. Bedanya dia lebih diperhatikan oleh orang tuanya karena dia anak semata wayang. Beda dengan aku yang harus berbagi dengan kedua saudaraku. Perhatian macam apa yang aku maksud, aku sendiri tidak tahu. Kenyataannya Abid juga ke sekolah hanya menggunakan sepeda motor keluaran tahun tua dan uang saku yang pas-pasan juga. Cuma dalam persoalan uang sekolah Abid tidak pernah menunggak, bahkan selalu membayar lebih awal. Peralatan sekolahnya pun lengkap, tidak ada yang perlu meminjam dari teman. Tidak seperti aku yang suka menunggak membayar uang sekolah dan meminjam alat sekolah ke mana-mana.Hah, keadaanku memang lebih buruk dari Abid tapi setidaknya aku bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dari Abid.Tiba-tiba aku teringat pada mbak Alya dan mbak Alifia. Bagaimana jadinya kalau kelak suamiku adalah Abid yang pasti akan meneruskan usaha menjual nasi goreng? Sementara mas Bilal punya kebun sawit yang luas dan pemimpin pondok pesantren. Mas Bara adalah seorang bos yang memiliki banyak toko. Tidak, tidak. Aku tidak mau menjalin hubungan dengan Abid. Aku tidak mau terjerat cinta hanya karena ketampanan dan kebaikan hati seorang Abid.Entah kenapa siang ini terasa panas sekali, dan tujuh menit sudah kutunggu angkot yang menuju rumahku belum kunjung datang. Aku merutuk dalam hati."Maukah kau kuantar pulang, Aruna?"Lagi-lagi Abid yang datang. Menghampiriku yang berdiri di pinggir jalan. Ia mematikan motornya dan menatap penuh harap padaku."Tidak usah, Bid. Nanti Ayahmu sudah menunggu sepeda motormu untuk belanja."Tolakku halus. Meskipun aku tidak menyukai Abid tapi aku tidak mau menyakitinya. Aku takut cerita tentang pelet, yang katanya bisa membuat orang bisa tergila-gila pada orang yang sebelumnya dibenci atau tidak disukai. Arum teman sebangkuku yang cerita padaku."Hari ini ayahku tidak belanja, persediaan masih banyak. Ayolah, rumahmu juga tidak terlalu jauh. Tidak akan memakan waktu terlalu lama."Jemari tanganku mengepal, jengkel sekali aku. Kuhembuskan napas berat."Tidak usah, Abiiiid ...."Aku tersenyum kecut dengan bola mata yang berputar, sudah pusing aku menghadapi Abid yang kunilai semakin tidak tahu diri ini."Panas sekali hari ini, lebih ba ....""Itu angkotnya sudah datang, bye Abid ...."Untung saja angkot penyelamat datang, aku langsung memotong kalimat Abid dan meninggalnya dalam diam.Abid memang baik sekali orangnya, banyak yang bilang seperti itu. Suka membantu dan menolong, wajahnya juga tampan dan penampilannya selalu bersih dan rapi. Dia menjadi ketua kelas dan juga anggota OSIS, selalu aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sayangnya, menurutku Abid kurang keren dan tidak tajir, mungkin banyak faktor tersembunyi yang menyebabkan dia seperti itu.Andai saja Abid sempurna di mataku, aku akan dengan senang hati menerima cintanya. Ah, bodoh sekali aku ini. Memikirkan Abid yang tidak ada gunanya untukku. Tidak mungkin anak penjual nasi goreng akan memenuhi kriteria lelaki idaman versiku.Mas Bara-lah lelaki idaman versiku, sudah tampan, kaya dan baik hati juga. Senangnya hati mbak Alya menjadi pendampingnya, seperti yang kulihat kemarin, mas Bara membantu mbak Alya mencuci piring. Padahal belum tentu di rumahnya ia mau, pasti semua dikerjakan oleh pembantu.Mas Bara juga sepertinya sangat menyayangi mbak Alya, padahal mbak Alya tidak cantik dan kurang menarik. Diantara tiga bersaudara akulah yang paling cantik menurutku, juga menurut orang di sekitar rumah kami. Aku lah si bungsu yang sempurna.Mbak Alya itu tidak mau berdandan, ke mana-mana memakai jilbab dan baju yang longgar. Tidak pernah berpenampilan seksi, atau menggerai rambutnya yang sebenarnya indah dan tebal. Mbak Alya juga sedikit kuper, sosial medianya hanya W******p dan F******k, itu pun dulu aku yang membuatkan akunnya. Sekarang kalau aku kasih saran untuk buat akun ini atau itu selalu dia tolak dengan alasan itu saja sudah cukup yang penting bisa digunakan untuk komunikasi katanya.Sebenarnya mas Bara itu bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, lebih modern, lebih sepadan dengannya dari mbak Alya, tapi entah mengapa malah pilihannya jatuh pada kakakku yang apa-apa nilainya di bawahku itu. Mungkin selera mas Bara yang rendahan.Coba selera mas Bara seperti Abid, yaitu aku. Pasti akan lebih pas. Entah mengapa Tuhan mengatur demikian, biar sajalah. Mungkin sudah rezekinya mbak Alya mendapat suami mas Bara. Yang penting, mudah-mudahan aku mendapat rezeki seperti mbak Alya. Mendapat jodoh seperti mas Bara, tampan dan kaya. Aamiin.Kulangkahkan kaki menuju rumah, angkot yang tadi membawaku pulang sudah melanjutkan perjalanannya. Tampak olehku mobil mas Bara terparkir, berarti mereka ada dirumah. Terdengar suara cekikan dari arah dapur, apa lagi ini? Suasana panas begini pun mereka bermesraan, di dapur lagi. Aku coba mengabaikan suara yang membuatku risih, melanjutkan langkah menuju kamar untuk melepas lelah."Aruna...."Terdengar suara mbak Alya di luar kamar, aku malas menjawab. Terdengar ketukan pintu sebanyak tiga kali."Aruna .... Apa kamu tidur?"Kembali mbak Alya memanggilku disertai pertanyaan yang tidak masuk akal, masa iya orang tidur ditanyai."Aruna, ayo makan. Tadi aku beli lauk dari rumah makan kesukaanmu."Nah, kan. Aku tidak menyahut masih saja dipanggil, tapi tawaran mbak Alya meluluhkan rasa malasku berinteraksi dengannya. "iya, Mbak."Masih dengan keadaan yang berantakan aku bukakan pintu untuk mbak Alya. "Kamu ini tidur apa nggak sih, aku panggil dari tadi diam saja." Protes mbak Alya. Aku nyengir kuda."Mau tidur, tapi nggak jadi. Ayo kita makan saja Mbak.""Ya, ayo tapi benerin dulu itu pakaianmu. Itu, tu .... kancingnya ada yang belum betul."Mbak Alya menunjuk ke arah bajuku yang memang tidak benar aku memakainya tadi."Hehehehe."Aku tertawa sembari mengancingkan bajuku dan membenarkan posisi celanaku yang agak melorot."Rambutnya ditali, jangan seperti itu, nanti
Hari ini mas Bara mulai bekerja kembali, ia terlihat semakin tampan dengan pakaian resminya. Aku menelan ludah saat mencuri pandang ke arah iparku yang terasa istimewa ini. Mbak Alya tampak sibuk membantu mas Bara bersiap."Apa kamu mau berangkat bersama Mas Bara, Aruna?"Tanya mbak Alya saat kami berada dalam satu meja makan, menikmati sarapan buatan ibu. Ibu sengaja memasak pagi-pagi supaya semua bisa sarapan. Ibu sendiri sudah sarapan bersama bapak tadi, untuk kemudian berangkat berjualan.Sebenarnya aku senang sekali dengan penawaran ini, tapi aku tidak ingin terlihat murahan dengan menumpang kendaraan mas Bara."Mbak Alya bisa saja, tujuan kami beda Mbak. Nanti Mas Bara bisa terlambat kalau harus mengantarku dulu.""Tidak apa-apa, cuma sedikit masuk gang saja, mungkin cuma butuh waktu tujuh menit."Aku tidak menyangka mas Bara bicara seperti itu, berarti mas Bara mau mengantarku ke sekolah, yess!"Baiklah, kalau tidak merepotkan."Jawabku dengan rasa girang di dalam hati. Kali ini
Rumah mbak Alya bagus sekali, terletak di tepi jalan besar lagi. Mas Bara memang paling jitu menentukan pilihan, kecuali memilih istri.Aku semakin tidak percaya saja pada keadilan Tuhan, mengapa mbak Alya yang dikasih rezeki secara bertubi-tubi. Terus mana bagianku? Dari zaman dahulu kehidupan pahit ini yang kurasakan, tidak ada perubahan sama sekali."Wah, bagus sekali rumahmu, Mbak. Bolehkan aku menginap disini."Aku tak bosan-bosannya melihat ke sana dan ke mari. Rumah yang bagus, interior yang cantik dan perabot yang semuanya baru membuatku betah di rumah ini."Boleh saja."Jawab mbak Alya enteng."Kamu ini. Terus ayah sama ibu sama siapa?"Ibu yang menjawabku dengan ketus."Ya ayah sama ibu, memangnya kenapa kalau nggak ada aku."Ucapku tak kalah ketus."Kamu ini kalau dibilang sama orang tua, Mbakmu kan masih pengantin baru.""Lah terus kenapa, Bu. Di sini ada banyak kamar, kan aku tidak mungkin tidur sekamar sama mbak Alya."Ibu sepertinya benar-benar marah padaku, mukanya tamp
Acara syukuran rumah barunya mbak Alya dan mas Bara sudah selesai. Ibu dan ayah pulang karena pagi-pagi sekali ayah harus berangkat kerja bersama teman-temannya. Ibu harus memasak bekal untuk ayah."Kasihan Mbak Alya kalau harus sendirian membereskan ini semua, Bu."Aku mencari alasan untuk diizinkan menginap di rumah mbak Aya."Tapi kamu nggak bawa seragam sekolahmu, tas dan juga sepatumu bagaimana?""Aku nanti telepon Arum, Bu. Besok Arum akan membawakannya ke sini."Akhirnya ibu menyerah, bisa jadi bukan karena rengekanku tapi karena kasihan melihat mbak Alya yang pasti nanti kelelahan untuk membereskan perabot rumahnya.Ibu dan ayah pulang diantarkan oleh mas Bara, sementara aku dan mbak Alya memulai pekerjaan yang sebenarnya tidak aku sukai ini. Tapi mau bagaimana lagi karena pekerjaan ini aku diizinkan ibu menginap di rumah baru yang bagus ini.Aku dan mbak Alya mengelap piring, gelas, sendok dan lain-lainnya. Kemudian memasukkannya ke kotaknya masing-masing dan menyimpannya di t
Sebenarnya tadi aku mau langsung pulang ke rumah dengan menumpang sepeda motor Arum tetapi aku teringat baju kotorku yang masih kutinggal di dalam kamar rumah mbak Alya. Aku harus mengambilnya.Cuaca terik membuatku sedikit pusing, mungkin juga karena semalam aku kurang tidur.Aku memasuki halaman rumah, sepi. Sedang apa mbak Alya di dalam? Aku memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Mungkin mbak Alya sedang di belakang atau sedang tidur siang.Bahkan di dalam rumah pun sepi juga, suara televisi juga tidak terdengar.Langkahku pelan menuju kamar yang kupakai. Belum sampai tujuan, aku mendengar suara dari arah kamar mbak Alya yang memang harus kulewati untuk mencapai kamarku yang terletak agak di belakang.Suara-suara yang membuat telingaku memanas. Memang dasar keterlaluan, ini kan siang hari, mana panas lagi. Mbak Alya pasti sedang bersama mas Bara, tut ... kena sensor. Aku sudah dewasa, aku sudah tau apa arti suara-suara itu. Kuhentakkan kaki ke lantai dengan kesal. Mas Bara begitu say
Sudah sepuluh hari aku tidak bertemu mas Bara, aku merindukannya. Di rumah aku selalu terbayang wajah tampannya. Apa lagi mengingat kenangan bertabrakan malam itu, dalam hatiku kembali berdesir. Aku ingin sekali memeluk mas Bara, pasti akan terasa nyaman dan hangat. Hah, mas Bara kan suami mbak Alya. Dia pasti sudah damai di dalam pelukan istri tercintanya. Aku saja yang konyol.Semakin aku menepiskan rasa itu dan berusaha berpikir rasional, semakin rasa hatiku bergejolak. Hatiku mengatakan kalau yang sedang kurasakan ini sangat manusiawi. Aku perempuan yang menginjak dewasa, normal kan kalau aku mempunyai perasaan tertarik dengan lawan jenis.Terlebih lagi mas Bara memang lelaki idamanku. Yang ada dalam diri mas Bara semua adalah yang kusuka dari seorang lelaki. Jangan salahkan aku, aku sudah mempunyai poin-poin tersendiri untuk lelaki yang mendekatiku dan itu sudah kutetapkan dari dulu sebelum mengenal mas Bara.Aku juga tidak habis pikir, kriteria lelaki idamanku kok bisa semuanya a
Aku semakin ingin selalu dekat dengan mas Bara. Aku ingin merebut perhatiannya yang selalu saja hanya diberikan pada mbak Alya. Apa kurangnya aku hingga aku tidak mendapatkan perhatian dari mas Bara. Mas Bara saja yang belum menyadari kelebihan yang kumiliki dibandingkan dengan mbak Alya.Hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah mbak Alya dengan alasan aku takut terlambat karena mulai hari ini aku menjadi peserta ujian nasional. Selama tiga hari aku diizinkan oleh ayah dan ibu untuk tinggal dirumah mbak Alya.Otakku tak lagi tertuju pada soal ujian yang akan kuhadapi mulai besok tapi aku berpikir bagaimana caranya mencuri perhatian mas Bara. takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku harus berhasil mendapatkan sesuatu dalam waktu tiga hari ini."Kamu harus jaga dirimu selama di sana, Aruna. Jangan lupa pakai pakaian tertutup dan sopan. Dan belajarlah yang giat agar nilai ujianmu bagus. Jangan kecewakan kakakmu yang akan membiayai kuliahmu nanti.""Iya, Bu. Aku memang h
Sungguh aku tidak bisa lagi melawan rasa yang ada dalam hatiku. Gejolak cintaku pada mas Bara semakin menyala, akan sulit untuk dipadamkan. Bahkan mungkin tidak akan bisa. Aku tahu rasa ini salah, tapi hatiku selalu ingin dan ingin .... dan saat ini semakin ingin. Berawal dari sentuhan-sentuhan kecil yang tidak sengaja, aku semakin dimabukkan oleh perasaan cintaku kepada mas Bara.Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan cinta kakak iparku ini? Tidak mungkin aku memintanya secara baik-baik pada si pemilik. "Ada apa melamun, Aruna?"Tanya mbak Alya yang tiba-tiba datang ke kamarku."Tidak apa-apa, Mbak. Mbak apa perlu bantuan ku?"Tanyaku seolah-olah aku ini adik yang sangat baik kepada kakaknya."Ah, tidak. Sudah selesai pekerjaanku. Malahan aku bingung mau ngapain makanya ke sini. Bagaimana ujianmu, ada kesulitan?""Tidak Mbak, sebelumnya sudah dipelajari semua kok.""Kamu tidak belajar sekarang?""Nanti saja, Mbak. Masih panas otakku ini, nanti terjadi korsleting di kepalaku, Mba