Share

3.Abid

"Hai Aruna, siapa yang mengantarmu?"

Abid menyambut kedatanganku di depan pagar sekolah dengan pertanyaannya, aku melengos.

"Mbak Alya dan suaminya."

Jawabku sambil terus melangkah dan tanpa menoleh sedikit pun. Abid berjalan sejajar denganku, menyamai langkahku.

"Mbak Alya yang kemarin menikah ya?"

Tanyanya lagi, aku mengangguk. Aku sudah cuek pada Abid tapi terus saja dia bicara di sampingku. Dan kurasa pembicaraannya sangat tidak penting dan menggangguku.

"Bisa nggak sih kamu diam?"

Terlontar juga akhirnya kata yang kusimpan sejak tadi untuk Abid. Aku sebenarnya sudah jengkel, tapi aku hanya diam. Berharap Abid akan mengerti dan menjauhiku. Ternyata tidak, dia terus saja berceloteh sambil mengiringi langkahku. Abid berhenti, aku melihat ke arahnya. Walaupun hanya sekilas aku bisa melihat kekecewaan di raut wajahnya.

"Maaf Bid, Aku buru-buru mau piket."

Kataku kemudian, aku hendak melanjutkan langkahku yang terhenti.

"Aku akan membantumu."

Tak bisa lagi aku berkata-kata, membiarkan Abid terus mengikuti dan membantuku piket kelas.

Entah dengan apa aku bisa membuatnya jera untuk mendekatiku, sepertinya Abid tipe manusia pantang menyerah. Aku sudah terang-terangan menolak cintanya tapi dia terus berusaha untuk dekat denganku. Pernah aku pergunakan Alvin untuk menjadi pacar pura-puraku, tetap saja Abid tak mengurungkan niatnya.

Selama ini aku memang belum merasa tertarik pada salah satu teman lelakiku. Banyak yang mendekatiku bahkan menyatakan cintanya padaku, tapi tidak ada satu pun yang kuterima. Ada yang langsung kutolak ada juga yang kubiarkan terkatung-katung dalam harapan. Diantaranya ada yang langsung mundur, ada juga yang terus berjuang. Yang berjuang tanpa kenal lelah salah satunya adalah Abid.

Apa yang bisa kuharapkan dari seorang Abid? Dia hanya anak dari penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan dari Maghrib sampai tengah malam.

Walaupun dia anak tunggal tetap saja hidupnya banyak susah sepertiku. Bedanya dia lebih diperhatikan oleh orang tuanya karena dia anak semata wayang. Beda dengan aku yang harus berbagi dengan kedua saudaraku. Perhatian macam apa yang aku maksud, aku sendiri tidak tahu. Kenyataannya Abid juga ke sekolah hanya menggunakan sepeda motor keluaran tahun tua dan uang saku yang pas-pasan juga. Cuma dalam persoalan uang sekolah Abid tidak pernah menunggak, bahkan selalu membayar lebih awal. Peralatan sekolahnya pun lengkap, tidak ada yang perlu meminjam dari teman. Tidak seperti aku yang suka menunggak membayar uang sekolah dan meminjam alat sekolah ke mana-mana.

Hah, keadaanku memang lebih buruk dari Abid tapi setidaknya aku bisa mendapatkan pasangan yang lebih baik dari Abid.

Tiba-tiba aku teringat pada mbak Alya dan mbak Alifia. Bagaimana jadinya kalau kelak suamiku adalah Abid yang pasti akan meneruskan usaha menjual nasi goreng? Sementara mas Bilal punya kebun sawit yang luas dan pemimpin pondok pesantren. Mas Bara adalah seorang bos yang memiliki banyak toko. Tidak, tidak. Aku tidak mau menjalin hubungan dengan Abid. Aku tidak mau terjerat cinta hanya karena ketampanan dan kebaikan hati seorang Abid.

Entah kenapa siang ini terasa panas sekali, dan tujuh menit sudah kutunggu angkot yang menuju rumahku belum kunjung datang. Aku merutuk dalam hati.

"Maukah kau kuantar pulang, Aruna?"

Lagi-lagi Abid yang datang. Menghampiriku yang berdiri di pinggir jalan. Ia mematikan motornya dan menatap penuh harap padaku.

"Tidak usah, Bid. Nanti Ayahmu sudah menunggu sepeda motormu untuk belanja."

Tolakku halus. Meskipun aku tidak menyukai Abid tapi aku tidak mau menyakitinya. Aku takut cerita tentang pelet, yang katanya bisa membuat orang bisa tergila-gila pada orang yang sebelumnya dibenci atau tidak disukai. Arum teman sebangkuku yang cerita padaku.

"Hari ini ayahku tidak belanja, persediaan masih banyak. Ayolah, rumahmu juga tidak terlalu jauh. Tidak akan memakan waktu terlalu lama."

Jemari tanganku mengepal, jengkel sekali aku. Kuhembuskan napas berat.

"Tidak usah, Abiiiid ...."

Aku tersenyum kecut dengan bola mata yang berputar, sudah pusing aku menghadapi Abid yang kunilai semakin tidak tahu diri ini.

"Panas sekali hari ini, lebih ba ...."

"Itu angkotnya sudah datang, bye Abid ...."

Untung saja angkot penyelamat datang, aku langsung memotong kalimat Abid dan meninggalnya dalam diam.

Abid memang baik sekali orangnya, banyak yang bilang seperti itu. Suka membantu dan menolong, wajahnya juga tampan dan penampilannya selalu bersih dan rapi. Dia menjadi ketua kelas dan juga anggota OSIS, selalu aktif mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sayangnya, menurutku Abid kurang keren dan tidak tajir, mungkin banyak faktor tersembunyi yang menyebabkan dia seperti itu.

Andai saja Abid sempurna di mataku, aku akan dengan senang hati menerima cintanya. Ah, bodoh sekali aku ini. Memikirkan Abid yang tidak ada gunanya untukku. Tidak mungkin anak penjual nasi goreng akan memenuhi kriteria lelaki idaman versiku.

Mas Bara-lah lelaki idaman versiku, sudah tampan, kaya dan baik hati juga. Senangnya hati mbak Alya menjadi pendampingnya, seperti yang kulihat kemarin, mas Bara membantu mbak Alya mencuci piring. Padahal belum tentu di rumahnya ia mau, pasti semua dikerjakan oleh pembantu.

Mas Bara juga sepertinya sangat menyayangi mbak Alya, padahal mbak Alya tidak cantik dan kurang menarik. Diantara tiga bersaudara akulah yang paling cantik menurutku, juga menurut orang di sekitar rumah kami. Aku lah si bungsu yang sempurna.

Mbak Alya itu tidak mau berdandan, ke mana-mana memakai jilbab dan baju yang longgar. Tidak pernah berpenampilan seksi, atau menggerai rambutnya yang sebenarnya indah dan tebal. Mbak Alya juga sedikit kuper, sosial medianya hanya W******p dan F******k, itu pun dulu aku yang membuatkan akunnya. Sekarang kalau aku kasih saran untuk buat akun ini atau itu selalu dia tolak dengan alasan itu saja sudah cukup yang penting bisa digunakan untuk komunikasi katanya.

Sebenarnya mas Bara itu bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, lebih modern, lebih sepadan dengannya dari mbak Alya, tapi entah mengapa malah pilihannya jatuh pada kakakku yang apa-apa nilainya di bawahku itu. Mungkin selera mas Bara yang rendahan.

Coba selera mas Bara seperti Abid, yaitu aku. Pasti akan lebih pas. Entah mengapa Tuhan mengatur demikian, biar sajalah. Mungkin sudah rezekinya mbak Alya mendapat suami mas Bara. Yang penting, mudah-mudahan aku mendapat rezeki seperti mbak Alya. Mendapat jodoh seperti mas Bara, tampan dan kaya. Aamiin.

Kulangkahkan kaki menuju rumah, angkot yang tadi membawaku pulang sudah melanjutkan perjalanannya. Tampak olehku mobil mas Bara terparkir, berarti mereka ada dirumah. Terdengar suara cekikan dari arah dapur, apa lagi ini? Suasana panas begini pun mereka bermesraan, di dapur lagi. Aku coba mengabaikan suara yang membuatku risih, melanjutkan langkah menuju kamar untuk melepas lelah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status